Kamis, Desember 17, 2009

TRAGEDI KARBALA


Dalam tragedi Karbala atau Asyura banyak pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik dan sekaligus diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebenarnya kejadian di padang Karbala, merupakan refleksi kehidupan manusia, karena salah satu peran yang ditampilkan disana adalah pengorbanan sejumlah manusia untuk sebuah tujuan yang sangat tinggi dan suci, yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan. Manusia sebagai makhluk yang ciri khasnya adalah bersosial, tidak lepas dari pengorbanan.

Peristiwa pertama adalah masalah pengorbanan. Berkorban itu penting sekali, artinya manusia ini dalam kehidupan mesti berkorban. Seorang Ayah artinya berkorban untuk atau demi sesuatu yang dia cintai, yang dia sucikan, itu adalah kenyataan dari kehidupan manusia ini. Seorang Ayah dia pasti mencintai istrinya. Seorang Ayah juga mencintai anaknya, jelas dia berkorban demi istrinya, demi anaknya. Dia keluar memeras keringat, banting tulang, demi istri dan anak, ini pengorbanan. Kita lihat para TKW atau TKI pergi ke luar negeri, meninggalkan kerabat dan kampung halaman, hanya untuk suatu pengorbanan. Pengorbanan ini mungkin demi istri, demi anak atau malah sebagian demi suami. Orang meninggalkan keluarganya bertahun-tahun, mungkin berhari-hari demi keluarganya. Atau sebaliknya orang yang karena cinta dunia mengorbankan keluarganya. Karena mencintai karir atau jabatan, akhirnya istri dan anaknya ditelantarkan. Dia kurang mendekati istrinya, dia menelantarkan istrinya, kasih sayang kepada anaknya juga dikurangi demi karir atau jabatan. Bahkan dia korbankan istri dan anaknya demi karir, demi prestise, atau kedudukan sosial. Dia harus berpahit-pahit demi yang dia cintai.

Pengorbanan adakah suatu hal yang alami. Kehidupan ini juga bukan lain adalah pengorbanan. Jadi pengorbanan adalah hal yang thabi’i atau hal yang manusiawi, yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Kita pilih apa yang kita cintai atau apa yang kita utamakan, sedangkan semua yang lain kita korbankan. Nah, Islam menjelaskan apa yang mesti kita korbankan, untuk apa kita berkorban. Para Nabi datang, para Imam diangkat, dalam rangka menjelaskan, "Wahai manusia pengorbanan yang kalian persembahkan seharusnya untuk Allah SWT.." Istri kita korbankan, anak kita korbankan, harta kita korbankan, malah nyawa pun kita korbankan demi Islam, demi kebenaran, demi Allah SWT.. Inilah yang hendak dijelaskan oleh Rasulullah saw.. Inilah yang ingin disampaikan oleh Imam Husein as. yang kita peringati hari wafatnya setiap 10 Muharram. Beliau mengorbankan semuanya demi kebenaran.

Al-Quran yang mulia menjelaskan ada seorang manusia yang luar biasa, yang mengorbankan apa pun demi Allah, demi hak, demi kebenaran, yaitu Nabi kita Ibrahim as. Bapak para Nabi, penghulu kaum monotheis, kaum muwahhidin. Allah SWT. menyebut Ibrahim as. dengan sebutan yang indah sekali dan melestarikan namanya dalam Al-Quran. Juga semua perbuatan Ibrahim itu dilestarikan melalui ibadah haji. Atas semua pengorbanan beliau, Allah memberikan satu bonus yang paling tinggi yaitu Imamah, kepemimpinan. Allah berfirman, "Ingatlah ketika Allah menguji Ibrahim dengan beberapa kalimat." Para ahli tafsir menjelaskan kata ‘kalimat’ di sini adalah berarti, ujian. Allah telah menguji Ibrahim dengan berbagai ujian, dan Ibrahim mampu menyelesaikannya dengan sempurna. Allah menguji Ibrahim dengan bermacam-macam ujian, dan banyak sekali, berpuncak pada perintah untuk mengorbankan putranya Ismail.

Ibrahim as. ingin mempunyai seorang anak. Beliau mengadu kepada Allah, "Ya Allah tulangku sudah rapuh dan rambutku sudah mulai beruban, berilah aku keturunan." Lalu Allah memberi beliau seorang putra bernama Ismail yang melalui Siti Hajar. Sangat girang sekali Ibrahim mendapatkan karunia anak. Di tengah kegembiraannya mempunyai anak, dia diperintahkan oleh Allah untuk hijrah ke Palestin dan meninggalkan istri dan anaknya di sebuah lembah yang tidak ada tumbuh-tumbuhan, yang kering kerontang, di dekat Kabah yaitu Mekah. Ibrahim diperintah oleh Allah untuk meninggalkan Siti Hajar beserta bayi yang masih kecil di sebuah tempat yang tidak ada tumbuh-tumbuhan, tidak ada air. Kalau kita mungkin tidak akan mau. Istri ditinggalkan tanpa ada makanan, tanpa ada air. Tapi ini adalah perintah Allah. Ibrahim as. taat karena perintah tersebut dari Allah. Kecintaan Ibrahim as. kepada Allah melebihi kecintaan kepada istri dan anak. Ini pengorbanan yang sangat besar. Saya kira diantara kita tidak ada yang sanggup sama sekali seperti Nabi Ibrahim, kecuali jika kita sudah sampai pada derajat Nabi Ibrahim.

Setelah dari Palestin kembali ke Mekah, kerinduan kepada anaknya luar biasa. Ibrahim as. bertetemu Ismail yang sedang lucu-lucunya. Ketika meluapkan rasa rindu dan kangennya kepada Ismail, Ibrahim as. bermimpi, di daslam mimpi tersebut Ibrahim as. menerima wahyu untuk menyembelih Ismail. Ini ujian lain yang lebih berat. "Wahai putraku," kata Ibrahim, "aku bermimpi menyembelihmu, bagaimana pendapatmu". Tapi mimpi Ibrahim adalah wahyu, yang berbeda dengan mimpi kita. Ismail pun bersedia disembelih.

Allah ingin menguji sejauh mana kecintaan Ibrahim, apakah dia lebih cinta kepada Allah atau kepada Ismail. Ternyata bagi Ibrahim Allah adalah segalanya. Ismail dikorbankan demi Allah SWT.. Ini adalah pengorbanan yang maha dahsyat, berat dan tidak mudah. Ibrahim mengerjakan dengan mudah karena mencintai Allah melebihi segalanya. Inilah pengorbanan yang hakiki, pengorbanan yang benar. Oleh karena itu Allah mengabadikan Ibrahim as. dalam Al-Quran dan semua perbuatan Ibrahim diabadikan oleh seluruh agama samawi. Semua agama samawi mengklaim sebagai pengikut Ibrahim. Kaum Yahudi berkata, kamilah pengikut Ibrahim. Kaum Nasrani mengaku kamilah pengikut Ibrahim dan kita orang Islam pun mengklaim sebagai pengikut Ibrahim, karena bangga menjadi pengikut Nabi Ibrahim.

Sekarang peringatan manasikul hajj ini simbol tentang perjuangan dan pengorbanan Ibrahim. Demikian pula kita selama ini, dalam memperingati Asyura yang merupakan lambang dari sebuah pengorbanan yang dipersembahkan oleh cucu Rasulullah saaw kepada Allah SWT.. Dia mengorrbankan anaknya yang paling kecil sekalipun, yang masih bayi menyusui dikorbankan dan terakhir nyawanya sendiri dikorbankan demi kebenaran, demi keadilan, demi Allah SWT., itulah peristiwa Asyura. Pengorbanan memang perlu perjuangan, tidak mudah, orang mungkin berkorban sesuai dengan kemampuan masing-masing. Orang yang mungkin berpenghasilan seratus ribu sebulan, kalau dia mengorbankan lima puluh ribu rupiah mungkin sangat berat. Kalau yang berpenghasilan jutaan rupiah lalu berkorban lima puluh ribu, bukanlah suatu pengorbanan namanya.

Allah berfirman, "Kalian tidak akan pernah mendapatkan birr (kebaikan) sampai menginfaqkan, mengorbankan apa yang kalian cintai." Ini berat, kalau orang cinta kepada anak, kepada istri lalu harta dikeluarkan belum berkorban namanya, bukan birr karena dia lebih mencintai anaknya. Kalau orang mencintai harta dia korbankan istrinya, bukan birr namanya karena dia mencintai harta ketimbang istrinya. Mungkin sekarang ada orang yang demi mengejar karir dia rela mengorbankan istri dan anaknya. Berjam-jam di luar, istri dan anaknya ditinggalkan di rumah demi karir. Saya yakin berkorban demi kecintaan kepada dunia sampai rela meninggalkan istri dan anak itu bukan birr namanya. Sementara al-Husain, beliau mengorbankan, menginfaqkan apa yang dia cintai demi al-birr, demi kebaikan, demi Allah SWT., ini berat sekali. Tentu saja di sini, saya tidak bermaksud menghimbau Anda, hanya ingin menceritakan bahwa inilah peristiwa Asyura, dan jangan mengartikan bahwa saya telah berkorban, tidak demikian. Saya keberatan jika sebagai penceramah dianggap telah melaksanakan apa yang telah disampaikan. Mari kita sama-sama belajar dari madrasah Asyura. Kita belajar dari universitas Karbala sekarang ini, belajar dari beliau, Imam Husayn bin ‘Ali as.. Saya belajar, juga anda semua. Tidak hanya anda saja yang belajar, lalu saya tidak, kita sama-sama belajar dan berusaha. Pengorbanan itu tidak mudah, tapi kita mesti mencoba semampu kita.

Lihatlah Al-Husain as., dia mengorbankan semuanya. Dia mengorbankan kerabatnya. Dia korbankan anaknya dan dia korbankan nyawanya. Mana yang paling berat, semuanya berat yang bergantung pada yang kita cintai. Mungkin ada orang yang lebih mencintai anaknya ketimbang dirinya sendiri. Ada tidak ?, tentu banyak. Sering kita dengar, "dari pada anak saya sakit lebih baik saya yang sakit," ada yang berpikiran begitu. Berarti dia lebih mencintai anaknya ketimbang dia sendiri, artinya dia siap sakit, siap mati, yang penting anaknya sehat dan hidup. "Biarlah saya yang mati, atau sengsara dari pada istri saya yang sengsara," berarti dia lebih mencintai istri ketimbang dirinya sendiri. Jadi mengorbankan diri sendiri lebih mudah ketimbang mengorbankan anak, istri dan biasanya inilah yang sering terjadi. Ada orang yang cinta kepada binatang, dia pelihara binatang tersebut. Dia sendiri tidak mengurus dirinya, bahkan rasa lapar dilupakannya, karena asyik dengan binatang piaraannya. Artinya dia mengorbankan dirinya demi binatang piaraannya. Ini adalah realita kehidupan kita sekarang ini.

Kita lihat bagaimana Al-Husain as, semua tindakannya, telah beralih kepada kecintaannya kepada Allah yang merupakan tindakan pengorbanaann. Dia mengorbankan anaknya, agar tidak sampai anaknya lebih dia cintai ketimbang Allah Ta’ala. Dia korbankan para sahabat setianya. Dia korbankan negerinya Madinah. Dia korbankan hartanya, jelas. Dan terakhir dia korbankan nyawanya. Semua perkara yang kira-kira dapat menyedot perhatian dia, dia korbankan demi Allah Ta’ala. Itulah Karbala, itulah Asyura. Tanpa ingin membanding-bandingkan dan agar tidak disalah pahami. Kalau Nabi Ibrahim as. mengorbankan putranya lalu diganti dengan domba, tapi di Karbala Al-Husain as. mengorbankan anaknya apakah diganti dengan seekor domba. Mana yang lebih berat. Jawabannya terserah masing-masing.

Jadi pengorbanan Al-Husain jauh lebih berat dari pada pengorbanan kakeknya Nabi Ibrahim as. Ini jelas, Nabi Ibrahim diganti seekor domba, tapi Al-Husain as. mengorbankan anak yang masih kecil Abdullah Arrodhi. Dia angkat tangannya berilah air, datang anak panah menusuk sampai tembus ke lehernya, sehingga menjadi korban tanpa diganti dengan seekor domba. Ini pengorbanan. Oleh karenanya para Nabi as. jauh hari telah merayakan, telah memperingati Asyura. Nabi Nuh, Nabi Adam sekalipun, Nabi Ibrahim jauh-jauh hari telah merayakan peristiwa Asyura. Mereka tahu akan terjadi sebuah pengorbanan yang sangat besar, yang tidak pernah dikerjakan oleh siapapun di dunia ini, hatta Nabi Ibrahim as. Itu Asyura, mereka ingin mendaftarkan diri menjadi pasukan Al-Husain as. Dan juga jawaban yang lain, mengapa, apakah memperingati Asyura bid’ah? seribu tidak. Rasulullah saaw telah memperingati Asyura.

Ketika Sayyidah Fatimah melahirkan Al-Husain dalam perut bayi itu ada ludah Rasulullah saaw, ludah yang suci. Beliau memangkunya sambil menangis tersedu-sedu. Datang pembantunya, "Ya Rasulullah mengapa anda menangis, apa yang menyebabkan anda menangis ? " Nabi menjawab, "Wahai Fulanah tadi Jibril datang kepadaku, dia mengatakan bahwa putraku ini yang baru lahir sekarang ini nanti akan dibunuh oleh orang-orang yang mengaku sebagai pengikutku." Beliau menangis, beliau sebutkan bahwa itu akan dibunuh di padang Karbala. Itu Rasulullah sudah meratapi, memperingati, apa yang akan dialami oleh cucunya atau bayi yang baru lahir tersebut. Lalu Nabi bertanya kepada Ali as, "Wahai Ali apakah anda telah menamainya ?" Ali menjawab, "Aku tidak akan mendahuluimu dalam memberinya nama. " Nabi menjawab, "Namailah Husain."

Dan juga riwayat yang lain, Ummu Salamah ra. juga oleh Nabi diberi botol yang berisi tanah dari Karbala. "Wahai Ummu Salamah ini adalah tanah Karbala yang dibawa oleh Jibril untukku, kau simpanlah. Ketika tanah ini menjadi darah atau warnanya merah, maka pada waktu itulah cucuku Husain dibunuh."

Jadi memperingati Asyura, menangis, meratapi wafatnya Imam Husein as. adalah sunnah Rasulullah saaw yang dikerjakan ketika beliau masih hidup. Jadi adanya kritikan dari pihak-pihak yang keberatan tadi, yang dikatakan oleh ketua Yayasan Al-Mukaramah, jelas kritikan yang tidak berdasar atau karena tidak mengetahui apa yang melatar belakangi peringatan Asyura. Jadi banyak hikmahnya kita ambil dari lambang Asyura, dari peringatan Asyura, yaitu pengorbanan. Pengorbanan untuk kebenaran, untuk Allah SWT., itu yang pertama.

Yang kedua, berkorban itu jelas terpuji dan dianjurkan oleh Islam. Tetapi Islam ingin menjelaskan ketika kita berkorban hendaknya berkorban dengan ikhtiar, dengan merdeka, dengan bebas tanpa ada paksaan, itu yang indah sekali. Kita berkorban untuk Allah Ta’ala, kita mengabdi kepada Allah tetapi pengabdian yang kita persembahkan, pengorbanan yang kita haturkan untuk Allah hendaknya dilandasi dengan kebebasan, dengan senang hati tanpa ada unsur paksaan.

Satu cerita menarik dari peristiwa Asyura ini, di malam Asyura, di malam ke sepuluh Muharram. Malam sudah tiba, kegelapan telah menyelimuti padang Karbala. Imam Husain as. memanggil para sahabat setianya. Beliau mengatakan, wahai para sahabat setiaku, aku tidak menyaksikan sahabat yang lebih setia dari kalian. Aku belum pernah lihat kerabat yang lebih baik dari kalian. Kita bayangkan sebagaimana kaum muslimin tahu, ini pasukan kecil yang akan menghadapi pasukan Yazid alaihi laknat. Konsekwensi berangkat ke Karbala adalah mati, banyak orang yang mundur dari itu. Sahabat besar pun semacam Abdullah bin Umar punya kebijakan, "Wahai Husain sebaiknya anda tinggal di Mekah saja, tidak membaiat Yazid, juga tidak menolak, abstain, kan aman."

Ini prinsip dari Abdullah bin Umar. Aman sajalah kita bisa da’wah tanpa harus menolak baiat yang jelas mati akibatnya dan juga tanpa membaiat, karena baiat pada Yazid penguasa peminum khamar, kita diam-diam saja, kan aman. Ada orang yang cari keamanan, tapi Imam Husein menolak. Memang aman dan dia mungkin bisa ibadah dengan leluasa, dengan tenang tanpa akan diganggu oleh penguasa. Tapi Al-Husain as. punya tanggung jawab agama yang besar, punya amanat dari Allah SWT.. Andaikan beliau diam saja maka siapa yang akan berontak melawan kedzaliman. Kalau beliau diam saja seperti sejumlah sahabat yang lainnya, maka siapa yang akan membawa bendera keadilan, siapa yang akan membela kebenaran.

Orang bisa beralasan lihatlah Al-Husain pun diam, apalagi kita. Mereka akan mencaci, "Lihatlah cucu Rasulullah, jelas-jelas Yazid penguasa yang jahat, merusak agama, menyimpang dari sunnah Rasulullah, Al-Husain saja diam, untuk apa kita berontak." Akan demikian sejarah akan mengatakan, tapi beliau untuk menghilangkan pendapat demikian mesti berontak, dengan resiko apapun harus beliau terima untuk membela kebenaran, sehingga tidak ada alasan manusia untuk mundur, tidak berontak, tidak bergerak sama sekali. Itulah pelajaran yang lain dari peristiwa Asyura.

Nah kembali pada kisah tadi, pada malam kesepuluh Muharram beliau mengumpulkan para sahabat setianya dan para kerabatnya. "Wahai para sahabatku sekarang malam gelap kalian pulanglah ke Madinah, bawa masing-masing pasangannya. Mereka para musuh hanya ingin membunuhku, mereka tidak ingin membunuh kalian, pulanglah kalian saya ikhlaskan tidak usah berjuang, saya tidak akan menuntut, mereka hanya menginginkan aku." Ini ikhtiar, tapi bagaimana reaksi dari para sahabat beliau. "Wahai cucu Rasulullah, kalau kami membiarkan anda berjuang sendirian, dimana akan kami letakkan mukaku di hadapan Rasulullah saaw. Aku malu dengan kakekmu Rasulullah kalau kami membiarkan anda berjuang sendirian." Ada yang menjawab, "Wahai cucu Rasulullah andaikan aku dibunuh sekarang ini dan jasadku dicincang-cincang sampai sekian bagian lalu Allah hidupkan lagi aku, aku berjuang lebih lagi sampai tujuh kali." Artinya keikut sertaan para sahabat Al-Husain as. semata-mata karena ikhtiar, bebas, tanpa paksaan. Padahal beliau membebaskan, mengikhlaskan, kalian pulang dari Karbala. Mereka tidak mau, inilah sahabat yang hakiki.

Berjuang membela Al-Husain tidak karena ancaman, bukan karena tidak enak kepada cucu Rasulullah, tidak karena apa-apa, tapi karena semata-mata bebas dan cinta kepada Al-Husain as. Lain dengan peristiwa Thorik bin Ziyad, salah seorang panglima Bani Umayyah atau Abdullah bin Marwan. Ketika dia mendarat di benua Eropa atau Konstantinopel, dia membawa pasukan Arab atau pasukan Islam ke Eropa menyebrangi lautan mediterania. Setelah menyebrang kapal-kapal dibakarnya. Habis kapal dibakar, sementara pasukan Romawi di hadapan mereka. Thorik bin Ziyad berkata kepada pasukannya, "Wahai pasukan Islam, wahai pasukan Arab, terserah kalian pulang ke Arab sana tapi tidak ada kapal lagi. Ingin menyebrang lautan kalian mati dimakan ikan hiu atau perang melawan pasukan Romawi." Ini pilihan pahit semuanya, jadi mereka berjuang terpaksa. Tapi lain dengan Al-Husain as. memberi peluang kepada para sahabat untuk pulang dan saya ikhlaskan, beda tidak, sangat beda sekali. Inilah hikmah atau pelajaran dari madrasah karbala. Dan banyak lagi hikmah-hikmah yang dapat kita ambil dari peristiwa Asyura Karbala.

Nah kita dalam memperingati Asyura setiap tahun ini, sejauh mana mengadakan evaluasi, koreksi terhadap diri kita. Sejauh mana kita meneladani Al-Imam Husain as. Bukan saya memudahkan, tentu itu adalah perjuangan, pengorbanan , tidak kita langsung berkata "Ah saya ikut Imam Husain sekarang juga." Kita mesti bertahap-tahap, perlu pengenalan, perlu pembersihan hati, perlu melepaskan ikatan-ikatan materi dan dunia. Kalau sudah lepas dari ini semua mungkin orang bisa seperti para sahabat Imam Husain as. Kalau kita masih dibebani cinta dunia, istri, anak dan materi, jangan harap kita bisa seperti sahabat Imam Husein as.

Inilah peringatan Asyura. Inilah perlunya kita memperingati peristiwa tragis Karbala yang dialami oleh Imam Husein as. dan para sahabatnya. Oleh karena itu mari kita sampaikan duka cita kita yang mendalam kepada Rasulullah saaw. sebagai kakek Al-Husain as. Kepada Imam Ali bin Abi Thalib as. sebagai ayahandanya. Kepada Sayyidah Fatimah Az Zahra as. sebagai ibundanya dan kepada Imam Hasan as. sebagai kakandanya dan kepada Imam kita yang terakhir Shahibuz Zaman Al-Mahdi Ajjalallahu Farajahu Assyarif dan kepada seluruh kaum muslimin dimanapun berada, atas syahadah, wafatnya Imam yang kita cintai, Imam Husain as. Akhirul kalam, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

(Ceramah Ustadz Husein Alkaff pada peringatan hari Asyura di pesantren Al-Mukaramah Bandung, ditranskrip oleh : Donny Somadijaya, SH)

KISAH SYAHADAH IMAM HUSAIN AS

Perintah Ubaidillah bin Ziyad untuk membantai Al-Husain as. disambut oleh pasukannya. Seruannya untuk menjauhkan diri dari kebenaran mereka ikuti. Agama Umar bin Sa'ad telah dibelinya dengan harga dunia. Tawarannya kepada Umar untuk menjadi komandan pasukan penjegal diterimanya dengan senang hati. Bersama dengan empat ribu orang pasukan berkuda, dia keluar untuk memerangi Al-Husain as. Selain itu Ubaidillah bin Ziyad juga mengirimkan lasykar demi lasykar hingga pada hari keenam bulan Muharram jumlah seluruh pasukan yang terkumpul mencapai dua puluh ribu orang. Pasukan besar ini mempersulit keadaan Al-Husain as. sampai persediaan air minum beliau habis dan dahaga mulai mencekik leher beliau dan rombongan yang bersamanya.

Dengan berdiri bersandarkan pada pangkal pedangnya, beliau berkata dengan suara yang lantang, "Kuingatkan kalian kepada Allah. Apakah kalian mengenalku ?"

Mereka menjawab, "Ya, kami mengenalmu dengan benar. Engkau adalah putra dan cucu Rasulullah ."

Beliau bertanya lagi, "Tahukah kalian bahwa Rasulullah saw. adalah kakekku ?"

"Ya, benar," jawab mereka serentak.

"Bukankah Fatimah putri Rasulullah adalah ibuku ?"

"Ya, benar."

"Bukankah Ali bin Abi Thalib ayahku ?"

"Ya, benar."

"Bukankah Khadijah binti Khuwailid, wanita pertama yang memeluk agama Islam adalah nenekku ?", tanya Al-Husain as. selanjutnya.

"Ya, benar."

"Bukankah Hamzah penghulu para syuhada adalah paman ayahku ?"

"Ya, benar."

"Bukankah Ja'far yang terbang di surga adalah pamanku ?"

"Ya, benar."

"Tahukah kalian bahwa kini pedang Rasulullah berada di tanganku ?"

"Ya, benar."

"Tahukah kalian bahwa sorban yang kupakai ini adalah sorban Rasulullah saw. ?"

"Ya, benar."

"Tahukah kalian bahwa Ali as. adalah orang pertama yang memeluk agama Islam, orang yang paling berilmu,orang yang paling bijak dan pemimpin bagi semua insan Mukmin baik laki-laki maupun perempuan ?", tanya Al-Husain as.

"Ya, benar."

"Kalau begitu atas dasar apa kalian hendak membunuhku, padahal ayahku adalah orang yang kelak akan menjagi penjaga telaga Kautsar. Dialah yang akan menghalau sekelompok orang dari telaga itu seperti orang menghalau kawanan unta yang hendak meminum air. Bendera Rasulullah pun kelak akan berada di tangannya?", tanya Al-Husain lebih lanjut.

"Semua yang anda katakan itu benar dan sudah kami ketahui," jawab mereka. "Tapi meskipun demikian, kami tidak akan melepaskan anda sampai anda merasakan maut dalam keadaan dahaga yang mencekik leher."

Saat Al-Husain as. menyampaikan pidatonya ini, anak-anak dan adik beliau, Zainab,yang mendengarkan kata-kata beliau itu serentak menangis meraung-raung sambil memukuli wajah mereka sendiri.

Al-Husain as. segera memanggil adiknya, Abbas, dan putra beliau, Ali. Kepada mereka berdua beliau berkata, "Diamkanlah mereka! Jika tidak, mereka akan terus menangis."

Syimr bin Dzil Jausyan -semoga Allah melaknatnya- maju. Dengan suara yang lantang, dia memanggil-manggil, "Mana anak-anak saudariku, Abdullah, Ja'far, Abbas dan Utsman?"

Kepada mereka Al-Husain as. berkata, "Penuhilah panggilannya sekalipun dia orang yang fasik! Sebab dia masih termasuk paman kalian."

"Ada apa denganmu sampai kau memanggil kami?", tanya mereka kepada Syimr.

Syimr menjawab,"Wahai keponakanku sekalian, Aku jamin kalian aman. Jadi jangan kalian bunuh diri kalian sendiri dengan membela Al-Husain. Tunduk dan patuhlah kepada Amirul Mukminin Yazid bin Mu'awiyah!"

"Celaka kau dan terkutuklah keamanan yang kau janjikan itu!," ujar Abbas bin Ali as. " Kau suruh kami untuk meninggalkan saudara dan pemimpin kami Al-Husain as., putra Fatimah as. dan tunduk kepada orang-orang laknat putra orang-orang terkutuk itu ?" Syimr pergi meninggalkan mereka dengan amarah yang meluap.

Perawi berkata: Sewaktu Al-Husain as. melihat gelagat yang menunjukkan akan ketidaksabaran mereka untuk segera menyerang dan tidak berfaedahnya semua nasehat yang beliau berikan, beliau berkata kepada Abbas, adiknya, " Jika kau dapat memalingkan perhatian mereka hari ini, lakukanlah segera! Mungkin dengan itu kita dapat beribadah kepada Allah SWT pada malam ini. Karena Dia tahu bahwa aku sangat menyenangi salat menghadap kepada-Nya dan membaca ayat-ayat suci-Nya."

Perawi berkata: Abbas meminta kesempatan tersebut kepada mereka. Umar bin Sa'ad tidak memberikan jawabannya. Umar bin Hajjaj menegurnya. Katanya, "Demi Allah, mereka bukanlah orang-orang Dailam atau Turki yang meminta kesempatan itu. Sebaiknya kita berikan kesempatan ini kepada mereka. Apalagi mereka adalah keluarga dekat Nabi Muhammad saw." Permintaan itupun mereka kabulkan.

Perawi berkata: Al-Husain as. duduk dan tertidur. Ketika terjaga, beliau berkata, "Wahai adikku Zainab, baru saja aku bermimpi melihat kakek kita Rasulullah saw., ayah, ibu, dan kakak kita Al-Hasan. Mereka semua berkata kepadaku," Wahai Husain, kau akan segera pergi berkumpul bersama kami." Sebagian riwayat menyebutkan kata "Besok".

Perawi berkata: Zainab yang mendengar kata-kata abangnya itu langsung memukuli wajahnya dan berteriak histeris. "Zainab, hentikanlah! Jangan kau buat musuh gembira melihat musibah yang menimpa kita," kata Al-Husain as. kepadanya
Malampun tiba. Al-Husain as. mengumpulkan para sahabatnya. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, beliau berkata,

"Amma ba'du. Aku tidak pernah tahu ada sahabat yang lebih setia dari kalian atau keluarga yang lebih mulia dan lebih baik dari keluargaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian padaku dengan balasan-Nya yang lebih baik.

Malam kini telah tiba. Jadikanlah ini kesempatan untuk pergi. Aku minta setiap orang yang pergi membawa pergi bersamanya seorang dari keluargaku. Pergilah di kegelapan malam ini. Tinggalkan aku seorang diri berhadapan dengan mereka. Sebab mereka hanya menginginkan aku."

Saudara-saudara Al-Husain as., anak-anak beliau dan anak-anak Abdullah bin Ja'far berseru, "Mengapa kita mesti melakukannya? Apakah supaya kita dapat hidup lebih lama setelah kematianmu? Semoga Allah tidak menakdirkan hal itu terjadi pada diri kita." Orang pertama yang mengatakah hal itu adalah Abbas bin Ali dan kemudian diikuti oleh yang lainnya.

Perawi berkata: Al-Husain as. mengalihkan pandangannya ke arah anak-anak Aqil dan berkata, "Cukup saudara kalian Muslim saja yang terbunuh. Kuizinkan kalian untuk pergi. Pergilah!"

Menurut riwayat lain, saat itulah saudara-saudara dan seluruh keluarga beliau berkata, "Wahai putra Rasulullah, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang dan apa jawaban kami kepada mereka jika kita sampai meninggalkan pemimpin kita dan anak dari putri Nabi kita saw., tanpa ikut membidikkan anak panah, tanpa menusukkan tombak dan tanpa mengayunkan pedang bersamanya. Tidak. Demi Allah, kami tidak akan meninggalkanmu selamanya. Tapi sebaliknya, kami akan melindungimu dengan menjadikan badan ini sebagai perisai hidupmu sampai kami semua terbunuh dan syahid di sisimu lalu masuk di tempatmu di sisi Allah SWT. Semoga Allah memperburuk kehidupan setelahmu."

Musim bin 'Ausajah bangkit dan berkata, "Apakah kami akan meninggalkanmu sendirian padahal musuh telah mengepungmu dari segala penjuru? Demi Allah, tidak! Semoga Allah tidak menakdirkan aku melakukan hal tersebut hingga aku dapat mematahkan tombakku di dada mereka dan membabat habis mereka dengan pedangku selagi pangkalnya masih berada dalam genggamanku. Dan jika aku tidak memiliki senjata lagi untuk berperang melawan mereka, akan kulempari mereka dengan batu. Tak akan kutinggalkan engkau sampai aku mati dalam membelamu."

Said bin Abdullah Al-Hanafi berdiri dan berseru, "Demi Allah, kami tidak akan pernah meninggalkanmu, wahai putra Rasulullah. Sehingga Allah mengetahui bahwa kami telah menjaga wasiat Nabi Muhammad saw. dengan membelamu. Jika akau tahu bahwa aku akan terbunuh dalam usahaku membelamu lalu hidup kembali dan dibakar hidup-hidup kemudian abuku disebarkan, begitu seterusnya sampai tujuh puluh kali, tak akan kutinggalkan dirimu sampai kutemui ajalku. Apalagi aku tahu bahwa aku hanya akan sekali mati terbunuh lalu memperoleh kemuliaan abadi."

Zuhair bin Al-Qain tak mau kalah. Katanya, "Demi Allah, wahai putra Rasulullah. Aku gembira jika harus mati terbunuh lalu hidup lagi sebanyak seribu kali, tapi Allah menyelamatkan anda dan keluarga anda dengan kematianku."

Kemudian sahabat-sahabat beliau yang lain mengatakan hal yang serupa. Mereka berkata, "Jiwa kami adalah tebusan jiwa anda. Kami akan membela anda dengan tangan dan wajah kami. Bila kami harus mati terbunuh di sampingmu, berarti kami telah memenuhi janji kami kepada Allah dan kami telah melaksanakan apa yang menjadi kewajiban kami."

Pada waktu itu ada yang berkata kepada Muhammad bin Basyir Al-Hadhrami, " Anakmu kini tengah ditawan di negeri Rey" Ia menjawab, " Aku hanya mengharapkan pahala dari Allah untuk kami. Aku tidak ingin melihat ia ditawan sedangkan aku masih hidup."

Al-Husain as. memperhatikan pembicaraan tersebut. Beliau lalu berkata,"Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu. Engkau kubebaskan dari baiatku. Lakukanlah sesuatu untuk kebebasan anakmu !"

"Semoga binatang-binatang buas memangsaku hidup-hidup jika aku sampai meninggalkan anda," katanya.

"Kalau begitu , berikan kain-kain yang ada kepada anakmu ini untuk menebus saudaranya!" ujar Al-Husain as. Kemudian kain-kain yang berharga seribu dinar tersebut diserahkan kepadanya.

Perawi berkata: Malam itu Al-Husain as. dan para sahabatnya larut dalam dengungan rabbani. Dengungan suara mereka tak ubahnya suara kawanan lebah. Mereka tenggelam dalam ruku', sujud, berdiri menghadap kiblat dan duduk bermunajat. Malam itu kurang lebih tiga puluh orang dari kamp Umar bin Sa'ad melewati mereka.
Keesokan harinya, Al-Husain as. memerintahkan untuk mendirikan sebuah kemah lagi dan meminta satu tempat yang berisi minyak kesturi yang telah dicampur dengan bunga. Lalu beliau masuk ke dalam kemah tersebut untuk memakai minyak.

Diriwayatkan bahwa Burair bin Hushain Al-Himdani dan Abdur Rahman bin Abdi Rabbih Al-Anshari berdiri di depan pintu kemah itu menunggu giliran setelah beliau. Pada saat itulah Burair bercanda dengan Abdur Rahman. Abdur Rahman berkata kepadanya, "Hai Burair, kenapa engkau tertawa ? Sekarang ini bukan waktunya untuk bercanda dan bermain-main ?!"

Burair menjawab,"Dari dulu sampai sekarang kaum kerabatku mengetahui bahwa aku bukanlah orang yang suka bermain-main. Tapi hal itu aku lakukan karena aku gembira sekali menyaksikan jalan yang kita lalui ini. Demi Allah, kita hanya perlu berhadapan dengan mereka sebentar sambil memainkan pedang kita, lalu kita akan segera jatuh ke dalam pelukan bidadari surga."

Perawi berkata: Pasukan Umar bin Sa'ad bersiap-siap di atas kuda mereka. Melihat itu, Al-Husain as. segera mengutus Burair bin Hushain untuk menasehati mereka. Tapi sayang, kata-kata Burair tidak mereka indahkan. Sia-sia saja usaha yang dilakukan oleh sahabat setia Al-Husain as. itu.

Al-Husain as. naik ke atas untanya – atau kudanya, menurut riwayat yang lain – dan meminta mereka semua untuk diam. Keheningan menyelimuti padang tandus dan gersang itu.

Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT dan menyampaikan salawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw., para malaikat, nabi dan rasul-Nya, beliau berkata,

"Cekalakah kalian semua! Saat kalian merengek-rengek meminta bantuan kami, kami segera datang memenuhi panggilan kalian. Tapi kini kalian justeru menghunus pedang untuk menyerang kami, padahal kalian masih terikat janji baiat dengan kami. Kalian nyalakan api yang sedianya kami siapkan untuk musuh kami dam musuh kalian. Kini kalian telah berubah menjadi budak-budak musuh kalian untuk memerangi pemimpin kalian sendiri, padahal mereka tidak berlaku adil kepada kalian dan tak ada kebaikan yang bisa kalian harapkan dari mereka.

Bukankah sebaiknya kalian sarungkan lagi pedang yang telah dihunus itu dan meninggalkan kami dengan hati lembut. Sekarang masih belum terlambat. Tapi rupanya kalian sangat cepat untuk mendapat kutukan.

Terkutuklah kalian, hai budak-budak hina, pendurjana, pencampak kitab Allah, pemutar balik kata, pewaris dosa-dosa, sasaran tiupan setan dan pemadam Sunnah ! Merekakah yang kalian dukung dengan menghinakan kami?

Demi Allah, ini bukan kali pertama kalian bertindak licik. Kelicikan ini telah mengakar pada kalian semua. Kini orang-orang merasa jijik menyaksikan tindakan kalian ini. Dan kalian menjadi santapan empuk para penguasa zalim.

Ketahuilah bahwa Yazid bin Mu'awiyah memberiku dua pilihan, mati atau hidup terhina. Kami tidak akan memilih kehinaan selamanya. Allah tidak menghendaki hal itu terjadi pada kami, juga Rasul-Nya dan kaum Mukminin. Jiwa suci kami lebih memilih mati dengan terhormat daripada tunduk kepada para penguasa zalim. Ketahuilah, bahwa aku memilih untuk mati bersama kelompok kecil ini, meski tak ada lagi orang yang mau membelaku."

Lalu beliau meneruskan khotbah tersebut dengan bait-bait syair Farwah bin Masik Al-Muradi:

Jika kami menang, hal itu sudah terbiasa dari dulu

Dan jika kalah, tak ada cela bagi kekalahan itu

Rasa takut tak pernah merasuki kalbu kami

Hanya ajallah dan adanya takdir ilahi

Bila maut tak menghampiri suatu golongan

Pasti ia sedang mendatangi kaum yang lain

Mautlah penutup umur orang-orang mulia

Ia jugalah pembinasa umat-umat terdahulu

Jika para raja hidup kekal, kitapun abadi

Jika orang mulia tetap hidup, kita tak akan mati

Katakanlah kepada mereka, "Ingatlah bahwa Kalian akan mengalami hal yang sama

Kemudian beliau berkata,

"Ketahuilah! Demi Allah, setelah ini kalian hanya akan hidup sebentar, selama waktu orang menunggang kuda. Selanjutnya kalian akan diputar seperti gilingan gandum dan digoncang dari porosnya. Ini adalah janji yang diberikan oleh ayahku dari kakekku Rasulullah saw.

Karena itu bulatkanlah tekad kalian dan kumpulkanlah semua sekutu kalian untuk membinasakanku. Kemudian umumkan keputusan itu dan binasakanlah aku, jangan kalian beri aku kesempatan lagi!

Aku berserah diri kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian. Tak ada sesuatupun yang melata di muka bumi kecuali ada pada kekuasaan-Nya. Tuhanku berada di jalan yang lurus.

Ya Allah, jangan Kau turunkan hujan untuk mereka ! Tapi azablah mereka dengan paceklik seperti paceklik di masa Yusuf as.!

Utuslah seorang dari bani Tsaqif untuk menguasai dan menghinakan mereka sehina-hinanya. Karena mereka telah mendustakan dan melecehkan kami. Engkaulah Tuhan kami. Kepada-Mulah kami berserah diri dan kepada-Mulah kami kembali. Engkau tempat kembali segala sesuatu."
Al-Husain as. turun lalu meminta kuda Rasulullah saw. yang bernama "Murtajiz". Setelah naik ke atasnya, beliau memerintahkan para sahabat setianya agar bersiap-siap untuk bertempur.

Diriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir AS beliau berkata, "Jumlah mereka semua empat puluh oang penunggang kuda dan seratus pejalan kaki." Riwayat lain menyebutkan jumlah yang lain.

Perawi berkata: Umar bin Sa'ad bergerak maju dan membidikkan anak panahnya ke arah perkemahan Al-Husain as. sembari berseru, "Saksikanlah dan sampaikan pada tuan gubernur bahwa aku adalah orang pertama yang membidikkan panah." Selanjutnya anak-anak panah menghujani perkemahan Al-Husain mengikuti anak panah bidikan Ibnu Sa'ad.

Kepada para sahabatnya Al-Husain as. berkata, "Semoga Allah merahmati kalian semua. Bangkit dan sambutlah kematian ini! Kematian yang memang harus kita alami. Anak-anak panah ini membawa pesan perang kepada kalian."

Beberapa saat peperangan tak berimbang ini berkecamuk. Serangan demi serangan dilancarkan, sehingga beberapa orang dari sahabat Al-Husain as. gugur sebagai syahid.

Al-Husain as. memegang janggutnya dan berkata, "Allah sangat murka kepada bangsa Yahudi ketika mereka menisbatkan Uzair sebagai anak-Nya. Juga kepada orang-orang Nasrani saat mereka menjadikan-Nya oknum ketiga dari tiga oknum tuhan mereka. Kepada kaum Majusi Allah murka ketika mereka memilih menyembah matahari dan bulan daripada Allah. Dan kini kemurkaan Allah turun atas sekelompok orang yang bahu membahu membunuh anak dari putri Nabi mereka.

Ketahuilah! Demi Allah, tak akan kupenuhi tawaran mereka sampai aku menemui Allah SWT dengan tubuh bersimbah darah."

Diriwayatkan bahwa Imam Ja'far Shadiq as. berkata,

"Ayahku mengatakan bahwa ketika Al-Husain as. berpapasan dengan Umar bin Sa'ad dan pertempuran tengah berkecamuk dengan hebatnya, Allah menurunkan pertolongan-Nya hingga kemenangan berada di atas kepala Al-Husain as.

Lalu Allah memberinya dua pilihan: Kemenangan atas musuh-musuhnya atau bertemu dengan-Nya. Al-Husain as. memilih untuk bertemu dengan Tuhannya."

Perawi mengatakan: Al-Husain as. berkata,"Adakah orang yang masih menginginkan ridha Allah dengan menolong kami ? Adakah orang yang masih mau membela kehormatan Rasulullah saw. ?"

Tiba-tiba Hurr bin Yazid Al-Riyahi menghadap komandan tertinggi pasukan Ibnu Ziyad, Umar bin Sa'ad dan berkata, "Masihkah kau berniat untuk memerangi orang ini?"

Umar menjawab, "Tentu. Aku akan terus memeranginya, minimal sampai kepalanya melayang dan jari-jari tangannya terpotong."

Hurr pergi meninggalkan Ibnu Sa'ad dan menyendiri sedang badannya menggigil. Muhajir bin Aus yang menyaksikan pemandangan aneh ini berkata,"Demi Allah, aku bingung melihat keadaanmu ini. Padahal jika ada orang yang bertanya, siapakah orang Kufah yang paling berani, aku akan dengan mantap menjawab bahwa orang itu adalah kau. Apa gerangan yang terjadi padamu?"

Hurr menjawab, "Demi Alah, aku dihadapkan pada dua pilihan, surga atau neraka. Aku bersumpah bahwa aku lebih memilih surga walaupun mesti dicincang atau dibakar hidup-hidup."

Setelah berkata demikian, Hurr memacu kudanya dengan cepat menuju perkemahan Al-Husain as. dengan tangan di atas kepala dan berseru,"Ya Allah, kini aku bertaubat kepada-Mu, terimalah taubatku ini! Aku telah melakukan kesalahan besar dengan membuat rasa takut yang mencekam hati kekasih-kekasih-Mu dan anak-anak putri Nabi-Mu."

Kepada Al-Husain as. ia berkata, "Akulah orang yang menghalangimu untuk kembali ke kotamu dan menggiringmu ke tempat ini. Demi Allah, aku tidak pernah mengira bahwa mereka akan berlaku sekejam ini padamu. Kini aku bertaubat kepada Allah. Masih terbukakah pintu taubat buatku ?"

Al-Husain as. menjawab,"Ya. Allah telah menerima taubatmu. Turunlah !"

Hurr berkata,"Lebih baik aku berada di atas punggung kudaku dan bertempur membelamu daripada berjalan kaki. Karena bila aku turun, mereka akan langsung membunuhku."

Katanya lagi,"Jika aku merupakan orang pertama yang menghadang anda, izinkan aku untuk menjadi orang pertama yang gugur dari barisanmu. Aku berharap dapat menjabat tangan kakek anda, Rasulullah saw. di hari kiamat kelak."

Al-Husain as. mengijinkannya. Kini Hurr berada di tengah-tengah medan laga dan bertempur dengan sengitnya hingga berhasil membuat beberapa jagoan musuh terkapar di tanah. Tapi iapun gugur sebagai pahlawan. Jasadnya dibawa ke perkemahan Al-Husain as. Beliau sambil membersihkan wajah Hurr dari debu dan tanah berkata, "Engkau Hurr (Merdeka) seperti nama yang ibumu berikan. Engkau bebas dan merdeka di dunia dan akhirat."
l-Husain as. turun lalu meminta kuda Rasulullah saw. yang bernama "Murtajiz". Setelah naik ke atasnya, beliau memerintahkan para sahabat setianya agar bersiap-siap untuk bertempur.

Diriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir AS beliau berkata, "Jumlah mereka semua empat puluh oang penunggang kuda dan seratus pejalan kaki." Riwayat lain menyebutkan jumlah yang lain.

Perawi berkata: Umar bin Sa'ad bergerak maju dan membidikkan anak panahnya ke arah perkemahan Al-Husain as. sembari berseru, "Saksikanlah dan sampaikan pada tuan gubernur bahwa aku adalah orang pertama yang membidikkan panah." Selanjutnya anak-anak panah menghujani perkemahan Al-Husain mengikuti anak panah bidikan Ibnu Sa'ad.

Kepada para sahabatnya Al-Husain as. berkata, "Semoga Allah merahmati kalian semua. Bangkit dan sambutlah kematian ini! Kematian yang memang harus kita alami. Anak-anak panah ini membawa pesan perang kepada kalian."

Beberapa saat peperangan tak berimbang ini berkecamuk. Serangan demi serangan dilancarkan, sehingga beberapa orang dari sahabat Al-Husain as. gugur sebagai syahid.

Al-Husain as. memegang janggutnya dan berkata, "Allah sangat murka kepada bangsa Yahudi ketika mereka menisbatkan Uzair sebagai anak-Nya. Juga kepada orang-orang Nasrani saat mereka menjadikan-Nya oknum ketiga dari tiga oknum tuhan mereka. Kepada kaum Majusi Allah murka ketika mereka memilih menyembah matahari dan bulan daripada Allah. Dan kini kemurkaan Allah turun atas sekelompok orang yang bahu membahu membunuh anak dari putri Nabi mereka.

Ketahuilah! Demi Allah, tak akan kupenuhi tawaran mereka sampai aku menemui Allah SWT dengan tubuh bersimbah darah."

Diriwayatkan bahwa Imam Ja'far Shadiq as. berkata,

"Ayahku mengatakan bahwa ketika Al-Husain as. berpapasan dengan Umar bin Sa'ad dan pertempuran tengah berkecamuk dengan hebatnya, Allah menurunkan pertolongan-Nya hingga kemenangan berada di atas kepala Al-Husain as.

Lalu Allah memberinya dua pilihan: Kemenangan atas musuh-musuhnya atau bertemu dengan-Nya. Al-Husain as. memilih untuk bertemu dengan Tuhannya."

Perawi mengatakan: Al-Husain as. berkata,"Adakah orang yang masih menginginkan ridha Allah dengan menolong kami ? Adakah orang yang masih mau membela kehormatan Rasulullah saw. ?"

Tiba-tiba Hurr bin Yazid Al-Riyahi menghadap komandan tertinggi pasukan Ibnu Ziyad, Umar bin Sa'ad dan berkata, "Masihkah kau berniat untuk memerangi orang ini?"

Umar menjawab, "Tentu. Aku akan terus memeranginya, minimal sampai kepalanya melayang dan jari-jari tangannya terpotong."

Hurr pergi meninggalkan Ibnu Sa'ad dan menyendiri sedang badannya menggigil. Muhajir bin Aus yang menyaksikan pemandangan aneh ini berkata,"Demi Allah, aku bingung melihat keadaanmu ini. Padahal jika ada orang yang bertanya, siapakah orang Kufah yang paling berani, aku akan dengan mantap menjawab bahwa orang itu adalah kau. Apa gerangan yang terjadi padamu?"

Hurr menjawab, "Demi Alah, aku dihadapkan pada dua pilihan, surga atau neraka. Aku bersumpah bahwa aku lebih memilih surga walaupun mesti dicincang atau dibakar hidup-hidup."

Setelah berkata demikian, Hurr memacu kudanya dengan cepat menuju perkemahan Al-Husain as. dengan tangan di atas kepala dan berseru,"Ya Allah, kini aku bertaubat kepada-Mu, terimalah taubatku ini! Aku telah melakukan kesalahan besar dengan membuat rasa takut yang mencekam hati kekasih-kekasih-Mu dan anak-anak putri Nabi-Mu."

Kepada Al-Husain as. ia berkata, "Akulah orang yang menghalangimu untuk kembali ke kotamu dan menggiringmu ke tempat ini. Demi Allah, aku tidak pernah mengira bahwa mereka akan berlaku sekejam ini padamu. Kini aku bertaubat kepada Allah. Masih terbukakah pintu taubat buatku ?"

Al-Husain as. menjawab,"Ya. Allah telah menerima taubatmu. Turunlah !"

Hurr berkata,"Lebih baik aku berada di atas punggung kudaku dan bertempur membelamu daripada berjalan kaki. Karena bila aku turun, mereka akan langsung membunuhku."

Katanya lagi,"Jika aku merupakan orang pertama yang menghadang anda, izinkan aku untuk menjadi orang pertama yang gugur dari barisanmu. Aku berharap dapat menjabat tangan kakek anda, Rasulullah saw. di hari kiamat kelak."

Al-Husain as. mengijinkannya. Kini Hurr berada di tengah-tengah medan laga dan bertempur dengan sengitnya hingga berhasil membuat beberapa jagoan musuh terkapar di tanah. Tapi iapun gugur sebagai pahlawan. Jasadnya dibawa ke perkemahan Al-Husain as. Beliau sambil membersihkan wajah Hurr dari debu dan tanah berkata, "Engkau Hurr (Merdeka) seperti nama yang ibumu berikan. Engkau bebas dan merdeka di dunia dan akhirat."
Perawi berkata: Burair bin Khudhair, seorang yang terkenal zuhud dan ahli ibadah, keluar dari barisan. Yazid bin Mi'qal datang menyambutnya. Keduanya sepakat untuk bermubahalah dan memanjatkan doa agar Allah SWT membinasakan orang yang bersalah di tangan orang yang benar.

Pertarungan antara keduanya dimulai. Sabetan pedang Burair mengakhiri hidup Yazid. Yazid tewas. Burair terus berperang dengan sengitnya sampai kemudian gugur sebagai syahid. Semoga Allah SWT meridhainya.

Wahb bin Habbab Al-Kalbi keluar dari barisan. Dengan terampil dan gerakan yang cepat dan lincah, ia menari-narikan pedangnya dan bertempur dengan gagah berani. Beberapa saat setelah itu, ia kembali ke perkemahan dan menghampiri ibu dan istrinya yang ikut dalan rombongan Al-Husain as. Kepada ibunya ia bertanya,"Ibu, puaskah kau menyaksikan aku bertempur di pihak Al-Husain ?"

Sang ibu menjawab,"Tidak. Aku tidak pernah akan merasa puas sampai menyaksikan kau terbunuh di sisi beliau?"

Istrinya berkata,"Wahb, demi Allah, jangan kau siksa aku dengan kepergianmu."

"Anakku, jangan kau pikirkan apa yang istrimu katakan itu! Kembalilah ke medan laga dan berperanglah demi membela anak putri Nabimu. Kelak kau akan mendapatkan syafa'at kakeknya di hari kiamat."

Wahb kembali ke tengah medan dan terus bertarung melawan musuh-musuh Allah sampai kedua tangannya putus. Sang istri menghampirinya dengan membawa kayu penyangga dan berseru,"Teruslah bertempur demi membela orang-orang suci ini, keluarga Muhammad Rasulullah saw."

Wahb mendatangi istrinya dan menyuruhnya pergi ke kemah para wanita. Sambil memegangi pakaian sang suami ia berkata, "Aku tak mau kembali. Aku ingin mati bersamamu."

Al-Husain as. menghampiri mereka dan menyuruh istri Wahb untuk segera kembali ke tempat para wanita berada dan berkata,"Semoga Allah membalas kebaikan kalian. Kembalilah kau ke kemah para wanita. Allah merahmatimu."

Wahb Al-Kalbi terus bertempur hingga akhirnya ia gugur sebagai syahid. Ridhwanullahi 'alahi.
Giliran Muslim bin 'Ausajah maju. Dengan sengitnya, ia mengobrak-abrik barisan musuh. Segala rintangan dan cobaan ia lalui dengan tabah. Sampai ia jatuh tersungkur di atas tanah. Ia masih bernafas. Al-Husain as. bersama Habib bin Madhahir mendatanginya. Al-Husain berkata kepadanya,"Semoga Allah merahmatimu, hai Muslim." Beliau membaca ayat suci:

فمنهم من قضي نحبه ومنهم من ينتظر وما بدلوا تبديلا

"Di antara mereka ada yang gugur, ada pula yang masih menunggu. Mereka tidak merubah-rubah (janji mereka)."

Habib mendekatinya dan berbisik,"Sungguh berat bagiku menyaksikan kematianmu, wahai Muslim. Bergembiralah karena surga telah menantimu. "

Dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar Muslim menjawab, "Allah juga telah menjanjikan kebaikan untukmu."

"Jika aku tahu bahwa aku hidup lebih lama lagi, dengan senang hati akan kulaksanakan wasiatmu," kata Habib lagi.

"Wasiatku padamu adalah dia – sambil menunjuk kepada Al-Husain as. – Berperanglah demi dia sampai engkau juga terbunuh seperti aku," ujar Muslim.

"Dengan senang hati akan kulaksanakan wasiatmu ini," jawab Habib.

Muslim bin 'Ausajah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ridhwanullahi 'alahi.

'Amr bin Quradhah Al-Anshari maju meminta izin dari Al-Husain as. Beliau mengijinkannya. Iapun langsung masuk ke medan laga dan bertempur dengan gagah berani. Ia rindu untuk segera mendapatkan pahala dan berkhidmat pada Tuhan penguasa langit. Banyak nyawa tentara Ibnu Ziyad yang berhasil ia pisahkan dari badan mereka.

Dialah teladan dari kebenaran dan perjuangan. Tak ada anak panah yang melesat ke arah Al-Husain as. kecuali ia lumpuhkan. Dan tak ada pedang yang terayun ke arah Al-Husain as. kecuali ia tangkis dengan taruhan nyawa. Tak ada gangguan yang berhasil sampai ke tubuh Al-Husain as. selama dia ada, hingga badan 'Amr penuh luka yang menganga. Sambil menengok ke arah Al-Husain as. ia berkata,"Ya Husain, wahai putra Rasulullah, setiakah aku padamu ? "

Al-Husain as. menjawab, "Ya. Kau akan berada di depanku di surga nanti. Sampaikan salamku kepada Rasulullah saw. dan katakan kepada beliau bahwa aku akan segera menyusul."

'Amr kembali bertempur dengan gigihnya hingga akhirnya ia gugur. Ridhwanullahi 'alaihi.
Kini hanya Al-Husain as. dan keluarganya saja yang masih tersisa. Ali bin Al-Husain as., pemuda yang tampan dan menawan baik paras maupun peranginya ini, meminta izin ayahnya untuk maju melawan para durjana musuh-musuh Allah. Izin diberikan.

Al-Husain hanya dapat mengikuti langkahnya lewat pandangan yang sayu. Air mata membasahi pipinya. Sambil terisak beliau berkata, "Ya Allah, saksikanlah ! Pemuda yang sangat mirip dengan Rasul-Mu baik wajah, perangai maupun tutur katanya, kini maju menghadang musuh dan bertarung dengan mereka. Dialah obat kerinduan kami kepada Nabi-Mu. Dengan memandanginya kami dapat mengobati kerinduan itu."

Kemudian beliau berseru, "Hai Ibnu Sa'ad, semoga Allah memutus garis keturunanmu seperti engkau memutus keturunanku dengan membunuhnya."

Ali bin Al-Husain as. maju dan dengan gerakan yang lincah dan penuh semangat ia berhasil mencerai-beraikan barisan musuh. Korban berjatuhan terkena sabetan pedangnya. Kemudian ia kembali ke ayahnya dan berkata, "Ayah, rasa haus ini telah mencekik leherku. Dan besi ini terasa sangat berat di badanku.Adakah cara agar aku bisa mendapatkan air barang seteguk ?"

Al-Husain as. sedih mendengar permintaan anak kesayangannya itu dan sambil menangis beliau berkata, "Oh malangnya engkau! Dari mana aku bisa mendapatkan air? Bertempurlah sejenak! Tak lama lagi kakekmu Muhammad saw. akan memberimu minuman dengan cawannya dan setelah itu kau tidak akan merasakan dahaga lagi selamanya."

Iapun kembali ke medan laga dan bertemput dengan sengitnya, hingga sebuah anak panah kiriman Munqidz bin Murrah Al-'Abdi mengenainya. Ali bin Al-Husain as. tersungkur dan berseru, "Ayah, salam dariku untukmu. Ini dia, kakekku Rasulullah berkirim salam padamu dan berpesan agar engkau cepat-cepat datang menyusul kami." Cawan syahadah ia teguk. Ridhwanullahi 'alaihi.

Al-Husain as. segera menghampirinya dan meletakkan pipi sang anak di pipinya seraya berkata, "Semoga Allah membinasakan mereka yang membunuhmu. Alangkah durhakanya mereka kepada Allah sehingga berani menginjak-injak kehormatan Rasulullah saw. Dunia kini tak berarti lagi setelah kepergianmu, anakku."

Perawi berkata: Zainab binti Ali keluar dari kemah dan menjerit histeris,"Oh sayangku, oh keponakanku." Ia menghampiri jasad Ali bin Al-Husain as. lalu menjatuhkan dirinya di atas tubuh tak bernyawa itu.

Al-Husain as. segera mengambil Zainab dan mengembalikannya ke kemah para wanita.

Satu demi satu jawara Bani Hasyim maju. Sebagian telah gugur di tangan musuh. Saat itulah Al-Husain as. berseru, "Bersabarlah wahai anak-anak pamanku ! Bersabarlah wahai keluargaku! Demi Allah, kalian tak akan merasakan kehinaan lagi setelah hari ini."
Perawi berkata: Seorang anak yang belia dengan wajah bak bulan purnama mendadak keluar dari barisan Al-Husain as. dan bertempur dengan sengit. Ibnu Fudhail Al-Azdi datang dan memukul kepalanya. Tengkorak kepala sang anak pecah dengan luka yang menganga. Ia jatuh tersungkur dan menjerit, "Paman…"

Al-Husain as. segera keluar dari perkemahannya dan memacu kudanya secepat kilat. Dengan pedang yang terhunus di tangan kanannya dan amarah yang memuncak, disabetnya Ibnu Fudhail, yang saat melihat Al-Husain as. berusaha untuk menyelamatkan diri dari maut yang hampir pasti. Pukulan Al-Husain as. ditangkisnya dengan lengan tangan. Suara lengkingannya terdengar kala tangan si durjana itu terlepas dari sikunya. Teriakannya terdengar oleh pasukan Ibnu Sa'ad. Mereka segera datang berusaha untuk dapat menolongnya. Tapi sial, kaki-kaki kuda mereka justeru menginjak-injaknya hingga ia tewas mengenaskan.

Perawi berkata: Debu-debu yang beterbangan reda sudah. Tampak Al-Husain as. berdiri di samping anak tersebut yang masih menyektak-nyentakkan kakinya di tanah. Beliau as. berkata, "Terkutuklah mereka yang telah membunuhmu. Di hari kiamat kelak, kakekmu akan menuntut balas kematianmu dari mereka semua."

Kemudian beliau berkata lagi, "Sungguh berat rasanya bagi pamanmu ini, kala mendengar panggilanmu tapi tak menjawabnya. Atau menjawab tapi suaranya tak lagi dapat memberikan apa-apa. Demi Allah, hari ini telah dipenuhi oleh orang-orang zalim dan sedikit orang yang mau menolong kita."

Al-Husain menggendong jasad belia ini dan meletakkannya di tempat sanak keluarganya yang telah menjadi korban kebiadaban hari itu.
Saat Al-Husain as. memandangi jasad-jasad keluarga dan sahabatnya, beliau bertekad untuk menghadapi sendiri musuh-musuhnya dengan jiwa dan raga. Beliau berkata,

"Adakah orang yang mau membela kehormatan Rasulullah saw. ? Adakah seorang muslim di sini yang takut kepada Tuhannya karena menzalimi kami? Adakah orang yang mau menolong kami karena mengharapkan pahala dari Allah ?"

Jerit tangis para wanita meledak. Al-Husain as. mendatangi kemah dan berkata kepada Zainab,"Ambilkan anakku yang paling kecil! Aku ingin mengucapkan selamat tinggal padanya."

Al-Husain as. mengambil anak tersebut. Ketika hendak menciumnya, sekonyong-konyong sebuah anak panah yang dibidikkan oleh Harmalah bin Kahil melesat dan menancap tepat di kerongkongannya yang mungil itu.. Leher sang anak menganga bagai disembelih. Kepada Zainab Al-Husain as. berkata, "Ambillah !"

Darah segar yang mengucur deras dari leher tersebut beliau tampung di telapak tangan hingga penuh. Lalu darah itu beliau lemparkan ke atas sambil berseru, "Ya Allah, ringankanlah deritaku ini! Engkau telah menyaksikan semuanya."

Imam Baqir as. berkata, "Tak setetespun dari darah itu yang tertumpah ke tanah."

Ada riwayat lain yang lebih logis dan layak untuk diterima. Saat-saat menengangkan dengan berkecamuknya peperangan dan sadisnya pembantaian yang dilakukan oleh musuh, bukan saat yang tepat untuk berpamitan dengan seorang bayi. Riwayat kedua ini menyebutkan bahwa Zainab, adik kandung Al-Husain as., keluar dari kemahnya dengan membawa bayi tersebut seraya berkata, "Abangku, anakmu ini sudah tiga hari lamanya tidak meneguk air sama sekali. Mintalah air untuknya barang seteguk."

Al-Husain as. mengambil sang anak dan berkata kepada mereka, "Hai kalian semua! Kalian telah membantai sahabat-sahabat dan sanak keluargaku. Kini tinggal anakku yang masih bayi ini yang tercekik rasa dahaga. Berilah ia beberapa tetes air untuk membasahi tenggorokannya !"

Ketika Al-Husain tengah berkata demikian, tiba-tiba seseorang melepaskan anak panah ke arah bayi yang berada di tangan Al-Husain as. itu hingga menembus leher mungilnya.

Al-Husain as. memanjatkan doa agar Allah SWT mengazab mereka. Doa tersebut menjadi kenyataan dengan terbantainya mereka di tangan Mukhtar.
Perawi berkata: Rasa dahaga kian mencekik Al-Husain as. Dengan menunggang Mutsannat (Nama kuda beliau, pent), beliau pergi menuju sungai Furat. Abbas, adik beliau ikut menyertai. Di tengah jalan, mereka berdua dihadang oleh pasukan berkuda Ibnu Sa'ad. Seorang dari bani Darim membidikkan panahnya ke arah Al-Husain as. Anak panah itu dengan cepat melesat dan mengenai dagu bawah beliau. Al-Husain as. mencabutnya dan meletakkan tangannya di luka tersebut sampai darah memenuhi kedua telaak tangannya. Beliau melemparkan darah itu dan berkata, "Ya Allah, aku mengadukan kepada-Mu segala apa yang mereka perbuat terhadap anak putri Nabi-Mu."

Pasukan kuda Ibnu Sa'ad kini menghadang Abbas dan mengepungnya dari segala penjuru. Dengan sadis mereka mencincangnya. Semoga Allah mensucikan ruhnya. Ridhwanullahi 'alaihi.

Menyaksikan itu Al-Husain as. tak lagi dapat membendung tangisnya. Dalam hal ini, seorang penyair berkata:

Pemuda yang paling pantas untuk ditangisi

Adalah yang membuat Al-Husain menangisinya

Dialah saudara, dan anak ayahnya, Ali

Abul Fadhl dengan luka di sekujur tubuhnya

Pembela setia dan pengikut sejati

Demi Al-Husain, tinggalkan air, pilih dahaga
Perawi berkata: Al-Husain as. menyerukan untuk bertanding dengannya. Semua yang mencoba maju, beliau robohkan, hingga banyak korban berjatuhan terkena sabetan pedang putra Ali tersebut. Sambil bertempur beliau bersenandung:

Kematian lebih baik dari menanggung hina

Tapi kehinaan lebih baik dari api neraka

Perawi berkata: Demi Allah, tak pernah sekalipun aku menyaksikan seorang yang hatinya telah pilu menyaksikan pembantaian anak, keluarga dan para sahabatnya yang lebih tabah Al-Husain as. Ketika pasukan musuh mendesaknya, dengan memainkan pedangnya beliau balas mendesak gerak laju mereka, bagai serigala yang melepaskan diri dari ikatan yang membelenggunya. Pasukan musuh yang berjumlah tiga puluh ribu orang beliau cerai-beraikan. Barisan mereka terobrak-abrik bak pasukan belalang.

Kemudian beliau kembali lagi ke kemah dan berkata lirih, "Tak ada daya dan upaya kecuali atas kehendak Alah yang Maha Tinggi dan Agung."

Perawi berkata: Al-Husain as. terus bertempur sampai kemudian pasukan musuh menghalangi beliau untuk kembali ke perkemahannya.

Kepada mereka beliau berseru, "Celakalah kalian, hai pengikut keluarga Abu Sufyan! Jika kalian tidak lagi mempunyai agama dan tidak takut akan siksaan Allah di hari kiamat, jadilah orang-orang yang merdeka dalam urusan dunia kalian! Tengoklah kembali rasa kecemburuan kalian jika memang kalian orang Arab !"

Syimr menyahut, "Apa maksudmu, hai putra Fatimah?"

Al-Husain menjawab, "Akulah yang berperang dengan kalian. Sedang wanita-wanita itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kalian. Cegahlah orang-orang bengis, bodoh dan durjana ini dari perbuatan mereka menginjak-injak kehormatanku selagi aku masih hidup!"

"Kukabulkan permintaanmu itu, hai putra Fatimah," sahut Syimr.

Mereka kemudian serentak maju menyerang Al-Husain as. Serangan dibalas dengan serangan. Meskipun demikian, Al-Husain as. berusaha untuk mendapatkan seteguk air yang bisa membasahi kerongkongannya. Usahanya sia-sia. Badan beliau kini menanggung tujuh puluh dua buah luka.

Al-Husain as. berhenti untuk beristirahat sejenak, setelah badan belau melemah dan ketangkasannya mengendur. Tiba-tiba sebuah batu menghantam dahinya selagi beliau berhenti. Dengan bajunya, beliau mengusap darah segar yang mengalir dari dahi suci itu.

Mendadak sebuah anak panah beracun dan bermata tiga lepas dari busurnya, melesat dan tepat bersarang di jantung beliau. Al-Husain as. berseru:

بسم الله وبالله وعلى ملة رسول الله

Lalu beliau mengangkat kepalanya ke atas dan berkata, "Ya Allah, Engkau tahu bahwa mereka telah membunuh satu-satunya cucu Nabi-Mu."

Al-Husain as. mencabut anak panah itu dari punggungnya. Darah memuncrat bagai pancuran. Kegesitan Al-Husain as. dalam berperang kian melemah. Kini beliau berhenti dan berdiam diri. Setiap orang yang datang ke arahnya, langsung pergi menginggalkannya karena takut akan menemui Allah dengan darah Al-Husain as. Sampai kemudian seorang dari Bani Kindah bernama Malik bin Nasr datang menghampiri dan memaki beliau. Tak lama kemudian ia mengayunkan pedangnya ke kepala Al-Husain as. Penutup kepala beliau terbelah dan pedang melukai kepalanya. Penutup kepala Al-Husain as. berubah menjadi merah bercampur darah.

Al-Husain as. meminta selembar kain untuk menutup luka yang menganga di kepalanya, juga sebuah topi yang diikatkan di kepala.

Tak lama setelah itu, pasukan berkuda musuh kembali menyerang dan mengepungnya. Tiba-tiba Abdulah bin Al-Hasan bin Ali – seorang anak yang belum akil baligh – keluar dari kemah para wanita berlari menuju ke arah Al-Husain as. Zainab binti Ali menyusul dan mencegahnya. Ia meronta-ronta dan berkata, "Demi Allah, aku tidak mau berpisah dari pamanku."

Bahr bin Ka'ab – menurut riwayat lain Harmalah bin Kahil – datang hendak memukul pedangnya ke arah Al-Husain as. Anak tersebut menghardiknya, "Hai anak perempuan kotor ! Kau akan membunuh pamanku ?"

Pedang terayun. Sang anak menangkisnya dengan tangan kosong. Lengan mungil itu nyaris terlepas dari pangkalnya dan tergantung di kulit tangan. Terdengar suara jeritan yang memilukan, "Pamaaan !"

Al-Husain as. memeluknya dan berkata, "Bersabarlah menerima derita ini, wahai keponakanku. Sebentar lagi Allah akan mengumpulkanmu dengan ayah dan kakekmu yang shaleh."

Harmalah melepasakan anak panahnya hingga menembus leher anak Al-Hasan itu. Ia gugur di pangkuan pamannya, Al-Husain as.

Syimr bin Dzil Jausyan menyerang kemah Al-Husain as. dan merusaknya dengan tombak yang ada di tangannya, lalu berkata, "Beri aku api! Biar kubakar habis semua yang ada di dalamya."

Al-Husain as. menyahut, "Hai anak Dzil Jausyan! Kau mau membakar keluargaku ? Semoga Allah membakarmu dengan neraka jahannam."

Syabats datang dan memaki Syimr hingga akhirnya ia pergi meninggalkan tempat itu dengan rasa malu.
erawi berkata: Al-Husain as. mengatakan kepada keluarganya, "Beri aku baju yang sudah kumal biar kupakai di bawah bajuku ini, supaya aku tidak telanjang jika mereka merampas pakaianku."

Celana kolor diberikan. Al-Husain as. menolak dengan mengatakan, "Bukan ini. Ini adalah pakaian orang hina." Lantas beliau mengambil baju yang sudah kumal dan jelek yang kemudian beliau kenakan di baawah baju aslinya. Ketika beliau terbunuh, mereka melucuti pakaian beliau.

Kemudian beliau mengambil celana dari kain Yaman. Setelah merobek celana itu beliau memakainya. Tujuan beliau merobeknya adalah supaya celana itu tidak ikut dirampas dari badannya. Setelah beliau terbunuh, Bahr bin Ka'ab merampasnya dan meninggalkan Al-Husain as. tanpa celana. Sebagai ganjaran atas apa yang diperbuatnya terhadap cucu Rasulullah saw. itu, Allah mengazabnya dengan menjadikan kedua tangannya kering seperti dua batang kayu kering di musim panas. Dan di musim dingin kedua tangannya itu basah dan mengeluarkan cairan darah dan nanah, sampai akhirnya maut menghabisi riwayatnya.

Al-Husain as. telah bersimbah darah dan tubuh beliau kini tak ubahnya seperti binatang landak. Saat itulah Shaleh bin Wahb Al-Muzani menusukkan tombaknya ke pinggang beliau. Al-Husain as. jatuh tersungkur dari kudanya dengan pipi kanan menempel di tanah. Beliau bangkit kembali.

Perawi berkata: Zainab keluar dari kemahnya dan berteriak histeris, "Oh abangku! Oh Junjunganku! Oh Ahlul Bait! Andai saja langit jatuh ke bumi dan gunung runtuh di lembahnya."

Syimr dengan congkak menghadap pasukannya dan berseru, "Tunggu apa lagi kalian? Habisi orang ini!" Orang-orang terkutuk itu segera menyerang Al-Husain as. dari segala arah.

Zar'ah bin Syuraik datang memukul pundak kiri Al-Husain as. Beliau balas memukul Zar'ah dan membantingnya ke tanah.

Seorang lagi datang dan memukulkan pedangnya di pundak suci Al-Husain as. Beliau jatuh tersungkur. Al-Husain as. kian melemah. Dengan susah payah beliau merangkak. Melihat itu, Sinan bin Anas Al-Nakha'i menusukkan tombaknya di tulang atas dada Al-Husain as. lalu mencabutnya dan kembali menusukkan tombaknya itu di tulang dada beliau.

Tak puas dengan itu semua, Sinan membidikkan panahnya ke arah Al-Husain as. Anak panah itu tepat bersarang di leher beliau. Al-Husain as. jatuh. Sambil terduduk beliau berusaha untuk mencabut anak panah itu dari lehernya. Tapi setiap kali, kedua telapak tangan beliau lebih dahulu dipenuhi oleh darah yang mengucur deras. Darah itu beliau usapkan di kepala dan janggutnya seraya berkata, "Dengan begini aku akan menghadap Allah dengan berlumuran darah dan terampas hakku."

Umar bin Sa'ad berkata kepada seorang di sebelah kanannya, "Turun kau dan habisi Al-Husain !"

Khauli bin Yazid Al-Ashbahi lebih dahulu datang untuk memenggal kepala suci cucu Nabi saw. Tiba-tiba badannya menggigil gemetaran. Sinan bin Anas Al-Nakha'i datang dan tanpa membuang-buang waktu lagi ia ayunkan pedangnya ke leher Al-Husain AS sambil berkata, "Aku bersumpah demi Allah, akan kupenggal kepalamu meskipun aku tahu bahwa kau adalah cucu Rasulullah dan anak dari dua orang yang paling mulia di dunia." Iapun memenggal kepala suci Al-Husain -salawat dan salam Allah atasnya dan atas keluarganya-.

Dalam hal ini penyair berkata:

Adakah bencana seperti yang menimpa Al-Husain

Di hari ia terbunuh di tangan kotor Sinan

Diriwayatkan bahwa Sinan di kemudian hari ditangkap oleh Mukhtar. Jari-jari tangannya dipotong sepanjang ruas jari. Kedua tangan dan kakinya dipisahkan dari tubuhnya. Lalu Mukhtar memasak minyak di dalam sebuah kuali dan melemparkan Sinan yang menggigil ketakutan ke dalamnya.

Abu Thahir Muhammad bin Husein Al-Barsi dalam kitab "Ma'alimu Al-Din" meriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq as., beliau berkata,"Ketika peristiwa terjadi, para malaikat gaduh dan berkata, "Tuhan, ini Al-Husain kekasih-Mu, putra kekasih-Mu dan anak putri Nabi-Mu." Lalu Allah SWT menunjukkan Al-Mahdi kepada mereka dan berfirman, "Aku akan membalas kematian Al-Husain dengannya."

Perawi berkata: Waktu itu debu yang tebal dan berwarna pekat beterbangan di awan diiringi oleh angin merah, sehingga tak ada sesuatupun yang tampak. Melihat itu, orang-orang mengira bahwa azab Allah akan segera turun. Hal itu berlangsung beberapa saat sebelum kemudian menghilang kembali.

Hilal bin Nafi' berkata, "Aku berada di barisan Umar bin Sa'ad. Mendadak seseorang berseru, "Tuan, bergembiralah! Syimr telah berhasil membunuh Al-Husain." Akupun segera keluar menengok ke arah dua barisan bertemu. Kuhampiri ia. Al-Husain as. tengah melewati detik-detik akhir kehidupan di alam fana ini. Demi Allah, tak pernah aku menyaksikan seorang korban yang berlumuran darah yang lebih tampan dan bersinar wajahnya dari Al-Husain. Sinar yang memancar dari wajahnya dan ketampanan parasnya membuatku terlena dari berfikir untuk membunuhnya.

Pada saat-saat yang paling menegangkan itu, Al-Husain as. meminta air. Lalu kudengar suara orang yang mengatakan, "Demi Allah, kau tak akan mendapatkan air sampai kau masuk ke neraka dan meminum timah panasnya."

Kepadanya Al-Husain as. menjawab, "Aku tidak mungkin masuk neraka. Tapi aku akan segera pergi menemui kakekku Rasulullah saw. dan akan tinggal bersamanya di sebuah rumah di dalam surga, di sisi Tuhan yang Maha Perkasa sambil meminum air surgawi yang segar. Lalu aku akan mengadukan kepadanya segala yang kalian perbuat terhadapku."

Mendengar jawaban Al-Husain as. tersebut orang-orang terkutuk itu marah. Tak ada lagi rasa belas kasihan yang masih tersisa di lubuk hati mereka. Lantas mereka memenggal kepala Al-Husain as. sedang beliau terus berkata-kata kepada mereka. Aku heran sekali menyaksikan mereka yang tidak memiliki rasa kemanusiaan sama sekali. Kukatakan kepada mereka, "Demi Allah, aku tidak akan ikut urusan kalian selama-lamanya."

Mereka lalu melucuti barang-barang yang kenakan oleh Al-Husain as. Ishaq bin Haubah Al-Hadhrami mengambil baju beliau dan memakainya. Dengan perbuatannya itu, ia ditimpa penyakit belang dan rambutnya rontok.

Diriwayatkan bahwa di baju beliau terdapat lebih dari seratus buah tusukan pedang, tombak dan anak panah.

Imam Ja'far Shadiq as. berkata, "Al-Husain as. mengalami tiga puluh tiga buah tusukan dan tiga puluh empat buah luka sabetan pedang."

Celana yang beliau pakai dirampas oleh Bahr bin Ka'ab Al-Tamimi. Diriwayatkan bahwa dengan mengambil celana tersebut, beberapa waktu lamanya ia menjadi lumpuh.

Serban beliau di ambil oleh Akhnas bin mirtsad bin 'Alqamah Al-Hadhrami. Menurut pendapat lain: Jabir bin Yazid Al-Audi. Setelah serban tersebut dipakai, ia menjadi gila.

Aswad bin Khalid mengambil sepasang sandal beliau as.

Bajdal bin Sulaim Al-Kalbi mengambil cincin Al-Husain as. Jari tangannya terputus bersama cincin tersebut setelah ia memakainya. Di kemudian hari, ia ditangkap oleh pasukan Mukhtar yang lalu memotong kedua tangan dan kakinya, kemudian membiarkannya bersimbah darah hingga tewas.

Selendang beliau yang terbuat dari kain sutera diambil oleh Qais bin Asy'ats.

Baju besi beliau diambil oleh Umar bin Sa'ad. Ketika Ibnu Sa'ad terbunuh, Mukhtar memberikannya kepada Abu 'Amrah, pembunuh Umar.

Jumai' bin Khalq Al-Audi. Mengambil pedang Al-Husain. Tapi ada pendapat yang lain yang mengatakan bahwa yang mengambil pedang tersebut adalah seorang dari bani Tamim yang bernama, Aswad bin Handhalah.

Pendapat ketiga adalah riwayat Ibnu Sa'ad, yang menyebutkan bahwa Al-Falafis Al-Nahsyali yang mengambil pedang beliau as. Muhammad bin Zakaria menambahkan bahwa pedang tersebut di kemudian hari berada di tangan putri Habib bin Budail.

Pedang yang dirampas ini bukanlah pedang Dzul Fiqar yang terkenal itu. Sebab Dzul Fiqar selalu disimpan dan dijaga bersama benda-benda lainnya yang merupakan pusaka kenabian dan imamah. Para perawi menukil riwayat-riwayat yang membenarkan klaim kita di atas.
Perawi berkata: Seorang budak perempuan datang dari arah kemah Al-Husain as. Seorang laki-laki menghadangnya seraya berkata, "Hai hamba Allah ! Tuanmu telah terbunuh." Budak tersebut berkata, "Aku segera berlari menemui tuan-tuanku sembari menjerit histeris. Mendengar jeritanku, mereka langsung berdiri menghampiriku. Kami larut dalam tangisan dan jeritan."

Pasukan musuh mulai menjarah apa-apa yang ada di kemah keluarga Rasulullah saw. dan para kekasih Zahra'. Mereka menarik dan merampas kain selendang orang perempuan dari belakang. Putri-putri Rasulullah dan keluarganya berhamburan keluar kemah dan menangis sahut menyahut, larut dalam suasana duka perpisahan dengan para penjaga mereka, orang-orang yang mereka cintai.

Hamid bin Muslim berkata: Aku melihat seorang wanita dari bani Bakr bin Wail yang ikut bersama suaminya di barisan Umar bin Sa'ad. Ketika menyaksikan orang-orang Ibnu Sa'ad dengan rakusnya menyerbu kemah para wanita keluarga Al-Husain as. dan menjarah apa saja yang mereka temukan, ia segera mengambil pedang dan berjaalan menuju perkemahan tersebut seraya berkata, "Hai keluarga Bakr bin Wail! Sadarkah kalian bahwa yang kalian merampas adalah barang-barang milik keluarga Rasulullah? Kekuasaan hanya milik Allah. Aku akan membalaskan dendam Rasulullah dari kalian semua." Sang suami datang lalu mengambil dan mengembalikannya ke tempat semula.

Perawi berkata: Mereka kemudian mengeluarkan para wanita dari dalam kemah lalu membakar kemah-kemah tersebut. Wanita-wanita mulia keluarga Rasulullah keluar dengan perasaan sedih yang sangat, terampas segala hak mereka, dan bertelanjang kaki. Tak henti-hentinya mereka menangis. Mereka berjalan bagai tawanan yang hina.

Dengan memelas mereka berkata, "Demi Allah, kami mohon dari kalian. Ijinkan kami untuk melihat tempat jasad Al-Husain as. berada." Saat menyaksikan jasad suci yang tercabik-cabik itu mereka menjerit hiteris dan memukuli wajah mereka sendiri.

Perawi berkata: Demi Allah, aku masih ingat bagaimana Zainab binti Ali meratapi Al-Husain as. dan menjerit dengan suara parau dan hati yang hancur,

"Oh Muhammad! Salam sejahtera dari Tuhan penguasa langit untukmu. Lihatlah! Ini Husainmu tengah terbujur kaku di alam terbuka dengan tubuh bersimbah darah. Badannya terpotong-potong.

Oh sungguh malang! Kini putri-putrimu menjadi tawanan musuh Allah. Hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad Mustafa, Ali Murtada, Fatimah Zahra' dan Hamzah Sayyidusy Syuhada, kuadukan penderitaan ini.

Wahai Muhammad! Ini Husainmu, terbaring di alam terbuka. Menjadi sasaran terpaan angin timur. Inilah korban kebiadaban anak-anak sundal.

Oh malangnya! Betapa beratnya penderitaan yang kau alami, wahai Abu Abdillah. Hari ini adalah hari kematian kakekku Rasulullah saw.

Wahai para sahabat Muhammad, lihatlah ! Cucu-cucu Nabi kalian sedang digiring sebagai tawanan."

Dalam sebagian riwayat disebutkan:

"Oh Muhammad! Lihatlah putri-putrimu kini menjadi tawanan. Cucumu terbantai di padang sahara menjadi sasaran terpaan angin timur. Ini Husainmu yang terpenggal kepalanya dan terampas imamah dan serbannya.

Ayahku kujadikan tebusan jiwa orang yang dicincang di hari Senin, yang dirusak kemahnya, yang tidak jauh sehingga diharapkan kedatangannya, yang tiak terluka hingga perlu diobati.

Jiwaku ini tebusan jiwa orang susah yang telah bebas, orang dahaga yang telah gugur, yang janggutnya meneteskan darah, seorang cucu utusan Tuhan penguasa langit, cucu Nabi pembawa hidayah.

Demi Muhammad Mustafa. Demi Ali Murtada. Demi Khadijah Kubra. Demi Fatimah Zahra', penghulu kaum wanita. Demi dia yang matahari kembali ke tempat semula hingga dapat melaksanakan salat.

Perawi berkata: Kata-kata Zainab ini membuat semua orang yang mendengarnya, baik kawan maupun lawan, menangis.

Terlihat Sakinah putri Al-Husain as. memeluk jasad ayahnya yang sudah tak bernyawa lagi itu. Beberapa orang badui datang dan menariknya dengan paksa agar meninggalkan tempat itu.
Perawi berkata: Umar bin Sa'ad berseru kepada pasukannya, "Siapa yang mau menjadi sukarelawan untuk menginjak-injak jasad Al-Husain dengan kaki kudanya ?"

Sepuluh orang maju menyatakan kesediaan mereka. Mereka adalah:

Ishaq bin Haubah yang merampas baju Al-Husain.

Akhnas bin Mirtsad.

Hakim bin Thufail Al-Sabi'i.

'Amr bin Shabih Al-Shaidawi.

Raja' bin Munqidz Al-'Abdi.

Salim bin Khaitsamah Al-Ja'fi.

Shaleh bin Wahb Al-Ja'fi.

Wahidh bin Ghanim.

Hani bin Tsubait Al-Hadhrami.

Usaid bin Malik.

Mereka segera memacu kuda dan menginjak-injak jasad Al-Husain as. dengan kaki kuda mereka hingga dada dan punggung cucu Nabi saw. itu hancur.

Perawi berkata: Kesepuluh orang itu datang menghadap Ubaidillah bin Ziyad. Usaid bin Malik, salah seorang dari mereka, berkata:

Kamilah yang menghancurkan dada dan punggungnya

Dengan kuda yang lincah dan bertali kekang kuat

Kepada mereka Ibnu Ziyad bertanya, "Siapakah kalian?"

Dengan bangga mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang menginjak-injak jasad Al-Husain dengan kuda kami. Kami telah berhasil melumatkan punggung dan dadanya."

Ubaidillah bin Ziyad sangat puas mendengar jawaban itu. Ia lalu memerintahkan untuk memberi mereka sedikit hadiah.

Abu Umar Al-Zahid berkata, "Setelah kami teliti, ternyata kesepuluh orang tersebut adalah anak hasil zina."

Di kemudian hari Mukhtar berhasil menangkap mereka semua. Setelah mengikat mereka dengan rantai besi, ia memerintahkan pasukan berkudanya untuk menginjak-injak dan melumatkan punggung mereka. Mereka semua tewas dengan cara demikian.

Ibnu Rabbah berkata: Aku pernah bertemu dengan seorang buta yang ikut menyaksikan pembantaian terhadap Al-Husain as. Kepadanya aku bertanya perihal penyebab kebutaannya.

Dia menjawab, "Aku menyaksikan pembantaian itu dari dekat. Bahkan aku termasuk salah satu dari kesepuluh orang tersebut. Hanya saja aku tidak ikut andil memukul atau melempar sesuatu kepada Al-Husain. Setelah beliau terbunuh, aku pulang ke rumahku, lalu melaksanakan salat Isya' dan kemudian tidur. Tiba-tiba aku melihat ada seorang yang datang kepadaku dan mengatakan, "Jawablah pertanyaan Rasulullah !"

Kukatakan, "Ada apa sehingga aku mesti pergi menemui beliau ?"

Tanpa menjawab, ia memegangku dengan erat dan menyeretku. Aku melihat Nabi saw. duduk di padang sahara. Kegelisahan tampak jelas pada raut wajahnya. Beliau bertopang dagu pada kedua tangannya. Sebuah senjata kecil ada di tangan beliau. Di sebelah Rasulullah saw., kulihat ada seorang malaikat yang berdiri tegak dengan menghunus pedang yang terbuat dari api. Sembilan orang temanku telah lebih dahulu tewas di tangannya. Setiap ia memukulkan pedangnya, api segera tersembur darinya dan memanggang tubuh mereka.

Aku mendekat ke tempat beliau berada dan bersimpuh di hadapannya. Aku sapa beliau, "Assalamu 'alaika, ya Rasulullah." Tak kudengar jawaban beliau. Lama beliau berdiam diri. Kemudian sambil mengangkat wajahnya, beliau bersabda, "Hai musuh Allah, kau telah menginjak-injak kehormatanku, membantai keluargaku dan tidak mengindahkan hakku sama sekali. Bukankah demikian ?"

Jawabku, "Ya Rasulullah, demi Allah, aku tidak ikut andil dalam memukulkan pedang, menusukkan tombak atau melemparkan anak panah sama sekali."

"Benar," jawab beliau. "Tapi bukankah kau telah ikut dalam menambah jumlah mereka ? Mendekatlah kemari !"

Aku mendekat. Beliau menunjukkan kepadaku sebuah bejana yang dipenuhi darah seraya bersabda, "Ini adalah darah cucu kesayanganku Al-Husain."

Lalu beliau memoles mataku dengan darah itu. Ketika terjaga dari tidurku, mataku menjadi buta sampai sekarang."

Diriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq as., dari Rasulullah saw., beliau besabda, "Di hari kiamat kelak, Allah akan membangunkan sebuah kubah yang terbuat dari cahaya utnuk Fatimah. Lalu Al-Husain akan datang dengan kepala di tangannya. Saat menyaksikan hal itu, Fatimah menjerit histeris hingga tak ada satupun malaikat maupun nabi kecuali ikut larut dalam tangisan menyertainya. Maka Allah menampakkannya di depan Fatimah dalam sebaik-baik rupa. Kemudian Al-Husain as. menyerang para pembunuhnya tanpa kepala. Setelah itu Allah menghadapkan kepadaku semua orang yang ikut andil dalam membantai dan mencincangnya untuk kubunuh semuanya. Lalu mereka dihidupkan kembali untuk dibunuh oleh Amirul Mukminin Ali. Setelah itu mereka dibangkitkan lagi. Kini giliran Al-Hasan membantai mereka. Mereka hidup lagi. Al-Husain membunuh mereka semua. Kemudian mereka dihidupkan lagi. Lalu satu persatu keturunanku membunuh mereka semua. Saat itulah, kemarahan dan dendam yang lama terpendam tersalurkan dan semua derita dapat dilupakan."

Kemudian Imam Ja'far Shadiq as. berkata, "Semoga Allah merahmati syiah kita. Demi Allah, mereka adalah orang-orang Mukmin sejati. Mereka ikut menyertai kita dalam musibah dengan kesedihan dan derita mereka yang berkepanjangan."

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Di hari kimat kelak, Fatimah datang diiringi oleh sekelompok wanita. Terdengar suara yang mempersilahkannya untuk masuk surga. Ia menolak dan berkata, "Aku tidak akan masuk sebelum tahu apa yang diperbuat umat terhadap anakku."

Terdengar suara, "Lihatlah ke tengah-tenah padang Mahsyar !" Fatimah as. melihat Al-Husain as. berdiri tegak tanpa kepala. Ia menjerit histeris menyaksikan keadaan anaknya. Akupun ikut menjerit mendengar jeritannya. Demikian juga para malaikat."

Dalam riwayat lain disebutkan: Fatimah meratap dan mengatakan, "Oh anakku! Oh buah hatiku!" Beliau meneruskan, Saat itulah Allah murka karena kemarahan Fatimah, lalu memerintahkan agar mereka semua dimasukkan ke dalam neraka yang disebut Habhab yang telah dinyalakan seribu tahun lamanya hingga berwarna hitam. Tak ada jalan bagi kesenangan untuk masuk ke dalamnya dan tak ada jalan bagi kesusahan untuk keluar darinya. Datang perintah dari Tuhan kepadanya, "Santaplah para pembunuh Al-Husain!" Neraka itupun segera melahap habis mereka. Setelah mereka berada di dalamnya, ia menggelegar diiringi oleh teriakan dan jeritan mereka.

Mereka lantas berseru, "Tuhan, mengapa Engkau menyiksa kami sebelum para penyembah berhala ?"

Datang jawaban dari Allah yang mengatakan, "Orang yang tahu tidak seperti orang yang tidak mengetahui."

Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Babuwaih dalam kitab 'Iqabu Al-A'mal.
--------------------------------------------------------------------------

Insya Allah akan berlanjut ke Pasca Syahadah

PRA SYAHADAH IMAM HUSAIN AS

Imam Husein a.s. lahir pada tanggal 3 Sya’ban tahun keempat Hijrah. Ummul Fadhl istri Abbas bin Abdul Mutthalib ra. berkata, “Sebelum kelahiran Al-Husain, saya bermimpi melihat sepenggal daging Rasulullah saw. terpotong dan diletakkan di pangkuanku. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang ta’bir mimpiku itu. Beliau saw. bersabda, “Mimpimu itu bagus. Jika mimpimu itu menjadi kenyataan, berarti Fatimah akan segera melahirkan seorang anak yang akan kuberikan kepadamu untuk engkau susui”.

Ummul Fadhl meneruskan, “Apa yang dikatakan beliau menjadi kenyataan. Suatu hari aku mendatangi Rasulullah saw. dengan membawa bayi tersebut dan meletakkannya di pangkuan beliau. Tiba-tiba dia kencing, sehingga baju beliau saw. basah oleh air kencingnya. Akupun mencubitnya hingga menangis. Lalu Nabi saw. bersabda, “Wahai Ummul Fadhl, jangan kau lakukan itu, karena bajuku ini bisa dicuci tapi dengan cubitanmu itu, berarti engkau telah menyakitinya”.

Aku lalu pergi meninggalkannya dipangkuan beliau, untuk mengambil air.

Ketika kembali, aku melihat Rasulullah saw. menangis. Akupun bertanya, “Gerangan apa yang menjadikan anda menangis, ya Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Jibril baru saja datang dan memberitahuku bahwa umatku akan membunuh anakku ini. Mereka tidak akan mendapatkan syafaatku di hari kiamat kelak".

Para perawi mengatakan, “Ketika umur Al-Husain genap satu tahun, dua belas malaikat datang kepada Nabi saw. Salah satu dari mereka dalam bentuk singa. Kedua dalam bentuk banteng, ketiga ular besar, keempat sebagai manusia biasa, dan delapan malaikat lainnya dalam bentuk yang bermacam-macam. Wajah mereka memerah dengan air mata yang luruh, sembari membentangkan sayap, mereka berkata,

“Wahai Muhammad, putramu Al-Husain anak Fatimah akan mengalami apa yang dialami oleh Habil dari tangan Qabil. Dia akan memdapatkan pahala Habil sedangkan para pembantainya akan memikul dosa seperti dosa Qabil.”

Tak ada satu malaikatpun di langit kecuali turun dan mendatangi Nabi, untuk mengucapkan salam kepada beliau dan menghiburnya atas musibah yang kelak akan menimpa Al-Husain a.s., seraya memberitahukan kepada beliau pahala yang akan didapatnya dan memperlihatkan kepada beliau tanah tempat dia dibantai. Nabi saw. bersabda,

“Ya Allah, hinakanlah orang yang telah menghinakannya. Bunuhlah mereka yang membunuhnya dan jangan Engkau kabulkan apa yang mereka inginkan.”

Ketika Al-Husain a.s. berumur dua tahun, Nabi saw. pergi ke luar kota untuk suatu urusan. Pada waktu beliau sampai di suatu tempat, tiba-tiba beliau memerintahkan untuk segera pulang dengan air mata membasahi pipi beliau yang suci. Seseorang bertanya akan apa yang terjadi pada diri beliau.

Beliau menjawab, " Jibril baru saja datang kepadaku dan memberitahuku akan sebuah daerah di tepi sungai Furat yang dikenal dengan nama Karbala. Di sanalah kelak putraku Al-Husain anak Fatimah akan dibantai."

Merekapun bertanya lebih lanjut, "Ya Rasulullah, siapakah gerangan si celaka yang akan membunuhnya itu"?

Beliau menjawab, "Seorang yang bernama Yazid. Seakan-akan aku kini tengah menyaksikan tempat pembantaian dan kuburannya." Beliaupun pulang dari perjalanan ini dalam keadaan sedih.

Sesampainya di Madinah, beliau naik ke atas mimbar dan berpidato dengan menuntun kedua cucu beliau. Sambil meletakkan tangan kanan di kepala Al-Hasan dan tangan kiri di kepala Al-Husain, beliau bersabda,

"Ya Allah, Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu. Kedua anak ini adalah keluargaku yang suci, sebaik-baik keturunanku dan pusaka yang kutinggalkan untuk umatku. Tapi Jibril datang kepadaku dan mengatakan bahwa anakku ini akan dibantai dan dihinakan. Ya Allah, berkatilah darahnya dan jadikanlah ia penghulu para syuhada. Ya Allah, laknatlah orang yang membunuh dan menghinakannya."

Masjid Nabawi gaduh oleh suara tangis dan jeritan histeris kaum muslimin. Saat itulah Nabi saw. bersabda, "Apakah kalian hanya akan menangis dan tidak menolongnya ?"

Rasulullah saw. pulang ke rumahnya dengan muka pucat dan wajah yang memerah.

Pada kesempatan lainnya beliau berpidato sambil mencucurkan air mata. Beliau bersabda, "Wahai kaum muslimin sekalian, aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka, Kitabullah dan ithrahku, keluargaku. Keduanya tidak akan saling berpisah sampai bersama-sama menemuiku kelak di telaga surga. Ingatlah bahwa aku selalu menunggu mereka berdua. Aku tidak pernah mengharapkan sesuatu dari kalian kecuali apa yang Allah perintahkan kepada kalian untuk selalu mencintai keluargaku. Hati-hatilah! Jangan sampai kalian menemuiku di telaga surga nanti dalam keadaan membenci keluargaku, menzalimi atau bahkan membunuh mereka!

Ingatlah bahwa kelak di hari kiamat akan ada tiga bendera umatku yang dihadapkan kepadaku. Bendera pertama berwarna hitam pekat yang membuat para malaikat murka. Ketika sampai dihadapanku, aku bertanya, "Siapakah kalian?"

Saat itu mereka lupa padaku dan menjawab, "Kami adalah orang-orang Arab yang mengesakan Tuhan."

Kepada mereka kukatakan, "Aku adalah Ahmad, nabi bangsa Arab dan Ajam."

"Kalau begitu kami adalah sekelompok dari umatmu, wahai Ahmad," kata mereka selanjutnya

Aku bertanya lagi,"Apa yang kalian perbuat terhadap keluargaku, ithrahku dan kitab suci Tuhanku, sepeninggalku?"

Merekapun menjawab, "Kitabullah telah kami campakkan dan keluargamu telah kami usahakan untuk melenyapkan mereka dari muka bumi."

Mendengar itu aku segera memalingkan muka dari mereka. Mereka lalu pergi dalam keadaan kehausan yang mencekik leher dan wajah yang hitam lebam.

Bendera kedua yang berwarna lebih hitam dari yang pertama datang. Kepada mereka aku bertanya, "Apa yang kalian perbuat terhadap dua pusaka peninggalanku baik besar maupun yang kecil, kitabullah dan keluargaku ?"

Mereka menjawab, "Kami telah menentang pusakamu yang besar. Adapun pusakamu yang kecil, mereka telah kami hinakan dan kami bantai."

Segera kuhardik mereka,"Enyahlah kalian dari hadapanku !" Mereka pergi meninggalkanku padahal rasa dahaga sangat mencekik leher mereka dan wajah mereka menjadi berwarna hitam pekat.

Kemudian bendera ketiga datang dengan memancarkan cahaya. Kepada mereka aku bertanya, "Siapakah gerangan kalian?" Mereka menjawab, "Kami adalah pengikut agama tauhid dan orang-orang yang bertaqwa. Kami adalah umat Muhammad saw. Kami pengikut kebenaran di akhir zaman. Kami telah mengemban amanat Kitabullah. Segala apa yang dinyatakan halal olehnya kami halalkan dan yang diharamkannya kami haramkan. Kamipun mencintai keturunan Nabi Muhammad saw. Kami menolong dan membantu mereka dalam semua hal, seperti yang kami lakukan untuk diri kami sendiri dan kami perangi orang-orang yang memusuhi mereka."

Akupun berkata kepada mereka,"Bergembiralah kalian! Aku Muhammad, nabi kalian. Di dunia kalian benar-benar telah melakukan apa yang kalian katakan tadi."

Selanjutnya aku mempersilahkan mereka untuk meminum air telaga itu, hingga mereka pergi dalam keadaan kenyang dan gembira. Lalu mereka masuk ke dalam surga dan kekal di dalamnya."

Dengan demikian, orang ramai membicarakan tragedi yang akan menimpa Al-Husain a.s., mengagungkan dan menantikan kedatangan hari itu.
Ketika Muawiyah bin Abi Sufyan meninggal dunia -pada bulan Rajab tahun 60 H-, Yazid bin Muawiyah menulis surat kepada Walid bin Uthbah, gubernur Madinah saat itu, dan memerintahkannya untuk mengambil baiat dari penduduk kota tersebut khususnya dari Al-Husain bin Ali a.s. dan berpesan, jika Al-Husain enggan untuk berbaiat, penggal kepalanya dan kirimkan padaku !"

Maka Walid memanggil Marwan bin Hakam untuk meminta sarannya dalam masalah Al-Husain a.s. ini. Kepadanya Marwan berkata, "Dia tidak mungkin akan bersedia untuk berbaiat. Jika aku berada di posisi anda sekarang ini, pasti sudah kupenggal kepalanya." Walid yang kebingungan menghadapi masalah tersebut mengatakan, "Andai saja aku tidak terlibat masalah ini."

Lantas ia mengirimkan utusannya kepada Al-Husain a.s. dan meminta beliau untuk datang menghadapnya. Beliau datang dengan dikawal oleh tiga puluh orang jawara dari keluarga dan pengikutnya. Kepada beliau Walid menyampaikan berita kematian Muawiyah dan meminta beliau untuk berbaiat kepada Yazid.

Dalam jawabannya beliau berkata, "Tuan gubernur, baiat tidak mungkin dilakukan secara diam-diam. Jika besok anda memanggil orang-orang untuk berbaiat, panggil juga aku."

Marwan dengan cepat menukas, "Wahai gubernur, jangan anda terima alasannya itu ! Bila ia keberatan untuk berbaiat penggal saja kepalanya !"

Mendengar itu Al-Husain a.s. naik pitam dan berkata, "Celaka engkau ! Kau perintahkan ia untuk memenggal kepalaku ? Demi Allah yang kau katakan itu hanyalah dusta, hai pengecut !"

Lalu beliau berpaling kepada Walid dan berkata, "Wahai gubernur, kami adalah keluarga para nabi, pusat risalah Ilahi, dan tempat hilir mudiknya para malaikat. Dengan kami, Allah telah membuka agama-Nya dan dengan kami pula Dia akan menutupnya. Sedangkan Yazid, ia adalah seorang yang fasik, peminum arak dan penumpah darah orang-orang yang tidak bersalah. Dia melakukan maksiat.dengan terang-terangan. Demi Allah, ia sama sekali tidak layak untuk menduduki tempat itu. Orang sepertiku tidak mungkin akan membaiat orang seperti dia. Cobalah lihat, siapa di antara kita yang berhak memegang tampuk kepemimpinan dan menerima baiat."

Setelah itu beliau a.s. pergi meninggalkan mereka. Marwan segera menegur Walid dan berkata,"Mengapa anda tidak menuruti saranku ?"

Walid menjawab, "Celaka kau, hai Marwan! Kau ingin menjerumuskan aku untuk melakukan sesuatu yang akan menghancurkan agama dan duniaku sekaligus ? Demi Allah aku tidak sudi mendapatkan kekuasaan dunia seutuhnya dengan jalan membunuh Al-Husain.

Demi Allah, tak ada orang yang menghadap Allah di hari kiamat kelak dengan tangan yang berlumuran darah Al-Husain, kecuali timbangan amalnya akan ringan. Allah tidak akan memandangnya dengan mata rahmat dan tidak akan membersihkannya dari dosa dan pasti ia akan mendapatkan azab yang pedih."

Keesokan harinya, Al-Husain a.s. keluar untuk mendengar berita yang tengah terjadi di Madinah. Tiba-tiba beliau berpapasan dengan Marwan yang menegurnya dan berkata,"Hai Abu Abdillah, turutilah saranku pasti anda akan selamat!"

Al-Husain a.s. menjawab, "Coba katakan apa saranmu itu?"

"Saya sarankan kepada anda untuk berbaiat kepada Amirul MukmininYazid. Sebab hal itu adalah jalan terbaik untuk dunia dan akherat anda," jawabnya.

Mendengar itu, Imam Husain a.s. berkata,

"Inna lillahi wa inna ilahi raji'un. Jika umat Islam harus dipimpin oleh orang seperti Yazid berarti Islam telah hancur. Aku pernah mendengar kakekku Rasulullah saw. bersabda,

الخلافة محرمة على آل أبي سفيان

"Khilafah adalah hal yang haram bagi keluarga Abu Sufyan."

Dialog yang terjadi antara Imam Husein a.s. dan Marwan ini cukup panjang dan berakhir dengan kepergian Marwan dengan rasa dongkol.

Esok harinya Imam Husein a.s. bertolak menuju kota Mekah, tepatnya pada tanggal 3 Sya'ban tahun 60 H. Beliau tinggal di sana selama kurang lebih empat bulan (Sya'ban, Ramazan, Syawal, dan Dzul Qai'dah).

Suatu hari Abdullah bin Abbas ra. dan Abdullah bin Zubair datang menemui beliau. Mereka berdua menyarankan agar beliau menetap di kota ini. Dalam jawabannya beliau mengatakan, "Rasulullah saw. telah memerintahkan padaku satu hal dan aku harus melaksanakannya."

Sekeluarnya dari tempat Al-Husain, Ibnu Abbas berteriak histeris, "Oh, Husein!"

Tak lama kemudian Abdullah bin Umar datang menemui beliau dan menyarankan agar beliau berdamai saja dengan orang-orang sesat ini untuk menghindari pertumpahan darah. Imam Husein a.s. menjawab,"Wahai Abu Abdur Rahman, tahukah anda bahwa salah satu hal yang menyebabkan Allah murka adalah bahwa kepala Yahya bin Zakaria dipersembahkan kepada seorang sundal dari bani Israil ? Tahukah anda bahwa bani Israil dalam kurun waktu yang relatif singkat, antara terbitnya fajar dan tebitnya matahari telah membantai tujuh puluh orang nabi. Kemudian mereka duduk di pasar dan asyik melakukan aktivitas berdagang mereka, seakan-akan tidak ada kejadian apapun. Meskipun demikian Allah tidak langsung mengazab mereka. Akan tetapi Dia mengulur waktu mereka untuk selanjutnya mencabut mereka dengan kuat. Takutlah kepada Allah, wahai Abu Abdur Rahman, dan jangan sampai anda lalai untuk membela dan menolongku."
Ketika penduduk Kufah mendengar berita bahwa Al-Husain a.s. telah sampai di kota Mekah dan beliau tidak bersedia untuk berbaiat kepada Yazid, mereka segera mengadakan rapat darurat di rumah Sulaiman din Shurad Al-Khuza'i. Setelah mereka semua hadir, Sulaiman bin Shurad berdiri dan menyampaikan pidatonya. Di bagian akhir khotbahnya, ia berkata,

"Wahai para pengikut Ahlul Bait ! kalian semua telah mendengar berita kematian Mu'awiyah yang telah menemui tuhannya untuk menerima balasan atas segala yang telah diperbuatnya di dunia. Sebelum mati,ia telah mengangkat anaknya,Yazid, untuk menggantikan kedudukannya. Sedangkan Al-Husain putra Ali a.s. menentang hal itu. Beliau pergi ke kota Mekah, menghindar dari kejaran pasukan keluarga Abu Sufyan. Kalian semua adalah pengikutnya dan sebelum ini kalian adalah pengikut ayahnya. Kini beliau membutuhkan pertolongan kalian. Jika kalian yakin akan setia untuk membela beliau dan berperang melawan musuh-musuh beliau, tulislah surat kepadanya. Tetapi jika kalian takut kalah, maka jangan sekali-kali kalian tipu dan dustai beliau."

Lantas mereka serentak menulis surat untuk Al-Husain a.s. sebagai berikut:

Bismillahir Rahmanir Rahim.

Kepada Pemimpin kami, Al-Husain bin Ali a.s. dari Sulaiman din Shurad Al-Khuza'i, Musayyib bin Najbah, Rufa'ah bin Syaddad, Habib bin Madhahir, Abdullah bin Wa'il, dan segenap pengikutnya yang beriman.

Salam sejahtera atas anda. Amma Ba'du.

Maha suci Allah yang telah membinasakan musuh anda dan musuh ayah anda, seorang yang congkak dan durjana, seorang yang zalim dan lalim yang telah merampas hak-hak umat ini, merampok harta benda mereka dan memerintah tanpa restu mereka. Dialah yang telah membantai orang-orang baik dan memelihara orang-orang jahat dari umat ini. Harta Allah dijadikannya sebagai barang yang diputarkan di antara mereka,orang-orang zalim. Semoga Allah melaknatnya seperti melaknat kaum Tsamud.

Selain itu, kami sampaikan kepada anda, bahwa kami tidak mempunyai pemimpin selain anda. Datanglah kemari! Semoga Allah SWT berkenan mengumpulkan kami bersama anda untuk memperjuangkan kebenaran. Sekarang ini Nu'man bin Basyir ada di istana gubernur. Kami tidak akan sudi berkumpul dengannya dalam satu majlis atau salat bersama dalam satu jamaah. Kami juga tak mau keluar bersamanya untuk salat 'Ied. Bila berita keberangkatan anda kemari sampai kepada kami, akan kami keluarkan dia dari Kufah supaya dapat berkumpul dengan para tuannya di Syam. Salam, rahmat dan berkat Allah atasmu, wahai putra Rasulullah dan atas ayahmu. Tiada daya dan upaya kecuali dari Allah yang Maha Agung."

Surat ini ditanda tangani oleh mereka yang hadir di majlis itu. Selang dua hari, mereka mengutus sekelompok orang dengan membawa sekitar seratus lima puluh pucuk surat. Surat-surat tersebut ada yang ditanda tangani oleh seorang saja, ada yang dua orang, tiga orang bahkan empat orang. Mereka semua meminta agar Al-Husain a.s. sudi untuk datang ke Kufah. Meskipun demikian, beliau tidak tergesa-gesa mengabulkan permintaan mereka tersebut.

Surat-surat penduduk Kufah terus mengalir. Disebutkan bahwa pada suatu hari sekitar enam ratus pucuk surat sekaligus sampai ke tangan Al-Husain a.s. Jumlah seluruh surat yang beliau terima dalam banyak kesempatan yang berbeda sekitar dua belas ribu pucuk surat.

Hani bin Hani Al-Sabi'i dan Said bin Abdullah Al-Hanafi datang menemui beliau dengan membawa surat terakhir dari penduduk Kufah yang berbunyi:

Bismillahir Rahmanir Rahim.

Kepada Al-Husain bin Ali Amiul Mukminin a.s. dari para pengikutnya dan pengikut ayahnya dulu, Amirul Mukminin. Amma Ba'du.

Masyrakat telah menantikan kedatangan anda. Bagi mereka tak ada lagi pilihan kecuali mengikutimu. Bergegaslah, wahai putra Rasulullah! Padang sudah menghijau. Buah sudah saatnya untuk dipetik. Rumputpun telah tumbuh subur. Dan pohon-pohon telah mengeluarkan daunnya. Bila anda bersedia, datanglah kepada kami. Karena kedatangan anda akan disambut lasykar besar yang siap bersamamu. Salam, rahmat dan barakat Allah atasmu dan atas ayahandamu.

Al-Husain berpaling kepada Hani bin Hani Al-Sabi'i dan Sa'id bin Abdullah Al-Hanafi dan bertanya, "Katakan padaku siapa saja yang menulis surat yang kalian bawa ini ?"

Mereka berdua menjawab, "Wahai putra Rasulullah, mereka adalah, Syabats bin Rab'i, Hajjar bin Abjur, Yazid bin Harits, Yazid bin Ruwaim, 'Urwah bin Qais, Amr bin Hajjaj dan Muhammad bin 'Umair bin 'Atharid."

Lalu Al-Husain as berdiri melaksanakan salat sunnah dua rakaat di antara Ka'bah dan Maqam Ibrahim seraya memohon petunjuk dari Allah SWT dalam masalah yang tengah beliau hadapi ini.

Kemudian beliau memanggil Muslim bin 'Aqil dan memberitahunya akan masalah yang tengah terjadi. Beliau juga menulis jawaban atas surat-sarat yang mereka kirmkan lewat Muslim. Dalam surat tersebut beliau berjanji untuk datang kepada mereka dan mengatakan yang intinya sebagai berikut:

Aku kirimkan saudara sepupuku, Muslim bin Aqil, ke kota kalian. Dialah yang akan memberiku kabar tentang keadaan yang sebenarnya terjadi di kota kalian ini dan tekad bulat kalian.
Muslim berangkat menuju Kufah dengan membawa surat Al-Husain a.s. Setibanya di kota tersebut, beliau menunjukkan surat jawaban Al-Husain a.s. kepada penduduk kota Kufah. Setelah surat tersebut mereka baca, kegembiraan tampak di wajah mereka yang berseri-seri karena sang Imam yang mereka nanti-nantikan akan segera berada di tengah-tengah mereka. Mereka lalu menjamu Muslim di rumah Mukhtar bin Abi 'Ubaidah Al-Tsaqafi. Di rumah itulah para pengikut Ahlul Bait silih berganti menemui duta Al-Husain a.s., Muslim bin Aqil.

Di hadapan sekelompok orang dari penduduk Kufah, Muslim membacakan surat Al-Husain yang dibawanya diiringi dengan derai air mata kerinduan mereka. Delapan belas ribu orang spontan berbaiat kepadanya.

Menyaksikan hal itu, Abdullah bin Muslim Al-Bahili, 'Umarah bin Walid dan Umar bin Sa'ad] buru-buru memberikan informasi kepada Yazid perihal Muslim bin 'Aqil. Mereka menyarankan kepadanya untuk segera mencari pengganti Nu'man bin Basyir sebagai gubernur Kufah, yang dinilai lemah.

Yazid mengirimkan suratnya ke Ubaidillah bin Ziyad -yang saat itu menjabat sebagai gubernur Bashrah-yang berisi pengangkatannya sebagai gubernur Kufah dan Bashrah sekaligus dan memberitahunya perihal Muslim bin Aqil dan tugas yang diembannya dari Al-Husain a.s. Tak lupa, Yazid menekankan untuk segera mencari Muslim dan membunuhnya. Ubaidillah bersiap-siap untuk segera bertolak ke Kufah.

Pada saat yang sama, Al-Husain a.s. telah mengirimkan suratnya kepada para pembesar kota Bashrah. Surat yang dibawa oleh bekas budak beliau yang dikenal dengan sebutan Abu Razin ini, berisikan ajakan beliau kepada mereka untuk membela dan menaatinya.Di antara para pembesar itu, terdapat nama Yazid bin Mas'ud Al-Nuhsyali dan Mundzir bin Jarud Al-'Abdi.

Dengan kedatangan duta Al-Husain a.s. ini, Yazid bin Mas'ud segera mengumpulkan kabilah bani Tamim, bani Handzalah dan bani Sa'ad. Setelah mereka semua hadir, Yazid bin Mas'ud memulai pembicaraannya. Ia berkata,

"Wahai kabilah bani Tamim ! Bagaimana pendapat kalian tentang kedudukan dan silsilah keturunanku ?"

Mereka menjawab, "Demi Allah, anda adalah simbol keutamaan. Kemuliaan anda tidak lagi diragukan."

Kemudian Yazid berkata, "Kalian aku kumpulkan di sini untuk suatu masalah yang maha penting. Aku ingin meminta saran dan pertolongan kalian."

Mereka serempak menjawab, "Demi Allah, kami hanya menginginkan kebaikan untuk anda. Apapun yang anda katakan akan kami ikuti. Katakanlah, kami siap mendengarnya !"

Yazid lebih lanjut berkata, "Mu'awiyah telah mati. Kematiannya tidak menjadikan kita berduka. Ingatlah bahwa dinding ketidakadilan dan kedurjanaan telah roboh. Pondasi kezaliman telah runtuh. Sebelum kematiannya, ia telah mengambil baiat utnuk anaknya. Dia mengira bahwa yang dilakukannya itu sudah cukup untuk membuat baiat itu legal dan resmi. Tapi ketahuilah bahwa apa yang diinginkannya ini jauh dari kenyataan. Demi Allah, usahanya hanya sia-sia belaka. Tindakannya ini hanya mendatangkan kehinaan buatnya. Dan sekarang anaknya, Yazid, seorang penenggak khamar dan pemuka para pendosa, mengaku sebagai khalifah kaum muslimin. Dia ingin memerintah tanpa restu dari mereka. Padahal ia tidak mempunyai kebijakan dan ilmu pengetahuan sama sekali. Dia sedikitpun tidak mengenal kebenaran. Aku bersumpah demi Allah, dengan sumpah sejati, bahwa berperang melawannya demi tegaknya agama lebih utama dari pada berperang melawan kaum musyrikin.

Sedangkan Al-Husain bin Ali, anak dari putri Rasulullah saw. adalah pemilik kemuliaan yang sebenarnya. Keutamaannya tak dapat disifati dan ilmunya tak terbata.s. Beliaulah yang lebih berhak untuk memegang kekuasaan, karena keutamaan, usia, pengalaman dan kekerabatannya dengan Rasulullah saw. Dia orang yang lemah lembut terhadap anak kecil dan menghormati orang yang lebih tua. Dialah sebaik-baik pemimpin dan imam bagi umat. Kita semua wajib untuk mengikutinya. Cukup banyak bukti untuk mentaatinya.

Jangan sampai kalian menyimpamg dari jalan yang benar dan terjerumus ke jurang kebatilan. Ingatlah bahwa Shakhr bin Qais telah menghinakan kalian dalam perang Jamal. Karena itu, cucilah dosa kalian dengan keluar menyambut ajakan putra Rasulullah ini dan membelanya. Demi Allah, tak ada seorangpun yang lalai untuk membantu dan membelanya kecuali Allah SWT akan menurunkan kehinaan atas anak cucunya dan memperkecil jumlah keluarganya.

Lihatlah, kini aku telah mengenakan baju perang. Siapapun dia, jika tidak tewas terbunuh, pasti akan mati juga. Siapapun yang lari, ajal tetap akan menjemputnya. Karena itu, aku berharap bahwa jawaban kalian adalah yang terbaik untuk kalian sendiri. Semoga Allah menurunkan rahmatNya atas kalian."

Bani Handzalah bangkit dan berseru,

"Wahai Abu Khalid, kami ibarat anak panah busurmu dan pasukan berkuda kaummu. Jika anda lepaskan anak panah itu, ia akan jatuh tepat di sasaran. Dan jika anda berperang bersama kami pastilah anda akan menang. Demi Allah, tak ada lautan yang anda selami kecuali kami akan bersama anda menyelaminya. Dan tak ada satu masalahpun yang anda hadapi kecuali kami akan bersama anda menghadapinya. Kami akan membela anda dengan pedang dan membentengi anda dengan tubuh kami. Bangkitlah jika itu yang anda inginkan."

Bani Sa'ad bin Zaid angkat suara dan mengatakan,

"Wahai Abu Khalid, tak ada yang lebih kami benci dari menentangmu dan meninggalkan pendapatmu. Dulu Shakhr bin Qais menyuruh kami untuk meninggalkan medan perang, tapi kami tolak ajakannya dan kami turuti keyakinan kami sendiri,sehingga kehormatan tetap kami miliki. Beri kami waktu untuk merundingkan masalah ini, jawabannya akan segera kami sampaikan kepada anda."

Bani Amir bin Tamim berkata,

"Wahai Abu Khalid, kami putra saudara ayahmu dan pembela-pembelamu. Kami tidak akan rela jika engkau marah. Dan jika anda pergi kami tak akan tinggal diam. Terserah padamu. Ajaklah kami, pasti akan kami penuhi ajakanmu. Perintahlah kami pasti akan kami lakukan perintahmu. Semua terserah padamu."

Yazid bin Mas'ud merasa lega dan berkata,

"Wahai bani Sa'ad, demi Allah, jika yang kalian katakan itu benar-benar kalian lakukan, niscaya Allah tidak akan mengangkat pedang dari tangan kalian. Dan kalian akan selalu mulia dengan kekuatan yang ada di pedang kalian itu."

Kemudian ia menulis surat kepada Imam Husein a.s., yang berbunyi:

Bismillahir Rahmanir Rahim

Amma ba'du.

Surat anda telah saya terima. Saya telah memahami maksud ajakan dan seruan anda untuk mentaatimu dan bergegas membantumu. Semoga Allah tidak pernah akan mengosongkan bumi dari orang yang berbuat kebajikan dan menjadi petunjuk jalan keselamatan. Kalian adalah hujjah Allah atas para hambaNya dan amanat yang Dia dititipkan di muka bumi. Kalian berasal dari pokok zaitun Ahmad. Dialah pokok sedangkan kalian adalah cabangnya. Datanglah anda pasti yang gembira. Saya telah mengajak bani Tamim untuk menyertai anda. Dan kini mereka menantikan kedatangan anda lebih dari kawanan unta kehausan yang menantikan air. Saya juga telah mengajak bani Sa'ad. Hati-hati mereka yang kotor telah kucuci dengan air hujan yang sejuk sehingga tampak bersih dan berkilau."

Setelah Imam Husein a.s. membaca surat tersebut, beliau berkata,

"Semoga Allah memberimu rasa aman di hari semua orang dicekam oleh rasa takut yang luar biasa dan memuliakan serta memberimu minuman di hari kehausan akbar."

Ketika orang tersebut -Yazid bin Mas'ud- hendak pergi bergabung dengan Imam Husein a.s., berita syahada beliau di Karbala sampai ke telinganya. Diapun bersedih karena tak dapat ikut serta terbunuh bersama beliau.
Adapun Mundzir bin Jarud, bersama dengan utusan Al-Husain a.s. dan surat yang dibawanya, ia pergi menghadap Ubaidillah bin Ziyad. Sebab ia khawatir bahwa surat ini dikirim oleh mata-mata Ubaidillah. Di samping itu, Bahriyah anak perempuan Mundzir adalah istri Ubaidillah. Sang gubernur segera menangkap duta Al-Husain itu dan mensalibnya. Kemudian ia naik ke atas mimbar dan menyampaikan pidatonya yang berisi ancaman kepada penduduk kota Bashrah untuk tidak menentangnya dan menyebarkan fitnah yang berbahaya.

Malam itu ia dapat beristirahat dengan tenang. Keesokan harinya, ia menunjuk saudaranya, Utsman bin Ziyad, untuk duduk menggantikannya dalam tugasnya sebagai gubernur Bashrah. Ia sendiri pergi bertolak menuju kota Kufah.

Mendekati kota Kufah, perjalanan ia hentikan untuk menunggu gelapnya suasana. Malam hari, Ubaidillah berjalan memasuki kota Kufah. Penduduk kota yang menyangka bahwa orang itu adalah Al-Husain a.s., segera larut dalam kegembiraan,karena orang yang telah sekian lama mereka nantikan kini telah berada di tengah-tengah mereka. Mereka segera menyambut kedatangannya dan bergerak mendekat. Namun tiba-tiba mereka lari terbirit-birit saat mengenali wajah orang yang baru datang yang ternyata adalah Ibnu Ziyad ini.

Ubaidillah masuk ke dalam istana gubernur dan beristirahat sampai pagi.

Esok harinya, ia naik ke atas mimbar. Sambil menghadap penduduk kota Kufah, ia menyampaikan pidatonya yang berisi ancaman bagi para pembangkang khalifah dan janji-janji muluk bagi yang setia dan patuh kepadanya.

Sewaktu Muslim mendengar berita tersebut, beliau cemas kalau-kalau kabar kedatangannya sebagai duta Al-Husain a.s. sampai ke telinga Ubaidillah. Maka beliaupun bergegas meninggalkan rumah Mukhtar menuju ke rumah Hani bin 'Urwah. Hani dengan senang hati menerima dan memberinya tempat. Para pengikut Ahlul Bait a.s. berdatangan silih berganti di rumah tersebut. Di lain pihak Ubaidillah telah lebih dulu menyebar mata-matanya untuk mengawasi rumah Hani dan menangkap Muslim.

Setelah yakin bahwa Muslim bin Aqil berada di rumah Hani, Ubaidillah lantas memanggil Muhammad bin Asy'ats, Asma' bin Kharijah dan 'Amr bin Hajjaj. Kepada mereka dia berkata, "Apa gerangan yang menyebabkan Hani bin 'Urwah tidak datang menemuiku ?"

Mereka menjawab," Entahlah, kami tidak tahu." Ada yang lantas berujar, "Dia sedang sakit, tuan."

"Aku sudah dengar itu," seru Ubaidillah."Tapi kabarnya dia sudah sembuh dan asyik duduk-duduk di depan rumahnya. Kalau tahu bahwa dia masih sakit, pasti akan kubesuk dia. Kalian, pergilah dan temui dia. Suruh dia untuk tidak melupakan kewajibannya terhadap kami. Aku tidak suka berurusan dengan orang seperti dia, sebab dia masih termasuk bangsawan Arab."

Mereka lalu pergi menemui Hani. Sore hari, mereka sampai di depan pintu rumah Hani. Kepadanya mereka bertanya, "Apa yang membuatmu enggan menemui tuan gubernur ? Tadi beliau menyinggung masalah anda, seraya mengatakan, jika Hani sakit maka aku akan segera membesuknya."

"Sakit inilah yang menghalangiku," jawab Hani.

"Ubaidillah mendapat laporan bahwa anda setiap petang hari duduk-duduk di serambi rumah anda. Dia merasa bahwa anda enggan untuk menemuinya, karena keterlambatan anda ini. Keterlambatan dan sikap keras kepala dari orang seperti anda tidak dapat diterima oleh seorang penguasa. Sebab anda adalah seorang pembesar kota ini. Oleh karena itu, kami bersumpah untuk membawa anda segera menemuinya," ujar mereka lagi.

Hani meminta pakaian dan kudanya. Setelah berganti pakaian dan duduk di atas kuda, mulailah mereka bergerak menuju istana gubernur.Saat mereka hampir sampai ke tempat tujuan, tiba-tiba dia mendapatkan firasat bahwa ada sesuatu yang bakal terjadi. Kepada Hassan bin Asma' bin Kharijah ia berkata,"Wahai keponakanku, aku merasa cemas untuk bertemu dengan orang ini. Bagaimana denganmu ?"

Hassan menjawab, "Demi Allah, paman, aku tidak merasakan bahwa akan ada sesuatu yang bakal terjadi. Jangan berpikir yang tidak-tidak." Hassan tidak menyadari maksud Ubaidillah bin Ziyad memanggil Hani.
Hani telah sampai di istana bersama orang-orang tadi. Lalu mereka masuk ke ruangan Ubaidillah. Sewaktu pandangan Ubaidillah jatuh ke wajah Hani, iapun berseru, "Akhirnya pengkhianat ini datang juga."

Lalu ia menoleh ke arah Syuraih, hakim kota, yang duduk di sampingnya seraya menunjuk Hani dan membawakan bait syair 'Amr bin Ma'dikarib Al-Zubaidi:

Kuingin dia hidup, tapi ia inginkan kematianku
Sungguh mengherankan kawanmu dari Murad ini

"Apa yang anda maksudkan itu, wahai tuan gubernur ?" tanya Hani.

Ubaidillah bin Ziyad menjawab, "Suara sumbang yang terjadi di rumahmu yang mengancam Amirul Mukminin Yazid dan menyebabkan fitnah di kalangan kaum muslimin. Bukankah kau telah membawa Muslim bin Aqil ke rumahmu. Lalu kau mengumpulkan senjata dan menyusun kekuataan militer. Kau kira kami tidak tahu ?"

"Sungguh aku tidak melakukan hal itu, " sanggah Hani.

"Bohong. Kau telah melakukannya", tegas Ibnu Ziyad.

"Semoga Allah meluruskan tuan gubernur. Saya tidak pernah melakukan hal yang anda tuduhkan itu," bantah Hani lagi.

"Panggil budakku Mi'qal," seru Ibnu Ziyad dengan geram. Mi'qal adalah nama seorang budak yang ditugaskan oleh Ubaidillah bin Ziyad untuk memata-matai setiap gerakan yang mencurigakan dari para pecinta Ahlul Bait A.S. Ia banyak mengetahui rahasia mereka.

Mi'qal datang dan berdiri di hadapan sang Amir. Saat pandangan Hani jatuh ke wajah orang tersebut, sadarlah ia bahwa selama ini ia selalu dimata-matai oleh budak Ubaidillah bin Ziyad.

Hani segera berkata, "Semoga Allah meluruskan tuan. Demi Allah, aku tidak pernah memanggil maupun mengundang Muslim bin Aqil ke rumahku. Tapi sewaktu ia datang sendiri ke rumahku dan meminta perlindunganku, aku tidak dapat menolaknya. Aku terikat janji dengannya untuk memberinya perlindungan. Aku kira anda cukup mengetahui posisiku dalam masalah ini. Karena itu biarkan aku pulang ke rumah dan menyuruhnya pergi meninggalkan rumahku, kemana saja dia suka. Dengan itu aku terlepas dari tanggungan ini."

Ibnu Ziyad menolak permintaan Hani dan berkata, "Demi Allah, tak akan kubiarkan engkau keluar dari sini kecuali setelah menyerahkan orang itu."

"Aku bersumpah untuk tidak menyerahkannya kepadamu. Jangan dikira bahwa aku akan rela menyerahkan tamuku padamu untuk kau bunuh," sergah Hani.

"Tak ada pilihan lain selain kau harus menyerahkannya padaku," seru Ibnu Ziyad.

"Demi Allah, tidak mungkin akan kuserahkan," jawab Hani.

Ketika dialog antara keduanya kian memanas, Muslim bin 'Amr Al-Bahili bangkit dan berkata, "Semoga Allah melindungi tuan gubernur! Biarkan aku berdua bersamanya, biar kubujuk dia."

Mereka berdua pergi ke salah satu sudut istana -di tempat yang sekiranya Ibnu Ziyad dapat melihat mereka dan mendengar pembicaraan mereka. Tiba-tiba suara mereka bertambah tinggi.

Muslim berkata, "Hai Hani, kuingatkan engkau kepada Allah ! Jangan kau binasakan dirimu sendiri dan membuat permasalahan untuk keluargamu! Demi Allah, aku tidak ingin kau mati terbunuh. Muslim bin Aqil masih termasuk famili mereka sendiri. Mereka tidak mungkin akan melukai apalagi sampai membunuhnya. Karena itu serahkan saja ia kepadanya! Jika hal itu kau lakukan masyarakat tidak akan mencelamu, sebab kau telah menyerahkannya kepada penguasa."

Hani menjawab, "Demi Allah, sungguh aib dan cela yang besar buatku bila hal itu sampai kulakukan. Jadi kau menyuruhku untuk menyerahkan orang yang kulindungi sekaligus tamu dan utusan putra Rasulullah SAW., kepada musuhnya, padahal aku masih segar bugar dan memiliki banyak orang yang siap membelaku? Demi Allah, seandainya aku hanya sendirian tanpa ada seorangpun yang siap membelaku tak akan pernah aku menyerahkannya walaupun harga yang harus aku tebus adalah nyawaku ini."

Ketika Ibnu Ziyad mendengar jawaban Hani tersebut mendadak ia naik pitam dan berteriak, "Bawa dia kemari!"

Hani dibawa mendekat ke Ibnu Ziyad. Kepadanya Ubaidillah berkata, " Demi Allah, serahkan dia kepadaku atau kupenggal batang lehermu !"

"Kalau begitu akan banyak pedang yang mengepung rumahmu," jawab Hani.

"Oh, kasihan kau ini Hani. Kau takut-takuti aku dengan pedang," cibir Ubaidillah. Hani mengira bahwa sanak keluarganya akan menanggapi apa yang ia katakan tadi.

"Bawa dia lebih dekat lagi!", seru Ibnu Ziyad kemudian. Ketika Hani telah berada di dekatnya, tiba-tiba Ubaidillah memukulkan kayu ke wajahnya. Hidung, dahi dan pipinya menjadi sasaran pukulan Ibnu Ziyad yang bertubi-tubi itu. Hidung Hani retak. Darah segar mengucur membasahi bajunya. Daging pipi dan dahinya menonjol keluar. Pukulan Ibnu Ziyad tidak berhenti sampai kayu tersebut patah dan terbelah.

Hani mengayunkan tangannya ke pangkal pedang seorang pengawal yang berada di dekatnya. Dengan gerakan refleks, pengawal itu menarik pedangnya. Tiba-tiba terdengar suara Ibnu Ziyad yang mengatakan, "Tangkap dan seret dia!"

Hani ditangkap lalu dimasukkan ke dalam satu ruangan di istana yang dikunci dari luar. Kini Hani tak dapat lolos lagi.

"Jaga dan awasi dia!", perintah Ubaidillah. Perintah dijalankan.

Asma' bin Kharijah -menurut sebagian riwayat Hassan bin Asma'- berdiri dan menghampiri Ibnu Ziyad. Kepadanya ia berkata, "Apakah hari ini semua orang sudah menjadi pengecut dan licik ? Tuan gubernur, anda menyuruh kami untuk membawa dia menghadapmu. Tapi setelah kami berhasil membawanya kemari, anda lalu memukul wajahnya hingga darah mengalir dari rongganya dan membasahi janggutnya. Bahkan andapun mengancam akan membunuhnya."

Mendengar itu Ubaidillah naik pitam. "Tetap di tempat!," bentaknya. Kemudian ia menyuruh para prajuritnya untuk mencambuknya. Setelah puas, dalam keadaan tangan dan kaki yang dibelenggu, ia ditahan di salah satu sudut istana.

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Berita kematianmulah, wahai Hani, yang dapat aku sampaikan," batinnya.

Berita terbunuhnya Hani segera tersebar dan sampai ke telinga 'Amr bin Hajjaj. -Ruwaihah putri 'Amr adalah istri Hani- 'Amr bersama dengan seluruh kabilah bani Midzhaj segera datang dan mengepung istana.

Dengan suara yang lantang dia berkata, "Aku 'Amr bin Hajjaj dan ini para jawara bani Midzhaj. Kami adalah orang-orang yang loyal pada pimpinan dan kelompok kami. Kami dengar bahwa saudara kami, Hani, terbunuh di sini."

Ubaidillah sadar bahwa sesuatu yang tak diinginkannya bakal terjadi, melihat kedatangan mereka dan apa yang mereka katakan. Lantas ia memerintahkan Syuraih untuk masuk ke tempat di mana Hani disekap dan melihat keadaannya, lalu memberitahukan keselamatannya kepada keluarga dan kabilah Hani. Syuraih melakukan apa yang diperintahkan oleh Ibnu Ziyad. Mendengar kesaksiannya, kaum kerabat Hani lega dan beranjak meninggalkan istana.

Berita tersebut segera menyebar dan sampai pada Muslim bin Aqil. Beliau lalu keluar bersama orang-orang yang telah membaiatnya untuk menyerang Ubaidillah.

Ibnu Ziyad hanya bisa berlindung di balik tembok istana untuk menghindar dari Muslim. Pertempuran antara pasukan Muslim dan tentara istana pun berkobar. Orang-orang Ibnu Ziyad yang berada di dalam istana dengan setia menemaninya dan menakut-nakuti para pengikut Muslim akan bala tentara yang segera tiba dari Syam. Pertempuran terus berlanjut sampai malam hari.

Pasukan Muslim mulai meninggalkan sang komandan seraya berbisik satu sama lain, Kenapa kita mesti mempercepat datangnya fitnah? Bukankah lebih baik kita tinggal di dalam rumah dan tidak ikut campur urusan mereka? Serahkan saja pada Allah yang akan mendamaikan mereka yang berselisih!"

Pasukan Muslim hanya tersisa sepuluh orang saja. Bersama dengan sepuluh orang tadi, muslim masuk ke dalam mesjid untuk menunaikan sholat maghrib berjamaah. Mereka inipun pergi meninggalkannya.
Melihat apa yang terjadi, dengan langkah gontai, Muslim berjalan seorang diri menelusuri lorong-lorong kota Kufah. Sampai di depan pintu rumah seorang wanita tua bernama Thau'ah, beliau meminta seteguk air kepadanya. Wanita tua itu menyodorkan segelas air kepadanya.

Kemudian Muslim meminta perlindungan darinya. Iapun dengan senang hati menerima kehadiran Muslim. Anak si wanita setelah tahu apa yang terjadi di rumahnya, segera menyampaikan berita kepada Ubaidillah bin Ziyad. Ubaidillah mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Muhammad bin Asy'ats untuk menangkap Muslim.

Muslim yang mendengar suara ramai derap kaki kuda sadar bahwa keberadaannya di rumah itu telah diketahui oleh Ibnu Ziyad. Secepat kilat ia mengenakan baju besinya dan naik ke atas kuda lalu menyerang pasukan kiriman Ubaidillah tersebut.

Setelah Muslim berhasil menewaskan beberapa orang, tiba-tiba Muhammad bin Asy'ats berseru, "Hai Muslim, menyerahlah ! Aku menjamin keselamatanmu."

"Jaminan keselamatan apa yang dapat diberikan oleh orang-orang licik dan durjana ?" jawab Muslim. Beliaupun lantas meneruskan pertarungan tak berimbang itu sambil mendendangkan bait-bait syair Hamran bin Malik Al-Khats'ami pada perang Qaran yang berbunyi:

Aku bersumpah tak akan mati kecuali dalam kebebasan

Walupun kulihat maut sangatlah menakutkan

Aku benci menjadi sasaran muslihat dan tipuan

Atau mencampur rasa dingin panas dan kepahitan

Semua pasti kan temui kemalangan suatu hari

Kutebas kalian apapun akibatnya, aku tak perduli

Mereka menyahut, "Tak ada makar dan tipu muslihat di sini." Muslim tak menggubris. Melihat itu, mereka serentak bersama-sama menyerangnya. Muslim yang sudah mengalami banyak luka di tubuhnya, akhirnya ditikam dari belakang oleh seseorang hingga jatuh tersungkur. Selanjutnya ia ditangkap sebagai tawanan.

Ketika dihadapkan pada Ubaidillah bin Ziyad, Muslim masuk tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Pengawal istana yang menyaksikan hal itu langsung menghardiknya dan berkata, "Ucapkan salam pada tuan gubernur!"

"Tutup mulutmu! Demi Allah dia bukan tuanku," jawab Muslim.

Ibnu Ziyad menyahut, "Biarkan saja, tidak apa-apa. Kau mau mengucapkan salam atau tidak itu sama saja. Sebentar lagi kau juga akan mati."

Muslim menjawab, "Aku tidak terkejut mendengar kau akan membunuhku. Sebab dulu orang yang lebih jahat darimu juga telah membunuh orang yang jauh lebih baik dari aku. Selain itu, aku tahu bahwa kau tidak lepas dari pembunuhan dengan cara yang keji, mencincang, hati yang busuk dan cacian kemenangan. Tak ada yang lebih berhak atas hal itu kecuali engkau."

Dengan geram Ubaidillah berkata, "Hai pembangkang dan pengacau! Kau sudah melawan imam dam pemimpinmu sendiri. Kau rusak persatuan kaum muslimin dan tebarkan fitnah di antara mereka."

"Bohong! Yang merusak persatuan kaum muslimin adalah Mu'awiyah dan anaknya, Yazid. Sedangkan yang menebarkan fitnah adalah engkau dan ayahmu, Ziyad bin Ubaid, budak bani 'Ilaj dari Tsaqif. Aku berharap semoga Allah mengaruniaku syahadah di tangan orang yang paling jahat," jawab Muslim.

Ubaidillah sambil mencibir Muslim berkata, " Kau menginginkan sesuatu (kepemimpinan) yang Allah tidak kehendaki. Dia melihat bahwa kau bukanlah orang yang pantas untuk mendapatkannya. Karena itu, Dia telah memberikannya kepada yang layak."

Muslim bertanya, "Hai putra Marjanah, siapa orang berhak itu ?"

Ubaidillah menjawab, "Yazid bin Mu'awiyah."

"Al-Hamdulillah. Kami rela menjadikan Allah sebagai hakim di antara kita," ujar Muslim.

"Apa kau mengira pantas untuk mendapatkan kekuasaan ?", tanya Ubaidillah.

"Bukan hanya perkiraan dan sangkaan, tapi yakin dan pasti," jawab Muslim.

"Hai Muslim, katakan padaku, apa maksud kedatanganmu ke kota ini, yang dulu suasananya tenang dan hubungan di antara merekapun baik tapi sekarang engkau rusak suasana dan persatuan mereka?", kata Ubaidillah.

Muslim menjawab, "Tujuan dan maksud kedatanganku bukan seperti yang kau tuduhkan. Tapi ketika kalian dengan terang-terangan melakukan hal-hal yang mungkar, kalian kubur hal-hal yang ma'ruf, kalian memerintah atas umat ini tanpa restu dari mereka, kalian bawa mereka ke arah yang tidak Allah ridhai, dan kalian melakukan seperti apa yang dilakukan oleh raja-raja Persia dan kaisar Rumawi, maka sekarang aku datang untuk menegakkan kebajikan ( ma'ruf ) dan melarang kekejian ( mungkar ) sekaligus mengajak mereka untuk kembali ke hukum Allah dan Rasul-Nya. Kamilah orang yang paling layak untuk melakukannya, seperti yang telah dititahkan oleh Rasulullah saw."

Ubaidillah - la'natullah 'alaihi – mulai ,mencaci-maki Imam Ali, Al-Hasan dan Al-Husain a.s.

"Kau dan ayahmulah yang pantas untuk menerima cacian dan makian itu. Lakukanlah apa yang kau maukan, hai musuh Allah !", potong Muslim.

Selanjutnya Ubaidillah memanggil Bukair bin Hamran dan menyuruhnya untuk pergi ke atas istana dengan membawa Muslim dan kemudian membunuhnya. Bukairpun pergi ke atas istana dengan membawa Muslim yang mulut dan lidahnya selalu basah dengan ucapan tasbih, istighfar dan salawat kepada Nabi saw. Adegan selanjutnya, kepala Muslim lepas dengan sekali teba.s. Tapi wajah Bukair pucat pasi saat turun dan menghadap Ubaidillah bin Ziyad.

"Ada apa denganmu ?", tanya Ubaidillah.

"Pada saat aku mengayunkan pedangku untuk menebas kepalanya, tiba-tiba kulihat seseorang dengan kulit berwarna hitam legam dan wajah yang menakutkan berada di hadapanku sambil menggigit jari -atau bibirnya-. Melihat itu, aku ketakutan setengah mati. Belum pernah aku merasa takut seperti ini ", jawabnya.

"Ah, kau hanya panik saja," kata Ubaidillah mencoba menghibur.

Kemudian Ibnu Ziyad memerintahkan agar Hani bin Urwah segera dibunuh. Hani hanya bisa berteriak memanggil sanak keluarganya, " Wahai bani Midzhaj! Di manakah kalian wahai bani Midzhaj? Di mana sanak keluargaku ? "

Algojo berkata kepadanya, "Julurkan lehermu!"

Hani menjawab, "Demi Allah, aku bukan orang dermawan yang mau memberikan kepalaku. Dan tidak mungkin aku akan membantu orang dalam membunuhku."

Budak Ubaidillah bin Ziyad yang bernama Rasyid segera memukul dan menghabisinya.

Berkenaan dengan terbunuhnya Muslim dan Hani, Abdullah bin Zubair Al-Asadi mengatakan dalam bait syairnya.

Jika kau tak tahu apakaha maut itu

Lihatlah Hani dan Muslim putra Aqil

Jawara dengan kepala pecah karena pedang

Dan yang gugur jatuh dari ketinggian

Keduanya korban kebiadaban para durjana

Yang menjadi buah bibir semua orang

Kau lihat jasad dengan warna dirubah maut

Dan darah segar membasahi tubuh mereka

Kesatria pemalu bak seorang gadis

Tajam melebihi pedang bermata dua

Asma' kini tak merasa aman di atas kudanya

Di saat bani Midzhaj hendak menebus darah darinya

Bani Murad mengitarinya, sedang mereka semua

Baik pemimpin maupun rakyat telah siaga

Jika kalian tak mau menuntut balas darinya

Jadilah wanita murah yang puas dengan sedikit harta

Setelah itu, Ubaidillah bin Ziyad menulis sepucuk surat kepada Yazid bin Mu'awiyah dan memberitahukan kepadanya bahwa ia telah berhasil membunuh Muslim bin Aqil dan Hani bin Urwah.

Menanggapi surat tersebut, Yazid membalas dengan mengirimkan surat yang berisi rasa terima kasihnya atas apa yang telah diperbuat oleh Ibnu Ziyad terhadap mereka berdua. Selain itu, ia juga mengabarkan akan keberangkatan Al-Husain a.s. menuju Kufah, sekaligus memerintahkannya untuk menindak tegas dan memenjarakan siapa saja yang condong kepada beliau a.s. walaupun atas dasar praduga murni.
Al-Husain a.s. meninggalkan kota Mekah pada tanggal 8 Dzulhijjah, tahun 60 H, sebelum berita terbunuhnya Muslim bin Aqil sampai ke telinga beliau. Sebab beliau keluar dari Mekah pada hari Muslim terbunuh.

Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Al-Thabari Al-Imami alam kitabnya "Dalailu Al-Imamah "meriwayatkan dari Abu Muhammad Sufyan bin Waki' dari ayahnya, Waki', dari A'masy. Ia mengatakan, "Abu Muhammad Al-Waqidi dan Zurarah bin Khalaj mengatakan padaku, "Kami pergi menemui Al-Husain bin Ali a.s. tiga hari sebelum beliau keluar menuju Irak. Kepada beliau kami katakan bahwa penduduk Kufah adalah orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Hati mereka bersama beliau tapi pedang mereka menghadap beliau.

Kemudian beliau menunjuk ke ata.s. Tiba-tiba pintu-pintu langit terbuka dan para malaikat turun ke bumi dalam jumlah yang terhitung kecuali oleh Allah SWT. Kemudian beliau berkata, "Jika bukan karena takdir yang sudah ditentukan dan dekatnya kematianku, akan kuperangi mereka dengan pasukan malaikat ini. Akan tetapi, di sanalah pusaraku dan pusara para sahabatku. Tak akan ada yang selamat kecuali anakku, Ali."

Disebutkan bahwa ketika hendak berangkat menuju Irak, di depan khalayak beliau berdiri menyampaikan khutbahnya:

"Maha suci Allah. Segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya. Tiada kekuatan kecuali dengan izinnya. Salawat dan salam Allah atas Rasul-Nya. Maut adalah sesuatu yang melingkar pada manusia bagai seuntai kalung yang melingkar di leher seorang dara. Betapa rindunya aku untuk segera berjumpa dengan para pendahuluku melebihi rindunya Ya'qub kepada anaknya, Yusuf a.s.

Sebaik-baik hal bagiku adalah kematian yang akan kualami. Aku dapat menyaksikan badanku dicabik-cabik oleh serigala-serigala buas padang pasir di sebuah tempat di antara Nawasis dan Karbala. Mereka lalu mengisi penuh kantong-kantong mereka yang kosong. Tak ada lagi tempat pelarian dari kejaran takdir.

Ridha Allah adalah ridha kami Ahlul Bait. Kami akan tabah dan mengahadapi segala cobaan dan ujian-Nya, dan berharap Allah akan memberikan pahala-Nya yang besar kepada mereka yang sabar. Daging yang berasal dari Rasulullah saw. tidak akan terpisah darinya. Tapi sebaliknya, akan berkumpul dengannya menjadi satu di hadapan Allah, Tuhan yang Mahasuci. Beliau akan gembira melihat mereka dan melalui merekalah semua janjinya akan terpenuhi.

Barang siapa yang siap mengorbankan jiwa raganya demi kami dan ingin segera berjumpa dengan Allah segelah bergabung dengan kami. Karena esok pagi aku akan segera berangkat, insya Allah."

Diriwayatkan dari Muhammad bin Daud Al-Qummi dengan sanadnya dari Abu Abdillah Imam Ja'far Shadiq a.s., beliau berkata, "Pada malam hari keberangkatan Al-Husain a.s. dari Mekah menuju Kufah, Muhammad bin Al-Hanafiyyah datang menemui beliau dan berkata, "Saudaraku, bukankah engkau telah mengetahui kelicikan penduduk Kufah terhadap ayah dan abangmu ? Aku takut dan cemas nasibmu akan berakhir seperti mereka berdua yang telah lebih dulu pergi meninggalkan kita. Aku memohon agar engkau mau tetap tinggal di sini, sebab engkau adalah orang yang paling mulia dan terhormat di kota suci ini."

Al-Husain a.s. menjawab,"Adikku, aku takut Yazid bin Mu'awiyah akan membunuhku di kota suci ini, sehingga aku menjadi penyebab terinjak-injaknya kehormatan Baitullah."

Ibnu Al-Hanafiah berkata lagi."Kalau begitu pergi saja ke Yaman atau kota lainnya ! Di sana orang-orang akan menghormatimu, sehingga tidak ada orang yang dapat mencelakanmu,"

"Baik, akan kupertimbangkan saranmu itu,"jawab Al-Husain a.s.

Mendekati subuh, Al-Husain a.s. bergerak meninggalkan kota. Berita keberangkatan beliau segera sampai ke telinga Muhammad bin Al-Hanafiyyah. Bergegas ia pergi menyusul Al-Husain a.s. Ibnu Al-Hanafiyyah menarik tali kekang kuda yang dinaiki oleh abangnya itu seraya berkata, "Bukankah engkau telah berjanji padaku untuk mempertimbangkan saranku, wahai saudaraku ?"

"Benar," jawab Al-Husain a.s..

"Lalu mengapa engkau buru-buru pergi ?", tanyanya lagi.

Dalam jawabannya, Al-Husain a.s. berkata, "Setelah engkau pergi meninggalkanku, Rasulullah saw. datang kepadaku dan bersabda, "Anakku Husein, pergilah! Karena Allah berkehendak untuk menyaksikanmu mati terbunuh."

Muhammad bin Al-Hanafiyyah tersentak kaget dan mengatakan, "Inna lillahi wa inna ilahi raji'un. Tapi mengapa engkau membawa wanita-wanita ini bersamamu, padahal kepergianmu seperti yang engkau katakan ?"

Al-Husain menjawab, "Beliau saw. juga bersabda bahwa Allah SWT. berkehendak untuk melihat mereka diseret sebagai tawanan."

Kemudian beliau mengucapkan selamat tinggal kepada adiknya itu dan meneruskan perjalanannya.
Kemudian Al-Husain a.s. memulai perjalanannya. Ketika sampai di Tan'im, beliau berpapasan dengan rombongan yang membawa hadiah, utusan Buhair bin Raisan Al-Himyari, gubernur Yaman. Hadiah yang sedianya akan diserahkan kepada Yazid bin Mu'awiyah itu beliau ambil, karena beliau adalah pemimpin kaum muslimin yang sebenarnya.

Kepada para pemilik unta pembawa hadiah tersebut beliau berkata, "Barag siapa yang mau ikut bersama kami pergi ke negeri Irak, upah sewa untanya akan kami bayar dan akan kami perlakukan dia dengan baik. Dan siapa yang tidak mau dan ingin berpisah dari kami, upah perjalanan yang telah ia tempuh akan kami berikan."

Sebagian menerima tawaran baik Al-Husain a.s. dan yang lain memilih untuk tidak meneruskan perjalanan bersama beliau.

Kemudian beliau melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di Zatu 'Irq, beliau berjumpa dengan Bisyr bin Ghalib yang baru saja meninggalkan negeri Irak. Kepadanya beliau Imam a.s. bertanya tentang keadaan ahli Irak. Bisyr menjawab, "Aku baru saja meninggalkan satu kaum yang hati mereka bersamamu tetapi pedang mereka bersama bani Umayyah."

Beliau lantas berkata, "Orang ini berkata benar. Allah berbuat sesuatu yang Dia kehendaki dan menentukan apa yang Dia mau."

Al-Husain a.s. melanjutkan perjalanannya. Ketika sampai di Tsa'labiyyah, matahari sudah tinggi. Beliau beristirahat dan tertidur. Setelah bangun beliau berkata, "Aku mendengar suara yang mengatakan, kalian pergi disertai oleh maut yang siap menghantarkan kalian ke surga."

Putra beliau yang bernama Ali segera bertanya, "Ayah, bukankah kita berada di jalan yang benar ?"

"Ya, demi Tuhan yang menjadi tempat kembali semua hamba," jawab Al-Husain a.s.

"Kalau begitu kita tidak perlu takut menyongsong kematian," ujar sang anak mantap.

Dengan perasaan bangga Al-Husain a.s. berkata, "Semoga Allah memberimu sebaik-baik pahala yang Dia berikan kepada anak yang berbakti kepada orang tuanya."

Malam itu Al-Husain a.s. bermalam di tempat tersebut. Esok harinya, seorang penduduk Kufah yang dikenal dengan nama Abu Hirrah Al-Azdi datang menemui beliau. Setelah mengucapkan salam, Abu Hirrah berkata, "Wahai putra Rasulullah, apa yang mendorong anda untuk meninggalkan kota suci Allah dan kota suci kakekmu, Rasulullah saw. ?"

Al-Husain a.s. menjawab, "Hai Abu Hirrah, ketika bani Umayyah merampas harta bendaku, aku bersabar. Demikian pula sewaktu mereka menginjak-injak kehormatanku. Kini mereka ingin membunuhku, karena itulah aku pergi melarikan diri. Demi Allah, aku pasti akan dibantai oleh sekelompok orang. Dan Allah akan menghukum mereka dengan kehinaan dan kebinasaan. Allah akan menjadikan mereka dikuasai oleh orang yang akan menghinakan mereka sehingga mereka menjadi hina lebih dari bangsa Saba' saat diperintah oleh seorang wanita yang menguasai harta dan jiwa mereka lalu menghinakan mereka."

Al-Husain a.s. meneruskan perjalanannya.

Sekelompok orang dari bani Fazzarah dan Bujailah berkata, "Kami bersama Zuhair bin Al-Qain meninggalkan kota Mekah. Kami berjalan bersama dengan rombongan Al-Husain a.s. Sebenarnya kami tidak suka melakukan perjalanan ini bersama Al-Husain, karena beliau membawa rombongan wanita. Maka dari itu, jika beliau berhenti di suatu tempat, kami pergi ke tempat yang lain dan beristirahat di sana.

Suatu saat, beliau berhenti dan beristirahat di satu tempat. Kami pun terpaksa berhenti. Sewaktu kami asyik menyantap hidangan makan siang yang telah kami siapkan, tiba-tiba utusan Al-Husain a.s. datang menemui kami. Setelah mengucapkan salam, dia berkata, "Wahai Zuhair bin Al-Qain, Abu Abdillah mengutusku untuk memanggilmu." Kami semua meletakkan kembali makanan yang sudah ada di tangan dan duduk mematung seakan-akan ada burung yang hinggap di atas kepala kami.

Istri Zuhair yang bernama Dailam binti 'Amr menegur dan berkata, "Subhanallah, putra Rasulullah memanggilmu dan engkau tidak mau datang menemuinya? Pergi dan temui beliau, dan dengarkan apa yang akan beliau katakan padamu !"

Zuhair bangkit dan pergi menemui Al-Husain a.s. Tak lama kemudian ia datang kembali dengan wajah yang berseri-seri. Lalu dia meminta barang bawaannya dan pergi bergabung bersama Al-Husain a.s. Kepada istrinya ia berkata, "Engkau aku cerai. Aku tidak menginginkan apa-apa kecuali kebaikan untukmu. Aku bertekad untuk bergabung dengan Al-Husain a.s. dan mempertaruhkan nyawaku demi beliau."

Lalu ia memberikan harta yang menjadi hak sang istri kepadanya dan menitipkannya pada sanak keluarganya untuk mereka serahkan kepada keluarga terdekatnya.

Sang istri menghampiri Zuhair dan mengucapkan selamat jalan. Dengan berlinang air mata, dia berkata, "Allah telah menjatuhkan pilihan-Nya atasmu. Aku mohon engkau tidak lupa padaku di hari kiamat kelak di hadapan kakek Al-Husain a.s."

Kemudian Zuhair berkata kepada kawan-kawannya, "Siapa di antara kalian yang mau ikut bergabung bersamaku ? Siapa yang tidak ingin bersamaku, berarti hari ini adalah hari terakhir hubungan kita."

Al-Husain a.s. melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di tempat bernama Zubalah, berita syahadah Muslim bin Aqil di tangan algojo Ibnu Ziyad sampai kepada beliau. Sebagian anggota rombongan Al-Husain a.s. yang masih menginginkan hidup dan memiliki keragu-raguan di dalam hati segera pergi meninggalkan beliau. Kini hanya hanya sanak keluarga dan sahabat-sahabat setia Al-Husain a.s. yang masih dengan tegar berada di samping beliau.

Jerit tangis histeris memecahkan suasana menyambut berita syahadah Muslim bin Aqil dan air mata telah membasahi semua tempat.
Al-Husain kembali meneruskan perjalanan ke tempat Allah telah memerintahkannya. Tiba-tiba muncul Farazdaq yang datang menemuinya. Setelah mengucapkan salam, dia berkata, "Wahai putra Rasulullah, mengapa anda masih saja percaya pada orang-orang Kufah, padahal mereka baru saja membunuh Muslim bin Aqil, sepupu dan pengikutmu yang setia."

Dengan berlinang air mata, Al-Husain a.s. menjawab, "Semoga Allah merahmati Muslim. Kini ia berada dalam kenyamanan, kesenangan, kemuliaan dan keridhaan Allah. Dia telah melakukan tugasnya dengan baik. Dan sekarang tugas itu menjadi tanggung jawab kita semua."

Lalu beliau menambahkan:

Jika dunia ini mempunyai harga

Ketahuilah, pahala di sisi Allah lebih berharga

Jika badan tercipta untuk kematian

Maka, kematian di jalan Allah lebih utama

Jika rezeki dibagikan menurut ketentuan

Alangkah baiknya untuk tidak serakah dalam usaha

Jika harta setelah terkumpul akan ditinggalkan

Mengapa orang kikir untuk menginfakkannya

Selanjutnya Al-Husain menulis surat kepada Sulaiman bin Shurad, Musayyib bin Najbah, Rufa'ah bin Syaddad dan sekelompok orang Syiah kota Kufah yang beliau kirimkan lewat Qais bin Musahhar Al-Shaidawi. Ketika hampir masuk kota Kufah, Qais dihadang oleh Hushain bin Numair, pengikut setia Ubaidillah bin Ziyad untuk memeriksanya. Qais mengeluarkan surat yang ia bawa dan merobek-robeknya. Hushain menangkap dan membawanya ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad.

Setelah sampai dan berdiri di hadapannya, Ibnu Ziyad bertanya, "Siapa kau ? "

"Aku salah seorang pengikut setia Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan anaknya," jawab Qais mantap.

"Lalu mengapa surat itu kau robek ?" tanya Ubaidillah lagi.

"Agar kau tidak mengetahui isinya," jawab Qais ketus.

"Dari siapa dan untuk siapa surat itu?", tanyanya.

"Dari Al-Husain a.s. untuk sekelompok orang Kufah yang tidak kuketahui namanya," jawabnya.

Ibnu Ziyad naik pitam dan berkata,"Demi Allah, kau tidak akan kuizinkan untuk meninggalkan tempat ini sebelum memberitahu nama-nama mereka, atau kau naik ke atas mimbar untuk melaknat Al-Husain, ayah dan saudaranya. Jika tidak, kau akan kubunuh dan kucincang."

Mendengar itu Qais berkata, "Nama-nama mereka tidak akan kusebutkan. Tapi kalau melaknat Al-Husain, ayah dan saudaranya, aku siap untuk melakukannya."

Qais naik ke atas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah dan bersalawat kepada Nabi Muhammad saw., dia memuji dan mengagungkan Ali dan keturunannya. Setelah itu ia melaknat Ubaidillah bin Ziyad dan ayahnya serta seluruh antek-antek bani Umayyah. Katanya,

"Wahai penduduk Kufah! Aku adalah utusan Al-Husain bin Ali a.s. Beliau masih berada di suatu tempat saat aku kemari. Pergi dan sambutlah beliau!"

Berita ini segera sampai telinga Ibnu Ziyad yang lalu memerintahkan untuk melemparkan Qais dari atas atap istana. Qais lalu dijatuhkan dari atas istana dan tewas seketika sebagai syahid.

Berita kematian Qais sampai ke telinga Al-Husain a.s. Dengan air mata yang tak dapat dibendung lagi, beliau memanjatan doa.

"Ya Allah, berikanlah untuk kami dan para pengikut setia kami satu tempat mulia di sisi-Mu. Kumpulkan kami bersama mereka di tempat yang Engkau penuhi dengan rahmat-Mu. Engkau maha Kuasa atas segala sesuatu."

Menurut riwayat, beliau menulis surat tersebut di tempat yang bernama Hajiz. Adapula riwayat yang mengatakan tempat lainnya.
Al-Husain a.s. kembali melanjutkan perjalanannya. Sesampainya beliau di satu daerah dekat Kufah, beliau dihadang oleh Hurr bin Yazid Al-Riyahi yang memimpin seribu orang pasukan berkuda.

Al-Husain a.s. menyapa, "Kalian pengikutku atau musuhku ?"

Hurr menjawab, "Musuhmu, ya Abu Abdillah"

"La haula wala quwwata illa billahil 'Aliyyil 'Adzim," desah Al-Husain a.s.

Mereka berdua terlibat dalam satu pembicaraan serius. Sampai kemudian Al-Husain a.s. berkata, "Jika kenyataan yang ada pada kalian berlainan dengan apa yang tertulis dalam surat-surat kalian dan apa yang disampaikan oleh utusan kalian kepadaku, biarkan aku kembali lagi ke asalku."

Hurr dan pasukannya tidak memberikan izin kepada beliau. Katanya, " Tidak. Anda tidak akan kuperkenankan untuk kembali. Tapi aku punya saran untukmu, wahai putra Rasulullah. Ambillah jalan yang tidak membawa anda menuju Kufah dan tidak membawa anda kembali ke Madinah. Dengan begitu aku ada alasan kepada Ibnu Ziyad dengan mengatakan kepadanya bahwa kita tidak pernah bertemu."

Al-Husain a.s. menerima saran tersebut dan bergerak sampai ke 'Adzibu Al-Hajanat. Tiba-tiba Hurr mendapat surat dari Ubaidillah bin Ziyad yang mengecamnya karena dianggap terlalu memberi kemudahan kepada Al-Husain a.s. dan memerintahkannya untuk mempersempit ruang gerak Al-Husain a.s.

Hurr dan pasukannya segera menghadang gerak laju perjalanan rombongan Al-Husain a.s. dan mencegah beliau untuk meneruskannya. Kepada Hurr Al-Husain a.s. bertanya, "Bukankah engkau tadi yang menyuruh kami untuk keluar dari jalan yang menuju Kufah ?"

"Ya, benar," jawab Hurr. "Tapi tuan gubernur, Ubaidillah bin Ziyad, melalui suratnya yang baru saja sampai kepadaku memerintahkan untuk mempersulit ruang gerak anda. Selain itu, dia juga telah mengirimkan mata-matanya untuk mengawasiku dalam menjalankan perintahnya itu."

Lantas Al-Husain a.s. berdiri di hadapan para sahabat setianya. Setelah memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT dan menyampaikan salawat atas kakeknya, beliau berkata,"Kalian semua telah mengetahui apa yang tengah kita hadapi. Kini dunia telah berubah. Kebaikan telah pergi, sehingga dunia tak ubahnya bagai barang yang pecah berkeping-keping. Tak ada yang tersisa kecuali beberapa tetes sebanyak air yang tersisa dalam bejana. Sisa kehidupan yang hina ini bagai rumput yang jelek dan kering. Tidakkah kalian saksikan bahwa kebenaran telah ditinggalkan dan kebatilan tidak lagi dilarang. Kini saatnya seorang insan Mukmin berharap untuk segera bertemu Tuhannya dengan membawa kebenaran besamanya. Aku melihat kematian bagai suatu kebahagiaan dan hidup bersama orang-orang zalim bagai suatu kehinaan yang membosankan."

Zuhair bin Al-Qain bangkit dan berkata, "Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kami semua dengan perantara anda, wahai putra Rasulullah. Kami telah mendengar apa yang anda katakan tadi. Seandainya dunia kami ini abadi dan kami semua akan tinggal kekal di dalamnya, kami lebih memilih berperang bersamamu daripada hidup di dunia."

Hilal bin Nafi' Al-Bajli melompat dan berseru, "Demi Allah, kami tidak akan pernah ragu untuk bertemu dengan Tuhan kami, selagi kami memiliki niat yang luhur dan iman yang mantap dengan mencintai orang yang mengikutimu dan memusuhi orang yang memerangimu."

Burair bin Hushain tak mau kalah. Katanya, "Wahai putra Rasulullah! Demi Allah, ini adalah anugerah yang Allah berikan kepada kami, bahwa kami dapat berperang bersamamu dan mempersembahkan raga ini untuk dicincang. Kemudian di hari kiamat kakek anda akan memberikan syafaatnya kepada kami."

Al-Husain a.s. bangkit dan naik ke atas kudanya. Pasukan Hurr menggiring beliau dan rombongan sampai ke suatu padang yang bernama Karbala. Peristiwa ini terjadi pada hari kedua bulan Muharram. Ketika sampai di situ beliau bertanya, "Apa nama tempat ini ?" Terdengar jawaban yang mengatakan "Karbala."

Saat itulah Al-Husain a.s. berkata kepada rombongannya, "Turunlah kalian semua ! Di sinilah kita harus berhenti. Inilah tempat kita akan dibantai. Demi Allah, tempat inilah yang menjadi kuburan kita. Demi Allah, dari sinilah keluarga kita akan diseret sebagai tawanan. Hal inilah yang pernah dikatakan oleh kakekku Rasulullah saw. kepadaku."

Mereka semua turun dari tunggangan masing-masing dan mendirikan kemah. Hurr dan pasukan berada di tempat lain yang tidak jauh dari sana.

Al-Husain a.s. duduk sambil mengasah pedangnya dan bersenandung:

"Wahai masa! Kau bukanlah kawan sejati

Kau hanya berputar antara pagi dan sore hari

Antara orang pencari, kawan, dan yang dibantai

Masa! Kau tak pernah puas dengan pengganti

Semua urusan hanya ada di tangan Ilahi

Semua yang hidup pasti akan mati

Alangkah dekatnya waktuku untuk segera pergi

Ke surga, tempat istirahatku yang abadi"

Zainab putri Fatimah a.s. yang mendengar senandung abangnya itu, dengan tangis tertahan ia berkata,

"Abangku, ini adalah kata-kata orang yang sudah yakin akan segera mati terbunuh."

"Ya, memang demikian, adikku,"jawab Al-Husain a.s. lirih.

Zainab histeris, "Oh, dengarlah Al-Husain tengah memberitahu kematiannya kepadaku."

Mendengar itu, para wanita rombongan keluarga suci Nabi saw. itu, langsung larut dalam tangisan. Tangan-tangan mereka memukuli pipi dan menarik-narik baju mereka sendiri.

"Ya Muhammad! Ya Ali! Ibuu! Ya Fatimah! Ya Hasan! Ya Husain! Alangkah malangnya nasibku ini jika kau tinggal pergi wahai Abu Abdillah," jerit Ummu Kultsum histeris.

Al-Husain a.s. segera menghiburnya, "Adikku! bersedihlah dengan ketentuan dari Allah ! Seluruh mahluk penghuni langit pasti akan mati. Mahluk di bumi ini pun tak ada yang kekal. Semuanya pasti akan binasa."

"Adik-adikku, kau Ummu Kultsum, Zainab, Ruqayyah, Fatimah, dan kau Rubab, camkan kata-kataku! Jika aku terbunuh nanti, jangan sekali-kali kalian kalian robek pakaian kalian sendiri! Jangan pula kalian memukuli wajah atau berkata yang tidak semestinya!" kata beliau lagi.

Menurut riwayat yang lain, Zainab – yang saat itu bersama para wanita anggota rombongan sedang berada di tempat lain tak jauh dari Al-Husain a.s. – ketika mendengar bait-bait yang didendangkan oleh Al-Husain a.s. tersebut segera keluar dengan seribu perasaan duka sambil menari-narik bajunya. Setelah sampai di hadapan Al-Husain a.s., dia berkata, "Oh malangnya nasib ini. Andai saja maut datang mengakhiri hidupku! Oh, ini adalah hari kematian ibuku Fatimah, ayahku Ali, dan kakakku Al-Hasan Al-Zaki, wahai pusaka mereka yang telah pergi dan pemimpin umat ini."

Al-Husain a.s. memandang adiknya dan berkata, "Adikku, jangan sampai kesabaranmu hilang !"

Zainab bertanya, "Demi ayah dan ibuku, apakah engkau akan segera meninggalkan kami dan mati terbunuh?"

Al-Husain a.s. dengan kesedihan yang tampak jelas di raut wajahnya dan mata yang berkaca-kaca, mengatakan, "Jika burung buruan ditinggalkan oleh pemburunya, ia akan dapat tidur dengan nyenyak."

(Maksudnya adalah pasukan yang berada di hadapan kita ini datang untuk membunuhku dan tak akan meninggalkanku untuk dapat tenang. Pent)

Zainab kembali bertanya, "Apakah engkau akan mereka cincang dan lucuti? Jika memang demikian, hatiku ini akan bertambah perih menyaksikannya."

Lalu Zainab menarik-narik bajunya hingga jatuh pingsan.

Al-Husain a.s. menyiramkan sedikit air ke wajahnya hingga kembali sadar. Beliau kemudian menghiburnya dengan berkata bahwa apa yang beliau lakukan ini adalah demi kebenaran dan mengingatkan adiknya itu akan musibah yang telah menimpa ayah dan kakek mereka saw.

Salah satu hal yang menyebabkan Al-Husain a.s. menyertakan keluarga beliau dalam perjalanan yang penuh dengan duka ini adalah, jika mereka ditinggalkan di Hijaz atau negeri manapun saja, Yazid bin Mu'awiyah dapat dengan mudah memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap dan membawa mereka ke hadapannya. Dan dia akan melakukan tindakan sekeji apa saja untuk memaksa Al-Husain a.s. mengurungkan niatnya untuk berjihad dan meraih syahadah. Tindakan Yazid bin Mu'awiyah dengan menangkap dan menyandera mereka dapat menghalangi beliau untuk dapat mencapai kebahagian hakiki.

=========================================
Insya Allah akan dilanjutkan ke kisah Syahadah