Rabu, November 11, 2009

KESIMPULAN SEKITAR NIKAH MUT'AH

Kajian tentang nikah mu`ah ada tiga macam: Kajian teologis, kajian fiqhiyah (tentang halal dan haramnya), kajian tafsir dan hadis (apakah surat An-Nisa’: 24 sebagai ayat penetapan syariat nikah mut`ah?).

Pendapat-pendapat tentang nikah mu`ah:

1. Nikah mut`ah tidak pernah disyariatkan di dalam Islam.
2. Nikah mut`ah disyariatkan di dalam Islam kemudian dimansukh
3. Nikah mut`ah disyariatkan di dalam Islam dan tidak pernah dimansukh

Pendapat Pertama: Mut`ah sebagai perbuatan zina dan keji. Berarti Nabi saw pernah membolehkan sahabatnya melakukan perbuatan zina dan keji. Apa alasannya? Dharurat atau rukhshah?

Pendapat kedua: Kapan dimansukh oleh Nabi saw? Ayat apa yang memansukhnya?
Dalam kelompok ini ada beberapa pendapat.
1. Dimansukh oleh Surat Al-Mu’minun: 5-7
2. Dimansukh oleh ayat tentang iddah yaitu Surat Ath-Thalaq: 1
3. Dimansukh oleh ayat tentang waris yaitu Surat An-Nisa’: 12
4. Dimnsukh oleh ayat tentang muhrim (orang-orang yang haram dinikahi) yaitu Surat An-Nisa’: 23
5. Dimansukh oleh ayat tentang batasan jumlah istri yaitu Surat An-Nisa’: 3
6. Dimansukh oleh hadis Nabi saw.

Jawaban
Terhadap pendapat yang pertama: Tidak sesuai dengan hukum nasikh-mansukh, karena Surat An-Nisa’: 24 (tentang nikah mut`ah) ayat Madaniyah sedangkan Surat Al-Mu’minun: 5-7 ayat Makkiyah. Tidak ayat Makkiyah menasikh ayat Madaniyah.

Terhadap pendapat ke 2, 3, 4, dan ke 5: Hubungan Surat An-Nisa’: 24 dengan ayat-ayat tersebut bukan hubungan Nasikh-Mansukh, tetapi hubungan umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad (mutlak dan terbatas). Memang sebagian ulama Ushul figh mengatakan bahwa jika yang khusus diikuti oleh yang umum dan berlawanan dalam penetapan dan penafian, maka yang umum menasikh yang khusus. Tetapi menggunakan kaidah dalam masalah ini sangat lemah dan tidak sesuai dengan pokok persoalannya.

Misalnya ayat tentang Iddah sifat umum dan terdapat di dalam Surat Al-Baqarah sebagai awal surat Madaniyah, diturunkan sebelum surat An-Nisa’ yang di dalam terdapat ayat tentang nikah mu`ah. Demikian juga ayat tentang batasan jumlah istri, dan muhrim terdapat di dalam Surat An-Nisa’ sebagai pengantar ayat tentang nikah mut`ah saling berkaitan satu sama lain. Semua ayat itu bersifat umum, dan ayat tentang nikah mut`ah sebagai ayat yang bersifat khusus diakhir dari yang umum. Bagaimana mungkin pengantar menasikh penutup pembicaraan.

Wabil khusus, pendapat yang mengatakan ayat tentang Iddah menasikh ayat nikah mut`ah sama sekali tidak berdasar, karena hukum iddah itu berlaku juga dalam nikah mut’ah selain di dalam nikah permanen. Demikian juga pendapat yang mengatakan ayat tentang muhrim menasikh ayat nikah mu`ah, semuan perempuan yang haram dinikahi saling berkaitan dan tak terpisahkan dengan segala bentuk pernikahan baik permanen maupun mut`ah. Bagaimana mungkin pengantar pembicaraan menasikh penutupnya. Lagi pula ayat tersebut tidak menunjukkan larangan hanya terhadap nikah permanen.

Pendapat yang keenam: Ayat nikah mut’ah dimasukh oleh hadis Nabi saw. Pendapat ini sama sekali tidak berdalil, karena secara mendasar ia bertentangan dengan riwayat-riwayat mutawatir yang menjelaskan Al-Qur’an, dan riwayat-riwayat yang merujuk kepada Al-Qur`an.

Riwayat-Riwayat Penasikhan (Penghapusan hukum) nikah mut`ah

Dalam Ad-Durrul Mantsur: Abdurrazzaq, Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Al-Juhani, ia berkata: “Pada tahun Fathu Mekkah Rasulullah saw mengizinkan kami melakukan nikah mut`ah. Lalu kami bersama seorang laki-laki dari kaumku melakukan bepergian. Aku lebih tampan darinya; masing-masing kami membawa kain berwarna. Kain warna kainku sudah lapuk, warna kain dia masih baru dan bagus. Ketika sampai di Mekkah kami berjumpa dengan seorang perempuan jalanan. Lalu kami berkata kepadanya: Maukah kamu nikah mu`ah dengan salah seorang dari kami? Ia menjawab: Apa yang akan kamu berikan? Kemudian masing-masing kami menunjukkan kain-warna kami, ia pun melihatnya. Temanku melihat perempuan itu sambil berkata: Kain warna ini sudah lapuk, sedangkan kain-warnaku masih bagus. Perempuan itu berkata: Dengan kain yang ini aku mau. Kemudian aku melangsungkan nikah mu`ah dengannya. Dan kami tetap melakukan nikah ini sehingga Rasulullah saw mengharamkannya.

Dalam kitab yang sama: Malik, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: “Sesungguhnya Rasulullah saw melarang nikah mut`ah pada hari Khaibar, dan melarang makan daging keledai yang jinak.”

Dalam kitab yang sama: Ibnu Syaibah, Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Salamah bin Akwa’, ia berkata: “Rasulullah saw memberi rukhshah (kemudahan) kepada kami untuk melakukan nikah mut`ah tiga hari pada tahun terjadinya perang Authas, setelah itu beliau melarangnya.”

Dalam Syarah Shahih At-Tirmizi oleh Ibnul Arabi: dari Ismail, dari ayahnya, dari Az-Zuhri, ia berkata, Saburah meriwayatkan: “Rasulullah saw melarang nikah mut`ah pada haji wada’”. Dalam redaksi yang hampir sama juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, ia berkata: “Rasulullah saw melarang nikah mut`ah pada haji qada’ setelah beliau membolehkannya dalam waktu yang tertentu. Sementara Al-Hasan mengatakan bahwa nikah dilarang pada Umrah qadha’.

Dalam kitab yang sama: Az-Zuhri mengatakan, sesungguhnya Nabi saw melarang nikah mut`ah pada perang Tabuk.

Dalam Ad-Durrul Mantsur: Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Dzar, ia berkata: Rasulullah saw membolehkan para sahabatnya melakukan nikah mut`ah hanya tiga hari, kemudian beliau mengharamkannya.
Dalam Ad-Durrul Mantsur: Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, dan Muslim meriwayatkan dari Saburah, ia berkata: Aku melihat Rasulullah saw berdiri di antara tiang dan pintu sambil berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah menghalalkan nikah mut`ah. Dan ingatlah, sekarang aku melarangnya hingga hari kiamat. Barangsiapa yang mempunyai isteri mut`ah hendaknya dicerai, dan jangan mengambil sedikit pun mahar yang telah diberikan kepada mereka.”

Dalam kitab yang sama: Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Al-Hasan, ia berkata: “Demi Allah, tidak ada nikah mut`ah kecuali hanya tiga hari yang diizinkan oleh Rasulullah saw, kemudian sebelum dan sesudahnya tidak ada nikah mut`ah.”


Riwayat-riwayat yang membolehkan

Dalam Shahih Bukhari: meriwayatkan dari Abu Jumarah, ia berkata: “Pada suatu ketika Ibnu Abbas ditanyai tentang nikah mut`ah, kemudian ia menjawab, nikah mut`ah itu rukhshah (kemudahan). Lalu budaknya berkata kepadanya, bukankah nikah mut`ah itu hanya sebagai rukhshah dalam keadaan dharurah, dan perempuan itu sendiri jarang sekali yang bersedia melakukannya, kemudian Ibnu Abbas menjawab, memang.

Dalam Tafsir Ath-Thabari: meriwayatkan dari Mujahid tentang firman Allah swt Surat An-Nisa’:24 adalah ayat tentang nikah mut`ah.

Dalam kitab yang sama: meriwayatkan dari As-Sudi tentang ayat ini, ia berkata: “Ayat ini adalah ayat tentang nikah mut`ah. Seorang laki-laki boleh menikahi perempuan dengan syarat waktu yang ditentukan (nikah mut`ah). Jika masanya sudah habis, sang suami tidak mempunyai apapun dari perempuan itu, dan ia suci darinya. Ia harus mensucikan diri dari kasih sayangnya, antara keduanya tidak waris, dan tidak saling mewarisi.

Dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Ad-Durrul Mantsur meriwayatkan dari Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah, dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Kami pernah bersama Rasulullah saw dalam suatu peperangan, dan kami tidak membawa isteri-isteri. Kemudian kami bertanya kepada Rasulullah saw, apakah sebaiknya kami berkebiri? Beliau melarang kami melakukan hal itu, dan mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut`ah dengan mahar sehelai baju untuk waktu tertentu. Kemudian beliau membacakan firman Allah swt:

ياايها الذين آمنوا لاتحـرموا طيبات مااحل الله لكم
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu.” (Al-Maidah: 87).

Dalam Ad-Durrul Mantsur: Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Nafi` bahwa Ibnu Umar pernah ditanyai tentang nikah mut`ah, lalu ia menjawab: haram. Kemudian dikatakan kepadanya, Ibnu Abbas membolehkan nikah mut`ah. Ia berkata: Mengapa dia tidak membolehkannya pada zaman pemerintahan Umar bin Khattab.

Dalam kitab yang sama: Ibnu Mundzir, Ath-Thabari dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Said bin Jubair, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, tahukah Anda akibat fatwa Anda tentang pembolehan nikah mut`ah? Fatwa Anda tersebar di seluruh penjuru negeri, dan disebut-sebut oleh para penyair. Apa yang mereka katakan? Tanya Ibnu Abbas. Mereka berkata:

Kukatakan kepada kawanku yang lama berada dalam perantauan
Tidakkah kamu ingin melaksanakan fatwa Ibnu Abbas?
Serumah dengan si cantik, penghibur
Sambil menunggu teman dalam perjalanan.
Mendengar itu Ibnu Abbas terkejut dan berkata: Inna lillâhi wa inna ilayhi raji`ûn. Demi Allah, bukan demikian yang kumaksudkan dalam fatwaku. Aku tidak menghalalkannya kecuali Allah menghalalkan bangkai, darah dan daging bagi orang yang dalam keadaan darurat. Demikian juga nikah mut`ah, seperti memakan bangkai, darah dan daging babi.


Kementar
Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut nikah mut’ah dilarang oleh Nabi saw pada waktu yang bebeda-beda, dan dimansukh oleh ayat yang berbeda-beda pula. Dalam riwayat-riwayat tersebut nampaknya Nabi saw dengan alasan dharurat atau rukhshah, membolehkannya, kemudian melarangnya lagi, kemudian membolehkan lagi, kemudian melarang hingga hari kiamat.

Ada pendapat yang mengatakan: Hadis-hadis Nabi dan pernyataan-pernyataan sahabat yang meriwayatkan nikah mut`ah, semuanya menunjukkan bahwa Nabi saw memberi rukhshah (kemudahan) kepada sahabat-sahabatnya untuk melakukannya dalam sebagian peperangan, kemudian beliau melarang mereka, kemudian memberi rukhshah lagi sekali atau dua kali, kemudian melarang mereka lagi dengan larangan untuk selamanya.

Sesungguhnya rukhshah itu ada karena adanya kesulitan untuk menghindari zina dan jauh dari isteri-isteri mereka. Jadi rukhshah itu bertujuan untuk meringankan dua kondisi yang sangat berbahaya tersebut. Sehingga, jika seorang laki-laki melakukan nikah mut`ah dengan seorang perempuan dan tinggal bersamanya dalam waktu tertentu, hal ini merupakan langkah yang lebih mudah daripada mengekang diri untuk tidak berzina dengan perempuan yang memungkinkan untuk melakukannya.

Sanggahan Penulis: Apa yang dikatakan oleh pendapat tadi bahwa semua riwayat menunjukkan pemberian rukhshah dalam sebagian peperangan, kemudian Nabi saw melarangnya, kemudian beliau memberi rukhshah lagi sekali atau dua kali, kemudian beliau melarang lagi untuk selamanya. Pendapat ini sama sekali tidak sesuai dengan riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan sebelumnya. Hendaknya Anda mengkaji kembali riwayat-riwayat tersebut sehingga Anda tahu bahwa riwayat-riwayat itu mendustakan pendapat ini.

Pendapat tersebut juga mengatakan: Ahlussunnah memandang rukhshah dalam nikah mut`ah satu kali atau dua kali dengan tujuan sebagai tahapan untuk melarang perbuatan zina, seperti tahapan dalam mengharamkan khomar, keduanya adalah perbuatan keji yang tersebar pada zaman jahiliah, hanya saja perbuatan zina hanya tersebar di kalangan budak-budak perempuan bukan di kalangan perempuan-perempuan yang merdeka.

Sanggahan Penulis: Pernyataan bahwa rukhshah dalam nikah mut`ah sebagai tahapan untuk melarang perbuatan zina, mengharuskan pendapat tadi berkesimpulan bahwa nikah mut`ah adalah salah satu bentuk perzinaan, nikah mut`ah sama seperti perzinaan yang tersebar pada zaman jahiliah, kemudian untuk melarang perzinaan tersebut Nabi saw mengambil langkah tahapan yang halus dan lembut dengan membolehkan mut`ah agar para sahabatnya mau menerimanya, kemudian beliau melarang segala bentuk perzinaan kecuali mut`ah. Sehingga saat itu tinggal perzinaan dalam bentuk mut`ah, kemudian Nabi saw memberi rukhshah untuk melakukan zina dalam bentuk mut`ah, kemudian beliau melarangnya, kemudian memberi rukhshah lagi sampai waktu tertentu yang memungkinkan untuk melarangnya secara pasti, lalu beliau melarangnya untuk selamanya.

Demi Allah, sungguh pendapat tersebut telah mempermainkan syariat agama yang suci, yang Allah tidak menghendakinya kecuali untuk mensucikan ummat Rasulullah saw dan melengkapi nikmat atas mereka.

Kajilah dengan teliti pernyataan pendapat tadi:
Pertama: Ia telah menisbatkan kepada Nabi yang suci saw pelarangan nikah mut`ah, kemudian memberi rukhshah, kemudian melarang, kemudian memberi rukhshah lagi. Sementara ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil untuk mengharankan nikah mut`ah adalah ayat-ayat Makkiyah yaitu: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minun: 4-7).
Jadi, pendapat yang bersikeras itu telah menisbatkan kepada Nabi saw menasikh ayat-ayat tersebut. Denagan kata lain, menganggap Nabi saw memberi rukhshah, kemudian menghapus rukhshah tersebut dan menetapkan hukum yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut, kemudian menghapus kembali, kemudian menetapkan kembali. Coba Anda pikirkan, bukankah hal yang demikian itu berarti menisbatkan kepada Nabi yang suci sikap pelecehan terhadap kitab Allah?

Kedua: Ayat-ayat Al-Qur’an yang melarang perbuatan zina: Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya perbuatan zina adalah perbuatan keji, dan sesuatu yang buruk. (Al-Isra’: 32). Coba Anda bayangkan, adalah bahasa yang lebih jelas dari bahasa ayat ini, sementara ayat ini adalah ayat Makkiyah dan terdapat dalam rentetan ayat-ayat yang melarang perbuatan zina.

Katakan, marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu … dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. (Al-An`am: 151). Kata Fawâhisya bentuk jamak dari Fâhisya dan didahului oleh Al, dan terletak dalam kontek kalimat larangan. Ini berarti bahwa larangan itu mencakup seluruh perbuatan yang keji dan segala bentuk perzinaan, sementara ayat ini juga ayat Makkiyah.

Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan-perbuatan yang keji , baik yang tampak maupun yang tersembunyi. (Al-A`raf: 33). Demikian juga ayat telah kami sebutkan yaitu:

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al-Mu’minun: 4-7). Dua surat ini adalah surat Makkiyah, juga ayat-ayat (yang oleh pendapat tadi) dijadikan dasar untuk mengharamkan nikah mut`ah, dan juga ayat-ayat yang mengharamkan segala bentuk perzinaan adalah ayat Makkiyah.

Inilah ayat-ayat yang terpokok yang melarang perbuatan zina dan segala bentuk perbuatan keji, yang semuanya adalah ayat Makkiyah. Maka ayat yang mana lagi yang akan dijadikan dasar oleh pendapat tersebut untuk mengharamkan nikah mut`ah. Atau sebagaimana yang nampak dalam pendapatnya ia akan menggunakan Surat Al-Mu’minun: 5-7 untuk mengharamkan nikah mut`ah? Dengan asumsi Allah swt secara tegas mengharamkan nikah mu`ah, kemudian Nabi saw mengharamkannya secara bertahap dari rukhshah ke rukhshah dengan tujuan merayu manusia agar mau menerimanya. Sementara Allah swt menegaskan kecintaan-Nya kepada Nabi saw dengan cinta yang sebenarnya di dalam firman-Nya:

Sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka menjadikan kamu sebagai sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir sedikit cenderung kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah kami Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati … (Al-Isra’: 73-75).

Ketiga: Pemberian rukhshah yang dinisbatkan kepada Nabi saw. Dari rukhshah ke rukhshah yang lain. Jika pemberian rukhshah itu bukan ketentuan syariat yang membolehkan, dan yang semestinya nikah mut`ah termasuk perbuatan zina dan perbuatan keji, maka jelas pemberian rukhshah itu adalah sikap penentangan Nabi saw terhadap Tuhannya, padahal beliau ma`shum dengan pemeliharaan Allah swt. Dan jika rukhshah itu datang dari Tuhannya, berarti Allah telah memerintahkan untuk melakukan perbuatan keji. Sementara Allah swt dengan tegas menolak perbuatan keji:

Katakanlah, sesungguhnya Allah tidak menyuruh melakukan perbuatan keji. (Al-A`raf: 28).

Jika pemberian rukhshah itu dengan ketentuan syariat yang menghalalkan, berarti mut`ah itu bukan perbuatan zina dan keji, dan merupakan ketentuan syariat yang dibatasi dengan batasan-batasan tertentu, tidak tergolong pada peringkat-peringkat yang diharamkan.




Siapa sebenarnya yang melarang nikah mut’ah?

Dalam Ad-Durrul Mantsur, Abdurrazzaq dan Ibnu Mundzir meriwayatkan dari `Atha`, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Semoga Allah merahmati Umar bin Khattab, tidak ada mut`ah kecuali rahmat dari Allah untuk ummat Muhammad. Sekiranya Umar tidak melarangnya, niscaya ummat tidak melakukan perzinaan kecuali orang yang celaka. Selanjutnya Ibnu Abbas berkata: Mut`ah itu adalah suatu pernikahan yang ditetapkan di dalam firman Allah Surat An-Nisa’:24 sehingga demikian dan demikian, dari waktu demikian dan demikian. Kemudian Ia berkata: Dalam nikah mut`ah antara suami-isteri tidak ada waris, jika kedua saling merelakan setelah waktunya berakhir, itu suatu kenikmatan; jika keduanya berpisah, maka itu pun suatu kenikmatan dan antara keduanya tidak ada ikatan pernikahan. Ada juga riwayat yang bersumber dari `Atha` bahwa ia mendengar Ibnu Abbas berkata: Nikah mut`ah itu halal hingga sekarang.

Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Ad-Durrul Mantsur menyebutkan riwayat dari Abdurrazzaq dan Abu Dawud tentang ayat yang menasikh(menghapus) hukum nikah mut`ah. Ia ditanyai tentang ayat ini: Benarkah ayat ini dimansukh? Ia menjawab: Tidak. Ali bin Abi Thalib berkata: Kalau sekiranya Umar tidak melarang nikah mut`ah, niscaya tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka.

Dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Kami melakukan nikah mut`ah dengan mahar segenggam kurma dan gandum, beberapa hari pada zaman Rasulullah saw dan khalifah Abu Bakar, sehingga Umar melarangnya karena kasus Amer bin Huraits.

Dalam Ad-Durrul Mantsur, Malik dan Abdurrahman meriwayatkan dari Urwah bin Zubair bahwa pada suatu hari Khawlah binti Hakim datang dan melapor kepada Umar bin Khattab: Sesungguhnya Rabi`ah bin Umayyah melakukan mut`ah dengan seorang perempuan hingga ia hamil. Kemudian Umar keluar dari rumahnya sambil menarik-narik bajunya dan berkata: Inilah akibat mut`ah, kalau sekiranya aku sudah membuat keputusan tentangnya sebelumnya, niscaya aku rajam ia.

Dalam Kanzul Ummal, dari Sulaiman bin Yasar, dari Ummu Abdillah binti Abi Khaitsamah, ia berkata: Pada suatu ketika ada seorang laki-laki datang ke negeri Syam, dan ia tinggal di rumahku. Ia berkata, aku tidak tahan hidup sendirian, carikan aku perempuan untuk mut`ahi. Ummu Abdillah berkata: Aku tunjukkan padanya seorang perempuan, dan ia memenuhi persyaratannya dan berjanji untuk berlaku adil; kemudian ia tinggal bersama perempuan itu dan melakukan apa yang ia inginkan. Setelah ia pergi aku memberitakan kejadian itu kepada Umar bin Khattab, lalu ia mengirim utusan kepadaku dan bertanya: Benarkah kejadian itu? Ya, jawabku. Utusan itu berkata: Jika laki-laki itu benar-benar melakukannya, bawalah perempuan itu ke sini; jika laki-laki benar melakukannya, aku akan menceriterakan hal itu kepada Umar bin Khattab. Selajutnya Umar bin Khattab memanggilnya dan bertanya: Mengapa kamu melakukan hal itu? Laki-laki itu menjawab: Aku melakukan hal ini pada zaman Nabi saw dan beliau tidak melarangnya hingga beliau wafat. Dan hal yang sama juga aku lakukan pada zaman Abu Bakar dan ia tidak melarangnya sampai ia meninggal; kemudian aku lakukan pada zaman Anda, dan Anda pun belum pernah menceriterakan kepada kami dasar pelarangan melakukan hal ini. Kemudian Umar berkata: Demi Zat yang menguasai diriku, sekiranya kamu melakukan hal ini, niscaya aku rajam kamu. Kemudian laki-laki itu berkata: Jelaskan kepadaku sehingga jelas bagiku perbedaan antara nikah dan zina.

Dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad meriwayatkan dari `Atha`, ia berkata: Setelah Jabir bin Abdullah selesai melakukan umrah, kami berkunjung ke rumahnya, ketika itu ada sekelompok orang bertanya kepadanya tentang sesuatu, kemudian mereka menyebutkan mut`ah. Jabir berkata: Kami melakukan mut`ah pada masa Rasulullah saw, masa Abu Bakar, dan Umar bin Khattab. Menurut riwayat dari Ahmad, sehingga akhir masa kekhalifahan Umar bin Khattab.

Dalam Sunan Al-Baihaqi, dari Nafi`, dari Abdullah bin Umar, ketika ia ditanya tentang nikah mut`ah, ia berkata: Nikah mut`ah itu haram menurut Umar, dan sekiranya ada orang yang melakukannya, ia pasti merajamnya dengan batu.

Dalam Sunan Al-Baihaqi: Jabir berkata, Umar berdiri kemudian berkata: sesungguhnya Allah menghalalkan kepada Rasul-Nya apa yang diinginkan dengan apa yang diinginkan, maka hendaknya kamu menyempurnakan haji dan umrah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, dan hentikan melakukan nikah ini, tidak ada seorang pun laki-laki yang menikahi perempuan dengan waktu yang ditentukan kecuali aku rajam dia.

Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dari Umar bin Khattab, dalam khutbahnya ia berkata: Dua mut`ah ada pada zaman Rasulullah saw, akulah yang melarang keduanya dan memberikan sangsi atas keduanya: mut`ah haji dan nikah mut`ah.

Tidak ada komentar: