Jumat, Desember 04, 2009

Ghadir Khum Fil Quranil Karim (Idul Ghadir dalam Al Quran dan sejarah) Bag I

Salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam pada masa sebelum wafat Rasulullah SAAW adalah peristiwa Ghadir Khum. Peristiwa Ghadir Khum termasuk riwayat mutawatir (1). Dalam hadits Ghadir Khum, setelah haji wada (haji terakhir), Rasulullah menghentikan perjalanan para sahabatnya yang sudah hampir pulang ke rumahnya masing-masing di suatu tempat yang bernama Khum (antara Makah dan Madinah). Sebelumnya, dalam perjalanan dari Makah ke Madinah, Jibril turun dan mangatakan ”Hai Rasul, sampaikanlah!”. Rasulullah tidak langsung menyampaikan, melainkan mencari situasi dan waktu yang tepat untuk menyampaikan perintah Allah tersebut. Tidak lama kemudian Jibril turun kembali dan mengatakan,”Hai Rasul, sampaikanlah!” dan Rasulullah tetap belum menyampaikannya. Kemudian Jibril turun untuk ketiga kalinya dengan membawa ayat sebagai berikut :

Al Maaidah (QS5:67)




“Wahai Rasul, sampaikanlah (balligh) apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau lakukan maka engkau tidak menjalankan risalah-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir “

Apabila kita perhatikan bahasa Arab ayat di atas, Allah menggunakan kata balligh (sampaikan!), yang menunjukkan perintah Allah yang sifatnya memaksa. Apabila kita perhatikan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an sebanyak 30 juz, kita tidak akan menemukan perintah Allah lain yang sifatnya memaksa Rasulullah sebagaimana yang terdapat di dalam ayat ini. Hal ini tentunya menunjukkan betapa pentingnya perintah “penyampaian” dalam ayat tersebut. Oleh karena itu ayat ini juga disebut ayat tabligh.

Pentingnya hal yang perlu disampaikan tersebut juga tergambarkan pada bagian akhir ayat, di mana terdapat ancaman Allah jika Rasul tidak mengerjakan perintah tersebut. Dalam ancaman tersebut seolah-olah perjuangan Nabi selama 23 tahun tidak ada artinya, atau sia sia, jika tidak menyampaikan suatu “hal”. Penundaan penyampaian yang dilakukan oleh Rasulullah tentulah didasari oleh adanya kekhawatiran dalam pikiran Rasulullah mengenai kemampuan ummatnya untuk menerima dan menjalankan perintah yang disampaikannya. Oleh karenanya Rasulullah mencari strategi bagaimana agar tidak ada alasan bagi ummat untuk menolak. Ayat di atas juga menyebutkan bahwa Allah, selain memberikan perintah kepada Rasulullah untuk menyampaikan suatu “hal” tersebut, juga memberikan jaminan berupa penjagaan kepada Rasulullah atas gangguan manusia.(2)

Dengan demikian, terdapat 3 hal penting pada ayat ini, yaitu:
1. Nabi diperintahkan untuk menyampaikan sesuatu hal yang penting
2. Allah menjaga Rasulullah dari gangguan manusia
3. Dampak dari orang-orang yang tidak menerima apa yang disampaikan oleh Rasulullah

Lalu bagaimanakan isi tafsir atas ayat tabligh di atas? Sebagaimana perbedaan penafsiran yang sering kali terjadi, sebagian kecil tafsir menyebutkan bahwa ayat tabligh tersebut turun di Madinah, yaitu ketika Rasulullah diperintahkan untuk menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang Yahudi. Apabila kita kritisi tafsir tersebut, perlu kita ingat bahwa Rasulullah semenjak hijrah dari kota Mekkah, telah tinggal selama 10 tahun di kota Madinah. Selama Rasulullah berada di Madinah tersebut, bukankah sudah ada orang orang Yahudi? Lalu kenapa baru sekarang Allah memerintahkan Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada mereka? Kenapa pada saat-saat terakhir sebelum Rasullah meninggal, barulah Allah mengancam Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada Yahudi? Berdasarkan logika dan pemahaman kita tentang sejarah Islam, tentulah kita dapat menilai bahwa tafsir ini tidak tepat dan sama sekali tidak berdasar.

Kembali kepada peristiwa Ghadir Khum. Setelah Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk berhenti, kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menumpuk batu hingga menjadi sebuah mimbar. Kemudian Rasulullah naik ke atas mimbar tersebut dan memberikan ceramah kepada 120 ribu sahabat. Jumlah pendengar yang sangat banyak inilah yang menyebabkan riwayat ini bukan hanya shoheh, tetapi mutawatir. Dalam ceramahnya Rasulullah dengan sangat terperinci menjelaskan kepemimpinan setelah beliau. Beliau mengatakan “Man kuntu maula fa Aliyyun maula (Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya setelah aku).”

Mengenai perkataan Rasulullah tersebut, ada kelompok yang mengatakan bahwa yang dikatakan Rasulullah adalah “Siapa yang menjadikan aku sebagai kekasihnya maka menjadikan Ali sebagai kekasihnya.” Bila kita kritisi pendapat tersebut, tentulah kita akan menganggap bahwa adalah suatu kesia-siaan bahwa Rasulullah mengumpulkan 120 ribu sahabatnya hanya untuk mengatakan “cintailah Ali”. Kata “Maula” sendiri bukanlah berarti kekasih, melainkan “pemimpin”. Selain itu, dalam penyampaiannya, Rasulullah bukan hanya mengangkat tangan Imam Ali, tetapi juga memindahkan sorbannya ke kepala Ali. Hal ini didasari pada kedudukan Sorban sebagai lambang kepemimpinan, sehingga ummat yang bisu dan tuli, yang tidak dapat mendengar ceramah Rasulullah, dapat memahami maksud yang ingin disampaikan Rasulullah dengan isyarat tersebut. (3)

Riwayat sebagaimana di atas dapat ditemukan dalam kitab-kitab berikut ini:
1. Tafsir Al Manar dari Muhammad Rasyid Ridho Juz 6 hal 343
Kitab ini menyebutkan bahwa ayat tabligh (Al Maaidah :67) adalah ayat dimana Allah menegur keras kekasih-Nya, Rasulullah, untuk menyampaikan tentang wilayah Amirul Mu’minin.

2. Kitab Kanzul Ummal Al Allamah Al Hindi Jilid 5 hal 114
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar

3. Fushulul Muhimmah karya Ibnu Sobbar hal 42
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar

4. Asbabun Nuzul karya Al Wahidi hal 104
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar, dengan tambahan bahwa setelah ayat ini turun Umar bin Kathab datang kepada Ali bin Abi Thalib dan mengucapkan,”Selamat, selamat wahai putra Abu Thalib. Hari ini engkau menjadi pemimpin kami semua.”

5. Yanabiul Mawaddah karya Ibrahim Al Qundusi Al Hanafi
6. Tafsir Al Kabir karya Fakhrurrozi Jilid 6 Hal 53
7. Mustadrak Shahihain Juz 3 Hal 330
8. Syawahidu Tanzil karya Al Hashakani Jilid 1 hal 192
9. Faraidus shimtain Jilid 1 hal 63
10. Ibnu Katsir
11. Al Milal wal Nihar karya Syakhrestani hal 141
Dalam kitab ini diceritakan ketika Rasul SAAW hendak meninggal dunia, Rasulullah memerintahkan pasukan Usamah bin Zaid untuk memerangi suatu kaum. Abu Bakar, Umar dan Usman diperintahkan menjadi prajurit dibawah komando Usamah. Apa tujuan Rasul SAAW melibatkan mereka (mengingat usia mereka tidak muda lagi)? Hal ini didasari kesadaran Rasulullah bahwa dirinya hendak meninggal dunia dan agar keberadaan ketiga orang tersebut akan mengganggu kelancaran peralihan kekhalifahan. Rasulullah kemudian juga meberikan ancaman, ”La’natullah orang yang keluar dari tentara Usamah.” Berangkatlah pasukan Usamah. Ketika dalam perjalanan, sampailah kabar bahwa Rasulullah meninggal dunia, dan Abu Bakar, Umar dan Usman keluar dari pasukan.

12. Tafsir Durul Mantsur karya Imam Suyuthi Jilid 3 hal 117
Menjelaskan ayat tabligh turun di Ghadir Khum

13. Kitab Farhul Khadir karya Syaukhani Jilid 2 hal 88

Berdasarkan riwayat Ghadir Khum, telah jelas bagi kita bahwa hal penting yang diperintahkan Allah untuk disampaikan oleh Rasulullah adalah mengenai wilayah (kepemimpinan) Imam Ali bin Abi Thalib. Apabila kita kembali kepada Al Qur’an, hal ini dijelaskan dalam surat Al Maaidah (5) : 55 sebagai berikut:


“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang mendirikan salat dan membayar zakat dalam keadaan rukuk (rakiun) ”

Apabila kita baca terjemahan Al Qur’an dari Departemen Agama, kata “Raki’un” dalam ayat di atas diartikan sebagai “tunduk” padahal makna raki’un adalah ruku’. Untuk lebih jelasnya, coba kita lihat QS At Taubah (9): 112 sebagai berikut:



“Mereka itu adalah orang orang yang bertobat, yang bribadat, yang memuji Allah, yangyang berpuasa, yang ruku’ (rakiun), yang sujud, yang menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu”

Dapat kita lihat bahwa dalam ayat ini, kata “rakiun” diartikan sebagai ruku’. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam ayat berikut ini:
QS Ali Imran (3):43


“Hai Maryam, patuhlah engkau pada Tuhanmu, sujud dan rukulah bersama orang-orang yang ruku’ (raaki’iin)“

Kata “rakiun” dalam ayat ini juga diterjemahkan sebagai ruku’. Dengan demikian patut kita pertanyakan mengapa dalam QS Al Maaidah (5):55 kata rakiun diartikan sebagai tunduk?

Kembali ke QS Al Maaidah (5):55, ayat tersebut diawali dengan kata “Innama”. Apabila kita menemukan kata “Innama” dalam Al Qur’an, hal ini menunjukkan kalimatul hasyr (pembatas). Jadi dapat disimpulkan tidak ada pemimpin lain selain yang disebutkan daam ayat tersebut. Dengan demikian, pemimpin (bagi umat Islam) adalah Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman. Orang-orang beriman manakah yang dimaksud di sini? Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini turun untuk Imam Ali bin Abi Thalib. Riwayat menyebutkan ketika beliau sedang sholat di dalam mesjid, seorang pengemis datang dan meminta uang kepada sahabat-sahabat Nabi. Sahabat tidak ada yang membawa uang, kemudian Rasul berkata,”Masuklah kamu dan mintalah kepada orang yang sedang sholat.” Imam Ali yang saat itu sedang dalam keadaan ruku’, memberikan sedekah melalui isyarat dengan mengulurkan cincin di jarinya. Jelas bahwa Ini adalah perintah dari Rasulullah SAAW yang memiliki makna besar sehingga terekam dalam Al Qur’an. Lalu bagaimana dengan kata “orang-orang” yang beriman, yang berarti jamak dalam ayat ini? Patut kita diketahui dalam Al Qur’an tidak berarti kalimat berbentuk jamak itu dinisbatkan kepada orang yang banyak. Bisa jadi kalimat jamak dinisbatkan ke satu orang. Contohnya dalam ayat QS Ali Imran (3):61 (Ayat Mubahalah) berikut ini:


“Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”

Kata “Nisaa ana” dalam ayat di atas mempunyai arti “wanita-wanita kami” yang berarti banyak, tetapi hanya dinisbatkan kepada satu orang yaitu Sayyidah Zahra a.s.

Contoh lainnya sebagaimana terdapat dalam QS An Nahl (16):120 sebagai berikut:


“Sungguh, Ibrahim adalah ummat (ummatan) yang patuh kepada Allah lagi lurus dan dia bukanlah termasuk golongan orang yang musyrik”

Meninjau ayat di atas, ada berapa orangkah Ibrahim? Hanya satu. Akan tetapi Allah menyebutkan “Ummatan”. Ummatan adalah kata jamak tetapi dinisbatkan hanya kepada Nabi Ibrahim.

Selanjutnya, QS Al Maaidah (5):55 menyebutkan bahwa seseorang, ketika menjadikan Allah pemimpinnya, Rasul pemimpinnya, orang yang beriman tadi pemimpinnya maka masuk ke dalam golongan hizbollah (pengikut Allah). Jadi syarat untuk masuk sebagai pengikut Allah adalah menjadikan Allah, Rasul dan orang yang beriman tadi sebagai pemimpinnya (berwilayah kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman). Yang tidak menjadikan Allah, Rasul dan orang beriman sebagai pemimpinnya dalam satu kesatuan adalah lawan dari pengikut Allah atau pengikut syaitan.

Berdasarkan pembahasan di atas jelaslah bahwa perintah yang harus disampaikan dalam ayat tabligh adalah wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Isi dari QS Al Maaidah (5):55 menjelaskan bahwa wajib bagi ummat Islam untuk taat mutlak kepada wilayah tersebut. Hal ini juga dijelaskan dalam ayat QS An Nisa (4):59 sebagai berikut:


“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah, Rasul dan ulim amri. Jika kamu berselisih dalam suatu urusan kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian. Itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya”

Ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang beriman (secara umum) diperintahkan untuk mentaati Allah, Rasul dan ulil amri. Apabila kalian (orang-orang beriman) berselisih mengenai siapa ulil amri tersebut, Allah mengatakan kembalikan lagi kepada Allah dan Rasul yang akan menjelaskan. Kalau memang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir maka harus taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Hal ini sesuai dengan hadits yang terdapat dalam shahih Muslim yang mengatakan siapa yang mati tidak mengenal imam pada zamannya maka mati jahiliyah.

Rasulullah, ketika ditanya siapakah ulil amri, menjawab,”Mereka adalah imam imam dari ahlul baytku.” Hal ini tercantum dalam kitab:
1. Yanabiul Mawaddah
2. Faraidus Shimtain
3. Syawahidu Tanzil

Setelah ditetapkannya wilayah melalui nas dan keterangan dari Rasulullah SAAW, apabila ummat sudah menerima ini semua maka sempurnalah Islam sebagai agama mereka.
QS Al Maaidah (5):3

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي وَ رَضيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ ديناً

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”

Apabila kita lihat kata-kata yang terdapat di dalam ayat di atas, dapat kita lihat bahwa istilah yang digunakan adalah:
Akmaltu = kusempurnakan
Atmamtu = kusempurnakan
Kafaitu = aku cukupkan

Dari ayat di atas jelaslah bahwa masih ada yang disempurnakan oleh Allah SWT, yang artinya ada satu masalah yang belum sempurna untuk disampaikan selama ini. Begitu masalah tersebut disampaikan barulah di akhir ayat disebutkan bahwa Allah meridhai agama Islam tersebut. Jadi kita harus mengikuti nikmat yang disempurnakan tadi, bila tidak, tentunya tidak akan mencapai Islam yang di-ridhai Allah SWT.

Dalam kitab Bidayah wal Nihayah Juz 5 hal 464 karya Ibnu Katsir:
Dari Abu Hurairah berkata,”Siapa yang puasa pada hari 18 Dzulhijjah ditulis baginya sebagaimana puasa 60 bulan. Dan pada hari Ghadir Khum, pada hari itu Nabi mengambil tangannya Ali. Nabi berkata,”Bukankah aku pemimpinnya orang orang beriman.” “Ya Rasulullah”, jawab mereka. Rasulullah berkata,”Siapa yang menjadikan aku maula, maka Ali adalah maulanya.” Berkatalah Umar bin Khattab, ”Selamat, selamat wahai putra Abu Thalib. Hari ini engkau adalah pemimpin aku, dan pemimpin setiap muslim.” Ketika itu juga Allah menurunkan ayat QS Al Maaidah (5):3.

Setelah sahabat semua membaiat Rasul, satu orang bernama Harris bin Nu’man tidak mau membaiat. Dia datang ke Rasulullah dan bertanya,”Apakah perintah ini dari Allah atau karangan engkau sendiri Ya Rasulullah.” Rasulullah berkata,”Demi Allah, ini adalah perintah dari Allah.” “Kalau begitu turunkan azab dari Allah kalau benar dari Allah.”, kata Harris. QS Al Maarij (70):1 – 2




“Seseorang bertanya tentang azab yang cepat terjadi. Bagi orang orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya.”

Telah meminta seseorang siksa yang cepat, Allah menjadikan orang itu kafir, kisah ini tercantum dalam kitab:
1. Faraidus Shintain Jilid 1 hal 82
2. Tafsir Qurtubi Juz 9 hal 216
3. Kitab Fushulul Muhimmah hal 42
4. Faidhul Ghadir juz 6 hal 268 karya Manawi
5. Kitab Nur Abshor hal 87 karya Sarblanji
meriwayatkan cerita tentang Harris bin Nu’man. Ketika ayat ini turun, batu dari langit turun dan tembus kepalanya.

Sebagai penutup pembahasan ini, perhatikan ayat QS Az Zukhruf (43):45 berikut ini:


“Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum engkau. Apakah Kami menentukan tuhan-tuhan selain (Allah) Yang Maha Pengasih untuk disembah?”

Ayat di atas menyebutkan bahwa terdapat pertemuan antara Rasulullah dengan Rasul-rasul Allah lainnya, yaitu pada saat Isra Mi’raj. Ayat di atas menyebutkan bahwa Allah memerintahkan Rasulullah untuk bertanya kepada para Rasul tersebut. Apakah yang diperintahkan Allah untuk ditanyakan tersebut?

Di dalam kitab:
1. Faraidush Shimtain Juz 1 hal 81 karya Juwaini
2. Tarikh Damsikh Jus 42 hal 241 karya Ibnu Ashakir asy Syafii
3. Syawahidu Tanzil juz 2 hal 157 karya Al Hashakani al Hanafi
Diriwayatkan Rasulullah bersabda,”Datang kepadaku malaikat dan berkata,”Tanyakanlah siapa yang telah kami utus dari Rasul-rasul sebelum kamu, untuk apa mereka itu diutus.” “ Menjawab para Rasul, ”Kami membawa wilayah engkau dan wilayah Ali bin Abi Thalib.””

=====
(1) Jika ditinjau dari sisi riwayat, tingkatan hadis itu ada shoheh, hasan, dhaif, dsb. Tapi ada hadis yang tingkatannya diatas shoheh, yaitu mutawatir. Jika yang meriwatkan diatas 3 itu disebut hadis shoheh, tapi jika yang meriwayatkan lebih dari 7 maka disebut mutawatir. Kedudukan hadis mutawatir hampir sama dengan Qur’an.

(2) Ayat ini juga menepis pendapat yang menyatakan Rasulullah meninggal karena diracun

(3) Subhanallah tempat Ghadir Khum itu masih ada sampai sekarang, dan dari tempat Rasulullah berdiri suara yang berbicara di sana akan terdengar sampai 5km. Itulah bagaimana 120rb sahabat bisa mendengar kata-kata Rasul.


 
(dicopy dari catatan tmnku Gunawan harianto)

Ghadir Khum Fil Quranil Karim (Idul Ghadir dalam Al Quran dan sejarah) Bag II




Hari Raya Al-Ghadir adalah merayakan keturunan Nabi Muhammad saw. Inilah hari raya terbesar dalam sejarah Islam. Inilah perayaan teristimewa yang dipersembahkan Tuhan, yang disebut oleh para penghuni langit dengan “Hari perjanjian yang jelas”. Inilah hari kebahagiaan dan kerelaan kerana adanya kasih-sayang, yang dengannya Tuhan menyempurnakan agamanya.

Hari Raya Al-Ghadir Dalam Sejarah

Sejarah Hari Raya Al-Ghadir sangat mengakar di dalam Islam kerana pertama kali dirayakan pada waktu hidup Rasulullah saw. Pertama, ia dirayakan pada hari Al-Ghadir setelah Haji Terakhir ketika Nabi Muhammad saw mangumumkan penggantinya dan menetapkan dasar-dasar agamanya. Inilah sebuah hari yang termashur sehingga tiap-tiap Muslim diberkati di dalamnya. Inilah hari ketika pusat legislasi Islam dan keperluan dari hokum-hukumnya ditetapkan. Kerananya, seorang Muslim seharusnya tidak terpedaya atau disesatkan oleh ketidaktahuan yang parah oleh gelombang kenaifan dan perilaku yang salah.

Secara alamiah, semestinya hari tersebut dipandang sebagai sesuatu yang sangat luar biasa. Ini kerana jalan yang paling lurus menuju Tuhan secara terang-benderang dipetakan pada hari tersebut. Lebih jauh, inilah hari ketika agama disempurnakan dan kasih saying Tuhan disempurnakan. Al-Quran yang suci telah menegaskan hal ini. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebelumnya, Rasulullah saw memberi perintah untuk menyampaikan selamat kepada Ali Amirul Mukminin atas anugerah luar biasa yang diterimanya, iaitu kepimpinan khalifah dan wilayah dalam agama Islam.





Peristiwa Al-Ghadir

Peristiwa ghadir khum berlaku pada 18 Zulhijjah pada tahun 10 Hijrah (10 Mac 632 Masihi). Selepas menunaikan Haji Terakhir, Rasulallah saw bersama para sahabatnya meninggalkan Kota Suci Mekah. Setelah menyempurnakan ibadah Haji, Allah swt mewahyukan kepada Nabi saw ayat berikut:

“ Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,bererti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memellihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir (QS 5: 67)”

Kemudian Rasulallah saw memanggil Bilal, yang secara formal bertugas mengumumkan banyak hal, untuk mengumumkan bahawa semua Muslim harus berada di Ghadir Khum pada esok harinya. “Ghadir Khum” adalah sebuah tempat yang terletak berhampiran al-Juhfa. Ianya merupakan tempat perlintasan bagi jalan-jalan menuju Madinah,Mesir, Iraq, Syria dan Najad. Berdasarkan perintah Allah swt, tempat tersebut dipilih kerana memiliki sumber air dan pepohonan. Selama berabad-abad, di sinilah sebuah masjid yang dinamakan “Masjid Ghadir” didirikan untuk mengenang peristiwa pada waktu itu.

Seramai seratus dua puluh ribu Muslim menemani Rasulallah saw menuju Ghadir Khum pada pagi tersebut. Setelah tiba di tempat tersebut, Nabi saw memberi arahan untuk berhenti di sana. Baginda juga memerintahkan orang-orang yang telah melewati tempat itu agar kembali dan yang belum sampai agar tetap berjalan menuju ke sana sehingga seluruh kelompok masyarakat akan berada pada lokasi yang telah ditunjukkan oleh Allah swt. Di bawah bayang-bayang pohon di situ, batu-batu telah dikumpulkan untuk mendirikan sebuah mimbar dengan menggunakan pelana unta. Mimbar ini dibuat setinggi Rasulallah saw dan didirikan di tengah-tengah orang yang berkumpul sehingga tiap-tiap orang dapat melihat Rasulallah saw dan mendengar suara baginda. Ditugaskan juga seorang laki-laki untuk mengulangi kata-kata Rasulullah saw kepada orang-orang yang agak jauh jaraknya.




Ketika orang-orang tidak dapat menunggu lebih lama lagi, sang muazin Rasulallah swt mengumandangkan azan. Mereka berkumpul dalam barisan menghadap mimbar dan Nabi saw memimpin solat Zohor berjemaah. Kemudian, kaum Muslimin melihat Rasulallah saw menempati tempatnya di atas mimbar. Tepat sebelum memulai khotbah, baginda meminta Imam Ali as untuk berada di sisi kanannya. Ali pun berdiri di sisi kanan Rasulallah saw tetapi sedikit lebih rendah. Inilah khutbah terakhir yang disampaikan baginda kepada umatnya. Walaupun khotbah umumnya dilaksanakan hanya dengan kata-kata, Nabi saw melakukan dua langkah praktis yang jelas menarik perhatian orang kepadanya. Paraktis pertama yang dilakukan oleh Rasulallah saw ialah mengangkat tangan Imam Ali as dan memperkenalkan kepada seluruh hadirin untuk mengelakkan keraguan yang mungkin terjadi di masa hadapan. Prosedur ini dilakukan tepat setelah mengumumkan kedudukan Ali sebagai penerus dan pemimpin politik serta agama pasca-Nabi saw. Baginda bersabda dalam khutbahnya:

“Wahai manusia, jangan kalian lupakan dua warisan ini. Selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat: Kitabullah dan Keluargaku.”

Sesudah mengeluarkan pernyataan, “Tak seorangpun yang memiliki tandingan untuk menjelaskan persoalan-persoalan penting dan memberi tafsir atas Al-Quran kecuali orang yang tangannya kugenggam dan ku angkat ia dengan kedua tanganku,” Nabi saw secara praktis melakukan hal itu. Nabi saw kemudian mengambil tangan Ali. Ali pun mengangkat tangannya kea rah langit. Dalam situasi tersebut, Rasulallah bahkan mengangkat Ali hingga kaki Ali bersentuhan dengan lututnya. Seketika itu juga, Rasulallah berkata dengan suara lantang:

“Barangsiapa yang baginya aku adalah pemimpin (mawla), maka inilah Ali, pemimpinnya (mawla). Ya Allah swt! Cintailah mereka yang mencintai Ali dan musuhilah mereka yang memusuhinya serta berilah kemenangan kepada mereka yang mendukungnya dan berilah kekecewaan kepada mereka yang mengecewakannya“




Praktis kedua yang dilakukan Rasulallah saw dalam peristiwa tersebut ialah mengambil sumpah kesetiaan (Baia’t) dalam Hati, Ucapan dan Perbuatan. Dalam himpunan orang yang kian bayak itu, adalah sangat tidak praktikal untuk mengambil sumpah setia (baia’t) dengan prosedur yang biasa, iaitu dengan menjabat tangan orang yang kepadanya baia’t ditujukan. Sangat mungkin sebahagian orang tidak melakukannya. Maka, di dalam khotbahnya yang terakhir, Rasulallah saw pun memberi arahan, “Wahai Kaum Muslimin! Jumlah kalian terlalu ramai untuk berjabat tangan denganku pada saat ini. Allah Yang Maha Agung telah memerintahkanku untuk mengambil pengakuan kalian dalam kata-kata, tentang apa yang telah kunisbatkan kepada Ali dan para Imam penerusnya dari keturunanku secara eksklusif dan mengikat. Aku menyatakan kepada kalian bahawa keturunanku akan berasal dari garis keturunannya. Maka, kalian semua harus mengucapkan kata-kata berikut:

’Kami mendengarkan, mentaati, rela dan berserah diri kepada apa yang telah engkau sampaikan dari Tuhanmu dan Tuhan kami mengenai Imam kami, Amirul Mukminin Ali dan para imam yang berasal dari keturunanmu yang juga keturunannya. Dengan hati, jiwa, lidah dan tangan kami, maka kami bersumpah setia kepadamu. Di atas sumpah setia inilah, kami hidup, mati dan dibangkitkan kembali. Kami tidak akan mengubah, mencari pengganti, mencurigai, menyangkal, meragukan, dan menarik kembali perjanjian kami dan kami juga tidak akan melanggar sumpah kami. Kamu benar-benar telah menyampaikan kepada kami apa yang Allah kehendaki mengenai Ali, Amirul Mukminin, dan para Imam yang telah engkau perkenalkan, yang berasal dari keturunanmu yang juga putra-putranya: Al-Hasan, Al-Husain dan mereka yang telah ditetapkan Allah swt setelah keduanya. Sumpah dan janji kami bagi mereka datang dari hati, jiwa, lidah, fikiran, tangan, dan seluruh keberadaan kami. Jika tidak dilakukan dengan tangan, maka sumpah dan janji ini akan sah melalui kata-kata kami. Kami tidak akan mencari pengganti selain mereka dan kami pun tidak akan mengubah apa pun. Kami akan menyampaikan ini kepada orang yang terdekat, dan juga orang terjauh, termasuk keturunan dan keluarga kami. Kami memohon kepada Allah swt agar menjadi Saksi akan hal ini. Cukuplah Allah swt dan engkau yang menjadi saksi atas kami.’

Setelah Rasuallah saw selesai mengucapkan kata-kata tersebut, maka para hadirin pun langsung mengulanginya. Sepanjang upacara pembaiatan, Rasulallah saw melekatkan serbannya yang disebut “Sahab“ ke kepala Ali sementara hujung serban itu digenggamnya di dadanya. Baginda menyatakan “Allah swt telah membantuku dengan para malaikat yang ditutupi dengan serban ini di pertempuran Badar dan Hunain.“ Nabi juga menyatakan bahawa serban itu adalah mahkota orang Arab. Ini menunjukkan bahawa Rasulallah saw tengah menggambarkan keutamaan Ali dan putra-putranya yang maksum, yang kepada mereka telah dianugerahkan kedudukan yang tinggi ini. Dengan demikian, deklarasi publik tentang kesetiaan ini benar-benar ditujukan kepada Ali. Dalam kaitan dengan suatu upacara tertentu, maka segera setelah menyampaikan khutbah, Rasulallah menuju ke dalam kerumunan untuk mendeklarasikan kesetiaan (pembaiatan) secara realistik dengan saling berjabat tangan dengan baginda dan Imam Ali Amirul Mukminin serta memberi ucapan selamat. Orang yang saat itu telah ditetapkan untuk menduduki jabatan memimpin umat Islam, yang sesuai dengan perintah Tuhan dan dengan pernyataan Nabi, orang yang diberi amanat untuk membimbing umat adalah Ali bin Abi Thalib as. Manusia yang paling mulia dan terkemuka dalam masyarakat Islam. Dia yang memiliki kekayaan pengetahuan dan kebaikan, telah dipilih sebagai pemimpin umat Islam sesudah Rasulallah saw. Dan dengan menyatakan pentingnya persoalan imamah dan khalifah, Nabi saw telah memberikan perintah yang pasti dan mengikat kepada umat. Setelah itu, Jibril as menurunkan ayat di bawah ini kepada Rasulallah saw:


الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي وَ رَضيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ ديناً

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu agama bagimu.”

(QS Al-Maidah: 3)




Tahukah Anda?

Pembaitan oleh kaum perempuan Muslim juga dilakukan pada hari Al-Ghadir. Rasulallah telah memerintahkan agar sebuah wadah besar diisi dengan air dan ditutupi oleh suatu pembatas yang membahagi wadah tersebut menjadi dua bahagian. Kaum perempuan memasukkan tangan mereka di satu bahagian sementara Ali memasukkan tangannya di bahagian yang lain. Dengan cara seperti ini, baiat kaum perempuan dilangsungkan. Alhasilnya, setiap orang yang hadir di ghadir khum pasti tidak dapat menghindar pernyataan baiat kepada Ali. Penting untuk disebutkan di sini bahawa Sayyidah Fatimah Az-Zahra’ beserta seluruh isteri Rasulallah saw juga hadir di sana.

Amalan pada Hari Raya Ghadir Khum

Menurut banyak riwayat yang berasal dari para imam, berkaitan dengan hari raya al-Ghadir, sejumlah aktiviti sosial dianjurkan untuk dilakukan pada hari raya tersebut.

Imam Ali Ibn Musa Ar-Reza as berkata:

“ Barangsiapa yang berada di Najaful Ashraf pada hari ini bagi menunaikan ziarah Imam Ali bin Abi Talib as akan mendapat ganjaran yang tinggi (besar). Bersedekahlah pada hari ini sebanyak mungkin yang kamu mampu dengan nama Allah swt kepada mereka yang kurang berkemampuan, kerana “Hari Al-Ghadeer” adalah dikhususkan untuk membantu mereka yang berhak.”

Amalan yang dianjurkan pada hari Al-Ghadeer

1. Mandi sunat (Ghusl), memakai pakaian baru atau yang terbaik serta memakai wangi-wangian.
2. Berpuasa pada hari Al-Ghadir
3. Beribadah pada malam sebelum Hari Raya Al-Ghadir
4. Membaca Ziarah khusus buat Imam Ali bin Abi Talib as

(i) Ziarah Ameenallah

(ii) Ziarah Mut’laqah

Membaca doa ziarah kepada Imam Ali as membawa makna sebagai penegasan kembali kesetiaan sumpah kita kepadanya , keyakinan kita kepada kepimpinannya, dan kesetiaan kita kepada para imam melalui keterikatan kepada urusan-urusan mereka.

1. Membaca Doa Nudbah
2. Solat sunat 2 rakaat sebelum waktu tengahari seperti di bawah:-

Dalam setiap rakaat selepas bacaan Surah Al-Fatihah, baca

(i) Surah Al-Ikhlas 10 kali (ii) Ayat Kursi 10 kali (iii) Surah Al-Qadr 10 kali (iv) Selepas salam, sujud sambil membaca ALHAMDULILLAH SYUKRON LILLAH 100 kali. Kemudian duduk sambil membaca Doa I’ed Al-Ghadir. Kemudian sujud dan baca ALHAMDULILLAH 100 kali dan SYUKRON LILLAH 100 kali.

Barangsiapa yang melaksanakan amalan ini pada hari ini akan mendapat ganjaran sebagaimana mereka yang hadir pada peristiwa Ghadir dan mendengar deklarasi serta menerimanya dengan benar.

1. Kita boleh melahirkan perasaan kegembiraan dan kesyukuran kita,baik secara dalaman mahupun luaran dalam apa jua bentuk yang sesuai untuk meneruskan cara hidup kita berlandaskan ajaran Islam yang sebenar. Ianya amat digalakkan untuk menggembirakan Mukminin, saling-mengunjungi dan memberikan hadiah serta mensedekahkan barang yang dicintai kepada mereka yang lebih memerlukan. Juga dianjurkan untuk menjemput sahabat serta saudara-mara untuk makan bersama sambil berselawat ke atas junjungan besar Nabi Muhammad saw dan keluarganya sebanyak mungkin.
2. Pada waktu bertemu dengan saudara Mukmin bacalah:

Segala puji bagi Allah yang memberi rahmat kepada kami dengan bersama mereka yang berpegang teguh kepada “Wilayat“ (cinta, persahabatan dan kepimpinan) Amirul Mukminin dan semua Imam as.

Praise be to Allah, who blessed us to be among -those who cling and hold to the "Wilayaat" (love, friendship and authority) of Ameer Al Momineen and all the Imams, peace be on them all.



Segala puji bagi Allah swt yang telah mengurniakan kami dengan hari ini, dan memasukkan kami di kalangan mereka yang telah diberikan apa yang dijanjikan kepada mereka, dan telah mengikat bersama-sama dengan ikatan perjanjian yang penuh keyakinan terhadap kepimpinan penjaga syariat agama yang telah melaksanakan keadilan (hukum); dan tidak membiarkan kami berada di kalangan mereka yang lebih mengetahui tetapi mengabaikan kebenaran serta menganggap Hari Penghitungan sebagai sesuatu yang sia-sia.

Praise be to Allah who honoured us with this day, and included us among those who have been given all that which was promised to them, and have been tied together with the bonds of contract to have full confidence in the authority of the guardians of the religious laws who established justice; and did not disgrace us to be among those who know better but deny the truth and treat the Day of Judgement as a false fable.

1. Kemudian baca seperti berikut 100 kali:-

Segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya dan melengkapkan nikmat-Nya dengan wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.

1. Membaca syair dan khutbah mengenai peristiwa penting pada hari itu. Selain itu, membacakan keutamaan ahlul bait Nabi saw, khususnya memperbanyak menyampaikan selawat kepada mereka serta mengekspresikan kebencian atas musuh-musuh mereka adalah di antara aktiviti-aktiviti yang digalakkan pada hari tersebut.

 
(dicopy dari catatan temanku Gunawan Harianto)