Selasa, November 24, 2009

Ayat tathir



Ayat Tathir

إِنَّما يُريدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكُمْ تَطْهيراً

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, (hai) Ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih- bersihnya.
Poros Pembahasan

Ayat Tathir merupakan salah satu ayat-ayat yang berkaitan dengan wilayah / kepemimpinan Imam Ali a.s. dan para Imam yang lain. Ayat yang setiap katanya lazim ditelaah ini, secara gamblang juga menginsyaratkan tentang kemaksuman para pribadiagung tersebut.
Mukadimah

Khitab ayat kedua puluh delapan hingga tiga puluh empat surah Al-Ahzab, ditujukan kepada para isteri nabi Saw, hanya saja di antara ketujuh ayat tersebut turun sebuah ayat yang dikenal dengan ayat Tathir dengan kandungan dan nada yang berbeda. Salah satu perbedaan itu adalah dhamir (kata ganti); dalam ayat-ayat sebelumnya sekitar 25 dhamir atau fi’il (kata kerja)berbentuk muannats (perempuan) dan setelah ayat ini juga terdapat dua dhamir dan kata kerja muannats pula. Sedangkan dhamir dan kata kerja yang berada dalam ayat Tathir seluruhnya berbentuk mudazkkarataudhamir yang mencakup kedua jenis atau dhamir yang tidak khusus mengarah kepada kaum perempuan, padahal ayat ini diapit oleh 27 dhamir muannats (khusus kaum hawa) sebelum dan sesudahnya.

Apakah ini sebuah kebetulan semata ataukah hal ini menyimpan sebuah filsafat tertentu?

Tanpa diragukan lagi, ini bukan sebuah kebetulan,melainkan terkandung sebuah rahasia dan sebab yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.

Jika kandungan ayat Tathir juga mencakup isteri-isteri Rasulullah Saw, lalu mengapa dhamir dan khitab dalam ayat tersebut berubah dan tidak memakai dhamir muannats seperti yang digunakan sebelum dan sesudahnya?

Hal ini secara yakin dapat dipahami bahwa kandungan ayat dan perubahan dhamir dan kata kerja yang terjadi mengindikasikan bahwa isteri-isteri nabi bukan yang dimaksud oleh ayat Tathir ini.
Penjelasan dan Tafsir
Ayat Tathir, Burhan Yang Jelas Atas Kemaksuman

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, setiap kata dari ayat mulia ini perlu dikaji dan direnungkan. Oleh karena itu setiap kata dari ayat ini akan kami bahas satu persatu berikut ini:

1. انما berarti hanya, yang menunjukkan hashr. Dari kata ini dapat dipahami bahwa dalam ayat ini terdapat hal yang tidak dimiliki oleh seluruh kaum muslimin, karena jika pada awalnya memang umum untuk mereka, tidak perlu kata ini disebut di dalamnya.

Dalam ayat ini, kotoran tidak dileyapkan dari semua kaum muslimin, akan tetapi khusus person-person yang telah disebut di sana. Di samping itu, kotoran yang dimaksud juga khusus bukan sembarang kotoran.

Hal ini disebabkanketakwaan yang biasa mencakup semua muslimin dan menghindar dari segala dosa merupakan kewajiban semua orang; sedangkan apa yang dimaksud oleh ayat ini tentu hal yang lebih tinggi dari sekedar ketakwaan biasa.

2. یرید الله Allah menghendaki. Apakah maksud dari kehendak Allah dalam ayat ini? Apakah kehendak itu Tasyri’iyahatau Takwiniyah?

Jawab: untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan secara ringkas arti dari dua iradah ini:

Iradah Tasyri’iyah adalah perintah Allah Swt, dengan kata lain iradah ini adalah kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan-Nya. Ayat seratus delapan puluh lima dari surah Al-Baqarah merupakan salah satu ayat yang menunjukkan iradah ini. Dalam ayat ini, setelah menjelaskan kewajiban puasa di bulan suci Ramadhan dan pengecualian kewajiban ini dari para musafir dan orang-orang yang sakit, Allah Swt berfirman:

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَ لاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

”Allah menghendaki kemudahan kalian bukan kesulitan.”

Maksud kehendak Allah dalam ayat ini adalah iradah tasyri’iyah; artinya hukum Allah Swt tentang puasa di bulan Ramadhan adalah hukum yang mudah dan tidak berat; bahkan seluruh hukum Islam bukanlah hukum yang sulit. Oleh karena itu Rasulullah Saw bersabda:

بعثت اليکم بالحنفية السمحة السهلة

” Aku diutus kepada kalian dengan syariat yang mudah.”[1]

Iradah takwiniyahberarti penciptaan; artinya kehendak Allah Swt untuk menciptakan sesuatu atau seseorang.

Contoh iradah ini dapat dijumpai pada ayat delapan puluh dua surah Yasin, di mana Allah berfirman:

إِنَّما أَمْرُهُ إِذا أَرادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

” Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:" Jadilah!" maka terjadilah ia.” Maksud kehendak Allah dalam ayat ini adalah kehendak takwiniyah (penciptaan). Allah Swt Mahakuasa, jika Dia berkehendak untuk menciptakan dunia yang unik dan megah yang sedang kita tinggali ini untuk kedua kalinya, maka itu hanya dengan sekedar memberikan sebuah perintah saja. Bagaimana tidak, Dia Dzat Yang Mahakuasa, dan menurut para ilmuwan, matahari dunia itu besarnya satu juta dua ratus ribu kali lipat besar bumi dan di tata surya terdapat sekitar seratus milyard bintang di mana ukuran sedangnya saja sama dengan ukuran matahari.

Dengan demikian, sedikit banyak kita sudah mengenal dua kehendak Allah Swt di atas. Pertanyaannya sekarang ayat Tathir berkaitan dengan kehendak Allah yang manakah? Artinya apakah Allah menghendaki Ahlul bait a.s. suci dari segala kotoran dan ingin mereka menjauhinya? Atau apakah Allah sendiri yang menjauhkan mereka dari kotoran itu?

Jawab: tanpa diragukan lagi maksud dari kehendak Allah di sini adalah iradah takwiniyah; karena perintah takwa dan menjauhi segala dosa bukan khusus Ahlul bait a.s. akan tetapi semua umat Islam terkena kewajiban ini, dan pada pembahasan sebelumnya telah dipahami bahwa kata انما mengisyaratkan bahwa ini adalah hal yang istimewa yang tidak dimiliki seluruh umat Islam.

Dengan demikian, Allah dengan kehendak takwiniyah-Nya menganugerahkan sebuah kekuatan kemaksuman yang dapat menjaga mereka dari berbagai kesalahan dan dosa serta senantiasa menjaga mereka tetap suci darinya.

Soal: apakah kekuatan ishmah para maksum ini bukan sebuah keterpaksaan? Dengan kata lain, apakah mereka tidak memiliki pilihan untuk melakukan dosa dan tanpa ikhtiar pula mereka melaksanakan segala perintah Allah Swt?

Dengan ungkapan ketiga, apakah jika mereka menginginkan untuk berbuat kesalahan atau dosa, mereka tidak kuasa melakukannya? Jika demikian, makam ishmah bukan hal yang dapat dibanggakan.

Jawab: sesuatu yang mustahil dapat dibagi kepada dua bentuk; mustahil secara logis dan mustahil dari sisi kebiasaan sehari-hari.

Mustahil secara logis adalah sesuatu secara akal sehat tidak mungkin terjadi, seperti pada satu waktu, kita katakan siang hari dan pada waktu itu pula kita katakan malam hari, secara logis ini tidak mungkin terjadi dan mustahil. Atau contoh lain, buku yang sedang kita telaah memiliki 400 halaman tapi kita juga mengatakan buku itu setebal 500 halaman, ini mustahil terjadi, karena secara akal sehat tidak mungkin dua hal yang saling bertentangan dapat bersatu.

Akan tetapi, terkadang sebuah hal secara akal sehat dapat terjadi namun biasanya kebiasaan manusia tidak melakukannya; seperti tidak ada orang yang berakal sehat mau berjalan dengan tanpa busana di gang-gang atau di jalanan. Hal ini secara akal dapat terwujud tapi hal ini tidak biasa terjadi. Oleh karena itu seluruh manusia terjaga dari pekerjaan semacam ini; karena akal sehat dan tidak pernah membolehkan manusia untuk melakukan hal yang buruk semacam itu.

Lebih dari itu, kita akan menemukan sebagian manusia maksum dari hal-hal lain, sebagai contoh musthail seorang ulama tersohor meminum minuman keras pada hari kedua puluh satu bulan suci Ramadhan di dalam mihrab masjid, di atas sajadahnya serta di depan para khalayak.

Pekerjaan ini secara logis dapat terjadi dan dibayangkan, namun secara adat dan kebiasaan itu sulit terjadi; karena posisi dan kepribadian seseorang mencegah hal itu terjadi.

Para maksum terjaga dari semua dosa dan kesalahan, artinya kendati secara logis mungkin saja mereka melakukan penyimpangan, akan tetapi pekerjaan itu mustahil muncul dari mereka; karena ketakwaan dan ilmu mereka terhadap semua dosa begitu gamblang seperti ilmu orang biasa terhadap buruknya bertelanjang keluar dari rumah, manusia biasa terhindar dari pekerjaan semacam ini maka para maksum juga demikian mereka terhindar dari dosa dan nista.

Dengan demikian, ishmah bukan sebuah keterpaksaan dan juga tidak bisa dikatakan bahwa ishmah telah membelenggu ikhtiar mereka untuk melakukan sesuatu.

Konglusinya, kehendak Allah dalam ayat ini adalah iradah takwiniyah dan ishmah tidak melenyapkan ikhtiar dan keinginan para imam sehingga memaksa mereka untuk menjauhi dosa, akan tetapi mereka secara utuh dan sadar memiliki ikhtiar juga.

3. Apakah maksud dari kata الرجس ?

Kata ini berarti kotoran; ia terkadang digunakan untuk kotoran materi terkadang untuk kotoran non materi dan terkadang pula digunakan untuk kedua-duanya. Hal ini sesuai dengan apa yang ungkapkan oleh Ragib dalam kitab Mufradatnya.

Untuk ketiganya, kami akan membawakan bukti dari ayat-ayat al-Quran:

a. Kotoran sipiritual: dalam ayat seratus dua puluh lima surah At-Taubah, disebutkan:

وَ أَمَّا الَّذينَ في قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزادَتْهُمْ رِجْساً إِلَى رِجْسِهِمْ وَ ماتُوا وَ هُمْ كافِرُونَ

” Dan sedangkan mereka yang terdapat penyakit dalam hati mereka, maka kotoran akan bertambah atas kotoran mereka; dan mereka mati dalam keadaan ingkar dan kafir.”

Ungkapan “في قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ” (dalam hati mereka terdapat kotoran), biasanya digunakan untuk kaum munafik dan tanpa diragukan lagi kemunafikan merupakan sebuah penyakit jiwa.

b. Kotoran materi dan dhahir: dalam ayat seratus empat puluh lima surah Al-An'am kita membaca:

قُلْ لا أَجِدُ في ما أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلى طاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ ...

" Katakanlah (wahai Rasulullah) aku tidak mendapatkan di dalam wahyu yang aku terima (makanan) yang haram selain bangkai atau darah (hewan yang tumpah keluar dari badannya) atau daging babi, karena sesungguhnya semua benda (di atas) itu rijs dan kotoran...”.

Sangat gamblang sekali jika rijs dalam ayat ini adalah kotoran dhahir.

c. Kotoran maknawi dan dhahiri: rijs yang terdapat dalam ayat sembilan puluh surah Al-Ma'idah digunakan untuk kedua makna; dalam ayat itu disebutkan:

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَ الْمَيْسِرُ وَ الْأَنْصابُ وَ الْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

" Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamr, judidan mengundi nasib, itu kotoran dari perbuatan setan, maka jauhilah supaya kalian beruntung."

Rijs dalam ayat mulia ini, berarti kotoran dhahir juga bermakna kotoran batin; karena minuman keras termasuk hal dhahir sedang perjudian dan mengundi nasib adalah kotoran batin.

Dengan demikian, rijs dalam ayat-ayat Al-Quran memiliki arti umum dan mencakup kotoran dhahir, batin, moral, teologi, ruhani, ragawi dan yang lain. Oleh karena itu, Allah Swt dalam ayat Tathir dengan kehendak takwiniyah-Nya menginginkan untuk menyucikan Ahlul bait a.s. dari segala kotoran dan nista dengan seluruh pengertiannya.

Dalil kami bahwa kotoran itu universal mencakup hal materi maupun non materi adalah kemutlakan kata ini, artinya karena kata ini tidak dibatasi oleh hal-hal lain atau tidak disyaratkan dengan syarat lain.

ويطهركم تطهيرا kalimat ini pada dasarnya penjelas dari kalimat sebelumnya ليذهب عنكم الرجس اهل البيت .

Sesuai ayat ini, Ahlul bait a.s. tersucikan dari segala noda dan nista dan dengan kehendak takwiniyah Allah Swt mereka suci dan maksum.
Siapakah Ahlul bait itu?

Dari ayat Tathir yang mulia telah kita pahami bahwa Ahlul bait memiliki keistimewaan lebih dari para muslim lain yaitu kesucian dan kemaksuman yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Akan tetapi pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah sipakah mereka itu? Siapakah gerangan sosok-sosok yang disucikan tersebut?

Begitu banyak pendapat yang mengemuka sehubungan dengan jawaban soal ini, berikut ini empat pendapat darinya:

1. Sebagian ahli tafsir dari kalangan Ahli sunah menafsirkan bahwa Ahlul bait adalah isteri-isteri Nabi Saw.[2] Sesuai penafsiran ini, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain tidak termasuk Ahlul bait. Dengan ungkapan lain Ahlul bait adalah kerabat nabi dari sisi sabab (yang disebabkan oleh perkawinan) dan tidak ada famili beliau dari sisi nasab yang tergolong di dalamnya.

Dalil mereka adalah ayat Tathir terletak di antara ayat-ayat yang turun berkenaan dengan isteri-isteri Nabi Saw, ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Jadi konteks ayat menuntut ayat mulia ini juga berkaitan dengan mereka.

Akan tetapi pendapat ini tidak dapat dibenarkan, dengan tiga dalil:

Pertama, sebagimana telah disebutkan dalam lima ayat sebelumnya dan pada awal ayat ketiga puluh tiga surah Al-Ahzab seluruh dhamir dan fi'ilnya disebut dengan bentuk muannats. Begitu juga dalam ayat setelahnya terdapat dua fiil dan dhamir yang sama. Sedangkan semua dhamir ayat ini berbentuk mudzakkar atau dhamir dan fiilnya tidak khusus untuk para wanta.

Oleh karena itu, dengan memperhatikan bahwa Al-Quran adalah firman Allah Swt yangfasih maka pastilah perubahan dhamir dan fiil memiliki maksud khusus dan jelas maksud dari Ahlul bait adalah sosok selain isteri nabi di mana Allah membedakan konteks ayat ini dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.

Dengan demikian, sesuai penjelasan ini tidak mungkin para isteri nabi yang dimaksud dengan Ahlul bait, dan harus sosok lain yang penetapannya butuh pada pembuktian dan dalil.

Dalil kedua yang membantah kebenaran pendapat ini adalah dengan memperhatikan penjelasan dan tafsir ayat mulia ini, Ahlul bait memiliki kriteria khusus yaitu kemaksuman yang mutlak. Pertanyaannya sekarang, adakah ulama syi'ah maupun Ahli sunah yang mengatakan bahwa para isteri nabi itu maksum? Kendati mayoritas isteri-isteri nabi merupakan orang-orang yang baik, namun tidak mungkin diklaim mereka orang-orang yang maksum, malah sebaliknya dengan berbagai bukti yang gamblang dapat dikatakan sebagian dari mereka telah melakukan sebuah kesalahan fatal. Berikut ini satu contoh dari kesalahan tersebut:

Ali bin Abi Thalib a.s. merupakan satu-satunya khalifah yang selain dilantik oleh Allah secara langsung juga seorang Imam yang mendapat kepercayaan dan pilihan dari masyarakat. Pemilihan itu juga jauh berbeda dengan ketiga khalifah sebelumnya; karena khalifah pertama terpilih melalui beberapa orangdi Tsaqifah Bany Sa'idah di mana kemudian masyarakat terpaksa membai'atnya. Khalifah kedua menaiki singgasana dengan mandat dari khalifah pertama. Khalifah ketiga juga terpilih sebagai pemimpin hanya melalui tiga suara dari enam suara yang telah ditunjuk. Akan tetapi Ali bn Abi Thalib a.s. mencapai haknya dengan dorongan dari masyarakat yang berbondong-bondong membai'at beliau. Bai'at umat manusia kepada beliau saat itu begitu dahsyatnya di mana beliau sendiri menuturkan:" Aku takut Hasan dan Husain terinjak-injak oleh kaki-kakimereka."[3]

Akan tetapi, (sungguh sayang sekali) salah satu isteri Nabi Saw,telah memberontak dan bangkit melawan pemimpin dan khalifah Rasulullah yang hak. Dia keluar dari kota Madinah dengan menunggangi onta menuju kota Bashrah dan melanggar perintah Rasul yang ditujukan kepada semua isterinya untuk tidak keluar dari rumah setelah kematian beliau. Saat tiba di kawasan Hau'ab dan mendengar gongongan anjing dia (Aisyah) teringat sabda Rasulullah yang bersabda:" Salah satu dari kalian akan menunggangi onta keluar dari Madinah dan akan tiba di kawasan Hau'ab dan di sana dia akan mendengarlolongan anjing, dia (pada dasarnya) telah keluar dari jalan Allah Swt."

Isteri nabi itu setelah mendengar bahwa kawasan yang sedang diinjak adalah Hau'ab akhirnya berniat untuk kembali; akan tetapi para provokator yang merancang peperangan Jamal memperdaya dan membujuknya untuk tetap melanjutkan perjalanan.[4]

Apakah seorang perempuan semacam ini yang melanggar perintah Rasulullah, menentang imam zamannya dan berperang melawan khalifah serta penyebab tumpahnya darah tujuh belas ribu muslim,dianggap sebagai seorang yang maksum dan jauh dari noda dan nista?

Yang lebih menarik lagi, dia sendiri mengakui kesalahannya dan menjustifikasinya (kendati alasannya itu tidak dapat diterima). Sebagian ulama fanatik Ahli sunah menganggap tindakan itu sebagai ijtihad dan tidak bisa ulahnyaitu dipersoalkan.

Apakah perkataan ini dapat dibenarkan? Apakah ijtihad di hadapan khalifah Rasul yang hak, di mana sang Khalifah menurut Aisyah sendiri adalah "manusia terbaik” dianggap ijtihad yang sahih? Jika hal ini kita terima, maka tidak ada lagi orang yang berdosa, karena setiap kesalahan selalu dijustifikasi dengan busana ijtihad, istinbath dan semacamnya.

Hasilnya, perang jamal tidak dapat dijustifikasi secara logis dan tanpa keraguanlagi perancang perang ini adalah orang-orang yang bersalah dan tidak mungkin mereka dianggap bersih dari noda dan nista.

1. Pendapat kedua mengatakan maksud dari Ahlul bait adalah Rasulullah Saw, Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan isteri-isteri beliau.[5]

Sesuai pendapat ini maka isyakalan pertama yang mengarah kepada pendapat pertama dapat dihilangkan; karena sekelompok laki-laki dan perempuan dapat diseru dengan dhamir mudzakkar. Akan tetapi dua isykalan lainnya masih belum terselesaikan yang berkaitan dengan para isteri nabi. Dengan demikian pendapat ini juga tidak dapat dibenarkan.

1. Sebagian dari para mufasir menyatakan bahwa Ahlul bait dalam ayat mulia ini adalah para penduduk kota Mekkah dan mengatakan: maksud dari al-Bait yang ada pada kata Ahlul bait adalah rumah Allah, Ka'bah, oleh karena itu mereka yang tinggal di kota Mekkah berarti Ahlul bait.

Kesalahan pendapat ini begitu gamblang sekali, di mana dua isykalan pendapat pertama juga masuk di sana, selain itu keutamaan apakah yang membuat penduduk kota Mekkah lebih unggul dari penduduk kota Madinah sehingga mereka dijauhkan dari dosa dan kesalahan?

1. Pendapat keempat adalah pendapat seluruh ulama Syi'ah yang tidak memiliki isykalan-isykalan di atas. Pendapat itu adalah Ahlul bait yang dimaksud oleh ayat mulia itu adalah sosok-sosok tertentu keluarga nabi yang tak lain adalah: Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan ketuanya sendiri, Rasulullah Saw.

Bukti kebenaran pendapat ini adalah pendapat ini jauh dari tiga isykalan di atas. Di samping itu, terdapat banyak riwayat yang menguatkan pendapat keempat ini. Allamah Thaba'thai dalam Al-Mizan menaksir riwayat tersebut sebanyak tujuh puluhan.[6]

Dan yang menarik adalah mayoritas riwayat itu disebut di dalam kitab-kitab hadis standar Ahli sunah, di antaranya:

1. Shahih Muslim.[7] 2. Shahih Tirmizi.[8] 3. Al-Mustadrak 'Ala Shahihain.[9] 4. As-Sunanul Kubra.[10] 5. Ad-Durul mantsur.[11] 6. Syawahid Tanzil.[12] 7. Musnad Ahmad.[13]

Oleh karena itu, riwayat-riwayat yang menafsirkan bahwa Ahlul bait adalah lima sosok Ali 'Aba' dari sisi kuantitas begitu banyak selain itu juga riwayat-riwayat tersebut tercatat dalam kitab-kitab standar Ahli sunah.

Fakhrur razi berkenaan dengan kuantitas riwayat ini dan kwalitasnya mengungkapkan sebuah penyataan menarik yang dibawakannya saat menafsirkan ayat Mubahalah (ayat 161 surah Ali Imran):" Dan ketahuilah, sesungguhnya riwayat ini merupakan riwayat yang disepakati kesahihannya oleh ahli tafsir dan hadis."[14]

Hasilnya, riwayat-riwayat yang menafsirkan Ahlul bait ini dari sisi kuantitasdan kualitasnya sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Dari sekian banyak riwayat itu kami akan membawakan satu riwayat saja yaitu hadis Kisa'.

Hadis Kisa' telah dinukil dengan dua bentuk; terperinci dan ringkas.

Hadis Kisa' yang terperinci yang biasanya dibaca untuk menyembuhkan penyakit dan menyelesaikan berbagai masalah dan problem, bukan hadis yang mutawatir. Akan tetapi hadis singkatnya merupakan hadis mutawatir di mana kandungannya berbunyi demikian:" Pada satu hari, Nabi Saw diberi sebuah kain, Rasul meminta Ali, Fatimah, Hasan dan husain. Saat mereka datang beliau membeberkain itu dan menaruhnya di atas kepala mereka, kemudian beliau berdoa:" Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah Ahlul baitku, singkirkanlah kotoran dari mereka. Kemudian Jibril datang dan membawa ayat Tathir tersebut."

Dalam kitab-kitab Ahli sunah terdapat ungkapan berikut ini, di mana Ummi Salamah (salah seorang isteri nabi yang lain) mendekat dan meminta Rasul untuk menutupinya dengan kain itu jugaikut serta bergabung dengan mereka. Rasulullah Saw bersabda: “Kamu orang yang baik, akan tetapi tempatmu bukan di sini.”[15]

Dalam hadis lain ungkapan ini dinukil dari Aisyah.[16]

Dengan demikian, sesuai riwayat ini maksud dari Ahlul bait adalah lima orang Ahli kisa'.

Soal: Apa filsafat dari hal ini semua? Kenapa Rasulullah Saw menutup mereka dengan kain seperti itu dan mengucapkan hal itu kepada kelurga beliau sendiri? Kenapa Ummi Salamah atau Aisyah dilarang oleh beliau untuk bergabung?

Jawab: tujuan Rasulullah Saw melakukan prosesi detail semacam ini adalah sebuah upaya pemisahan. Beliau igin menperkenalkan Ahlul bait tanpa pertanyaan susulan dan isykalan serta berupaya membuang kesamaran dan kemujmalan sehingga masyarakt di masa itu dan selanjutnya tahu atau tidak, tidak lagi memasuk-masukkan orang-orang lain ke dalam definisi Ahlul bait.

Atas dasar ini, beliau juga tidak mencukupkan diri dengan prosesi itu, akan tetapi beliau melakukan hal yang sangat menarik lagi, yang disebut dalam banyak sumber,di antaranya di dalam kitab Syawahid Tanzil (sesuai penuturanAnas bin Malik, pembantu khusus Rasul), Rasulullah Saw setelah peristiwa itu, setiap hari setelah azan Subuh dan sebelum didirikannya shalat jama'ah selalu berdiri di depan rumah Ali dan Fatimah dan mengulang-ulang kalimat berikut ini:” Shalat, wahai Ahlul bait.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, (hai) Ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih- bersihnya.”

Pekerjaan ini dilakukan oleh Rasulullah Saw selama enam bulan berturut-turut.[17]

Riwayat ini juga dinukil dari sahabat Abu said Al-Khudri, di mana dia bertutur:" Rasulullah melakukan hal ini setiap subuh selama delapan bulan."[18]

Bisa jadi, Rasulullah melanjutkan tindakan ini, hanya saja Anas bin Malik tidak melihat lebih dari enam bulan sedang Abu Said tidak lebih dari delapan bulan.[19]

Oleh karena itu, tujuan Rasulullah Saw dari tindakannya ini adalah memisahkan Ahlul bait dari orang lain dan menentukan mereka secara sempurna dan gamblang. Hal ini telah terlaksana secara baik, karena kita tidak akan mendapatkan hal lain yang diulang-ulang oleh beliau selain masalah ini. Dengan demikian, dengan berbagai penekanan dan penjelasan itu apakah adil jika kita menafsirkan Ahlul bait dengan selain lima sosok agung di atas?

Sebuah soal, dalam masalah yang sangat gamblang seperti ini, di mana kejelasannya laksana siang hari, mengapa masih ada segelintir orang yang tersesat dan berupaya menyesatkan orang lain?

Jawaban soal ini juga gamblang sekali dan itu adalah dikarenakan tafsir bi ray dan praduga,telah menutupi pandangan mereka. Gelapnya penutup ini begitu tebal sehingga mereka tidak melihat terangnya siang hari atau sebagain dari mereka tidak mau menerima sama sekali kenyataan seperti ini.
Jawaban terhadap Beberapa Pertanyaan

Telah muncul beberapa pertanyan seputar ayat Tathir, berikut ini beberapa contoh darinya beserta beberapa jawaban singkatnya:

Soal pertama, akhir kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat Tathir adalah kemaksuman Ahlul bait, artinya Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan Rasulullah sendiri adalah pribadi-pribadi yang terjaga dari dosa dan kesalahan, akan tetapi apa kaitan dan hubungan ayat ini dengan masalah wilayah dan imamah?

Dengan kata lain pembahasan kita berkaitan dengan ayat-ayat yang menunujukkan wilayah dan imamah Amirul mukminin Ali a.s. dan ayat di atas tidak ada hubungannya dengan hal wilayah, hanya kemaksuman beliau saja yang dapat dibuktikan dengannya. Lalu mengapa kita berdalil dengan ayat ini untuk masalah wilayah beliau?

Jawab: jika masalah Ishmah untuk Ahlul biat telah dibuktikan, maka secara tidak langsung masalah imamah mereka juga telah dibuktikan, karena sebagimana telah dijelaskan imam adalah sosok yang ditaati tanpa syarat dan kaid, dan seseorang yang semacam ini adalah seorang yang maksum. Dari sisi lain, jika imam harus dilantik atau dipilih, maka selagiada orang yang maksum tidak perlu kita pergi kepada orang yang tidak maksum.

Allah Swt dalam ayat 124 surah Al-Baqarah saat mendengar doa Ibrahim a.s. yang sudah dilantik sebagai seorang yang berdoa agar anak cucunya juga mendapat gelar agung ini, berfirman:

لا ینال عهدی الظالمین

" makam (imamah-)Ku ini tidak akan sampai kepada orang-orang yang zalim."

Dengan demikian ishmah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari imamah dan barangsipa yang sebelum menerima makam ini berlumuran dengan dosa dan kesalahan tidak pantas untuk menjadi seorang imam dan pemimpin.

Pertanyaan kedua, kita menerima bahwa seorang imam harus maksum; akan tetapi apakah setiap orang yang maksum harus menjadi imam? Bukankah sayyidah Zahra' s.a. adalah sosok maksum, lalu mengapa beliau tidak menjadi seorang Imam?

Jawab: ishmah di kalangan wanita tidak melazimkan imamah, berbeda dengan kalangan laki-laki.

Pertanyaan ketiga: dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa perbedaan dhamir dalam ayat tathir dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya membuat khitab ayat ini bukan para isteri nabi, padahal perbedaan semacam ini juga terjadi padatempat lain di dalam al-Quran, seperti yang terdapat dalam ayat 73 surah Hud, yang menceritakan nabi Ibrahim menjadi sorang ayah di waktu masa tua. Allah berfirman:

قالُوا أَ تَعْجَبينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَتُ اللَّهِ وَ بَرَكاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَميدٌ مَجيدٌ

“Para malaikat itu berkata:" Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? ( Itu adalah ) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah."

Dalam ayat ini isteri nabi Ibrahim menjadi Mukhatab, hanya saja di sini digunakan dhamir mudzakkar, عَلَيْكُمْ?

Jawab: tujuan dari fiil (kata kerja) تَعْجَبينَ adalah isteri nabi Ibrahim saja, sedang عَلَيْكُمْ mengarah kepada seluruh anggota keluarga beliau, laki maupun perempuan, sedang ayat tathir sebagaimana telah dijelaskan tidak termasuk mukhatabnya ayat ini baik secara independen maupun di samping lima Ali aba.

Pertanyaan keempat: jika mukhatab ayat tathir hanya lima orang saja, lalu mengapa ayat ini diletakkan diantara ayat-ayat yang berkaitan dengan isteri-isteri nabi Saw?

Jawab: sebagaimana dijelaskan oleh Allamah Thaba’thabai dan ulama lain, seluruh ayat al-Quran tidak turun secara bersamaan, bahkan satu ayat sekalipun terkadang tidak turun sekaligus. Akan tetapi ayat-ayat itu turun sesuai keperluan dan peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, bisa jadi pada satu waktu kisah para isteri nabi terjadi sehingga turun ayat-ayat yang berkaitan dengan mereka dan setelah beberapa waktu, kisah Ashhab kisa’ dan permintaan nabi untuk penyucian mereka terjadi maka turunlahayat tathir. Dengan demikian, tidak pasti seluruh ayat al-Quran mempunyai ikatan khusus satu sama lain.

Kongklusinya, ayat tathir ini dapat digunakan untuk menetapkan kemaksuman lima orang Ali aba juga dapat digunakan untuk menetapkan kepemimpinan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.

[1] Biharul anwar, jilid 65, halaman 346.
[2] Qurthubi, dalam tafsir Al-Furqan, jilid 6, halaman 5264. Pendapat ini dinukil dari Zujaj.
[3] Nahjul balaghah, khutbah ketiga (Khutbah Syiqsyiqiyah).
[4] Syarah Nahjul balaghah, Ibnu Abil Hadid, jlid 6, halaman 225. (Sesuai penukilan Tarjamah wa Syarh Nahjil balaghah, jilid 1, halaman 403).
[5]At-Tafsirul Kabir, jilid 25, halaman 209.
[6] Al-Mizan, penerjemah, jilid 23 halaman 178.

Pertanyaan Seputar Ayat Tathir

Dapatkah dikatakan lantaran ayat tathir tersebut terletak di tengah-tengah redaksi ayat maka ia tidak memiliki makna hashr (pembatasan)? Siapa sebenarnya yang disebut Ahlulbait?

Dalam menjawab pertanyaan pertama bisa dikatakan bahwa: ayat tathir ini berada ditengah-tengah ayat, dimana hal itu menandaskan bahwa konteksnya sejalan atau sama dengan subjek yang ada sebelum dan sesudahnya. Dan jika tidak ada bentuk pengkhususan atas istri-istri Nabi Saw maka minimalnya secara umum dapat mencakup mereka. Namun perlu diperhatikan bahwa:

Pertama: Anggaplah hal semacam ini bisa diterima, dimana ia tidak lebih dari sebuah bentuk atau model presentasi dan ini tidak akan mampu menghadapi argumen-argumen kuat. Mesti dan harus berlepas tangan dari indikasi semacam ini demi adanya indikasi-indikasi lain yang tentunya lebih kuat.

Kedua: konteks ayat-ayat ini tidak mengarah kepada bahwa ayat tathir juga mencakup istri-istri Nabi Saw.

Poin pertama: Adanya kalimat sisipan dalam sebuah ungkapan/perkataan dan tulisan dapat merusak tulisan dan ungkapan tersebut, namun jika disertai oleh sebuah indikasi atau qarinah maka tidak hanya bertentangan dengan kaidah retorika (balaghah) dan elokuensi (fashahah) tapi justru akan lebih memperindah ungkapan atau tulisan tersebut. Dengan demikian, tidak begitu esensial untuk mengatakan bahwa apa yang ada pada ayat tathir tersebut juga mencakup istri-istri Nabi Saw dengan alasan ayat tersebut berada di antara ayat-ayat yang sedang berbicara kepada istri-istri Nabi Saw, karena mungkin saja kalimat sisipan ini menyiratkan kepada pribadi-pribadi yang jelas “ashab al kisa” dan khusus untuk mereka saja dan ada banyak indikasi-indikasi yang mendasari klaim ini, di antaranya adalah:

1. Berdasarkan substansi sekumpulan riwayat, ayat tathir turun secara sendiri dan Nabi Saw, untuk menolak adanya kecurigaan bahwa Ahlulbait dan istri-istri Nabi saw adalah dua hal yang terpisah, memerintahkan supaya ayat yang dimaksud dalam hal ini dimuat serta diketahui sehingga tidak ada lagi orang yang berangan-angan bahwa Ahlulbait As sama halnya dengan istri-istri Nabi saw dimana tidak menutup kemungkinan untuk lebih memilih kehidupan dunia yang hina ini daripada Nabi Muhammad Saw dan lain sebagainya.

2. Irama ungkapan Allah SWT dalam ayat ini berubah dan kemudian menggunakan dhamir (pronoun) bentuk plural untuk laki-laki, sementara ayat ini berbicara kepada istri-istri Nabi Saw.

3. Sesuai pandangan pakar bahasa, kata ahl dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk istri, kecuali secara majazi saja. Berdasarkan hal ini, setelah ayat tathir turun Ummu Salamah meminta kepada Nabi saw untuk memasukkan ia sebagai bagian dari Ahlulbait As. Bukti dari klaim ini adalah Zaid bin Arqam mengatakan bahwa istilah Ahlulbait itu bukan mengenai istri-istri.

4. Tak ada satu pun dari istri-istri Nabi saw yang mengklaim bahwa ayat ini turun berkaitan dengan mereka, padahal Aisyah pada perang Jamal sangat membutuhkan dalil dan argumen semacam ini.

5. Kata turidna dalam ayat 29 surat al Ahzab mengisahkan bahwa Allah SWT tidak punya keinginan dan perhatian khusus kepada Istri-istri Nabi Saw, tapi memiliki perhatian dan kehendak takwini terhadap Ahlulbait As yang tidak bisa diingkari dimana mereka dijauhkan dari segala macam bentuk kekotoran.

6. Alif dan lam pada kata Ahlulbait, dalam istilah ilmu nahwu, disebut ‘ahd khariji atau ‘ahdi hudhuri (yakni hadir ketika dibicarakan), dimana ia menunjuk kepada peristiwa terkenal ashabul kisa. Oleh sebab itu, kata Ahlulbait sama halnya seperti alu ‘abai, ash habul kisa dan yaumuddar.

Poin kedua: Dalam ayat-ayat ini Nabi saw diposisikan sebagai lawan bicara dan supaya mengatakan kepada istri-istrinya. Al-Quran mengatakan:”ya ayyuhannabi qul liazwaajika...(wahai nabi katakanlah kepada istri-istrimu...).

Selanjutnya Allah Swt juga menujukan khitab (ungkapan) tersebut kepada baiturrisalah dan maqamunnubuwwah (maqam kenabian), untuk menginformasikan bahwa sebab dari semua perintah dan larangan kepada istri-istri Nabi Saw tersebut adalah supaya Ahlulbait As terhindar dari tudingan berbuat kekejian; karena Allah SWT telah menghendaki bahwa Ahlulbait As akan dijauhkan dari berbagai bentuk kekotoran dan keburukan. Jadi konteksnya juga tidak paradoks dengan adanya pembatasan ayat tathir hanya pada Ash habul kisa.

Adapun jawaban untuk pertanyaan kedua adalah: Berdasarkan penjelasan sebelumnya, mungkin tidak perlu lagi diulangi untuk kedua kalinya dan cukup ditegaskan saja bahwa dalam beberapa riwayat mutawatir dikatakan; yang dimaksud dengan Ahlulbait As adalah Rasulullah saw, Imam Ali As, Hadrat Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As dan juga mencakup seluruh Imam (sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat tathir).
Penjelasan Detail:

Hal yang dijadikan landasan dan sandaran pada pertanyaan di atas sama seperti apa yang dituturkan oleh sebagian yang lain, yaitu dikatakan bahwa ayat tathir tersebut terletak di akhir ayat-ayat yang ada kaitannya dengan istri-istri Nabi Saw. Kalau hal tersebut tidak dikhususkan untuk istri-istri Nabi Saw, maka minimalnya secara umum bisa mencakup mereka (istri-istri Nabi saw). Klaim semisal ini tidak memiliki landasan argumen dan selain itu ada banyak dalil yang mencoba menafikan klaim di atas.

Dengan memfokuskan pikiran pada poin-poin dibawah ini akan dapat membantu kita untuk menemukan hakikat yang sebenarnya:

1. Meski kita punya keyakinan bahwa Al-Quran pada masa hidup Nabi Saw telah disusun dan dikodifikasi langsung oleh beliau, namun perlu dimaklumi bahwa substansi sebagian riwayat-riwayat menyiratkan bahwa ayat tathir itu turun secara sendiri (tanpa disertai ayat-ayat lain) dan bahkan tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini (ayat tathir) turun bersamaan dengan ayat-ayat yang ada kaitannya dengan istri-istri Nabi saw (ayat 28 dan 29 surah al-Ahzab). Buktinya adalah kalau ayat ini diambil dari sini maka tidak akan merusak keselarasan dan hubungannya.[1] Kalau pada bagian ini telah dimuat, itu karena Al-Quran menunjuk kepada seluruh anggota keluarga Nabi Saw dan mereka itu dibagi menjadi dua kelompok, sebagiannya adalah para istri Nabi Saw dan sebagiannya lagi adalah Ahlulbait Rasulullah saw, dan (Alquran) hendak menginformasikan bahwa seluruh sanak keluarga Nabi saw tersebut tidak berasal dari satu sumber yang sama, tapi diantara mereka ada kelompok khusus yang memperoleh anugerah serta inayah khusus langsung dari Allah SWT serta disucikan dari segala bentuk ketidaksucian. Ibarat lainnya, kalau pun kita mencoba menerima bahwa pada ayat-ayat sebelum dan sesudahnya adalah ayat-ayat yang ditujukan kepada istri-istri Nabi saw maka kita masih punya dua cara lain untuk membuktikan kalau yang dimaksud Ahlulbait As hanya ash habul kisa; yakni Rasulullah saw, Imam Ali As, Sayyidah Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As. Pertama: Iltifât: Iltifat merupakan salah satu metode dalam menjelaskan dan membuat sebuah tulisan atau ungkapan menjadi indah, seperti apa yang ada pada surat al-Fatihah dimana disana ketika berbicara dari ihwal ghaib (Alhamdulillah) berubah ke ihwal non-ghaib (iyyaka na’budu) dan iltifat dalam ayat tathir juga untuk menginformasikan poin berikut bahwa terhindarnya Ahlulbait As dari segala kenistaan merupakan hal yang demikian penting sehingga kepada istri-istri Nabi saw juga diperintahkan serta dilarang melakukan hal seperti ini (menjauhi kenistaan dan keburukan) supaya nantinya tidak ada seorang pun mencoba menuduh dan memprotes Ahlulbait As.[2] Kedua: i’tirâdh: tumbuh berkembangnya kalimat-kalimat sisipan (mu’taridhah) pada kalam dan ucapan para pakar ilmu Balaghah dan Fashahah merupakan hal yang lumrah dan dikalangan mereka seringkali melakukan hal semacam ini guna apa yang disampaikannya bisa tertanam dan terlukis dalam benak setiap orang yang mendengarnya dengan baik dan ini telah berulangkali disebutkan dalam Al-Quran.[3] Pada ayat yang sedang dibahas, guna melenyapkan khayalan sebagian orang yang meyakini bahwa Ahlulbait As sama seperti istri-istri Nabi Saw, dilampirkanlah kalimat sisipan (mu’taridha) seperti ini; yakni jika istri-istri Nabi Saw juga tidak menutup kemungkinan untuk berbuat dosa dan kesalahan maka demikian pula Ahlulbait As tidak menutup kemungkinan untuk melakukan dan berbuat dosa dan kesalahan, padahal Ahlulbait As terhindar serta terjaga dari hal semacam ini. Oleh karena itu dalam kalimat sisipan tersebut telah diingatkan bahwa:”innamaa yuriidullahu liyuzhaba...”.[4]

2. Dalam ayat-ayat ini setelah 20 bentuk pronoun plural (dhamir jama’) untuk perempuan, irama kalam Tuhan berubah dan menggantinya dengan bentuk pronoun plural untuk laki-laki dan ini merupakan indikasi terbesar yang menyatakan bahwa kita harus angkat kaki dari klaim yang bersumber dari bentuk konkret teks (ayat) tersebut dan seharusnya tidak meyakini atau memahami bahwa ayat tathir tersebut ditujukan kepada para istri Nabi Saw.

3. Pakar bahasa berkeyakinan bahwa kata ahl tidak digunakan untuk istri-istri, kecuali secara majazi.[5] Dan pada ayat 73 surat Hud, kendati Ahlulbait juga digunakan untuk istri-istri, namun harus dikatakan bahwa methode penggunaan (isti’mal) itu lebih umum dan mencakup penggunaan secara hakiki dan kalaupun terdapat indikasi (qarinah), namun itu tidak dapat menjadi penghalang atas adanya keinginan untuk memaknai hal itu secara majazi dan pada ayat yang disebutkan diatas terdapat qarinah dan indikasi penggunaan semacam ini, tapi pada ayat tathir tidak hanya ada qarinah dan indikasi yang mengarah kepada pemaknaan secara majazi, tapi bahkan qarinah dan indikasi sebaliknya pun tak ditemukan. Demikian sehingga Ummu Salamah, setelah turun ayat tathir tersebut, bertanya kepada Nabi Saw apakah ia termasuk bagian dari Ahlulbait As? Atau meminta kepada Rasulullah saw untuk menjadikan ia sebagai bagian dari Ahlulbait As,[6] padahal kalau kata ahl mencakup istri-istri Nabi Saw maka pertanyaan atau permohonan ummu Salamah kepada Nabi saw tidak tepat dan salah. Dari sinilah Zaid bin Arqam mengatakan bahwa istilah Ahlulbait itu bukan mengenai istri-istri.[7]

4. Menurut riwayat-riwayat yang dinukil dari Ahlusunnah, Aisyah dan Ummu Salamah dengan jelas menyatakan bahwa ayat tathir itu turun bukan ditujukan ke mereka.[8] Dan sesuai ungkapan Allamah Amini Ra:” Sekiranya ayat ini mencakup istri-istri Nabi Saw maka pasti Aisyah akan menulisnya di atas kening ontanya pada peristiwa perang Jamal, tapi ia tidak melakukannya padahal ketika itu ia sangat butuh dalil-dalil semacam ini”.[9] Dengan adanya hal di atas, ada dua kelompok yang mengklaim bahwa ayat tathir tersebut turun ditujukan kepada para istri Nabi Saw. Kelompok pertama: Di antara perawi hadis, seperti ‘Ikrimah, Maqatil bin Sulaiman dan ‘Urwah bin zubair telah menjelaskan pendapat pribadinya sendiri, dan di satu sisi terdapat riwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa mereka ini dituduh sebagai pembohong.[10] Kelompok kedua: Sebagian mufassir Ahlusunnah yang dengan bersandar pada metode tunggal atau pada semata satu konteks saja, telah mengklaim hal semacam ini namun metode yang hanya melihat satu konteks –kalau seumpama diterima- tidak akan mampu menandingi dalil-dalil kuat yang telah disebutkan sebelumnya.

5. Pada ayat 29 surat al Ahzab, kata turidna hendak menjelaskan bahwa Allah SWT tidak begitu memiliki perhatian terhadap para istri Nabi saw; yakni Allah SWT menyatakan bahwa mereka ini mukhtar (punya ikhtiar) dan Ia mengingatkan kalau mereka hendak berbangga sebagai istri Nabi saw maka kiranya harus menapaki jalan dan cara hidup seperti orang-orang saleh. Namun pada ayat tathir, kata innamaa yuriidullahu menghikayatkan ihwal kehendak dan iradah takwini[11] azali Allah SWT atas sebuah keluarga dimana keluarga tersebut terhindar dan suci dari segala macam bentuk ketidak sucian. Kejelasannya bahwa pada ayat tathir dari satu sisi terdapat kata innamaa yang bermakna hasr (hanya; pembatasan) iradah terkait dengan masalah pensucian dari rijs (dosa, amal keji) dan pada sisi lain kata ‘ankum lebih awal dari kata Ahlulbait dan kata Ahl juga diberi harakat fatha (maftuh) sebagai tanda kalau ia memiliki makna ”hanya, pembatasan dan pengkhususan”, dan kedua hal ini memiliki dilalah (petunjuk) yang menyatakan bahwa batasan pensucian tersebut hanya milik Ahlulbait As dan orang-orang yang diajak berbicara pada kata ‘ankum; yakni Allah Swt telah berkehendak bahwa hanya kalian wahai Ahlulbait As terhindar dan suci dari segala bentuk dosa (rijs). Jadi atas dasar itu, Ahlulbait As memiliki kekhususan tersendiri dan kata yuriidu menunjukkan bahwa iradah tersebut bersumber dari Allah SWT dimana “dijauhkan dari segala bentuk kenistaan” itu hanya ditujukan kepada Ahlulbait As dan inayah serta taufiq semacam ini tidaklah dimiliki sembarang orang, dan lebih menariknya lagi adalah mereka yang memperoleh inayah semisal ini karena dengan ikhtiar dan kehendak yang dimilikinya sendiri dalam menyiapkan lahannya. Iradah ini merupakan iradah dan kehendak yang tidak bisa dipungkiri dan juga tidak mungkin ada kaitan dengan para istri Nabi Saw karena pada ayat-ayat sebelum ayat tathir telah dijelaskan bahwa mungkin saja kalian para istri Nabi Saw lebih memilih dan cenderung kepada kehidupan dunia ini dan ketika itu tak ada gunanya membanggakan diri sebagai istri seorang Nabi Saw.[12]

6. Alif dan lam pada kalimat Ahlulbait, dalam istilah ilmu nahwu, disebut alif dan lam ‘ahdi dimana mengisyarahkan kepada sebuah kejadian yang telah terjadi; yakni kata Ahlulbait kejelasannya sama dengan peristiwa yaumuddaar dimana suatu hari Nabi saw mengumpulkan sekelompok orang-orang di rumah Abu Thalib dan mengumumkan kenabiannya serta menghikayatkan ihwal peristiwa orang-orang yang berada di suatu rumah (sesuai riwayat-riwayat yang ada, rumah tersebut adalah rumah Ummu Salamah) dan disuatu hari berada di bawah kain (‘aba) Rasulullah Saw dimana orang-orang tersebut tidak lain adalah Nabi Muhammad saw, Imam Ali As, Sayyidah Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As[13] ; artinya bahwa Ahlulbait dengan Âli ‘Aba serta Ashhabul kisa ketiga-tiganya merupakan satu tema yang tidak punya perbedaan sama sekali. Dan lebih tehnisnya bisa dikatakan bahwa ini merupakan sebuah proposisi eksternal bukan hakiki, dan proposisi-proposisi eksternal terkadang seperti ini sebuah tema berkedudukan sebagai subjek proposisi; misalnya dikatakan “muliakanlah kedua orang alim ini!”; yakni kedua pribadi alim tersebut wujudnya ada diluar, dan ini adalah hal yang jelas dimana pada proposisi-proposisi eksternal tidak akan menghukumi sesuatu yang bukan subjek dari proposisi tersebut.

Adapun bukti-bukti: 1. Pada ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, kata bait berbentuk plural ketika digabungkan (idhafah) kepada para wanita dimana dimaknai dengan kamar atau ruangan khusus para wanita. Jadi kata al bait juga harus dimaknai sebagai kamar atau ruangan khusus, 2. Sesuai dengan riwayat-riwayat, ayat tersebut juga mencakup pribadi Nabi saw dan dengan tercakupnya Nabi saw, apakah ada jalan selain dari penafsiran ini?, 3. Pada ayat 73 surat Hud, kata Ahlulbait menggunakan alif dan lam dan maksud ahlulbait dalam ayat itu adalah Hadrat Ibrahim As dan Sarah, dan sungguh adanya kemungkinan-kemungkinan seperti ahlulqiblah atau para istri Nabi Ibrahim As atau keluarga beliau As pada ayat tersebut ternafikan dan ini bisa mengantarkan kita untuk memahami kata Ahlulbait pada ayat tathir.[14]

7. Dengan mencamkan baik-baik ayat-ayat ini dan ayat tathir maka dapat diklaim bahwa konteks ayat tersebut tidak memiliki sedikit pun dilâlah (petunjuk) yang menunjukkan kalau ayat tathir tersebut juga mencakup istri-istri Nabi Saw (baik secara khusus mencakup para istri Nabi Saw saja atau secara umum mencakup para istri Nabi Saw dan selain istri beliau). Tapi justru sebaliknya, ayat itu turun ditujukan serta hendak menjelaskan Ash Habul kisa. Pada ayat-ayat tersebut, Nabi Saw yang diajak berbicara: “Yaa ayyuhannabii qul liazwaajika...; yakni Allah Swt memerintahkan kepada Rasulullah Saw untuk menyuruh istri-istrinya memilih antara Allah Swt serta Rasul-Nya dengan kehidupan dunia. Selain itu ditambahkan pula:”Wahai istri-istri Nabi saw barangsiapa diantara kalian yang berbuat dosa secara terang-terangan maka azab bagi mereka itu akan digandakan dan...” dan ungkapan ini ditujukan kepada istri-istri atau pada lanjutan dari firman Allah Swt kepada Nabi Saw dimana beliau saw menyampaikan perintah-perintah ini kepada istri-istrinya atau ini merupakan bentuk iltifât (telah dijelaskan sebelumnya) dimana Allah SWT langsung berbicara kepada istri-istri Rasulullah Saw.

Falsafah adanya iltifât dalam ayat ini adalah para istri Nabi Saw memiliki hubungan dengan Rasulullah Saw dan untuk menjaga kehormatan maqam kenabian dan baiturrisalah, Allah Swt menitahkan kepada istri-istri Nabi Saw bahwa kalau kalian (istri-istri Nabi Saw) melakukan perbuatan dosa secara terang-terangan maka azab-Nya dua kali lipat dan seterusnya Allah Swt menjadikan maqam kenabian dan baiturrisalah (kediaman risalah) tersebut sebagai objek pembicaraan guna Ia hendak menginformasikan bahwa sebab adanya iltifat kepada istri-istri Nabi saw dan juga sebab lahirnya perintah-perintah dan larangan-larangan ini tidak lain adalah demi melenyapkan serta menghilangkan segala bentuk kotoran dosa dan mensucikan rumah ini (baiturrisalah).

“Innamaa yuriidullahu liyuzhiba ‘ankumurrijsa...”; yakni bahwa Allah SWT dengan iradah tasyri’i menginginkan supaya istri-istri Nabi Saw melakukan hal-hal ini demi menjauhkan kalian Ahlulbait As dari segala bentuk noda dosa dan buktinya adalah ayat tersebut menyatakan:”liyuzhiba ‘ankumurrijsa” dan tidak menyatakan dengan:”al izhaabu Arrijsu” dan huruf lam pada kata liyuzhiba adalah untuk ta’lil (menjelaskan sebab-sebab suatu hal atau perkara), jadi Allah SWT menginginkan taklif-taklif tersebut ditujukan kepada istri-istri Nabi saw. Sebab dari iradah tersebut adalah menjauhkan serta melenyapkan segala bentuk kotoran dosa dari Ahlulbait As, sehingga dari sisi ini pula, Ahlulbait Nabi saw tidak dapat dituding atau bahkan dituduh melakukan dosa dan segala bentuk kenaifan.

Hal ini menandaskan ihwal iradah takwini atas terhindarnya Ahlulbait As dari segala bentuk dosa dan ini merupakan hal yang sangat fundamental serta asasi. Dan karna demikian pentingnya sehingga Allah Swt secara pribadi tidak mengizinkan sama sekali salah seorang dari kerabat (istri-istri dan siapa pun juga) mencoba membuat nama baik Ahlulbait As tercoreng. Oleh karna itu, dengan perintah dan larangan secara tasyri’i Allah SWT menetapkan pahala atau azab dua kali lipat untuk istri-istri Nabi saw.[15] Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Adanya pembatasan (hashr) pada ayat tathir khusus untuk ash habul kisa tidak paradoks dengan konteks ayat dan kalaupun ada ketidaksesuaian itu hanya dari segi iltifat atau kalimat mu’taridhah. Dengan melihat indikasi dan qarinah yang ada maka harus dikatakan bahwa ayat tersebut ditujukan khusus untuk ash habul kisa.

2. Maksud dari Ahlulbait As adalah Nabi Muhammad saw, Imam Ali As, Sayyidah Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As, atau bahwa istilah ini merupakan istilah khusus yang ada dalam Alquran[16] dan atau Ahlulbait As itu sebagaimana yang telah disebutkan.[17]

Terakhir perlu dikatakan bahwa kalau demikian halnya, lalu kenapa para Imam Ma’shum As menggunakan kata Ahlulbait tersebut untuk diri mereka?[18] Jawabannya bahwa berdasarkan penafsiran ini dimana ayat tersebut ditujukan kepada baitunnubuwwah dan maqamurrisalah maka luas-sempitnya batasan Ahlulbait tersebut bisa menjadi jelas dan transparan dengan melihat indikasi dan qarinah serta riwayat-riwayat dan adapun qarinah dan indikasi yang ada menjelaskan bahwa ayat tathir tersebut menghendaki kepemimpinan kaum Muslimin tersebut diemban oleh Ahlulbait As.

Adapun bukti-buktinya, antara lain:

1. Imam Ali As, ketika berada di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar, dengan bersandar pada bahwa beliau As adalah salah satu bagian dari Ahlulbait As, menyatakan akan kelayakannya untuk memimpin kaum Muslimin.[19]

2. Beliau (Imam Ali As), dalam majlis Umar yang dihadiri enam orang, dengan bersandar pada ayat tathir menyatakan kalau beliau itu paling layak menjadi pemimpin.[20]

3. Imam Hasan As ketika memegang tumpuk kepemimpinan, beliau dengan bersandar pada ayat tathir mengikrarkan kelayakannya untuk memimpin kaum Muslimin.[21]

4. Imam Husein As juga melakukan hal yang sama ketika hendak membuktikan kelayakannya untuk memimpin Umat Islam.[22]

5. Rasulullah saw, selama kurang lebih 6 bulan setiap subuh ketika hendak berangkat ke masjid untuk shalat, berdiri di depan pintu rumah Imam Ali As dan Sayyidah Fathimah As sambil membaca:”innamaa yuriidullahu liyuzhiba ‘ankumurrijsa...”.[23]

Apakah Nabi saw punya maksud lain selain daripada beliau hendak memberitahukan kepada orang-orang bahwa sepeninggal Rasulullah saw, hendaknya orang-orang jangan mencari rumah selain rumah Ahlulbait As (jangan mengikuti selain dari Ahlulbait As). Dengan demikian, tema tersebut mencakup dan meliputi seluruh Imam Ma’shum As, kenapa? Karna mereka itu adalah pemimpin sejati dan hakiki Umat Islam.

Materi kajian ini tetap bisa dikatakan benar, kendatipun berdasar pada penafsiran bahwa alif dan lam , untuk ‘ahd khariji (sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya) dimana Ahlulbait dijadikan tema yang sangat sesuai; karna menurut teori ini kata Ahlulbait dapat dilihat dari dua sudut pandang: 1. Kata ini menjadi pokok perhatian dikarnakan peristiwa turunnya, 2. Hal ini menjadi fokus perhatian dikarnakan hukum yang diembankan di dalamnya; yakni menjauhkan dari segala perbuatan keji dan menetapkan kesucian. Dengan melihat bagian pertama maka yang dimaksud Ahlulbait As itu hanya Ahlul kisa; yakni hanya kelima orang yang disuatu hari berada di bawah naungan kain (‘aba) Rasulullah saw. Namun jika melihat bagian yang kedua maka seluruh Imam Ma’shum juga termasuk Ahlulbait dengan alasan bahwa sesuai dengan substansi ayat tathir mereka itu memiliki satu kesamaan. Oleh sebab itu, tema ini juga mencakup mereka dan mungkin dengan alasan ini pula sehingga Rasulullah saw bersabda bahwa:”Salman Al Farisi adalah dari kami Ahlulbait”.[24]

Imam Shadiq ketika menjawab pertanyaan Ibnu Katsir, bersabda:”Ahlulbait As adalah kelima orang tersebut, adapun para Imam Ma’shum As yang lain, dengan bantuan ayat lain dari Alquran; yakni ulul arhaami ba’dhuhum awlaa bi ba’din fii kitabillahi, maka mereka juga termasuk Ahlulbait”;[25] yakni takwil ayat ini bahwa para Imam yang lain memperoleh keutamaan ini dan dijauhkan dari segala bentuk perbuatan keji. Takwil daripada ayat tathir tersebut adalah ayat ulul arhaam itu sendiri dimana telah dibuktikan bahwa ayat tathir tersebut mencakup seluruh Imam Ma’shum As,[26] tentunya bukan dilihat dari bentuk tekstualnya tapi ditinjau dari segi takwil dan penjelasannya.[Indonesia.i
slamquest.net]

[1] Allamah Thabathabai, Tafsir al Mizan, jil. 16 hal. 311-312.

[2] Karaki, Nafahât al-Lâhût, hal. 85; Muhammad Hasan Muzhaffar, Dalâilu al-Shidq; Sayyid Ja’far Murtadha ‘Amili, Ahlu Bait dar Aye-e tathir, hal. 58-61.

[3] Qs. Yusuf ayat 28 dan 29, Qs. An Naml ayat 34 dan 35, Qs. Al Baqarah ayat 73-75, Qs. Al Waqi’ah ayat 76, Qs. Luqman ayat 13 dan 16.

[4] ibid, Ahlu Bait dar aye-e tathir, hal. 60-62; Isyraqi, Syihabuddin dan Fadhil Lankarani, Ahl-e bait, hal. 53-81.

[5] Ahli bahasa membedakan antara kata ahlu al-Rajul dengan Ahlulbait dan meyakini bahwa penggunaan ahlulbait untuk istri-istri itu hanya secara majazi (Tâjul ‘Aruus, jil. 1 hal.217; Lisânul ‘Arab, jil. 1 hal. 38; mufradaat Raghib, hal. 29. Oleh itu, substansi sebagian dari riwayat-riwayat Nabi Saw, kendati Rasulullah Saw menganggap bahwa Ummu Salamah adalah keluarga dan salah satu istrinya, namun Rasulullah Saw tidak mengabulkan guna memasukkan ia (Ummu Salamah) sebagai bagian Ahlulbait As; Suyuthi, Tafsir Al-Durr al-Mantsur, jil. 5 hal. 198; Musykilul Âtsâr Thahawi, jil. 1 hal. 334; Muhammad bin Harir Thabari, Jâmi’ul Bayân, jil. 22, hal. 7; Nafahaatullaahuut, hal. 84; Mushtafa bin Isma’il Dimasyqi, Mirqâtul Wushul, hal. 106; Bihâr al-Anwâr, jil. 35 hal. 217 dan 228.

[6] Tafsir Ibnu Katsir, jil. 3 hal. 484 dan 485; Sayyid Hasyim Bahrani, Ghâyatul Marâm.

[7] Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnah, jil. 4 hal. 21; shahih Muslim, jil. 7 hal. 123; Bihaarul anwaar, jil. 35 hal. 230 dan jil. 23 hal. 117; Ibnu Hajar Asqalani, ash shawa’iqul muhriqah, hal. 147; sayyid Hasyim Bahrani, al-Burhân fii Tafsir al-Qur’ân, jil. 3 hal. 324; Bayadhi ‘Amili, Al-Shirath al-Mustaqim, jil. 1 hal. 185; Qadhi Nurullah Syustari, Ihqâq al-Haqq wa Ibthâl al-Bâthil, Mulhaqât Ayatullâh Mar’asyi Najafi, jil. 9 hal. 323; Ahlu Baitdar Aye-e Tathhir, hal. 119.

[8] Abdul Qadir Badaran, Tahdzib Târikh Dimasyq, jil. 4 hal. 908; Tafsir Majma’ al-Bayân, jil. 8 hal. 356; Qunduzi, Yanâbii’ al-Mawaddah, hal. 249; Ibnu Hajar Asqalani, Al-Shawâ’iq al-Muhriqah, hal. 141... Ahlu Bait dar Aye-e Tathhir, hal. 20-28; Allamah Thabathabai, Tafsir al-Mizân, jil. 16 hal. 316-324.

[9] Dinukil dari kitab Ahlu Bait dar Aya-e Tathhir, hal. 78.

[10] Ahlu Baitdar Aye-e Tathhir, hal. 22; Isyraqi dan Fadhil Lankarani, Ahlu Bait, hal. 5-53; Allamah Syarafuddin Musawi, Al-Kalimat al-Gharra fii Tafshiili al-Zahra; Qamus al-Rijâl; Syarh-e Hâl-e Rijâl; Dalâil al-Shidq, jil. 2 hal. 95; Qadhi Nurullah syusytari, Qadhi, Ihqâq al-Haqq wa Ibthâl al-Bâthil, jil. 2 hal. 502.

[11] Irâdah takwini adalah iradah yang terkait hanya kepada si yang berkehendak, yakni hanya tergantung kepada takwin (penciptaan) dan wujudnya dan iradah semacam ini ada pada Allah Swt dan juga ada pada manusia, namun iradah takwini manusia selalu tidak pernah terselesaikan dan dikalahkan oleh iradah azali. Adapun iradah tasyri’i adalah iradah yang tergantung kepada perbuatan (fi’il) orang yang lain, dengan kata lain ia melakukan hal tersebut dengan ikhtiarnya sendiri. Dan inilah perintah dan larangan Allah Swt dimana si mukallaf punya kemungkinan untuk mengamalkannya dan juga punya kemungkinan untuk tidak mengamalkannya.

[12] Isyraqi dan Fadhil Lankarani, Ahl-u bait, hal. 81-92.

[13] ‘arusi huwaizi, abdu ali bin jum’ah, Tafsir nurutstsaqalain, jil. 4 hal. 276 dan 277.

[14] Isyraqi dan Fadhil Lankarani, ahl-e bait, hal. 112-142.

[15] Sayyid Ja’far Murtadha ‘Amili, Ahlu Baitdar aye-e tathir, hal. 38-51

[16] Allamah Thabathabai, Tafsir al Mizân, jil. 16 hal. 312.

[17] Isyraqi dan Fadhil Lankarani, Ahl-e bait, hal. 112.

[18] tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 4 hal. 275, Riwayat Ihtijâj, dan hal. 273 riwayat Ushul Kâfi.

[19] Ibnu Abi Al Hadid, Syarh Nahjul Balâghah, jil. 6 hal. 11 dan 12.

[20] Sayyid Hasyim Buhrani, Ghâyatul Marâm, hal. 265; Ihtijâj Thabarsi.

[21] Qâmus al-Rijâl, jil. 6 hal. 20.

[22] Ibnu Thawus, Luhuf, hal. 53.

[23] Tafsir Ibnu katsir, jil. 3 hal. 483; Musnad Ahmad, jil. 3 hal. 259; Al kalimat al-Garra’ fii tafdhil al-Zahra’.

[24] Qamus Ar Rijal, jil. 4 hal. 423.

[25] ‘Arusi huwaizi, Abdu Ali bin Jum’ah, Tafsir Nur al-Tsaqalain, riwayat Abdurrahman bin Katsir, jil. 4 hal. 273.

[26] Isyraqi dan Fadhil Lankarani, ahl-e bait, hal. 112-143 dan 5-53.