Selasa, November 24, 2009

Ayat tathir



Ayat Tathir

إِنَّما يُريدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكُمْ تَطْهيراً

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, (hai) Ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih- bersihnya.
Poros Pembahasan

Ayat Tathir merupakan salah satu ayat-ayat yang berkaitan dengan wilayah / kepemimpinan Imam Ali a.s. dan para Imam yang lain. Ayat yang setiap katanya lazim ditelaah ini, secara gamblang juga menginsyaratkan tentang kemaksuman para pribadiagung tersebut.
Mukadimah

Khitab ayat kedua puluh delapan hingga tiga puluh empat surah Al-Ahzab, ditujukan kepada para isteri nabi Saw, hanya saja di antara ketujuh ayat tersebut turun sebuah ayat yang dikenal dengan ayat Tathir dengan kandungan dan nada yang berbeda. Salah satu perbedaan itu adalah dhamir (kata ganti); dalam ayat-ayat sebelumnya sekitar 25 dhamir atau fi’il (kata kerja)berbentuk muannats (perempuan) dan setelah ayat ini juga terdapat dua dhamir dan kata kerja muannats pula. Sedangkan dhamir dan kata kerja yang berada dalam ayat Tathir seluruhnya berbentuk mudazkkarataudhamir yang mencakup kedua jenis atau dhamir yang tidak khusus mengarah kepada kaum perempuan, padahal ayat ini diapit oleh 27 dhamir muannats (khusus kaum hawa) sebelum dan sesudahnya.

Apakah ini sebuah kebetulan semata ataukah hal ini menyimpan sebuah filsafat tertentu?

Tanpa diragukan lagi, ini bukan sebuah kebetulan,melainkan terkandung sebuah rahasia dan sebab yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.

Jika kandungan ayat Tathir juga mencakup isteri-isteri Rasulullah Saw, lalu mengapa dhamir dan khitab dalam ayat tersebut berubah dan tidak memakai dhamir muannats seperti yang digunakan sebelum dan sesudahnya?

Hal ini secara yakin dapat dipahami bahwa kandungan ayat dan perubahan dhamir dan kata kerja yang terjadi mengindikasikan bahwa isteri-isteri nabi bukan yang dimaksud oleh ayat Tathir ini.
Penjelasan dan Tafsir
Ayat Tathir, Burhan Yang Jelas Atas Kemaksuman

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, setiap kata dari ayat mulia ini perlu dikaji dan direnungkan. Oleh karena itu setiap kata dari ayat ini akan kami bahas satu persatu berikut ini:

1. انما berarti hanya, yang menunjukkan hashr. Dari kata ini dapat dipahami bahwa dalam ayat ini terdapat hal yang tidak dimiliki oleh seluruh kaum muslimin, karena jika pada awalnya memang umum untuk mereka, tidak perlu kata ini disebut di dalamnya.

Dalam ayat ini, kotoran tidak dileyapkan dari semua kaum muslimin, akan tetapi khusus person-person yang telah disebut di sana. Di samping itu, kotoran yang dimaksud juga khusus bukan sembarang kotoran.

Hal ini disebabkanketakwaan yang biasa mencakup semua muslimin dan menghindar dari segala dosa merupakan kewajiban semua orang; sedangkan apa yang dimaksud oleh ayat ini tentu hal yang lebih tinggi dari sekedar ketakwaan biasa.

2. یرید الله Allah menghendaki. Apakah maksud dari kehendak Allah dalam ayat ini? Apakah kehendak itu Tasyri’iyahatau Takwiniyah?

Jawab: untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan secara ringkas arti dari dua iradah ini:

Iradah Tasyri’iyah adalah perintah Allah Swt, dengan kata lain iradah ini adalah kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan-Nya. Ayat seratus delapan puluh lima dari surah Al-Baqarah merupakan salah satu ayat yang menunjukkan iradah ini. Dalam ayat ini, setelah menjelaskan kewajiban puasa di bulan suci Ramadhan dan pengecualian kewajiban ini dari para musafir dan orang-orang yang sakit, Allah Swt berfirman:

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَ لاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

”Allah menghendaki kemudahan kalian bukan kesulitan.”

Maksud kehendak Allah dalam ayat ini adalah iradah tasyri’iyah; artinya hukum Allah Swt tentang puasa di bulan Ramadhan adalah hukum yang mudah dan tidak berat; bahkan seluruh hukum Islam bukanlah hukum yang sulit. Oleh karena itu Rasulullah Saw bersabda:

بعثت اليکم بالحنفية السمحة السهلة

” Aku diutus kepada kalian dengan syariat yang mudah.”[1]

Iradah takwiniyahberarti penciptaan; artinya kehendak Allah Swt untuk menciptakan sesuatu atau seseorang.

Contoh iradah ini dapat dijumpai pada ayat delapan puluh dua surah Yasin, di mana Allah berfirman:

إِنَّما أَمْرُهُ إِذا أَرادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

” Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:" Jadilah!" maka terjadilah ia.” Maksud kehendak Allah dalam ayat ini adalah kehendak takwiniyah (penciptaan). Allah Swt Mahakuasa, jika Dia berkehendak untuk menciptakan dunia yang unik dan megah yang sedang kita tinggali ini untuk kedua kalinya, maka itu hanya dengan sekedar memberikan sebuah perintah saja. Bagaimana tidak, Dia Dzat Yang Mahakuasa, dan menurut para ilmuwan, matahari dunia itu besarnya satu juta dua ratus ribu kali lipat besar bumi dan di tata surya terdapat sekitar seratus milyard bintang di mana ukuran sedangnya saja sama dengan ukuran matahari.

Dengan demikian, sedikit banyak kita sudah mengenal dua kehendak Allah Swt di atas. Pertanyaannya sekarang ayat Tathir berkaitan dengan kehendak Allah yang manakah? Artinya apakah Allah menghendaki Ahlul bait a.s. suci dari segala kotoran dan ingin mereka menjauhinya? Atau apakah Allah sendiri yang menjauhkan mereka dari kotoran itu?

Jawab: tanpa diragukan lagi maksud dari kehendak Allah di sini adalah iradah takwiniyah; karena perintah takwa dan menjauhi segala dosa bukan khusus Ahlul bait a.s. akan tetapi semua umat Islam terkena kewajiban ini, dan pada pembahasan sebelumnya telah dipahami bahwa kata انما mengisyaratkan bahwa ini adalah hal yang istimewa yang tidak dimiliki seluruh umat Islam.

Dengan demikian, Allah dengan kehendak takwiniyah-Nya menganugerahkan sebuah kekuatan kemaksuman yang dapat menjaga mereka dari berbagai kesalahan dan dosa serta senantiasa menjaga mereka tetap suci darinya.

Soal: apakah kekuatan ishmah para maksum ini bukan sebuah keterpaksaan? Dengan kata lain, apakah mereka tidak memiliki pilihan untuk melakukan dosa dan tanpa ikhtiar pula mereka melaksanakan segala perintah Allah Swt?

Dengan ungkapan ketiga, apakah jika mereka menginginkan untuk berbuat kesalahan atau dosa, mereka tidak kuasa melakukannya? Jika demikian, makam ishmah bukan hal yang dapat dibanggakan.

Jawab: sesuatu yang mustahil dapat dibagi kepada dua bentuk; mustahil secara logis dan mustahil dari sisi kebiasaan sehari-hari.

Mustahil secara logis adalah sesuatu secara akal sehat tidak mungkin terjadi, seperti pada satu waktu, kita katakan siang hari dan pada waktu itu pula kita katakan malam hari, secara logis ini tidak mungkin terjadi dan mustahil. Atau contoh lain, buku yang sedang kita telaah memiliki 400 halaman tapi kita juga mengatakan buku itu setebal 500 halaman, ini mustahil terjadi, karena secara akal sehat tidak mungkin dua hal yang saling bertentangan dapat bersatu.

Akan tetapi, terkadang sebuah hal secara akal sehat dapat terjadi namun biasanya kebiasaan manusia tidak melakukannya; seperti tidak ada orang yang berakal sehat mau berjalan dengan tanpa busana di gang-gang atau di jalanan. Hal ini secara akal dapat terwujud tapi hal ini tidak biasa terjadi. Oleh karena itu seluruh manusia terjaga dari pekerjaan semacam ini; karena akal sehat dan tidak pernah membolehkan manusia untuk melakukan hal yang buruk semacam itu.

Lebih dari itu, kita akan menemukan sebagian manusia maksum dari hal-hal lain, sebagai contoh musthail seorang ulama tersohor meminum minuman keras pada hari kedua puluh satu bulan suci Ramadhan di dalam mihrab masjid, di atas sajadahnya serta di depan para khalayak.

Pekerjaan ini secara logis dapat terjadi dan dibayangkan, namun secara adat dan kebiasaan itu sulit terjadi; karena posisi dan kepribadian seseorang mencegah hal itu terjadi.

Para maksum terjaga dari semua dosa dan kesalahan, artinya kendati secara logis mungkin saja mereka melakukan penyimpangan, akan tetapi pekerjaan itu mustahil muncul dari mereka; karena ketakwaan dan ilmu mereka terhadap semua dosa begitu gamblang seperti ilmu orang biasa terhadap buruknya bertelanjang keluar dari rumah, manusia biasa terhindar dari pekerjaan semacam ini maka para maksum juga demikian mereka terhindar dari dosa dan nista.

Dengan demikian, ishmah bukan sebuah keterpaksaan dan juga tidak bisa dikatakan bahwa ishmah telah membelenggu ikhtiar mereka untuk melakukan sesuatu.

Konglusinya, kehendak Allah dalam ayat ini adalah iradah takwiniyah dan ishmah tidak melenyapkan ikhtiar dan keinginan para imam sehingga memaksa mereka untuk menjauhi dosa, akan tetapi mereka secara utuh dan sadar memiliki ikhtiar juga.

3. Apakah maksud dari kata الرجس ?

Kata ini berarti kotoran; ia terkadang digunakan untuk kotoran materi terkadang untuk kotoran non materi dan terkadang pula digunakan untuk kedua-duanya. Hal ini sesuai dengan apa yang ungkapkan oleh Ragib dalam kitab Mufradatnya.

Untuk ketiganya, kami akan membawakan bukti dari ayat-ayat al-Quran:

a. Kotoran sipiritual: dalam ayat seratus dua puluh lima surah At-Taubah, disebutkan:

وَ أَمَّا الَّذينَ في قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزادَتْهُمْ رِجْساً إِلَى رِجْسِهِمْ وَ ماتُوا وَ هُمْ كافِرُونَ

” Dan sedangkan mereka yang terdapat penyakit dalam hati mereka, maka kotoran akan bertambah atas kotoran mereka; dan mereka mati dalam keadaan ingkar dan kafir.”

Ungkapan “في قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ” (dalam hati mereka terdapat kotoran), biasanya digunakan untuk kaum munafik dan tanpa diragukan lagi kemunafikan merupakan sebuah penyakit jiwa.

b. Kotoran materi dan dhahir: dalam ayat seratus empat puluh lima surah Al-An'am kita membaca:

قُلْ لا أَجِدُ في ما أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلى طاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ ...

" Katakanlah (wahai Rasulullah) aku tidak mendapatkan di dalam wahyu yang aku terima (makanan) yang haram selain bangkai atau darah (hewan yang tumpah keluar dari badannya) atau daging babi, karena sesungguhnya semua benda (di atas) itu rijs dan kotoran...”.

Sangat gamblang sekali jika rijs dalam ayat ini adalah kotoran dhahir.

c. Kotoran maknawi dan dhahiri: rijs yang terdapat dalam ayat sembilan puluh surah Al-Ma'idah digunakan untuk kedua makna; dalam ayat itu disebutkan:

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَ الْمَيْسِرُ وَ الْأَنْصابُ وَ الْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

" Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamr, judidan mengundi nasib, itu kotoran dari perbuatan setan, maka jauhilah supaya kalian beruntung."

Rijs dalam ayat mulia ini, berarti kotoran dhahir juga bermakna kotoran batin; karena minuman keras termasuk hal dhahir sedang perjudian dan mengundi nasib adalah kotoran batin.

Dengan demikian, rijs dalam ayat-ayat Al-Quran memiliki arti umum dan mencakup kotoran dhahir, batin, moral, teologi, ruhani, ragawi dan yang lain. Oleh karena itu, Allah Swt dalam ayat Tathir dengan kehendak takwiniyah-Nya menginginkan untuk menyucikan Ahlul bait a.s. dari segala kotoran dan nista dengan seluruh pengertiannya.

Dalil kami bahwa kotoran itu universal mencakup hal materi maupun non materi adalah kemutlakan kata ini, artinya karena kata ini tidak dibatasi oleh hal-hal lain atau tidak disyaratkan dengan syarat lain.

ويطهركم تطهيرا kalimat ini pada dasarnya penjelas dari kalimat sebelumnya ليذهب عنكم الرجس اهل البيت .

Sesuai ayat ini, Ahlul bait a.s. tersucikan dari segala noda dan nista dan dengan kehendak takwiniyah Allah Swt mereka suci dan maksum.
Siapakah Ahlul bait itu?

Dari ayat Tathir yang mulia telah kita pahami bahwa Ahlul bait memiliki keistimewaan lebih dari para muslim lain yaitu kesucian dan kemaksuman yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Akan tetapi pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah sipakah mereka itu? Siapakah gerangan sosok-sosok yang disucikan tersebut?

Begitu banyak pendapat yang mengemuka sehubungan dengan jawaban soal ini, berikut ini empat pendapat darinya:

1. Sebagian ahli tafsir dari kalangan Ahli sunah menafsirkan bahwa Ahlul bait adalah isteri-isteri Nabi Saw.[2] Sesuai penafsiran ini, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain tidak termasuk Ahlul bait. Dengan ungkapan lain Ahlul bait adalah kerabat nabi dari sisi sabab (yang disebabkan oleh perkawinan) dan tidak ada famili beliau dari sisi nasab yang tergolong di dalamnya.

Dalil mereka adalah ayat Tathir terletak di antara ayat-ayat yang turun berkenaan dengan isteri-isteri Nabi Saw, ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Jadi konteks ayat menuntut ayat mulia ini juga berkaitan dengan mereka.

Akan tetapi pendapat ini tidak dapat dibenarkan, dengan tiga dalil:

Pertama, sebagimana telah disebutkan dalam lima ayat sebelumnya dan pada awal ayat ketiga puluh tiga surah Al-Ahzab seluruh dhamir dan fi'ilnya disebut dengan bentuk muannats. Begitu juga dalam ayat setelahnya terdapat dua fiil dan dhamir yang sama. Sedangkan semua dhamir ayat ini berbentuk mudzakkar atau dhamir dan fiilnya tidak khusus untuk para wanta.

Oleh karena itu, dengan memperhatikan bahwa Al-Quran adalah firman Allah Swt yangfasih maka pastilah perubahan dhamir dan fiil memiliki maksud khusus dan jelas maksud dari Ahlul bait adalah sosok selain isteri nabi di mana Allah membedakan konteks ayat ini dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.

Dengan demikian, sesuai penjelasan ini tidak mungkin para isteri nabi yang dimaksud dengan Ahlul bait, dan harus sosok lain yang penetapannya butuh pada pembuktian dan dalil.

Dalil kedua yang membantah kebenaran pendapat ini adalah dengan memperhatikan penjelasan dan tafsir ayat mulia ini, Ahlul bait memiliki kriteria khusus yaitu kemaksuman yang mutlak. Pertanyaannya sekarang, adakah ulama syi'ah maupun Ahli sunah yang mengatakan bahwa para isteri nabi itu maksum? Kendati mayoritas isteri-isteri nabi merupakan orang-orang yang baik, namun tidak mungkin diklaim mereka orang-orang yang maksum, malah sebaliknya dengan berbagai bukti yang gamblang dapat dikatakan sebagian dari mereka telah melakukan sebuah kesalahan fatal. Berikut ini satu contoh dari kesalahan tersebut:

Ali bin Abi Thalib a.s. merupakan satu-satunya khalifah yang selain dilantik oleh Allah secara langsung juga seorang Imam yang mendapat kepercayaan dan pilihan dari masyarakat. Pemilihan itu juga jauh berbeda dengan ketiga khalifah sebelumnya; karena khalifah pertama terpilih melalui beberapa orangdi Tsaqifah Bany Sa'idah di mana kemudian masyarakat terpaksa membai'atnya. Khalifah kedua menaiki singgasana dengan mandat dari khalifah pertama. Khalifah ketiga juga terpilih sebagai pemimpin hanya melalui tiga suara dari enam suara yang telah ditunjuk. Akan tetapi Ali bn Abi Thalib a.s. mencapai haknya dengan dorongan dari masyarakat yang berbondong-bondong membai'at beliau. Bai'at umat manusia kepada beliau saat itu begitu dahsyatnya di mana beliau sendiri menuturkan:" Aku takut Hasan dan Husain terinjak-injak oleh kaki-kakimereka."[3]

Akan tetapi, (sungguh sayang sekali) salah satu isteri Nabi Saw,telah memberontak dan bangkit melawan pemimpin dan khalifah Rasulullah yang hak. Dia keluar dari kota Madinah dengan menunggangi onta menuju kota Bashrah dan melanggar perintah Rasul yang ditujukan kepada semua isterinya untuk tidak keluar dari rumah setelah kematian beliau. Saat tiba di kawasan Hau'ab dan mendengar gongongan anjing dia (Aisyah) teringat sabda Rasulullah yang bersabda:" Salah satu dari kalian akan menunggangi onta keluar dari Madinah dan akan tiba di kawasan Hau'ab dan di sana dia akan mendengarlolongan anjing, dia (pada dasarnya) telah keluar dari jalan Allah Swt."

Isteri nabi itu setelah mendengar bahwa kawasan yang sedang diinjak adalah Hau'ab akhirnya berniat untuk kembali; akan tetapi para provokator yang merancang peperangan Jamal memperdaya dan membujuknya untuk tetap melanjutkan perjalanan.[4]

Apakah seorang perempuan semacam ini yang melanggar perintah Rasulullah, menentang imam zamannya dan berperang melawan khalifah serta penyebab tumpahnya darah tujuh belas ribu muslim,dianggap sebagai seorang yang maksum dan jauh dari noda dan nista?

Yang lebih menarik lagi, dia sendiri mengakui kesalahannya dan menjustifikasinya (kendati alasannya itu tidak dapat diterima). Sebagian ulama fanatik Ahli sunah menganggap tindakan itu sebagai ijtihad dan tidak bisa ulahnyaitu dipersoalkan.

Apakah perkataan ini dapat dibenarkan? Apakah ijtihad di hadapan khalifah Rasul yang hak, di mana sang Khalifah menurut Aisyah sendiri adalah "manusia terbaik” dianggap ijtihad yang sahih? Jika hal ini kita terima, maka tidak ada lagi orang yang berdosa, karena setiap kesalahan selalu dijustifikasi dengan busana ijtihad, istinbath dan semacamnya.

Hasilnya, perang jamal tidak dapat dijustifikasi secara logis dan tanpa keraguanlagi perancang perang ini adalah orang-orang yang bersalah dan tidak mungkin mereka dianggap bersih dari noda dan nista.

1. Pendapat kedua mengatakan maksud dari Ahlul bait adalah Rasulullah Saw, Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan isteri-isteri beliau.[5]

Sesuai pendapat ini maka isyakalan pertama yang mengarah kepada pendapat pertama dapat dihilangkan; karena sekelompok laki-laki dan perempuan dapat diseru dengan dhamir mudzakkar. Akan tetapi dua isykalan lainnya masih belum terselesaikan yang berkaitan dengan para isteri nabi. Dengan demikian pendapat ini juga tidak dapat dibenarkan.

1. Sebagian dari para mufasir menyatakan bahwa Ahlul bait dalam ayat mulia ini adalah para penduduk kota Mekkah dan mengatakan: maksud dari al-Bait yang ada pada kata Ahlul bait adalah rumah Allah, Ka'bah, oleh karena itu mereka yang tinggal di kota Mekkah berarti Ahlul bait.

Kesalahan pendapat ini begitu gamblang sekali, di mana dua isykalan pendapat pertama juga masuk di sana, selain itu keutamaan apakah yang membuat penduduk kota Mekkah lebih unggul dari penduduk kota Madinah sehingga mereka dijauhkan dari dosa dan kesalahan?

1. Pendapat keempat adalah pendapat seluruh ulama Syi'ah yang tidak memiliki isykalan-isykalan di atas. Pendapat itu adalah Ahlul bait yang dimaksud oleh ayat mulia itu adalah sosok-sosok tertentu keluarga nabi yang tak lain adalah: Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan ketuanya sendiri, Rasulullah Saw.

Bukti kebenaran pendapat ini adalah pendapat ini jauh dari tiga isykalan di atas. Di samping itu, terdapat banyak riwayat yang menguatkan pendapat keempat ini. Allamah Thaba'thai dalam Al-Mizan menaksir riwayat tersebut sebanyak tujuh puluhan.[6]

Dan yang menarik adalah mayoritas riwayat itu disebut di dalam kitab-kitab hadis standar Ahli sunah, di antaranya:

1. Shahih Muslim.[7] 2. Shahih Tirmizi.[8] 3. Al-Mustadrak 'Ala Shahihain.[9] 4. As-Sunanul Kubra.[10] 5. Ad-Durul mantsur.[11] 6. Syawahid Tanzil.[12] 7. Musnad Ahmad.[13]

Oleh karena itu, riwayat-riwayat yang menafsirkan bahwa Ahlul bait adalah lima sosok Ali 'Aba' dari sisi kuantitas begitu banyak selain itu juga riwayat-riwayat tersebut tercatat dalam kitab-kitab standar Ahli sunah.

Fakhrur razi berkenaan dengan kuantitas riwayat ini dan kwalitasnya mengungkapkan sebuah penyataan menarik yang dibawakannya saat menafsirkan ayat Mubahalah (ayat 161 surah Ali Imran):" Dan ketahuilah, sesungguhnya riwayat ini merupakan riwayat yang disepakati kesahihannya oleh ahli tafsir dan hadis."[14]

Hasilnya, riwayat-riwayat yang menafsirkan Ahlul bait ini dari sisi kuantitasdan kualitasnya sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Dari sekian banyak riwayat itu kami akan membawakan satu riwayat saja yaitu hadis Kisa'.

Hadis Kisa' telah dinukil dengan dua bentuk; terperinci dan ringkas.

Hadis Kisa' yang terperinci yang biasanya dibaca untuk menyembuhkan penyakit dan menyelesaikan berbagai masalah dan problem, bukan hadis yang mutawatir. Akan tetapi hadis singkatnya merupakan hadis mutawatir di mana kandungannya berbunyi demikian:" Pada satu hari, Nabi Saw diberi sebuah kain, Rasul meminta Ali, Fatimah, Hasan dan husain. Saat mereka datang beliau membeberkain itu dan menaruhnya di atas kepala mereka, kemudian beliau berdoa:" Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah Ahlul baitku, singkirkanlah kotoran dari mereka. Kemudian Jibril datang dan membawa ayat Tathir tersebut."

Dalam kitab-kitab Ahli sunah terdapat ungkapan berikut ini, di mana Ummi Salamah (salah seorang isteri nabi yang lain) mendekat dan meminta Rasul untuk menutupinya dengan kain itu jugaikut serta bergabung dengan mereka. Rasulullah Saw bersabda: “Kamu orang yang baik, akan tetapi tempatmu bukan di sini.”[15]

Dalam hadis lain ungkapan ini dinukil dari Aisyah.[16]

Dengan demikian, sesuai riwayat ini maksud dari Ahlul bait adalah lima orang Ahli kisa'.

Soal: Apa filsafat dari hal ini semua? Kenapa Rasulullah Saw menutup mereka dengan kain seperti itu dan mengucapkan hal itu kepada kelurga beliau sendiri? Kenapa Ummi Salamah atau Aisyah dilarang oleh beliau untuk bergabung?

Jawab: tujuan Rasulullah Saw melakukan prosesi detail semacam ini adalah sebuah upaya pemisahan. Beliau igin menperkenalkan Ahlul bait tanpa pertanyaan susulan dan isykalan serta berupaya membuang kesamaran dan kemujmalan sehingga masyarakt di masa itu dan selanjutnya tahu atau tidak, tidak lagi memasuk-masukkan orang-orang lain ke dalam definisi Ahlul bait.

Atas dasar ini, beliau juga tidak mencukupkan diri dengan prosesi itu, akan tetapi beliau melakukan hal yang sangat menarik lagi, yang disebut dalam banyak sumber,di antaranya di dalam kitab Syawahid Tanzil (sesuai penuturanAnas bin Malik, pembantu khusus Rasul), Rasulullah Saw setelah peristiwa itu, setiap hari setelah azan Subuh dan sebelum didirikannya shalat jama'ah selalu berdiri di depan rumah Ali dan Fatimah dan mengulang-ulang kalimat berikut ini:” Shalat, wahai Ahlul bait.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, (hai) Ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih- bersihnya.”

Pekerjaan ini dilakukan oleh Rasulullah Saw selama enam bulan berturut-turut.[17]

Riwayat ini juga dinukil dari sahabat Abu said Al-Khudri, di mana dia bertutur:" Rasulullah melakukan hal ini setiap subuh selama delapan bulan."[18]

Bisa jadi, Rasulullah melanjutkan tindakan ini, hanya saja Anas bin Malik tidak melihat lebih dari enam bulan sedang Abu Said tidak lebih dari delapan bulan.[19]

Oleh karena itu, tujuan Rasulullah Saw dari tindakannya ini adalah memisahkan Ahlul bait dari orang lain dan menentukan mereka secara sempurna dan gamblang. Hal ini telah terlaksana secara baik, karena kita tidak akan mendapatkan hal lain yang diulang-ulang oleh beliau selain masalah ini. Dengan demikian, dengan berbagai penekanan dan penjelasan itu apakah adil jika kita menafsirkan Ahlul bait dengan selain lima sosok agung di atas?

Sebuah soal, dalam masalah yang sangat gamblang seperti ini, di mana kejelasannya laksana siang hari, mengapa masih ada segelintir orang yang tersesat dan berupaya menyesatkan orang lain?

Jawaban soal ini juga gamblang sekali dan itu adalah dikarenakan tafsir bi ray dan praduga,telah menutupi pandangan mereka. Gelapnya penutup ini begitu tebal sehingga mereka tidak melihat terangnya siang hari atau sebagain dari mereka tidak mau menerima sama sekali kenyataan seperti ini.
Jawaban terhadap Beberapa Pertanyaan

Telah muncul beberapa pertanyan seputar ayat Tathir, berikut ini beberapa contoh darinya beserta beberapa jawaban singkatnya:

Soal pertama, akhir kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat Tathir adalah kemaksuman Ahlul bait, artinya Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan Rasulullah sendiri adalah pribadi-pribadi yang terjaga dari dosa dan kesalahan, akan tetapi apa kaitan dan hubungan ayat ini dengan masalah wilayah dan imamah?

Dengan kata lain pembahasan kita berkaitan dengan ayat-ayat yang menunujukkan wilayah dan imamah Amirul mukminin Ali a.s. dan ayat di atas tidak ada hubungannya dengan hal wilayah, hanya kemaksuman beliau saja yang dapat dibuktikan dengannya. Lalu mengapa kita berdalil dengan ayat ini untuk masalah wilayah beliau?

Jawab: jika masalah Ishmah untuk Ahlul biat telah dibuktikan, maka secara tidak langsung masalah imamah mereka juga telah dibuktikan, karena sebagimana telah dijelaskan imam adalah sosok yang ditaati tanpa syarat dan kaid, dan seseorang yang semacam ini adalah seorang yang maksum. Dari sisi lain, jika imam harus dilantik atau dipilih, maka selagiada orang yang maksum tidak perlu kita pergi kepada orang yang tidak maksum.

Allah Swt dalam ayat 124 surah Al-Baqarah saat mendengar doa Ibrahim a.s. yang sudah dilantik sebagai seorang yang berdoa agar anak cucunya juga mendapat gelar agung ini, berfirman:

لا ینال عهدی الظالمین

" makam (imamah-)Ku ini tidak akan sampai kepada orang-orang yang zalim."

Dengan demikian ishmah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari imamah dan barangsipa yang sebelum menerima makam ini berlumuran dengan dosa dan kesalahan tidak pantas untuk menjadi seorang imam dan pemimpin.

Pertanyaan kedua, kita menerima bahwa seorang imam harus maksum; akan tetapi apakah setiap orang yang maksum harus menjadi imam? Bukankah sayyidah Zahra' s.a. adalah sosok maksum, lalu mengapa beliau tidak menjadi seorang Imam?

Jawab: ishmah di kalangan wanita tidak melazimkan imamah, berbeda dengan kalangan laki-laki.

Pertanyaan ketiga: dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa perbedaan dhamir dalam ayat tathir dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya membuat khitab ayat ini bukan para isteri nabi, padahal perbedaan semacam ini juga terjadi padatempat lain di dalam al-Quran, seperti yang terdapat dalam ayat 73 surah Hud, yang menceritakan nabi Ibrahim menjadi sorang ayah di waktu masa tua. Allah berfirman:

قالُوا أَ تَعْجَبينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَتُ اللَّهِ وَ بَرَكاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَميدٌ مَجيدٌ

“Para malaikat itu berkata:" Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? ( Itu adalah ) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah."

Dalam ayat ini isteri nabi Ibrahim menjadi Mukhatab, hanya saja di sini digunakan dhamir mudzakkar, عَلَيْكُمْ?

Jawab: tujuan dari fiil (kata kerja) تَعْجَبينَ adalah isteri nabi Ibrahim saja, sedang عَلَيْكُمْ mengarah kepada seluruh anggota keluarga beliau, laki maupun perempuan, sedang ayat tathir sebagaimana telah dijelaskan tidak termasuk mukhatabnya ayat ini baik secara independen maupun di samping lima Ali aba.

Pertanyaan keempat: jika mukhatab ayat tathir hanya lima orang saja, lalu mengapa ayat ini diletakkan diantara ayat-ayat yang berkaitan dengan isteri-isteri nabi Saw?

Jawab: sebagaimana dijelaskan oleh Allamah Thaba’thabai dan ulama lain, seluruh ayat al-Quran tidak turun secara bersamaan, bahkan satu ayat sekalipun terkadang tidak turun sekaligus. Akan tetapi ayat-ayat itu turun sesuai keperluan dan peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, bisa jadi pada satu waktu kisah para isteri nabi terjadi sehingga turun ayat-ayat yang berkaitan dengan mereka dan setelah beberapa waktu, kisah Ashhab kisa’ dan permintaan nabi untuk penyucian mereka terjadi maka turunlahayat tathir. Dengan demikian, tidak pasti seluruh ayat al-Quran mempunyai ikatan khusus satu sama lain.

Kongklusinya, ayat tathir ini dapat digunakan untuk menetapkan kemaksuman lima orang Ali aba juga dapat digunakan untuk menetapkan kepemimpinan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.

[1] Biharul anwar, jilid 65, halaman 346.
[2] Qurthubi, dalam tafsir Al-Furqan, jilid 6, halaman 5264. Pendapat ini dinukil dari Zujaj.
[3] Nahjul balaghah, khutbah ketiga (Khutbah Syiqsyiqiyah).
[4] Syarah Nahjul balaghah, Ibnu Abil Hadid, jlid 6, halaman 225. (Sesuai penukilan Tarjamah wa Syarh Nahjil balaghah, jilid 1, halaman 403).
[5]At-Tafsirul Kabir, jilid 25, halaman 209.
[6] Al-Mizan, penerjemah, jilid 23 halaman 178.

Pertanyaan Seputar Ayat Tathir

Dapatkah dikatakan lantaran ayat tathir tersebut terletak di tengah-tengah redaksi ayat maka ia tidak memiliki makna hashr (pembatasan)? Siapa sebenarnya yang disebut Ahlulbait?

Dalam menjawab pertanyaan pertama bisa dikatakan bahwa: ayat tathir ini berada ditengah-tengah ayat, dimana hal itu menandaskan bahwa konteksnya sejalan atau sama dengan subjek yang ada sebelum dan sesudahnya. Dan jika tidak ada bentuk pengkhususan atas istri-istri Nabi Saw maka minimalnya secara umum dapat mencakup mereka. Namun perlu diperhatikan bahwa:

Pertama: Anggaplah hal semacam ini bisa diterima, dimana ia tidak lebih dari sebuah bentuk atau model presentasi dan ini tidak akan mampu menghadapi argumen-argumen kuat. Mesti dan harus berlepas tangan dari indikasi semacam ini demi adanya indikasi-indikasi lain yang tentunya lebih kuat.

Kedua: konteks ayat-ayat ini tidak mengarah kepada bahwa ayat tathir juga mencakup istri-istri Nabi Saw.

Poin pertama: Adanya kalimat sisipan dalam sebuah ungkapan/perkataan dan tulisan dapat merusak tulisan dan ungkapan tersebut, namun jika disertai oleh sebuah indikasi atau qarinah maka tidak hanya bertentangan dengan kaidah retorika (balaghah) dan elokuensi (fashahah) tapi justru akan lebih memperindah ungkapan atau tulisan tersebut. Dengan demikian, tidak begitu esensial untuk mengatakan bahwa apa yang ada pada ayat tathir tersebut juga mencakup istri-istri Nabi Saw dengan alasan ayat tersebut berada di antara ayat-ayat yang sedang berbicara kepada istri-istri Nabi Saw, karena mungkin saja kalimat sisipan ini menyiratkan kepada pribadi-pribadi yang jelas “ashab al kisa” dan khusus untuk mereka saja dan ada banyak indikasi-indikasi yang mendasari klaim ini, di antaranya adalah:

1. Berdasarkan substansi sekumpulan riwayat, ayat tathir turun secara sendiri dan Nabi Saw, untuk menolak adanya kecurigaan bahwa Ahlulbait dan istri-istri Nabi saw adalah dua hal yang terpisah, memerintahkan supaya ayat yang dimaksud dalam hal ini dimuat serta diketahui sehingga tidak ada lagi orang yang berangan-angan bahwa Ahlulbait As sama halnya dengan istri-istri Nabi saw dimana tidak menutup kemungkinan untuk lebih memilih kehidupan dunia yang hina ini daripada Nabi Muhammad Saw dan lain sebagainya.

2. Irama ungkapan Allah SWT dalam ayat ini berubah dan kemudian menggunakan dhamir (pronoun) bentuk plural untuk laki-laki, sementara ayat ini berbicara kepada istri-istri Nabi Saw.

3. Sesuai pandangan pakar bahasa, kata ahl dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk istri, kecuali secara majazi saja. Berdasarkan hal ini, setelah ayat tathir turun Ummu Salamah meminta kepada Nabi saw untuk memasukkan ia sebagai bagian dari Ahlulbait As. Bukti dari klaim ini adalah Zaid bin Arqam mengatakan bahwa istilah Ahlulbait itu bukan mengenai istri-istri.

4. Tak ada satu pun dari istri-istri Nabi saw yang mengklaim bahwa ayat ini turun berkaitan dengan mereka, padahal Aisyah pada perang Jamal sangat membutuhkan dalil dan argumen semacam ini.

5. Kata turidna dalam ayat 29 surat al Ahzab mengisahkan bahwa Allah SWT tidak punya keinginan dan perhatian khusus kepada Istri-istri Nabi Saw, tapi memiliki perhatian dan kehendak takwini terhadap Ahlulbait As yang tidak bisa diingkari dimana mereka dijauhkan dari segala macam bentuk kekotoran.

6. Alif dan lam pada kata Ahlulbait, dalam istilah ilmu nahwu, disebut ‘ahd khariji atau ‘ahdi hudhuri (yakni hadir ketika dibicarakan), dimana ia menunjuk kepada peristiwa terkenal ashabul kisa. Oleh sebab itu, kata Ahlulbait sama halnya seperti alu ‘abai, ash habul kisa dan yaumuddar.

Poin kedua: Dalam ayat-ayat ini Nabi saw diposisikan sebagai lawan bicara dan supaya mengatakan kepada istri-istrinya. Al-Quran mengatakan:”ya ayyuhannabi qul liazwaajika...(wahai nabi katakanlah kepada istri-istrimu...).

Selanjutnya Allah Swt juga menujukan khitab (ungkapan) tersebut kepada baiturrisalah dan maqamunnubuwwah (maqam kenabian), untuk menginformasikan bahwa sebab dari semua perintah dan larangan kepada istri-istri Nabi Saw tersebut adalah supaya Ahlulbait As terhindar dari tudingan berbuat kekejian; karena Allah SWT telah menghendaki bahwa Ahlulbait As akan dijauhkan dari berbagai bentuk kekotoran dan keburukan. Jadi konteksnya juga tidak paradoks dengan adanya pembatasan ayat tathir hanya pada Ash habul kisa.

Adapun jawaban untuk pertanyaan kedua adalah: Berdasarkan penjelasan sebelumnya, mungkin tidak perlu lagi diulangi untuk kedua kalinya dan cukup ditegaskan saja bahwa dalam beberapa riwayat mutawatir dikatakan; yang dimaksud dengan Ahlulbait As adalah Rasulullah saw, Imam Ali As, Hadrat Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As dan juga mencakup seluruh Imam (sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat tathir).
Penjelasan Detail:

Hal yang dijadikan landasan dan sandaran pada pertanyaan di atas sama seperti apa yang dituturkan oleh sebagian yang lain, yaitu dikatakan bahwa ayat tathir tersebut terletak di akhir ayat-ayat yang ada kaitannya dengan istri-istri Nabi Saw. Kalau hal tersebut tidak dikhususkan untuk istri-istri Nabi Saw, maka minimalnya secara umum bisa mencakup mereka (istri-istri Nabi saw). Klaim semisal ini tidak memiliki landasan argumen dan selain itu ada banyak dalil yang mencoba menafikan klaim di atas.

Dengan memfokuskan pikiran pada poin-poin dibawah ini akan dapat membantu kita untuk menemukan hakikat yang sebenarnya:

1. Meski kita punya keyakinan bahwa Al-Quran pada masa hidup Nabi Saw telah disusun dan dikodifikasi langsung oleh beliau, namun perlu dimaklumi bahwa substansi sebagian riwayat-riwayat menyiratkan bahwa ayat tathir itu turun secara sendiri (tanpa disertai ayat-ayat lain) dan bahkan tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini (ayat tathir) turun bersamaan dengan ayat-ayat yang ada kaitannya dengan istri-istri Nabi saw (ayat 28 dan 29 surah al-Ahzab). Buktinya adalah kalau ayat ini diambil dari sini maka tidak akan merusak keselarasan dan hubungannya.[1] Kalau pada bagian ini telah dimuat, itu karena Al-Quran menunjuk kepada seluruh anggota keluarga Nabi Saw dan mereka itu dibagi menjadi dua kelompok, sebagiannya adalah para istri Nabi Saw dan sebagiannya lagi adalah Ahlulbait Rasulullah saw, dan (Alquran) hendak menginformasikan bahwa seluruh sanak keluarga Nabi saw tersebut tidak berasal dari satu sumber yang sama, tapi diantara mereka ada kelompok khusus yang memperoleh anugerah serta inayah khusus langsung dari Allah SWT serta disucikan dari segala bentuk ketidaksucian. Ibarat lainnya, kalau pun kita mencoba menerima bahwa pada ayat-ayat sebelum dan sesudahnya adalah ayat-ayat yang ditujukan kepada istri-istri Nabi saw maka kita masih punya dua cara lain untuk membuktikan kalau yang dimaksud Ahlulbait As hanya ash habul kisa; yakni Rasulullah saw, Imam Ali As, Sayyidah Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As. Pertama: Iltifât: Iltifat merupakan salah satu metode dalam menjelaskan dan membuat sebuah tulisan atau ungkapan menjadi indah, seperti apa yang ada pada surat al-Fatihah dimana disana ketika berbicara dari ihwal ghaib (Alhamdulillah) berubah ke ihwal non-ghaib (iyyaka na’budu) dan iltifat dalam ayat tathir juga untuk menginformasikan poin berikut bahwa terhindarnya Ahlulbait As dari segala kenistaan merupakan hal yang demikian penting sehingga kepada istri-istri Nabi saw juga diperintahkan serta dilarang melakukan hal seperti ini (menjauhi kenistaan dan keburukan) supaya nantinya tidak ada seorang pun mencoba menuduh dan memprotes Ahlulbait As.[2] Kedua: i’tirâdh: tumbuh berkembangnya kalimat-kalimat sisipan (mu’taridhah) pada kalam dan ucapan para pakar ilmu Balaghah dan Fashahah merupakan hal yang lumrah dan dikalangan mereka seringkali melakukan hal semacam ini guna apa yang disampaikannya bisa tertanam dan terlukis dalam benak setiap orang yang mendengarnya dengan baik dan ini telah berulangkali disebutkan dalam Al-Quran.[3] Pada ayat yang sedang dibahas, guna melenyapkan khayalan sebagian orang yang meyakini bahwa Ahlulbait As sama seperti istri-istri Nabi Saw, dilampirkanlah kalimat sisipan (mu’taridha) seperti ini; yakni jika istri-istri Nabi Saw juga tidak menutup kemungkinan untuk berbuat dosa dan kesalahan maka demikian pula Ahlulbait As tidak menutup kemungkinan untuk melakukan dan berbuat dosa dan kesalahan, padahal Ahlulbait As terhindar serta terjaga dari hal semacam ini. Oleh karena itu dalam kalimat sisipan tersebut telah diingatkan bahwa:”innamaa yuriidullahu liyuzhaba...”.[4]

2. Dalam ayat-ayat ini setelah 20 bentuk pronoun plural (dhamir jama’) untuk perempuan, irama kalam Tuhan berubah dan menggantinya dengan bentuk pronoun plural untuk laki-laki dan ini merupakan indikasi terbesar yang menyatakan bahwa kita harus angkat kaki dari klaim yang bersumber dari bentuk konkret teks (ayat) tersebut dan seharusnya tidak meyakini atau memahami bahwa ayat tathir tersebut ditujukan kepada para istri Nabi Saw.

3. Pakar bahasa berkeyakinan bahwa kata ahl tidak digunakan untuk istri-istri, kecuali secara majazi.[5] Dan pada ayat 73 surat Hud, kendati Ahlulbait juga digunakan untuk istri-istri, namun harus dikatakan bahwa methode penggunaan (isti’mal) itu lebih umum dan mencakup penggunaan secara hakiki dan kalaupun terdapat indikasi (qarinah), namun itu tidak dapat menjadi penghalang atas adanya keinginan untuk memaknai hal itu secara majazi dan pada ayat yang disebutkan diatas terdapat qarinah dan indikasi penggunaan semacam ini, tapi pada ayat tathir tidak hanya ada qarinah dan indikasi yang mengarah kepada pemaknaan secara majazi, tapi bahkan qarinah dan indikasi sebaliknya pun tak ditemukan. Demikian sehingga Ummu Salamah, setelah turun ayat tathir tersebut, bertanya kepada Nabi Saw apakah ia termasuk bagian dari Ahlulbait As? Atau meminta kepada Rasulullah saw untuk menjadikan ia sebagai bagian dari Ahlulbait As,[6] padahal kalau kata ahl mencakup istri-istri Nabi Saw maka pertanyaan atau permohonan ummu Salamah kepada Nabi saw tidak tepat dan salah. Dari sinilah Zaid bin Arqam mengatakan bahwa istilah Ahlulbait itu bukan mengenai istri-istri.[7]

4. Menurut riwayat-riwayat yang dinukil dari Ahlusunnah, Aisyah dan Ummu Salamah dengan jelas menyatakan bahwa ayat tathir itu turun bukan ditujukan ke mereka.[8] Dan sesuai ungkapan Allamah Amini Ra:” Sekiranya ayat ini mencakup istri-istri Nabi Saw maka pasti Aisyah akan menulisnya di atas kening ontanya pada peristiwa perang Jamal, tapi ia tidak melakukannya padahal ketika itu ia sangat butuh dalil-dalil semacam ini”.[9] Dengan adanya hal di atas, ada dua kelompok yang mengklaim bahwa ayat tathir tersebut turun ditujukan kepada para istri Nabi Saw. Kelompok pertama: Di antara perawi hadis, seperti ‘Ikrimah, Maqatil bin Sulaiman dan ‘Urwah bin zubair telah menjelaskan pendapat pribadinya sendiri, dan di satu sisi terdapat riwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa mereka ini dituduh sebagai pembohong.[10] Kelompok kedua: Sebagian mufassir Ahlusunnah yang dengan bersandar pada metode tunggal atau pada semata satu konteks saja, telah mengklaim hal semacam ini namun metode yang hanya melihat satu konteks –kalau seumpama diterima- tidak akan mampu menandingi dalil-dalil kuat yang telah disebutkan sebelumnya.

5. Pada ayat 29 surat al Ahzab, kata turidna hendak menjelaskan bahwa Allah SWT tidak begitu memiliki perhatian terhadap para istri Nabi saw; yakni Allah SWT menyatakan bahwa mereka ini mukhtar (punya ikhtiar) dan Ia mengingatkan kalau mereka hendak berbangga sebagai istri Nabi saw maka kiranya harus menapaki jalan dan cara hidup seperti orang-orang saleh. Namun pada ayat tathir, kata innamaa yuriidullahu menghikayatkan ihwal kehendak dan iradah takwini[11] azali Allah SWT atas sebuah keluarga dimana keluarga tersebut terhindar dan suci dari segala macam bentuk ketidak sucian. Kejelasannya bahwa pada ayat tathir dari satu sisi terdapat kata innamaa yang bermakna hasr (hanya; pembatasan) iradah terkait dengan masalah pensucian dari rijs (dosa, amal keji) dan pada sisi lain kata ‘ankum lebih awal dari kata Ahlulbait dan kata Ahl juga diberi harakat fatha (maftuh) sebagai tanda kalau ia memiliki makna ”hanya, pembatasan dan pengkhususan”, dan kedua hal ini memiliki dilalah (petunjuk) yang menyatakan bahwa batasan pensucian tersebut hanya milik Ahlulbait As dan orang-orang yang diajak berbicara pada kata ‘ankum; yakni Allah Swt telah berkehendak bahwa hanya kalian wahai Ahlulbait As terhindar dan suci dari segala bentuk dosa (rijs). Jadi atas dasar itu, Ahlulbait As memiliki kekhususan tersendiri dan kata yuriidu menunjukkan bahwa iradah tersebut bersumber dari Allah SWT dimana “dijauhkan dari segala bentuk kenistaan” itu hanya ditujukan kepada Ahlulbait As dan inayah serta taufiq semacam ini tidaklah dimiliki sembarang orang, dan lebih menariknya lagi adalah mereka yang memperoleh inayah semisal ini karena dengan ikhtiar dan kehendak yang dimilikinya sendiri dalam menyiapkan lahannya. Iradah ini merupakan iradah dan kehendak yang tidak bisa dipungkiri dan juga tidak mungkin ada kaitan dengan para istri Nabi Saw karena pada ayat-ayat sebelum ayat tathir telah dijelaskan bahwa mungkin saja kalian para istri Nabi Saw lebih memilih dan cenderung kepada kehidupan dunia ini dan ketika itu tak ada gunanya membanggakan diri sebagai istri seorang Nabi Saw.[12]

6. Alif dan lam pada kalimat Ahlulbait, dalam istilah ilmu nahwu, disebut alif dan lam ‘ahdi dimana mengisyarahkan kepada sebuah kejadian yang telah terjadi; yakni kata Ahlulbait kejelasannya sama dengan peristiwa yaumuddaar dimana suatu hari Nabi saw mengumpulkan sekelompok orang-orang di rumah Abu Thalib dan mengumumkan kenabiannya serta menghikayatkan ihwal peristiwa orang-orang yang berada di suatu rumah (sesuai riwayat-riwayat yang ada, rumah tersebut adalah rumah Ummu Salamah) dan disuatu hari berada di bawah kain (‘aba) Rasulullah Saw dimana orang-orang tersebut tidak lain adalah Nabi Muhammad saw, Imam Ali As, Sayyidah Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As[13] ; artinya bahwa Ahlulbait dengan Âli ‘Aba serta Ashhabul kisa ketiga-tiganya merupakan satu tema yang tidak punya perbedaan sama sekali. Dan lebih tehnisnya bisa dikatakan bahwa ini merupakan sebuah proposisi eksternal bukan hakiki, dan proposisi-proposisi eksternal terkadang seperti ini sebuah tema berkedudukan sebagai subjek proposisi; misalnya dikatakan “muliakanlah kedua orang alim ini!”; yakni kedua pribadi alim tersebut wujudnya ada diluar, dan ini adalah hal yang jelas dimana pada proposisi-proposisi eksternal tidak akan menghukumi sesuatu yang bukan subjek dari proposisi tersebut.

Adapun bukti-bukti: 1. Pada ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, kata bait berbentuk plural ketika digabungkan (idhafah) kepada para wanita dimana dimaknai dengan kamar atau ruangan khusus para wanita. Jadi kata al bait juga harus dimaknai sebagai kamar atau ruangan khusus, 2. Sesuai dengan riwayat-riwayat, ayat tersebut juga mencakup pribadi Nabi saw dan dengan tercakupnya Nabi saw, apakah ada jalan selain dari penafsiran ini?, 3. Pada ayat 73 surat Hud, kata Ahlulbait menggunakan alif dan lam dan maksud ahlulbait dalam ayat itu adalah Hadrat Ibrahim As dan Sarah, dan sungguh adanya kemungkinan-kemungkinan seperti ahlulqiblah atau para istri Nabi Ibrahim As atau keluarga beliau As pada ayat tersebut ternafikan dan ini bisa mengantarkan kita untuk memahami kata Ahlulbait pada ayat tathir.[14]

7. Dengan mencamkan baik-baik ayat-ayat ini dan ayat tathir maka dapat diklaim bahwa konteks ayat tersebut tidak memiliki sedikit pun dilâlah (petunjuk) yang menunjukkan kalau ayat tathir tersebut juga mencakup istri-istri Nabi Saw (baik secara khusus mencakup para istri Nabi Saw saja atau secara umum mencakup para istri Nabi Saw dan selain istri beliau). Tapi justru sebaliknya, ayat itu turun ditujukan serta hendak menjelaskan Ash Habul kisa. Pada ayat-ayat tersebut, Nabi Saw yang diajak berbicara: “Yaa ayyuhannabii qul liazwaajika...; yakni Allah Swt memerintahkan kepada Rasulullah Saw untuk menyuruh istri-istrinya memilih antara Allah Swt serta Rasul-Nya dengan kehidupan dunia. Selain itu ditambahkan pula:”Wahai istri-istri Nabi saw barangsiapa diantara kalian yang berbuat dosa secara terang-terangan maka azab bagi mereka itu akan digandakan dan...” dan ungkapan ini ditujukan kepada istri-istri atau pada lanjutan dari firman Allah Swt kepada Nabi Saw dimana beliau saw menyampaikan perintah-perintah ini kepada istri-istrinya atau ini merupakan bentuk iltifât (telah dijelaskan sebelumnya) dimana Allah SWT langsung berbicara kepada istri-istri Rasulullah Saw.

Falsafah adanya iltifât dalam ayat ini adalah para istri Nabi Saw memiliki hubungan dengan Rasulullah Saw dan untuk menjaga kehormatan maqam kenabian dan baiturrisalah, Allah Swt menitahkan kepada istri-istri Nabi Saw bahwa kalau kalian (istri-istri Nabi Saw) melakukan perbuatan dosa secara terang-terangan maka azab-Nya dua kali lipat dan seterusnya Allah Swt menjadikan maqam kenabian dan baiturrisalah (kediaman risalah) tersebut sebagai objek pembicaraan guna Ia hendak menginformasikan bahwa sebab adanya iltifat kepada istri-istri Nabi saw dan juga sebab lahirnya perintah-perintah dan larangan-larangan ini tidak lain adalah demi melenyapkan serta menghilangkan segala bentuk kotoran dosa dan mensucikan rumah ini (baiturrisalah).

“Innamaa yuriidullahu liyuzhiba ‘ankumurrijsa...”; yakni bahwa Allah SWT dengan iradah tasyri’i menginginkan supaya istri-istri Nabi Saw melakukan hal-hal ini demi menjauhkan kalian Ahlulbait As dari segala bentuk noda dosa dan buktinya adalah ayat tersebut menyatakan:”liyuzhiba ‘ankumurrijsa” dan tidak menyatakan dengan:”al izhaabu Arrijsu” dan huruf lam pada kata liyuzhiba adalah untuk ta’lil (menjelaskan sebab-sebab suatu hal atau perkara), jadi Allah SWT menginginkan taklif-taklif tersebut ditujukan kepada istri-istri Nabi saw. Sebab dari iradah tersebut adalah menjauhkan serta melenyapkan segala bentuk kotoran dosa dari Ahlulbait As, sehingga dari sisi ini pula, Ahlulbait Nabi saw tidak dapat dituding atau bahkan dituduh melakukan dosa dan segala bentuk kenaifan.

Hal ini menandaskan ihwal iradah takwini atas terhindarnya Ahlulbait As dari segala bentuk dosa dan ini merupakan hal yang sangat fundamental serta asasi. Dan karna demikian pentingnya sehingga Allah Swt secara pribadi tidak mengizinkan sama sekali salah seorang dari kerabat (istri-istri dan siapa pun juga) mencoba membuat nama baik Ahlulbait As tercoreng. Oleh karna itu, dengan perintah dan larangan secara tasyri’i Allah SWT menetapkan pahala atau azab dua kali lipat untuk istri-istri Nabi saw.[15] Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Adanya pembatasan (hashr) pada ayat tathir khusus untuk ash habul kisa tidak paradoks dengan konteks ayat dan kalaupun ada ketidaksesuaian itu hanya dari segi iltifat atau kalimat mu’taridhah. Dengan melihat indikasi dan qarinah yang ada maka harus dikatakan bahwa ayat tersebut ditujukan khusus untuk ash habul kisa.

2. Maksud dari Ahlulbait As adalah Nabi Muhammad saw, Imam Ali As, Sayyidah Fathimah As, Imam Hasan As dan Imam Husein As, atau bahwa istilah ini merupakan istilah khusus yang ada dalam Alquran[16] dan atau Ahlulbait As itu sebagaimana yang telah disebutkan.[17]

Terakhir perlu dikatakan bahwa kalau demikian halnya, lalu kenapa para Imam Ma’shum As menggunakan kata Ahlulbait tersebut untuk diri mereka?[18] Jawabannya bahwa berdasarkan penafsiran ini dimana ayat tersebut ditujukan kepada baitunnubuwwah dan maqamurrisalah maka luas-sempitnya batasan Ahlulbait tersebut bisa menjadi jelas dan transparan dengan melihat indikasi dan qarinah serta riwayat-riwayat dan adapun qarinah dan indikasi yang ada menjelaskan bahwa ayat tathir tersebut menghendaki kepemimpinan kaum Muslimin tersebut diemban oleh Ahlulbait As.

Adapun bukti-buktinya, antara lain:

1. Imam Ali As, ketika berada di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar, dengan bersandar pada bahwa beliau As adalah salah satu bagian dari Ahlulbait As, menyatakan akan kelayakannya untuk memimpin kaum Muslimin.[19]

2. Beliau (Imam Ali As), dalam majlis Umar yang dihadiri enam orang, dengan bersandar pada ayat tathir menyatakan kalau beliau itu paling layak menjadi pemimpin.[20]

3. Imam Hasan As ketika memegang tumpuk kepemimpinan, beliau dengan bersandar pada ayat tathir mengikrarkan kelayakannya untuk memimpin kaum Muslimin.[21]

4. Imam Husein As juga melakukan hal yang sama ketika hendak membuktikan kelayakannya untuk memimpin Umat Islam.[22]

5. Rasulullah saw, selama kurang lebih 6 bulan setiap subuh ketika hendak berangkat ke masjid untuk shalat, berdiri di depan pintu rumah Imam Ali As dan Sayyidah Fathimah As sambil membaca:”innamaa yuriidullahu liyuzhiba ‘ankumurrijsa...”.[23]

Apakah Nabi saw punya maksud lain selain daripada beliau hendak memberitahukan kepada orang-orang bahwa sepeninggal Rasulullah saw, hendaknya orang-orang jangan mencari rumah selain rumah Ahlulbait As (jangan mengikuti selain dari Ahlulbait As). Dengan demikian, tema tersebut mencakup dan meliputi seluruh Imam Ma’shum As, kenapa? Karna mereka itu adalah pemimpin sejati dan hakiki Umat Islam.

Materi kajian ini tetap bisa dikatakan benar, kendatipun berdasar pada penafsiran bahwa alif dan lam , untuk ‘ahd khariji (sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya) dimana Ahlulbait dijadikan tema yang sangat sesuai; karna menurut teori ini kata Ahlulbait dapat dilihat dari dua sudut pandang: 1. Kata ini menjadi pokok perhatian dikarnakan peristiwa turunnya, 2. Hal ini menjadi fokus perhatian dikarnakan hukum yang diembankan di dalamnya; yakni menjauhkan dari segala perbuatan keji dan menetapkan kesucian. Dengan melihat bagian pertama maka yang dimaksud Ahlulbait As itu hanya Ahlul kisa; yakni hanya kelima orang yang disuatu hari berada di bawah naungan kain (‘aba) Rasulullah saw. Namun jika melihat bagian yang kedua maka seluruh Imam Ma’shum juga termasuk Ahlulbait dengan alasan bahwa sesuai dengan substansi ayat tathir mereka itu memiliki satu kesamaan. Oleh sebab itu, tema ini juga mencakup mereka dan mungkin dengan alasan ini pula sehingga Rasulullah saw bersabda bahwa:”Salman Al Farisi adalah dari kami Ahlulbait”.[24]

Imam Shadiq ketika menjawab pertanyaan Ibnu Katsir, bersabda:”Ahlulbait As adalah kelima orang tersebut, adapun para Imam Ma’shum As yang lain, dengan bantuan ayat lain dari Alquran; yakni ulul arhaami ba’dhuhum awlaa bi ba’din fii kitabillahi, maka mereka juga termasuk Ahlulbait”;[25] yakni takwil ayat ini bahwa para Imam yang lain memperoleh keutamaan ini dan dijauhkan dari segala bentuk perbuatan keji. Takwil daripada ayat tathir tersebut adalah ayat ulul arhaam itu sendiri dimana telah dibuktikan bahwa ayat tathir tersebut mencakup seluruh Imam Ma’shum As,[26] tentunya bukan dilihat dari bentuk tekstualnya tapi ditinjau dari segi takwil dan penjelasannya.[Indonesia.i
slamquest.net]

[1] Allamah Thabathabai, Tafsir al Mizan, jil. 16 hal. 311-312.

[2] Karaki, Nafahât al-Lâhût, hal. 85; Muhammad Hasan Muzhaffar, Dalâilu al-Shidq; Sayyid Ja’far Murtadha ‘Amili, Ahlu Bait dar Aye-e tathir, hal. 58-61.

[3] Qs. Yusuf ayat 28 dan 29, Qs. An Naml ayat 34 dan 35, Qs. Al Baqarah ayat 73-75, Qs. Al Waqi’ah ayat 76, Qs. Luqman ayat 13 dan 16.

[4] ibid, Ahlu Bait dar aye-e tathir, hal. 60-62; Isyraqi, Syihabuddin dan Fadhil Lankarani, Ahl-e bait, hal. 53-81.

[5] Ahli bahasa membedakan antara kata ahlu al-Rajul dengan Ahlulbait dan meyakini bahwa penggunaan ahlulbait untuk istri-istri itu hanya secara majazi (Tâjul ‘Aruus, jil. 1 hal.217; Lisânul ‘Arab, jil. 1 hal. 38; mufradaat Raghib, hal. 29. Oleh itu, substansi sebagian dari riwayat-riwayat Nabi Saw, kendati Rasulullah Saw menganggap bahwa Ummu Salamah adalah keluarga dan salah satu istrinya, namun Rasulullah Saw tidak mengabulkan guna memasukkan ia (Ummu Salamah) sebagai bagian Ahlulbait As; Suyuthi, Tafsir Al-Durr al-Mantsur, jil. 5 hal. 198; Musykilul Âtsâr Thahawi, jil. 1 hal. 334; Muhammad bin Harir Thabari, Jâmi’ul Bayân, jil. 22, hal. 7; Nafahaatullaahuut, hal. 84; Mushtafa bin Isma’il Dimasyqi, Mirqâtul Wushul, hal. 106; Bihâr al-Anwâr, jil. 35 hal. 217 dan 228.

[6] Tafsir Ibnu Katsir, jil. 3 hal. 484 dan 485; Sayyid Hasyim Bahrani, Ghâyatul Marâm.

[7] Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnah, jil. 4 hal. 21; shahih Muslim, jil. 7 hal. 123; Bihaarul anwaar, jil. 35 hal. 230 dan jil. 23 hal. 117; Ibnu Hajar Asqalani, ash shawa’iqul muhriqah, hal. 147; sayyid Hasyim Bahrani, al-Burhân fii Tafsir al-Qur’ân, jil. 3 hal. 324; Bayadhi ‘Amili, Al-Shirath al-Mustaqim, jil. 1 hal. 185; Qadhi Nurullah Syustari, Ihqâq al-Haqq wa Ibthâl al-Bâthil, Mulhaqât Ayatullâh Mar’asyi Najafi, jil. 9 hal. 323; Ahlu Baitdar Aye-e Tathhir, hal. 119.

[8] Abdul Qadir Badaran, Tahdzib Târikh Dimasyq, jil. 4 hal. 908; Tafsir Majma’ al-Bayân, jil. 8 hal. 356; Qunduzi, Yanâbii’ al-Mawaddah, hal. 249; Ibnu Hajar Asqalani, Al-Shawâ’iq al-Muhriqah, hal. 141... Ahlu Bait dar Aye-e Tathhir, hal. 20-28; Allamah Thabathabai, Tafsir al-Mizân, jil. 16 hal. 316-324.

[9] Dinukil dari kitab Ahlu Bait dar Aya-e Tathhir, hal. 78.

[10] Ahlu Baitdar Aye-e Tathhir, hal. 22; Isyraqi dan Fadhil Lankarani, Ahlu Bait, hal. 5-53; Allamah Syarafuddin Musawi, Al-Kalimat al-Gharra fii Tafshiili al-Zahra; Qamus al-Rijâl; Syarh-e Hâl-e Rijâl; Dalâil al-Shidq, jil. 2 hal. 95; Qadhi Nurullah syusytari, Qadhi, Ihqâq al-Haqq wa Ibthâl al-Bâthil, jil. 2 hal. 502.

[11] Irâdah takwini adalah iradah yang terkait hanya kepada si yang berkehendak, yakni hanya tergantung kepada takwin (penciptaan) dan wujudnya dan iradah semacam ini ada pada Allah Swt dan juga ada pada manusia, namun iradah takwini manusia selalu tidak pernah terselesaikan dan dikalahkan oleh iradah azali. Adapun iradah tasyri’i adalah iradah yang tergantung kepada perbuatan (fi’il) orang yang lain, dengan kata lain ia melakukan hal tersebut dengan ikhtiarnya sendiri. Dan inilah perintah dan larangan Allah Swt dimana si mukallaf punya kemungkinan untuk mengamalkannya dan juga punya kemungkinan untuk tidak mengamalkannya.

[12] Isyraqi dan Fadhil Lankarani, Ahl-u bait, hal. 81-92.

[13] ‘arusi huwaizi, abdu ali bin jum’ah, Tafsir nurutstsaqalain, jil. 4 hal. 276 dan 277.

[14] Isyraqi dan Fadhil Lankarani, ahl-e bait, hal. 112-142.

[15] Sayyid Ja’far Murtadha ‘Amili, Ahlu Baitdar aye-e tathir, hal. 38-51

[16] Allamah Thabathabai, Tafsir al Mizân, jil. 16 hal. 312.

[17] Isyraqi dan Fadhil Lankarani, Ahl-e bait, hal. 112.

[18] tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 4 hal. 275, Riwayat Ihtijâj, dan hal. 273 riwayat Ushul Kâfi.

[19] Ibnu Abi Al Hadid, Syarh Nahjul Balâghah, jil. 6 hal. 11 dan 12.

[20] Sayyid Hasyim Buhrani, Ghâyatul Marâm, hal. 265; Ihtijâj Thabarsi.

[21] Qâmus al-Rijâl, jil. 6 hal. 20.

[22] Ibnu Thawus, Luhuf, hal. 53.

[23] Tafsir Ibnu katsir, jil. 3 hal. 483; Musnad Ahmad, jil. 3 hal. 259; Al kalimat al-Garra’ fii tafdhil al-Zahra’.

[24] Qamus Ar Rijal, jil. 4 hal. 423.

[25] ‘Arusi huwaizi, Abdu Ali bin Jum’ah, Tafsir Nur al-Tsaqalain, riwayat Abdurrahman bin Katsir, jil. 4 hal. 273.

[26] Isyraqi dan Fadhil Lankarani, ahl-e bait, hal. 112-143 dan 5-53.

Sabtu, November 21, 2009

Imam Ali bin Abi Thalib di Mata Ibnu Taimiyah (penggagas pemikiran Wahabisme (salafy), kakek guru Muhammad bin Abd Wahab

Al-Imam Ali bin Abi Thalib adalah satu sosok sahabat terkemuka Rasulullah saw. Terlampau banyak keutamaan yang disematkan pada diri Ali, baik melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, maupun melalui hadis yang secara langsung disampaikan oleh Rasul. Keutamaan Ali dapat dilihat dari banyak sudut pandang. Dilihat dari proses kelahiran[2] hingga kesyahidannya.[3] Dari kedekatannya dengan Rasulullah, hingga kecerdasannya dalam menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh Rasul kepadanya. Dari situlah akhirnya ia mendapat banyak kepercayaan dari Rasul dalam melaksanakan tugas-tugas ritual maupun sosial keagamaan.

Dengan menilik berbagai keutamaan Ali[4], maka sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin –baik Ahlussunnah, maupun Syiah- bahwa Ali bin Abi Thalib adalah salah satu khalifah pasca Rasulullah.[5] Walaupun terdapat perbedaan pendapat antara Ahlussunah dan Syiah tentang urutan kekhilafahan pasca Rasul, tetapi yang jelas mereka sepakat bahwa Ali termasuk salah satu jajaran khalifah Rasul.

Pada tulisan ringkas ini akan dibahas perihal pendapat Ibnu Taimiyah tentang keutamaan Ali, yang berlanjut pada pendapatnya tentang kekhalifahan beliau.

Kelemahan Ali di Mata Ibnu Timiyah:
Di sini akan disebutkan beberapa pendapat Ibnu Taimiyah dalam melihat kekurangan pada pribadi Ali:

Disebutkan dalam kitab Minhaj as-Sunnah karya Ibnu Taimiyah, bahwa Ibnu Taimiyah meremehkan kemampuan Ali bin Abi Thalib dalam permasalahan fikih (hukum agama). Ia mengatakan: “Ali memiliki banyak fatwa yang bertentangan dengan teks-teks agama (nash)”. Bahkan Ibnu Taimiyah dalam rangka menguatkan pendapatnya tersebut, ia tidak segan-segan untuk mengatasnamakan beberapa ulama Ahlusunnah yang disangkanya dapat sesuai dengan pernyataannya itu. Lantas dia mengatakan: “As-Syafi’i dan Muhammad bin Nasr al-Maruzi telah mengumpulkan dalam satu kitab besar berkaitan dengan hukum yang dipegang oleh kaum muslimin yang tidak diambil dari ungkapan Ali. Hal itu dikarenakan ungkapan sahabat-sahabat selainnya (Ali), lebih sesuai dengan al-Kitab (al-Quran) dan as-Sunnah”[6].

Berkenaan dengan ungkapan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa banyak ungkapan Ali yang bertentangan dengan nash (teks agama), hal itu sangatlah mengherankan, betapa tidak? Apakah mungkin orang yang disebut-sebut sebagai ‘syeikh Islam’ seperti Ibnu Taimiyah tidak mengetahui banyaknya hadis dan ungkapan para salaf saleh yang disebutkan dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah sendiri perihal keutamaan Ali dari berbagai sisinya, termasuk sisi keilmuannya. Jika benar bahwa ia tidak tahu, maka layakkah gelar syeikh Islam tadi baginya? Padahal hadis-hadis tentang keutamaan Ali sebegitu banyak jumlahnya. Jika ia tahu, tetapi tetap bersikeras untuk menentangnya-padahal keutamaan Ali banyak tercantum dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah yang memiliki sanad hadis yang begitu kuat sehingga tidak lagi dapat diingkarinya- maka terserah Anda untuk menyikapinya! Lantas, apa kira-kira maksud dibalik pengingkaran tersebut? Karena kebodohan Ibnu Taimiyah? Ataukah karena kebencian Ibnu Taimiyah atas Ali? Ataukah karena kedua-duanya? Bukankah Ali termasuk salah satu Ahlul Bait Nabi,[7] dimana sudah menjadi kesepakatan antara Sunnah-Syiah bahwa pembenci Ahlul-Bait Nabi dapat dikategorikan Nashibi atau Nawashib? Lantas manakah bukti bahwa Ibnu Taimiyah adalah pribadi yang getol menghidupkan kembali ajaran salaf saleh, sedang ungkapannya banyak bertentangan dengan ungkapan salaf saleh.

Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa hadis yang membahas tentang keilmuan Ali sesuai dengan pengakuan para salaf saleh yang diakui sebagai panutan oleh Ibnu Taimiyah:

Sabda Rasulullah saw: “Telah kunikahkan engkau –wahai Fathimah- dengan sebaik-baik umatku yang paling tinggi dari sisi keilmuan dan paling utama dari sisi kebijakan…”.[8]

1. Sabda Rasulullah saw: “Ali adalah gerbang ilmuku dan penjelas bagi umatku atas segala hal yang karenanya aku diutus setelahku”.[9]

2. Sabda Rasulullah saw: “Hikmah (pengetahuan) terbagi menjadi sepuluh bagian, maka dianugerahkan kepada Ali sembilan bagian, sedang segenap manusia satu bagian (saja)”.[10]

3. Berkata ummulmukminin Aisyah: “Ali adalah pribadi yang paling mengetahui dari semua orang tentang as-Sunnah”.[11]

4. Berkata Umar bin Khattab: “Ya Allah, jangan Engkau biarkan aku dalam kesulitan tanpa putera Abi Thalib (di sisiku)”.[12]

5. Berkata Ibnu Abbas: “Demi Allah, telah dianugerahkan kepada Ali sembilan dari sepuluh bagian ilmu. Dan demi Allah, ia (Ali) telah ikut andil dari satu bagian yang kalian miliki”.[13] Dalam nukilan kitab lain ia berkata: “Tidaklah ilmuku dan ilmu para sahabat Muhammad saw sebanding dengan ilmu Ali, sebagaimana setetes air dibanding tujuh samudera”.[14]

6. Berkata Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya al-Quran turun dalam tujuh huruf. Tiada satupun dari huruf-huruf tadi kecuali didalamnya terdapat zahir dan batin. Dan sesungguhnya Ali bin Abi Thalib memiliki ilmu tentang zahir dan batin tersebut”.[15]

7. Berkata ‘Adi bin Hatim: “Demi Allah, jika dilihat dari sisi pengetahuan terhadap al-Quran dan as-Sunnah, maka dia –yaitu Ali- adalah pribadi yang paling mengetahui tentang dua hal tadi. Jika dari sisi keislamannya, maka ia adalah saudara Rasul dan memiliki senioritas dalam keislaman. Jika dari sisi kezuhudan dan ibadah, maka ia adalah pribadi yang paling nampak zuhud dan paling baik ibadahnya”.[16]

8. Berkata al-Hasan: “Telah meninggalkan kalian, pribadi yang kemarin tiada satupun dari pribadi terdahulu dan akan datang yang bisa mengalahi keilmuannya”.[17]

Dan masih banyak lagi hadis-hadis pengakuan Nabi beserta para sahabatnya yang menyatakan akan keluasan ilmu Ali dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah.

Adapun tentang ungkapan Ibnu Taimiyah yang menukil pendapat orang lain perihal Ali tersebut merupakan kebohongan atas pribadi yang dinukil tadi. Karena maksud al-Maruzi yang menulis karya besar tadi, ialah dalam rangka mengumpulkan fatwa-fatwa Abu Hanifah –pendiri mazhab Hanafi- yang bertentangan dengan pendapat sahabat Ali dan Ibnu Mas’ud. Jadi topik utama pembahasan kitab tersebut adalah fatwa Abu Hanifah dan ungkapan sahabat, yang dalam hal ini berkaitan dengan Ali dan Ibnu Mas’ud. Tampak, betapa terburu-burunya Ibnu Taimiyah dalam membidik Ali dengan menukil pendapat orang lain, tanpa membaca lebih lanjut dan teliti tujuan penulisan buku tersebut. Ini merupakan salah satu contoh pengkhianatan Ibnu Taimiyah atas beberapa pemuka Ahlussunah.
 Dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah ternyata bukan hanya meragukan akan kemampuan Ali dari sisi keilmuan, bahkan ia juga mengingkari banyak hal yang berkaitan dengan keutamaan Ali.[18] Di sini akan disebutkan beberapa contoh ungkapan Ibnu Taimiyah perihal masalah tersebut:

1. Kebencian terhadap Ali: “Ungkapan yang menyatakan bahwa membenci Ali merupakan kekufuran, adalah sesuatu yang tidak diketahui (asalnya)”.[19]

2. Pengingkaran hadis Rasul: “Hadis ana madinatul ilmi (Aku adalah kota ilmu…) adalah tergolong hadis yang dibikin (maudhu’)”.[20]

3. Kemampuan Ali dalam memutuskan hukum: “Hadis “aqdhakum Ali” (paling baik dalam pemberian hukum diantara kalian adalah Ali) belum dapat ditetapkan (kebenarannya)”.[21]

4. Keilmuan Ali: “Pernyataan bahwa Ibnu Abbas adalah murid Ali, merupakan ungkapan batil”.[22] Sehingga dari pengingkaran itu ia kembali mengatakan: “Yang lebih terkenal adalah bahwa Ali telah belajar dari Abu Bakar”.[23]

5. Keadilan Ali: “Sebagian umatnya mengingkari keadilannya. Para kelompok Khawarij pun akhirnya mengkafirkannya. Sedang selain Khawarij, baik dari keluarganya maupun selain keluarganya mengatakan: ia tidak melakukan keadilan. Para pengikut Usman mengatakan: ia tergolong orang yang menzalimi Usman…secara global, tidak tampak keadilan pada diri Ali, padahal ia memiliki banyak tanggungjawab dalam penyebarannya, sebagaimana yang pernah terlihat pada (masa) Umar, dan tidak sedikitpun mendekati (apa yang telah dicapai oleh Umar)”.[24]

Dari pengingkaran-pengingkaran tersebut akhirnya Ibnu Taimiyah menyatakan: “Adapun Ali, banyak pihak dari pendahulu tidak mengikuti dan membaiatnya. Dan banyak dari sahabat dan tabi’in yang memeranginya”.[25]

Bisa dilihat, betapa Ibnu Taimiyah telah memiliki kesinisan tersendiri atas pribadi Ali sehingga membuat mata hatinya buta dan tidak lagi melihat hakikat kebenaran, walaupun hal itu bersumber dari syeikh yang menjadi panutannya, Ahmad bin Hambal. Padahal, imam Ahmad bin Hambal -sebagai pendiri mazhab Ahlul-Hadis yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dari berbagai ajaran dan metode mazhabnya- juga beberapa imam ahli hadis lain –seperti Ismail al-Qodhi, an-Nasa’i, Abu Ali an-Naisaburi- telah mengatakan: “Tiada datang dengan menggunakan sanad yang terbaik berkaitan dengan pribadi satu sahabat pun, kecuali yang terbanyak berkaitan dengan pribadi Ali. Ali tetap bersama kebenaran, dan kebenaran bersamanya sebagaimana ia berada”.[26]

Dalam masalah kekhilafahan Ali, Ibnu Taimiyah pun dalam beberapa hal meragukan, dan bahkan melecehkannya. Di sini dapat disebutkan contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah tentang kekhalifahan Ali:

1. “Kekhilafahan Ali tidak menjadi rahmat bagi segenap kaum mukmin, tidak seperti (yang terjadi pada) kekhilafahan Abu Bakar dan Umar”.[27]

2. “Ali berperang (bertujuan) untuk ditaati dan untuk menguasai atas umat, juga (karena) harta. Lantas, bagaimana mungkin ia (Ali) menjadikan dasar peperangan tersebut untuk agama? Sedangkan jika ia menghendaki kemuliaan di dunia dan kerusakan (fasad), niscaya tiada akan menjadi pribadi yang mendapat kemuliaan di akherat”.[28]

3. “Adapun peperangan Jamal dan Shiffin telah dinyatakan bahwa, tiada nash dari Rasul.[29] Semua itu hanya didasari oleh pendapat pribadi. Sedangkan mayoritas sahabat tidak menyepakati peperangan itu. Peperangan itu, tidak lebih merupakan peperangan fitnah atas takwil. Peperangan itu tidak masuk kategori jihad yang diwajibkan, ataupun yang disunahkah. Peperangan yang menyebabkan terbunuhnya banyak pribadi muslim, para penegak shalat, pembayar zakar dan pelaksana puasa”.[30]

Untuk menjawab pernyataan Ibnu Taimiyah tadi, cukuplah dinukil pernyataan beberapa ulama Ahlusunnah saja, guna mempersingkat pembahasan.

Al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir dalam menukil ungkapan al-Jurjani dan al-Qurthubi menyatakan: “Dalam kitab al-Imamah, al-Jurjani mengatakan: “Telah sepakat (ijma’) ulama ahli fikih (faqih) Hijaz dan Iraq, baik dari kelompok ahli hadis maupun ahli ra’yi semisal imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah dan Auza’i dan mayoritas para teolog (mutakallim) dan kaum muslimin, bahwa Ali dapat dibenarkan dalam peperangannya melawan pasukan (musuhnya dalam) perang jamal. Dan musuhnya (Ali) dapat dikelompokkan sebagai para penentang yang zalim”. Kemudian dalam menukil ungkapan al-Qurthubi, dia mengatakan: “Telah menjadi kejelasan bagi ulama Islam berdasar argumen-argumen agama, bahwa Ali adalah imam. Oleh karenanya, setiap pribadi yang keluar dari (kepemimpinan)-nya, niscaya dihukumi sebagai penentang yang berarti memeranginya adalah suatu kewajiban hingga mereka kembali kepada kebenaran, atau tertolong dengan melakukan perdamaian”.[31]

Jelas bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah dengan mengatasnamakan salaf saleh tidaklah memiliki dasar sedikitpun, apalagi jika ia mengatasnamakan para imam mazhab Ahlusunnah. Lantas, bagaimana mungkin pribadi seperti Ibnu Taimiyah dapat mewakili pemikiran Ahlusunnah, padahal begitu banyak pandangan ulama Ahlusunnah sediri yang secara jelas bertentangan dengan pendapat Ibnu Taimiyah? Lebih-lebih pendapat Ibnu Taimiyah tadi hanya sebatas pengakuan saja, tanpa memberikan argumen maupun rujukan yang jelas, baik yang berkaitan dengan hadis (Rasul saw), maupun ungkapan para salaf saleh (dari sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) termasuk nukilan pendapat para imam mazhab empat secara cermat, apalagi bukti ayat al-Quran.

Yang lebih parah lagi, setelah ia meragukan semua keutamaan Ali bin Abi Thalib, dari seluruh ungkapannya tersebut, akhirnya ia pun meragukan Ali sebagai khalifah. Hal itu merupakan konsekuensi dari semua pernyataan yang pernah ia lontarkan sebelumnya. Mengingat, dalam banyak kesempatan Ibnu Taimiyah selalu meragukan kemampuan Ali dalam memimpin umat. Oleh karenanya, dalam banyak kesempatan pula ia menyebarkan keragu-keraguan atas kekhilafan Ali. Tentu saja, metode yang dipakainya dalam masalah inipun sama sebagaimana yang ia terapkan sebelumnya -seperti yang telah disinggung di atas, yaitu; dengan cara menukil beberapa pendapat yang sangat tidak mendasar, dan tidak jujur sembari mengajukan pendapat pribadinya sebagai pendapat tokoh-tokoh salaf saleh.
Berikut ini adalah beberapa contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah dalam masalah tersebut:
1. “Diriwayatkan dari Syafi’i dan pribadi-pribadi selainnya, bahwa khalifah ada tiga; Abu Bakar, Umar dan Usman”.[32]

2. “Manusia telah bingung dalam masalah kekhilafan Ali (karena itu mereka berpecah atas) beberapa pendapat; Sebagian berpendapat bahwa ia (Ali) bukanlah imam, akan tetapi Muawiyah-lah yang menjadi imam. Sebagian lagi menyatakan, bahwa pada zaman itu tidak terdapat imam secara umum, bahkan zaman itu masuk kategori masa (zaman) fitnah”.[33]

3. “Dari mereka terdapat orang-orang yang diam (tidak mengakui) atas (kekhalifahan) Ali, dan tidak mengakuinya sebagai khalifah keempat. Hal itu dikarenakan umat tidak memberikan kesepakatan atasnya. Sedang di Andalus, banyak dari golongan Bani Umayyah yang mengatakan: Tidak ada khalifah. Sesungguhnya khalifah adalah yang mendapat kesepakatan (konsensus) umat manusia. Sedang mereka tidak memberi kesepakatan atas Ali. Sebagian lagi dari mereka menyatakan Muawiyah sebagai khalifah keempat dalam khutbah-khutbah jum’atnya. Jadi, selain mereka menyebutkan ketiga khalifah itu, mereka juga menyebut Muawiyah sebagai (khalifah) keempat, dan tidak menyebut Ali”.[34]

4. “Kita mengetahui bahwa sewaktu Ali memimpin, banyak dari umat manusia yang lebih memilih kepemimpinan Muawiyah, atau kepemimpinan selain keduanya (Ali dan Muawiyah)…maka mayoritas (umat) tidak sepakat dalam ketaatan”.[35]

Jelas sekali di sini bahwa Ibnu Taimiyah selain ia berusaha menyebarkan karaguan atas kekhalifah Ali bin Abi Thalib kepada segenap umat, ia pun menjadi corong dalam menyebarkan kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedang hal itu jelas-jelas bertentangan dengan akidah Ahlusunnah wal Jama’ah.

Untuk menjawab pernyataan-pernyataan Ibnu Taimiyah di atas tadi, mari kita simak beberapa pernyataan pembesar ulama Ahlusunnah tentang kekhilafahan Ali bin Abi Thalib, dan ungkapan mereka perihal Muawiyah bin Abu Sufyan, termasuk yang bersumber dari kitab-kitab karya imam Ahmad bin Hambal yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dalam pola pikir dan metode (manhaj)-nya.

1. Dinukil dari imam Ahmad bin Hambal: “Barangsiapa yang tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, maka jangan kalian ajak bicara, dan jangan adakan tali pernikahan dengannya”.[36]

2. Dikatakan bahwa imam Ahmad bin Hambal pernah mengatakan: “Barangsiapa yang tidak menetapkan imamah (kepemimpinan) Ali, maka ia lebih sesat dari Keledai. Adakah Ali dalam menegakkan hukum, mengumpulkan sedekah dan membagikannya tanpa didasari hak? Aku berlindung kepada Allah dari ungkapan semacam ini…akan tetapi ia (Ali) adalah khalifah yang diridhai oleh para sahabat Rasul. Mereka melaksanakan shalat dibelakangnya. Mereka berperang bersamanya. Mereka berjihad dan berhaji bersamanya. Mereka menyebutnya sebagai amirulmukminin. Mereka ridha dan tiada mengingkarinya. Maka kami pun mengikuti mereka”.[37]

3. Dalam kesempatan lain, sewaktu putera imam Ahmad bin Hambal menanyakan kepada ayahnya perihal beberapa orang yang mengingkari kekhalifahan Ali, beliau (imam Ahmad) berkata: “Itu merupakan ungkapan buruk yang hina”[38].

4. Dari Abi Qais al-Audi yang berkata: “Aku melihat umat manusia di mana mereka terdapat tiga tahapan; Para pemilik agama, mereka mencintai Ali. Sedang para pemilik dunia, mereka mencintai Muawiyah, dan Khawarij”.[39]

Adapun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan keutamaan Ali terlampau banyak untuk disampaikan di sini. Untuk mempersingkat pembahasan, kita nukil beberapa contoh riwayat yang khusus berkaitan dengan keilmuan dan kekhilafan Ali dari kitab-kitab standar Ahlusunnah wal Jamaah:

1. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi dijelaskan dari Hayyan al-Asadi; aku mendengar Ali berkata: Rasul bersabda kepadaku: “Sesungguhnya umat akan meninggalkanmu setelahku (sepeninggalku), sedang engkau hidup di atas ajaranku. Engkau akan terbunuh karena (membela) sunahku. Barangsiapa yang mencintaimu, maka ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa yang memusuhimu, maka ia telah memusuhiku. Dan ini akan terwarnai hingga ini (yaitu janggut dari kepalanya)”.[40]

2. Dalam Shahih at-Turmudzi yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id, ia berkata: “Kami (kaum Anshar) tiada mengetahui orang-orang munafik kecuali melalui kebencian mereka terhadap Ali bin Abi Thalib”.[41]

3. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam yang menyebutkan; Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menginginkan hidup sebagaimana kehidupanku, dan mati sebagaimana kematianku, dan menempati sorga yang kekal yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku, maka hendaknya ia menjadikan Ali sebagai wali (pemimpin/kecintaan). Karena ia tiada akan pernah mengeluarkan kalian dari petunjuk, dan tiada akan menjerumuskan kalian kepada kesesatan”.[42]

4. Dalam kitab Tarikh al-Baghdadi diriwaytkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Di malam sewaktu aku mi’raj ke langit, aku melihat di pintu sorga tertulis: Tiada tuhan melainkan Allah, Muhammad Rasul Allah, Ali kecintaan Allah, al-Hasan dan al-Husein pilihan Allah, Fathimah pujian Allah, atas pembenci mereka laknat Allah”.[43]

5. Juga dalam kitab Tarikh al-Baghdadi disebutkan sebuah hadis tentang penjelmaan Iblis untuk menggoda Rasul beserta para sahabat sewaktu bertawaf di Ka’bah. Setelah Iblis itu sirna, Rasul bersabda kepada Ali: “Apa yang aku dan engkau miliki wahai putera Abu Thalib. Demi Allah, tiada seseorang yang membencimu kecuali ia (Iblis) telah campur tangan dalam pembentukannya (melalui sperma ayahnya .red).” Lantas Rasul membacakan ayat (64 dari surat al-Isra’): “Wa Syarikhum fil Amwal wal Awlad” (Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak)”.[44]

6. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Aku adalah kota hikmah, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki hikmah hendaknya melalui pintunya”.[45] Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki ilmu hendaknya melalui pintunya”.[46]

7. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari al-Hasan dari Anas bin Malik, ia berkata; Nabi bersabda kepada Ali: “Engkau (Ali) penjelas (atas permasalahan) yang menjadi perselisihan di antara umatku setelahku”.[47]

8. Dalam kitab as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar disebutkan, sewaktu Rasul sakit lantas beliau mewasiatkan kepada para sahabatnya, seraya bersabda: “Aku meninggalkan kepada kalian Kitab Allah (al-Quran) dan Itrah (keturunan)-ku dari Ahlul Baitku”. Kemudian beliau mengangkat tangan Ali seraya bersabda: “Inilah Ali bersama al-Quran, dan al-Quran bersama Ali. Keduanya tiada akan berpisah sehingga pertemuanku di al-Haudh (akherat) kelak, maka carilah kedua hal tersebut sebagaimana aku telah meninggalkannya”.[48] Dalam hadis lain disebutkan: “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali. Keduanya tiada akan pernah berpisah hingga pertemuanku di Haudh kelak di akherat”.[49]

9. Dalam kitab Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir disebutkan, diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata; Rasul memerintahkan kami untuk memerangi kelompok Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan). Lantas kami berkata: “Wahai Rasulullah, engkau memerintahkan kami memerangi mereka, lantas bersama siapakah kami?”, beliau bersabda: “Bersama Ali bin Abi Thalib, bersamanya akan terbunuh (pula) Ammar bin Yasir”.[50]
Pernyataan Resmi Ahlusunnah Perihal Kekhalifahan Ali:
Lihat, bagaimana Ibnu Taimiyah tidak menyinggung nama Ali dalam masalah kekhalifahan? Dan bagaimana ia berdusta atas nama imam Syafi’i tanpa memberikan dasar argumen yang jelas? Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari Ali, tetapi bahkan memberikan kemungkinan kekhalifahan buat Muawiyah. Padahal tidak ada kelompok Ahlusunnah pun yang meragukan kekhalifahan Ali. Berikut ini akan kita perhatikan pernyataan resmi beberapa ulama Ahlussunah perihal pandangan mazhab mereka berkaitan dengan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib:

1. Dari Abbas ad-Dauri, dari Yahya bin Mu’in, ia mengatakan: “Sebaik-baik umat setelah Rasulullah adalah Abu Bakar dan Umar, kemudian Usman, lantas Ali. Ini adalah mazhab kami, juga pendapat para imam kami. Sedang Yahya bin Mu’in berpendapat: Abu Bakar, Umar, Ali dan Usman”.[51]

2. Dari Harun bin Ishaq, dari Yahya bin Mu’in: “Barangsiapa yang menyatakan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali (Radhiyallahu anhum) –dan mengakui Ali sebagai pemilik keutamaan, maka ia adalah pemegang as-Sunnah (Shahib as-Sunnah)…lantas kusebutkan baginya oknum-oknum yang hanya menyatakan Abu Bakar, Umar dan Usman, kemudian ia diam (tanpa menyebut Ali .red), lantas ia mengutuk (oknum tadi) mereka dengan ungkapan yang keras”.[52]

3. Berkata Abu Umar –Ibnu Abdul Bar- perihal seseorang yang berpendapat sebagaimana hadis dari Ibnu Umar: “Dahulu, pada zaman Rasul, kita mengatakan: Abu Bakar, kemudian Umar, lantas Usman, lalu kami diam –tanpa melanjutkannya)”. Itulah yang diingkari oleh Ibnu Mu’in dan mengutuknya dengan ungkapan kasar. Karena yang menyatakan hal itu berarti telah bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh Ahlussunah, baik mereka dari pendahulu (as-Salaf), maupun dari yang datang terakhir (al-Khalaf) dari para ulama fikih dan hadis. Sudah menjadi kesepakatan (Ahlussunah) bahwa Ali adalah paling mulianya manusia, setelah Usman. Namun, mereka berselisih pendapat tentang, siapakah yang lebih utama, Ali atau Usman? Para ulama terdahulu (as-Salaf) juga telah berselisih pendapat tentang keutamaan Ali atas Abu Bakar. Namun, telah menjadi kesepakatan bagi semuanya bahwa, sebagaimana yang telah kita sebutkan, semua itu telah menjadi bukti bahwa hadis Ibnu Umar memiliki kesamaran dan kesalahan, dan tidak bisa diartikan semacam itu, walaupun dari sisi sanadnya dapat dibenarkan”.[53]

Jadi jelaslah bahwa menurut para pemuka Ahlussunah, Ali adalah sahabat terkemuka yang termasuk jajaran tokoh para sahabat yang menjadi salah satu khalifah pasca Rasul. Berbeda halnya dengan apa yang diyakini oleh Ibnu Taimiyah, seorang ulama generasi akhir (khalaf) yang mengaku sebagai penghidup pendapat ulama terdahulu (salaf), namun banyak pendapatnya justru berseberangan dengan pendapat salaf saleh.

Pernyataan Ulama Ahlusunnah Perihal Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Ali:
Pada bagian kali ini akan kita nukil beberapa pernyataan ulama Ahlusunnah perihal pernyataan Ibnu Taimiyah yang cenderung melecehkan Ali bin Abi Thalib:

1. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam menjelaskan tentang pribadi Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ia terlalu berlebihan dalam menghinakan pendapat rafidhi (Allamah al-Hilli, seorang ulama Syiah. red) sehingga terjerumus kedalam penghinaan terhadap pribadi Ali”.[54]

2. Allamah Zahid al-Kautsari mengatakan: “…dari beberapa ungkapannya dapat dengan jelas dilihat kesan-kesan kebencian terhadap Ali”.[55]

3. Syeikh Abdullah Ghumari pernah menyatakan: “Para ulama yang sezaman dengannya menyebutnya (Ibnu Taimiyah) sebagai seorang yang munafik dikarenakan penyimpangannya atas pribadi Ali”.[56]

4. Syeikh Abdullah al-Habsyi berkata: “Ibnu Taimiyah sering melecehkan Ali bin Abi Thalib dengan mengatakan: Peperangan yang sering dilakukannya (Ali) sangat merugikan kaum muslimin”.[57]

5. Hasan bin Farhan al-Maliki menyatakan: “Dalam diri Ibnu Taimiyah terdapat jiwa ¬nashibi dan permusuhan terhadap Ali”.[58]
6. Hasan bin Ali as-Saqqaf berkata: “Ibnu Taimiyah adalah seorang yang disebut oleh beberapa kalangan sebagai ‘syeikh Islam’, dan segala ungkapannya dijadikan argumen oleh kelompok tersebut (Salafy/Wahaby). Padahal, ia adalah seorang nashibi yang memusuhi Ali dan menyatakan bahwa Fathimah (puteri Rasulullah. red) adalah seorang munafik”.[59]

Dan masih banyak lagi ungkapan ulama Ahlusunnah lain yang menyesalkan atas prilaku pribadi yang terlanjur terkenal dengan sebutan ‘syeikh Islam’ itu. Untuk mempersingkat pembahasan, dalam makalah ini kita cukupkan beberapa ungkapan mereka saja. Namun di sini juga akan dinukil pengakuan salah seorang ahli hadis dari kalangan wahabi (pengikut Ibnu Taimiyah sendiri .red) sendiri dalam mengungkapkan kebingungannya atas prilaku imamnya (Ibnu Taimiyah) yang meragukan beberapa hadis keutamaan Ali bin Abi Thalib. Ahli hadis tersebut bernama Nashiruddin al-Bani. Tentu semua pengikut Salafy (Wahabi) mengenal siapa dia. Seusai ia menganalisa hadis al-wilayah[60] (kepemimpinan) yang berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib, lantas ia mengatakan: “Anehnya, bagaimana mungkin syeikh Islam Ibnu Taimiyah mengingkari hadis ini, sebagaimana yang telah dia lakukan pada hadis-hadis sebelumnya (tentang Ali), padahal ia memiliki berbagai sanad yang sahih. Hal ini ia lakukan, tidak lain karena kebencian yang berlebihan terhadap kelompok Syiah”.[61]

Dari sini jelas bahwa akibat kebencian terhadap satu kelompok secara berlebihan menyebabkan Ibnu Taimiyah terjerumus ke dalam lembah kemungkaran dan kesesatan, sehingga menyebabkan ia telah menyimpang dari ajaran para salaf saleh yang selalu diakuinya sebagai pondasi ajarannya. Bukankah orang yang disebut ‘syeikh Islam’ itu mesti telah membaca hadis yang tercantum dalam Shahih Muslim –kitab yang diakuinya sebagai paling shahihnya kitab- yang menyatakan: “Aku bersumpah atas Dzat Yang menumbuhkan biji-bijian dan Pencipta semesta, Rasul telah berjanji kepadaku (Ali); Tiada yang mencintaiku melainkan seorang mukmin, dan tiada yang membenciku melainkan orang munafik”.[62] Sedang dalam hadis lain, diriwayatkan dari ummulmukminin Ummu Salamah: “Seorang munafik tiada akan mencintai Ali, dan seorang mukmin tiada akan pernah memusuhinya”.[63] Dan dari Abu Said al-Khudri yang mengatakan: “Kami dari kaum Anshar dapat mengenali para munafik melalui kebencian mereka terhadap Ali”.[64]

Jika sebagian ulama Ahlusunnah telah menyatakan, akibat kebencian Ibnu Taimiyah terhadap Ali dengan ungkapan-ungkapannya yang cenderung melecehkan sahabat besar tersebut sehingga ia disebut nashibi, lantas jika dikaitkan dengan tiga hadis di atas tadi yang menyatakan bahwa kebencian terhadap Ali adalah bukti kemunafikan, maka apakah layak bagi seorang munafik yang nashibi digelari ‘Syeikh al-Islam’? ataukah pribadi semacam itu justru lebih layak jika disebut sebagai ‘Syeikh al-Munafikin’? Jawabnya, tergantung pada cara kita dalam mengambil benang merah dari konsekuensi antara ungkapan beberapa ungkapan ulama Ahlusunnah dan beberapa hadis yang telah disebutkan di atas tadi.

Penutup:
Dari sini jelaslah, bahwa para ulama Salaf maupun Khalaf -dari Ahlussunah wal Jamaah- telah mengakui keutamaan Ali, dan mengakui kekhalifahannya. Lantas dari manakah makhluk semacam Ibnu Taimiyah yang mengaku sebagai penghidup mazhab salaf saleh namun tidak menyinggung-nyinggung kekhalifahan Ali, bahkan berusaha menghapus Ali dari jajaran kekhilafahan Rasul? Masih layakkah manusia seperti Ibnu Taimiyah dinyatakan sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah, sementara pendapatnya banyak bertentangan dengan kesepakatan ulama salaf maupun khalaf dari Ahlussunah wal Jamaah? Ataukah dia hanya mengaku dan membajak nama besar salaf saleh? Tegasnya, pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah tadi justru lebih layak untuk mewakili kelompok salaf yang dinyatakan oleh kaum muslimin sebagai ‘salaf thaleh’ (lawan dari kata ‘salaf saleh’), seperti Yazid bin Muawiyah beserta gerombolannya.

Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu Taimiyah yang juga ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf” (Salafy/Wahaby), masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut Ahlussunah, padahal di sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran dan doktrin Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan (konsensus) ulama Ahlussunah beserta "ajaran resmi" Ahlussunah wal Jamaah. Mereka berpikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat pengakuan itu adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf Sunnah-Syiah adalah sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy/Wahaby supaya diterima dalam lingkaran Ahlussunnah. Sehingga mereka pun berusaha sekuat tenaga agar semua usaha pendekatan, pintu dialog ataupun persatuan antara Sunnah-Syiah harus ditentang, ditutup dan digagalkan. Karena, jika antara Sunnah-Syiah bersatu, maka kedok mereka akan tersingkap, dan hal itu akan mengakibatkan nasib mereka kian tidak menentu.
Rujukan:

[2] Dalam kitab Mustadrak as-Shohihain Jil:3 Hal:483 karya Hakim an-Naisaburi atau kitab Nuur al-Abshar Hal:69 karya as-Syablanji disebutkan, bahwa Ali adalah satu-satunya orang yang dilahirkan dalam Baitullah Ka’bah. Maryam ketika hendak melahirkan Isa al-Masih, ia diperintahkan oleh Allah untuk menjauhi tempat ibadah, sedang Fatimah binti Asad ketika hendak melahirkan Ali, justru diperintahkan masuk ke tempat ibadah, Baitullah Ka’bah. Ini merupakan bukti, bahwa Ali memiliki kemuliaan tersendiri di mata Allah. Oleh karenanya, dalam hadis yang dinukil oleh Ibnu Atsir dalam kitab Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:31 dinyatakan, Rasul bersabda: “Engkau (Ali) sebagaimana Ka’bah, didatangi dan tidak mendatangi”.

[3] Pembunuh Ali, Abdurrahman bin Muljam al-Muradi, dalam banyak kitab disebutkan sebagai paling celakanya manusia di muka bumi. Lihat kitab-kitab semisal Thobaqoot Jil:3 Hal:21 karya Ibnu Sa’ad, Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:135, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:24 karya Ibnu Atsir, Qoshos al-Ambiya’ Hal:100 karya ats-Tsa’labi.

[4] Dalam kitab Fathul-Bari disebutkan bahwa pribadi-pribadi seperti imam Ahmad bin Hambal, imam Nasa’i, imam an-Naisaburi dan sebagainya mengakui bahwa hadis-hadis tentang keutamaan Ali lebih banyak dibanding dengan keutamaan para sahabat lainnya.

[5] Lihat Tarikh at-Tabari Jil:2 Hal:62

[6] Minhaj as-Sunnah Jil:8 Hal:281, karya Ibnu Taimiyah al-Harrani

[7] Lihat Shohih Muslim Kitab: Fadho’il as-Shohabah Bab:Fadhoil Ahlul Bait an-Nabi, Shohih at-Turmudzi Jil:2 Hal:209/319, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirakan surat 33:33 Jil:5 Hal:198-199, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:330 atau Jil:6 Hal:292, Usud al-Ghabah karya Ibnu al-Atsir Jil:2 Hal:20 atau Jil:3 Hal:413, Tarikh al-Baghdadi Jil:10 Hal:278…dsb

[8] Jamii’ al-Jawami’ Jil:6 Hal:398, karya as-Suyuthi

[9] Kanz al-Ummal Jil:6 Hal:156, karya al-Muttaqi al-Hindi

[10] Hilliyah al-Auliya’ Jil:1 Hal:65, karya Abu Na’im al-Ishbahani

[11] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40, karya al-Qurthubi, atau Tarikh al-Khulafa’ Hal:115 karya as-Suyuthi

[12] Tadzkirah al-Khawash Hal:87, karya Sibth Ibn al-Jauzi

[13] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40

[14] Al-Ishobah Jil:2 Hal:509, karya Ibnu Hajar al-Asqolani, atau Hilliyah al-Auliya’ Jil:1 Hal:65

[15] Miftah as-Sa’adah, Jil:1 Hal:400

[16] Siar A’lam an-Nubala’ (khulafa’) Hal:239, karya adz-Dzahabi

[17] Al-Bidayah wa an-Nihayah Jil:7 Hal:332

[18] Minhaj as-Sunnah Jil:7 Hal:511 & 461

[19] Ibid Jil:8 Hal:97

[20] Ibid Jil:7 Hal:515

[21] Ibid Jil:7 Hal:512

[22] Ibid Jil:7 Hal: 535

[23] Ibid Jil:5 Hal:513

[24] Ibid Jil:6 Hal:18

[25] Ibid Jil:8 Hal:234

[26] Dinukil dari Fathul Bari Jil:7 Hal:89 karya Ibnu Hajar al-Asqolani, Tarikh Ibnu Asakir Jil:3 Hal:83, Siar A’lam an-Nubala’ (al-Khulafa’) Hal:239

[27] Minhaj as-Sunnah Jil:4 Hal:485

[28] Ibid Jil:8 Hal:329 atau Jil:4 Hal:500

[29] Pernyataan aneh yang terlontar dari Ibnu Taimiyah. Apakah dia tidak pernah menelaah hadis yang tercantum dalam kitab Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:139 dimana Abu Ayub berkata pada waktu kekhilafahan Umar bin Khatab dengan ungkapan; “Rasulullah telah memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk memerangi kaum Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan)”. Begitu pula yang tercantum dalam kitabTarikh al-Baghdadi Jil:8 Hal:340, Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir Jil:4 Hal:32, Majma’ az-Zawa’id karya al-Haitsami Jil:9 Hal:235, ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat ke-41 dari surat az-Zukhruf, dsb? Ataukah Ibnu Taimiyah sudah tidak percaya lagi kepada para sahabat yang merawikan hadis tersebut? Bukankah ia telah terlanjur menyatakan bahwa sahabat adalah Salaf Saleh yang ajarannya hendak ia tegakkan?

[30] Ibid Jil:6 Hal:356

[31] Faidh al-Qodir Jil:6 Hal:336

[32] Minhaj as-Sunnah Jil:2 Hal:404

[33] Ibid Jil:1 Hal:537

[34] Ibid Jil:6 Hal:419

[35] Ibid Jil:4 Hal:682

[36] Thobaqoot al-Hanabilah Jil:1 Hal:45

[37] Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah Hal:8

[38] As-Sunnatu Halal Hal:235

[39] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213

[40] Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:142. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain semisal; Tarikh al-Baghdadi Jil:13 Hal:32, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:383, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:131, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:213, dsb.

[41] Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:299. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Shahih Muslim kitab al-Iman, Shahih an-Nasa’I Jil:2 Hal:271, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:84, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:129, Tarikh al-Baghdadi Jil:3 Hal:153, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:133, dsb.

[42] Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:128. Hadis semacam ini –walau dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:23 atau Jil:6 Hal:101, al-Ishabah karya Ibnu Hajar Jil:3 Bagian ke-1 Hal:20, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:215, Tarikh al-Baghdadi Jil:4 Hal:102, dsb.

[43] Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:259.

[44] Ibid Jil:3 Hal:289-290

[45] Mustadrak as-Shahihain Jil:11 Hal:204. Hadis yang sama dengan sedikit perbedaan redaksi juga dapat ditemukan dalam Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:229.

[46] Ibid Jil:3 Hal:128. Hadis yang sama dapat juga ditemukan dalam kitab lain semacam; as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar Hal:73, Tarikh al-Baghdadi Jil:2 Hal:377, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:193, Kunuz al-Haqa’iq karya al-Manawi Hal:43, dsb.

[47] Ibdi Jil:3 Hal:122. Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab Hilliyat al-Auliya’ karya Abu Na’im Jil:1 Hal:63.

[48] As-Showa’iq al-Muhriqoh Hal:75. Hadis semacam ini dapat pula dilihat dalam kitab-kitab semisal Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:124, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:134, dsb.

[49] Tarikh al-Baghdadi Jil:14 Hal:321. Hadis serupa juga dapat dijumpai dalam kitab Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:298, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:119, Majma’ az-Zawa’id Jil:7 Hal:235, Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi Jil:6 Hal:157, dsb dengan sedikit perbedaan redaksi.

[50] Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:32-33. Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain seperti; Mustadrak as-Shahihain Jil:4 Hal:139, Tarikh Baghdadi Jil:8 Hal:340 atau Jil:13 Hal:186, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:235, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat 41 dari surat az-Zukhruf, dsb.

[51] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213

[52] Ibid

[53] Ibid Jil:3 Hal:214

[54] Lisan al-Mizan Jil:6 Hal:319-320

[55] Al-Hawi fi Sirah at-Thahawi Hal:26

[56] Ar-Rasail al-Ghomariyah Hal:120-121

[57] Al-Maqolaat as-Saniyah Hal:200

[58] Dinukil dari kitab Nahwa Inqod at-Tarikh al-Islami karya Sulaiman bin Shaleh al-Khurasyi hal:35

[59] At-Tanbih wa ar-Rad Hal:7

[60] Hadis yang mengatakan: Ali waliyu kulli mukmin min ba’dy (Ali adalah pemimpin setiap mukmin setelahku)

[61] Silsilah al-Ahadis as-Shohihah, Hadis no: 2223

[62] Shohih Muslim Jil:1 Hal:120 Hadis ke-131 Kitab: al-Iman, atau Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:601

Hadis ke-3736, dan atau Sunan Ibnu Majah Jil:1 Hal:42 Hadis ke-114

[63] Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:594 Hadis ke-3717

[64] Ibid Hal:593

Rabu, November 18, 2009

do'a iftitah

وَ الرَّحْمَةِ ، وَ اَشَدُّ الْمُعاقِبينَ فيمَوْضِعِ النَّكالِ وَ النَّقِمَةِ ، وَ اَعْظَمُ الْمُتَجَبِّرِينَ فيمَوْضِعِ الْكِبْرياءِ وَ الْعَظَمَةِ .


Ya Allah, aku memulai syukurku dengan memuji-Mu. Engkau yang mengarahkan kebenaran dengan anugerah-Mu. Aku yakin Engkaulah Yang Mahakasih dan Mahasayang di suaka pengampunan dan rahmat. Engkaulah yang lebih keras siksanya di pengadilan dan kemarahan. Engkaulah yang lebih arogan di arena keangkuhan dan keagungan


اَللّـهُمَّ اَذِنْتَ ليفي دُعائِكَ وَ مَسْأَلَتِكَ فَاسْمَعْ يا سَميعُ مِدْحَتي ، وَ اَجِبْ يارَحيمُ دَعْوَتي ، وَ اَقِلْ يا غَفُورُ عَثْرَتي ،


Ya Allah, Engkau izinkanku untuk berdoa dan meminta-Mu, maka dengarlah wahai Yang Maha Mendengar pujiku, kabulkanlah wahai Yang Mahawelas atas doaku, ampunilah kesalahanku wahai Yang Maha Pengampun!


فَكَمْ يا اِلهي مِنْكُرْبَة قَدْ فَرَّجْتَها وَ هُمُوم قَدْ كَشَفْتَها ، وَ عَثْرَةٍ قَدْاَقَلْتَها ، وَ رَحْمَة قَدْ نَشَرْتَها ، وَ حَلْقَةِ بَلاء قَدْفَكَكْتَها .


Sembahanku! Betapa banyak kesulitan yang telah Engkau lapangkan, kesedihan yang telah Engkau sirnakan, dosa yang telah Engkau hapuskan, rahmat yang telah Engkau tebarkan, rantai penderitaan yang telah Engkau retaskan


اَلْحَمْدُ للهِ الَّذي لَمْ يَتَّخِذْ صاحِبَةً وَلا وَلَداً ، وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَريكٌ في الْمُلْكِ ، وَ لَمْ يَكُنْلَهُ وَلِىٌّ مِنَ الذُّلِّ وَ كَبِّرْهُ تَكْبيراً .


Segala puji bagi Allah yang tidak berteman dan beranak, tidak bersekutu di kerajaan-Nya dan wali-Nya kosong dari kehinaan. Agungkanlah Dia dengan pengagungan yang tiada banding!


اَلْحَمْدُ للهِبِجَميعِ مَحامِدِهِ كُلِّهَا ، عَلى جَميعِ نِعَمِهِ كُلِّها ،اَلْحَمْدُ للهِ الَّذي لا مُضادَّ لَهُ في مُلْكِهِ ، وَ لا مُنازِعَلَهُ في اَمْرِهِ .


Segala puji bagi Allah seutuhnya dengan semua pujian untuk-Nya atas semua karunia-Nya yang tak pernah berkurang! Segala puji bagi Allah yang tiada banding dalam kekuasaan-Nya, tiada penentang dalam urusan-Nya!



اَلْحَمْدُ للهِ الَّذي لا شَريكَ لَهُ في خَلْقِهِ ،وَ لا شَبيهَ لَهُ في عَظَمَتِهِ ، اَلْحَمْدُ للهِ الْفاشي في الْخَلْقِاَمْرُهُ وَ حَمْدُهُ،الظّاهِرِ بِالْكَرَمِ مَجْدُهُ ، الْباسِطِبِالْجُودِ يَدَهُ ، الَّذي لا تَنْقُصُ خَزائِنُهُ ، وَ لا تَزيدُهُكَثْرَةُ الْعَطاءِ إلاّ جُوداً وَ كَرَماً ، اِنَّهُ هُوَ الْعَزيزُالْوَهّابُ .


Segala puji bagi Allah yang tiada sekutu dalam penciptaan-Nya, tiada penyerupa dalam keagungan-Nya! Segala puji bagi Allah yang tampak perbuatan dan pujian-Nya dalam penciptaan, yang kasat mata keagungan-Nya dengan kemuliaan, yang mengulurkan tangan-Nya dengan kedermawanan, yang tiada berkurang kekayaan-Nya, tiada pula bertambah karena banyaknya pemberian! Dialah yang Mahamulia dan Maha Pemberi!


اَللّـهُمَّ اِنّي اَسْاَلُكَ قَليلاً مِنْ كَثير ،مَعَ حاجَة بي اِلَيْهِ عَظيمَة وَ غِناكَ عَنْهُ قَديمٌ ، وَ هُوَ عِنْديكَثيرٌ، وَ هُوَ عَلَيْكَ سَهْلٌ يَسيرٌ .


Ya Allah, aku memohon-Mu, sedikit dari yang melimpah, karena kebutuhanku sangat besar terhadap yang sedikit itu, sementara ketidakbutuhan-Mu yang kekal atasnya, kebutuhan itu di sisiku adalah besar, sementara bagi-Mu adalah sederhana dan remeh


اَللّـهُمَّ اِنَّ عَفْوَكَعَنْ ذَنْبي ، وَ تَجاوُزَكَ عَنْ خَطيـئَتي ، وَ صَفْحَكَ عَنْ ظُلْمي وَسِتْرَكَ عَنْ قَبيحِ عَمَلي ، وَ حِلْمَكَ عَنْ كَثيرِ جُرْمي عِنْدَ ماكانَ مِنْ خَطئي وَعَمْدي ، اَطْمَعَني في اَنْ اَسْأَلَكَ ما لااَسْتَوْجِبُهُ مِنْكَ ، الَّذي رَزَقْتَني مِنْ رَحْمَتِكَ ، وَاَرَيْتَني مَنْ قُدْرَتِكَ ، وَ عَرَّفْتَني مِنْ اِجابَتِكَ ، فَصِرْتُاَدْعُوكَ آمِناً،وَ اَسْاَلُكَ مُسْتَأنِساً ، لا خائِفاً وَ لا وَجِلاً، مُدِلاًّ عَلَيْكَ فيـما قَصَدْتُ فيهِ اِلَيْكَ ، فَاِنْ اَبْطأَ عَنّيعَتَبْتُ بِجَهْلي عَلَيْكَ ، وَ لَعَلَّ الَّذي اَبْطأَ عَنّي هُوَخَيْرٌ لي لِعِلْمِكَ بِعاقِبَةِ الاُْمُورِ ، فَلَمْ اَرَ مَوْلاًكَريماً اَصْبَرَ عَلى عَبْد لَئيم مِنْكَ عَلَيَّ يا رَبِّ ، اِنَّكَتَدْعُوني فَاُوَلّي عَنْكَ ، وَ تَتَحَبَّبُ اِلَيَّ فَاَتَبَغَّضُاِلَيْكَ ، وَ تَتَوَدَّدُ اِلَىَّ فَلا اَقْبَلُ مِنْكَ ، كَاَنَّ لِيَالتَّطَوُّلَ عَلَيْكَ ، فَلَمْ يَمْنَعْكَ ذلِكَ مِنَ الرَّحْمَةِ لي ،وَ الاِْحْسانِ اِلَىَّ ، وَ التَّفَضُّلِ عَلَيَّ بِجُودِكَ وَ كَرَمِكَ، فَارْحَمْ عَبْدَكَ الْجاهِلَ وَ جُدْ عَلَيْهِ بِفَضْلِ اِحْسانِكَاِنَّكَ جَوادٌ كَريمٌ .


Ya Allah, ampunan-Mu atas dosaku, maaf-Mu atas kesalahanku, kemurahan-Mu atas kezalimanku, perahasiaanmu atas buruknya amalku dan kesabaran-Mu atas banyaknya kejahatan yang kulakukan secara sengaja, memberanikan diriku untuk meminta kepada-Mu sesuatu yang tidak layak aku dapatkan dari-Mu, sesuatu yang Engkau berikan kepadaku karena rahmat-Mu, Engkau perlihatkan kepadaku kekuasaan-Mu, Engkau kenalkan aku karena kedermawanan-Mu, karenanya aku berdoa kepada-Mu dengan penuh rasa aman, memohon-Mu dengan penuh ketenangan, tiada rasa takut atau khawatir kepada-Mu atas keperluanku kepada-Mu! Apabila jawaban-Mu lambat, aku mencerca-Mu karena kebodohanku! Padahal kelambatan itu lebih baik bagiku, karena Engkau mengetahui akibat dari semua urusan!

Aku tidak menjumpai tuan yang lebih murah hati dan lebih sabar terhadap budak yang tak tahu berterima kasih seperti aku, selain-Mu! Engkau memanggilku, namun aku berpaling dari-Mu! Engkau mencintaiku, namun aku membenci-Mu! Engkau menyayangiku, namun aku abaikan rasa sayang-Mu! Seolah aku berhak mengajari-Mu! Namun, kekurangajaranku itu tidak menghalangi-Mu memberi rahmat dan kebaikan-Mu kepadaku, tidak mengurangi keramahan-Mu kepadaku dengan kedermawanan dan kemurahan-Mu! Karenanya, sayangilah hamba-Mu yang bodoh ini! Limpahkanlah kepadaku kebaikan-Mu! Sungguhnya Engkau adalah Mahaderma dan Mahamulia!


اَلْحَمْدُ للهِ مالِكِ الْمُلْكِ ،مُجْرِي الْفُلْكِ ، مُسَخِّرِ الرِّياحِ ، فالِقِ الاِْصْباحِ ، دَيّانِالدّينِ ، رَبِّ الْعَالَمينَ.


Segala puji bagi Allah, Raja diraja, yang menggerakkan bahtera, yang menggerakkan angin, yang mendedahkan pagi, yang melunasi utang! Dialah Tuhan alam semesta!


اَلْحَمْدُ للهِ عَلى حِلْمِهِ بَعْدَعِلمِهِ ، وَ الْحَمْدُ للهِ عَلى عَفْوِهِ بَعْدَ قُدْرَتِهِ ، وَالْحَمْدُ للهِ عَلى طُولِ اَناتِهِ في غَضَبِهِ ، وَ هُوَ قادِرٌ عَلى مايُريدُ.


Segala puji bagi Allah atas kesabaran setelah ilmu-Nya! Segala puji bagi Allah atas ampunan-Nya setelah kekuasaan-Nya! Segala puji bagi Allah atas kesabaran-Nya yang mendahului kemurkaan-Nya, padahal Dia Mahakuasa atas kehendak-Nya!


اَلْحَمْدُ للهِ خالِقِ الْخَلْقِ ، باسِطِ الرِّزْقِ ، فاِلقِاَلاِْصْباحِ ذِي الْجَلالِ وَ الاِْكْرامِ وَ الْفَضْلِ وَ الاِْنْعامِ ،الَّذي بَعُدَ فَلا يُرى ، وَ قَرُبَ فَشَهِدَ النَّجْوى تَبارَكَ وَتَعالى .

!

Segala puji bagi Allah, Pencipta makhluk, Pemberi rezeki, Pembelah waktu pagi, Mahaagung dan Mahamulia, Maha Pemurah dan Pemberi nikmat, yang jauh tidak terlihat dan yang dekat mendengar bisikan! Dia Mahasuci dan Mahaluhur.


اَلْحَمْدُ للهِ الَّذي لَيْسَ لَهُ مُنازِعٌ يُعادِلُهُ ، وَ لاشَبيهٌ يُشاكِلُهُ ، وَ لا ظَهيرٌ يُعاضِدُهُ ، قَهَرَ بِعِزَّتِهِالاَْعِزّاءَ ، وَ تَواضَعَ لِعَظَمَتِهِ الْعُظَماءُ ، فَبَلَغَبِقُدْرَتِهِ ما يَشاءُ.


Segala puji bagi Allah, tiada pesaing yang mampu menandingi-Nya, tiada yang serupa dengan-Nya, tiada teman yang membantu-Nya! Perkasa dengan memuliakan orang-orang mulia, merendah orang-orang agung karena keagungan-Nya, telah terlaksana kehendak-Nya karena kekuasaan-Nya!



اَلْحَمْدُ للهِ الَّذي يُجيبُني حينَ اُناديهِ، وَ يَسْتُرُ عَلَيَّ كُلَّ عَورَة وَ اَنَا اَعْصيهِ ، وَ يُعَظِّمُالْنِّعْمَةَ عَلَىَّ فَلا اُجازيهِ ، فَكَمْ مِنْ مَوْهِبَة هَنيئَة قَدْاَعْطاني ، وَ عَظيمَة مَخُوفَة قَدْ كَفاني ، وَ بَهْجَة مُونِقَة قَدْاَراني ، فَاُثْني عَلَيْهِ حامِداً ، وَ اَذْكُرُهُ مُسَبِّحاً .


Segala puji bagi Allah Penjawabku kala kupanggil Dia, Penutup semua auratku meski aku bermaksiat kepada-Nya, pelimpah karunia kepadaku meski aku tidak mensyukuri-Nya! Betapa banyak karunia diberikan kepadaku, kemahabesaran-Nya telah menyelamatkanku, keindahan yang mempesona telah ditunjukkan kepadaku, lalu aku memuji-Nya dengan penuh ketulusan dan mengingat-Nya dengan bertasbih!


اَلْحَمْدُ للهِ الَّذي لا يُهْتَكُ حِجابُهُ ، وَ لا يُغْلَقُ بابُهُ ،وَ لا يُرَدُّ سائِلُهُ ، وَ لا يُخَيَّبُ آمِلُهُ .


Segala puji bagi Allah Yang tidak merobek lindungan-Nya, tidak menutup pintu-Nya, tidak menolak peminta-Nya, tidak mengkandaskan harapan pendamba-Nya!


اَلْحَمْدُ للهِالَّذي يُؤْمِنُ الْخائِفينَ ، وَ يُنَجِّى الصّالِحينَ ، وَ يَرْفَعُالْمُسْتَضْعَفينَ ، وَ يَضَعُ الْمُسْتَكْبِرينَ ، و يُهْلِكُ مُلُوكاًوَيَسْتَخْلِفُ آخَرينِ ، وَ الْحَمْدُ للهِ قاِصمِ الجَّبارينَ ، مُبيرِالظّالِمينَ ، مُدْرِكِ الْهارِبينَ ، نَكالِ الظّالِمينَ صَريخِالْمُسْتَصْرِخينَ ، مَوْضِعِ حاجاتِ الطّالِبينَ ، مُعْتَمَدِالْمُؤْمِنينَ .


Segala puji bagi Allah Yang mengamankan orang-orang yang takut, menyelamatkan orang-orang yang jujur, memuliakan orang-orang yang lemah, merendahkan orang-orang yang congkak, membinasakan para raja dan menggantikannya dengan orang lain!Segala puji bagi Allah Yang membinasakan orang-orang aniaya, melumpuhkan orang-orang zalim, mengejar orang-orang yang berpaling, penghancur orang-orang zalim, Penolong orang yang membutuhkan, Tumpuan harapan orang-orang yang memerlukan, Sandaran orang-orang beriman!


اَلْحَمْدُ للهِ الَّذي مِنْ خَشْيَتِهِ تَرْعَدُالسَّماءُ وَ سُكّانُها ، وَ تَرْجُفُ الاَْرْضُ وَ عُمّارُها ، وَتَمُوجُ الْبِحارُ وَ مَنْ يَسْبَحُ في غَمَراتِها .


Segala puji bagi Allah yang menggetarkan langit dan penduduknya, mengguncang bumi dan penghuninya, menciptakan badai lautan yang mendera orang-orang yang berenang di dalamnya!


اَلْحَمْدُ للهِالَّذي هَدانا لِهذا وَ ما كُنّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا اَنْ هَدانَا اللّهُ.


Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kami kepada (agama) dan kami tidak mungkin mendapatkan petunjuk jika Allah tidak memberikan petunjuk kepada kami



اَلْحَمْدُ للهِ الَّذي يَخْلُقُ وَ لَمْ يُخْلَقْ ، وَ يَرْزُقُ وَ لايُرْزَقُ ، وَ يُطْعِمُ وَلا يُطْعَمُ ، وَ يُميتُ الاَْحياءَ وَ يُحْيِيالْمَوْتى وَ هُوَ حَيٌّ لا يَمُوتُ ، بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَ هُوَ عَلىكُلِّ شَيْء قَديرٌ .


Segala puji bagi Allah yang menciptakan dan tidak diciptakan, yang memberikan rezeki dan tidak memperoleh rezeki, yang memberikan makan dan tidak diberi makan, yang mematikan segala yang hidup, dan yang menghidupkan semua yang mati, sedangkan Ia Mahahidup yang tak pernah mati. Di tangan-Nya segala kebaikan dan Ia Mahamampu atas segala sesuatu


اَللّـهُمَّ صَلِّ عَلى مُحَمَّد عَبْدِكَوَ رَسُولِكَ ، وَ اَمينِكَ ، وَ صَفِيِّكَ ، وَ حَبيبِكَ ، وَ خِيَرَتِكَمَنْ خَلْقِكَ ، وَ حافِظِ سِرِّكَ ، وَ مُبَلِّغِ رِسالاتِكَ ، اَفْضَلَوَ اَحْسَنَ ، وَ اَجْمَلَ وَ اَكْمَلَ ، وَ اَزْكى وَ اَنْمى ، وَاَطْيَبَ وَ اَطْهَرَ ، وَ اَسْنى وَ اَكْثَرَ ما صَلَّيْتَ وَ بارَكْتَوَ تَرَحَّمْتَ ، وَ تَحَنَّنْتَ وَ سَلَّمْتَ عَلى اَحَد مِن عِبادِكَ وَاَنْبِيائِكَ وَ رُسُلِكَ ، وَ صِفْوَتِكَ وَ اَهْلِ الْكَرامَةِ عَلَيْكَمِن خَلْقِكَ .


Ya Allah, curahkanlah shalawat atas Muhammad, hamba dan utusan-Mu, kepercayaan dan pilihan-Mu, kekasih dan pilihan-Mu di antara makhluk-Mu, penjaga rahasia-Mu, dan penyampai risalah-Mu, shalawat, berkah, rahmat, kasih-sayang, dan salam kesejahteraan terutama, terbaik, terindah, tersempurna, terbersih, tersubur, terharum, tersuci, tertinggi, dan terbanyak yang pernah Kaulimpahkan atas seluruh hamba, nabi, rasul, pilihan, dan orang-orang mulia dari makhluk-Mu


اَللّـهُمَّ وَ صَلِّ عَلى عَليٍّ اَميرِالْمُؤْمِنينَ ، وَ وَصِيِّ رَسُولِ رَبِّ الْعالَمينَ ، عَبْدِكَ وَوَليِّكَ ، وَ اَخي رَسُولِكَ ، وَ حُجَّتِكَ عَلى خَلْقِكَ ، وَ آيَتِكَالْكُبْرى ، وَ النَّبأِ الْعَظيمِ ، وَ صَلِّ عَلَى الصِّدّيقَةِالطّاهِرَةِ فاطِمَةَ سَيِّدَةِ نِساءِ الْعالَمينَ ، وَصَلِّ عَلىسِبْطَيِ الرَّحْمَةِ وَ اِمامَيِ الْهُدى ، الْحَسَنِ وَ الْحُسَيْنِسَيِّدَيْ شَبابِ اَهْلِ الْجَّنَةِ ، وَ صَلِّ عَلى اَئِمَّةِالْمُسْلِمينَ ، عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ ، وَ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ ،وَ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّد ، وَ مُوسَى بْنِ جَعْفَر ، وَ عَلِيِّ بْنِمُوسى ، وَ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ ، وَ عَلِيِّ بْنِ مُحَمَّد ، وَالْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ ، وَ الْخَلَفِ الْهادي الْمَهْدِيِّ ، حُجَجِكَعَلى عِبادِكَ ، وَ اُمَنائِكَ في بِلادِكَ صَلَاةً كَثيرَةً دائِمَةً.

Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Ali, Amirul Mukminin, washi Rasul Tuhan semesta alam, hamba dan kekasih-Mu, saudara Rasul-Mu, hujjah-Mu atas makhluk-Mu, ayat-Mu yang teragung, dan berita penting yang agung. Curahkanlah shalawat atas shiddîqah yang suci, Fathimah (az-Zahrâ`), penghulu wanita semesta alam. Limpahkanlah shalawat atas dua cucu rahmat dan pemimpin petunjuk, Hasan dan Husain, penghulu seluruh pemuda penghuni surga. Dan curahkanlah shalawat atas para pemimpin Muslimin, Ali bin Husain, Muhammad bin Ali, Ja’far bin Muhammad, Musa bin Ja’far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali, dan pengganti (terakhir) penegak bendera petunjuk al-Mahdi, para hujjah-Mu atas hamba-hamba-Mu dan orang-orang kepercayaan-Nya di seluruh penjuru negeri-Mu, shalawat yang tak terhingga nan abadi


اَللّـهُمَّ وَ صَلِّ عَلى وَلِيِّ اَمْرِكَ الْقائِمِ الْمُؤَمَّلِ ، وَالْعَدْلِ الْمُنْتَظَرِ ، وَ حُفَّهُ بِمَلائِكَتِكَ الْمُقَرَّبينَ ، وَاَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ يا رَبَّ الْعالَمينَ ، اَللّـهُمَّاجْعَلْهُ الدّاعِيَ اِلى كِتابِكَ ، وَ الْقائِمَ بِدينِكَ ،اِسْتَخْلِفْهُ في الاَْرْضِ كَما اسْتَخْلَفْتَ الَّذينَ مِنْ قَبْلِهِ ،مَكِّنْ لَهُ دينَهُ الَّذي ارْتَضَيْتَهُ لَهُ ، اَبْدِلْهُ مِنْ بَعْدِخَوْفِهِ اَمْناً يَعْبُدُكَ لا يُشْرِكُ بِكَ شَيْئاً ، اَللّـهُمَّاَعِزَّهُ وَ اَعْزِزْ بِهِ ، وَ انْصُرْهُ وَ انْتَصِرْ بِهِ ، وَانْصُرْهُ نَصْراً عَزيزاً ، وَ اْفتَحْ لَهُ فَتْحاً يَسيراً ، وَاجْعَلْ لَهُ مِنْ لَدُنْكَ سُلْطاناً نَصيراً ، اَللّـهُمَّ اَظْهِرْبِهِ دينَكَ وَسُنَّةَ نَبِيِّكَ ، حَتّى لا يَسْتَخْفِيَ بِشَىْء مِنَالْحَقِّ مَخافَةَ اَحَد مِنَ الْخَلْقِ .


Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas pengurus urusan-Mu, al-Qâ`im yang selalu diharapkan dan keadilan yang ditunggu-tunggu, kirimkanlah para malaikat-Mu untuk selalu bersamanya, dan kuatkanlah ia dengan Ruhul Qudus, wahai Tuhan semesta alam. Ya Allah, jadikan ia pengajak kepada kitab-Mu dan penegak agama-Mu, jadikanlah ia khalifah di muka bumi ini sebagaimana Engkau telah menjadikan orang-orang sebelumnya sebagai khalifah, tegakkan agamanya yang telah Kauridhai baginya, gantikan ketakutannya dengan rasa aman (sehingga) ia dapat menyembah-Mu dengan tidak menyekutukan-Mu dengan sesuatu apa pun. Ya Allah, muliakanlah ia dan kuatkan (kami) dengan (wujud)nya, tolonglah dan menangkan ia, tolonglah ia dengan pertolongan yang mulia, berikan kemenangan kepadanya dengan kemenangan yang mudah (digapai), jadikan baginya kerajaan yang terdukung dari sisi-Mu. Ya Allah, tampakkan dengannya agama-Mu dan sunnah Nabi-Mu sehingga ia tidak terpaksa menyembunyikan kebenaran sedikit pun karena takut kepada (ancaman) makhluk


اَللّـهُمَّ اِنّانَرْغَبُ اِلَيْكَ في دَوْلَة كَريمَة تُعِزُّ بِهَا الاِْسْلامَ وَاَهْلَهُ ، وَ تُذِلُّ بِهَا النِّفاقَ وَ اَهْلَهُ ، وَ تَجْعَلُنا فيهامِنَ الدُّعاةِ اِلى طاعَتِكَ ، وَ الْقادَةِ اِلى سَبيلِكَ ، وَتَرْزُقُنا بِها كَرامَةَ الدُّنْيا وَ الاْخِرَةِ .


Ya Allah, kami mengharap kepada-Mu (untuk mewujudkan) sebuah pemerintahan mulia yang dengannya Engkau memuliakan Islam dan para pengikutnya, menghinakan kemunafikan dan para penyandangnya, menjadikan kami di antara pengajak kepada ketaatan-Mu dan pemimpin menuju jalan-Mu, dan menganugerahkan kepada kami kemuliaan dunia dan akhirat



اَللّـهُمَّ ماعَرَّفْتَنا مِن الْحَقِّ فَحَمِّلْناهُ ، وَ ما قَصُرْنا عَنْهُفَبَلِّغْناهُ ، اَللّـهُمَّ الْمُمْ بِهِ شَعَثَنا ، وَ اشْعَبْ بِهِصَدْعَنا ، وَ ارْتُقْ بِهِ فَتْقَنا ، وَ كَثِّرْبِهِ قِلَّتَنا ، وَاَعْزِزْ بِهِ ذِلَّتَنا ، وَ اَغْنِ بِهِ عائِلَنا ، وَ اَقْضِ بِهِ عَنْمَغْرَمِنا ، وَ اجْبُرْبِهِ فَقْرَنا ، وَسُدَّ بِهِ خَلَّتَنا ، وَيَسِّرْ بِهِ عُسْرَنا ، وَ بَيِّضْ بِهِ وُجُوهَنا ، وَ فُكَّ بِهِاَسْرَنا ، وَ اَنْجِحْ بِهِ طَلِبَتَنا ، وَ اَنْجِزْ بِهِ مَواعيدَنا ،وَ اسْتَجِبْ بِهِ دَعْوَتَنا ، وَ اَعْطِنا بِهِ سُؤْلَنا ، وَ بَلِّغْنابِهِ مِنَ الدُّنْيا وَ الاْخِرَةِ آمالَنا،وَ اَعْطِنا بِهِ فَوْقَرَغْبَتِنا ، يا خَيْرَ الْمَسْؤولينَ وَ اَوْسَعَ الْمُعْطينَ ، اِشْفِبِهِ صُدُورَنا ، وَ اَذْهِبْ بِهِ غَيْظَ قُلُوبِنا ، وَ اهْدِنا بِهِلِمَا اخْتُلِفَ فيهِ مِنَ الْحَقِّ بِاِذْنِكَ ، اِنَّكَ تَهْدي مَنْتَشاءُ اِلى صِراط مُسْتَقيم ، وَ انْصُرْنا بِهِ عَلى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّنا اِلـهَ الْحَقِّ آمينَ .


Ya Allah, kebenaran yang telah Kaukenalkan kepada kami, berikanlah kekuatan kepada kami untuk memikulnya dan segala yang belum kami ketahui berkenaan dengannya, sampaikanlah kepada kami. Ya Allah, dengan (perantara)nya bereskan urusan kami yang tak terurus, kumpulkan keterceraiberaian kami, himpunkan keterpecahbelahan (barisan) kami, perbanyak kesedikitan jumlah kami, muliakan kehinaan kami, kayakan orang-orang miskin kami, lunaskanlah utang-utang kami, tamballah kefakiran kami, tutupilah kekurangan kami, mudahkanlah kesulitan kami, putihkanlah wajah kami, bebeaskanlah ketertawanan kami, kabulkanlah permohonan kami, tepatilah janji-janji(-Mu) kepada kami, kabulkanlah doa kami, berikanlah permohonan kami, sampaikanlah kami kepada cita-cita dunia dan akhirat, dan anugerahkan kepada kami melebihi keinginan kami. Wahai sebaik-baik Zat yang dapat dimohon dan seluas-luas Zat Pemberi, dengan (perantara)nya sembuhkan (penyakit) batin kami, lenyapkan amarah hati kami, dan berikan petunjuk kepada kami (sehingga kami dapat mengenal kebenaran) yang diperselisihkan dengan izin-Mu; sesungguhnya Engkau menunjukkan orang yang Kaukehendaki ke jalan yang lurus, dan tolonglah kami atas musuh-Mu dan musuh kami, wahai Tuhan kebenaraan. Amin!


اَللّـهُمَّ اِنّا نَشْكُواِلَيْكَ فَقْدَ نَبِيِّنا صَلَواتُكَ عَلَيْهِ وَ آلِهِ ، وَغَيْبَةَوَلِيِّنا ، وَ كَثْرَةَ عَدُوِّنا ، وَ قِلَّةَ عَدَدِنا ، وَ شِدّةَالْفِتَنِ بِنا ، وَ تَظاهُرَ الزَّمانِ عَلَيْنا ، فَصَلِّ عَلى مُحَمَّد وَ آلِهِ ، وَ اَعِنَّا عَلى ذلِكَ بِفَتْح مِنْكَ تُعَجِّلُهُ ، وَبِضُرٍّ تَكْشِفُهُ ، وَ نَصْر تُعِزُّهُ ، وَ سُلْطانِ حَقٍّ تُظْهِرُهُ، وَ رَحْمَة مِنْكَ تَجَلِّلُناها ، وَ عافِيَة مِنْكَ تُلْبِسُناها ،بِرَحْمَتِكَ يا اَرْحَمَ الرّاحِمينَ.


Ya Allah, kami mengadu kepada-Mu atas ketiadaan Nabi kami—semoga shalawat-Mu selalu tercurahkan atasnya dan atas keluarganya— kegaiban imam kami, banyaknya musuh kami, sedikitnya jumlah kami, keganasan fitnah terhadap kami, dan kemenangan masa atas kami. Maka, curahkan shalawat atas Muhammad dan keluarganya, dan bantulah kami (untuk mengatasi) semua itu dengan kemenangan dari-Mu yang Kausegerakan, kesengsaraan yang Kausingkapkan, pertolongan yang Kaukokohkan, kerajaan haq yang Kaumenangkan rahmat dari-Mu yang Kauagungkan kami dengannya, dan ‘afiat dari-Mu yang Kausandangkan pada kami, demi rahmat-Mu wahai Yang lebih pengasih dari para pengasih[]