Minggu, November 15, 2009

Para Ksatria Karbala



Perjalanan sejarah telah dipenuhi oleh figur-figur teladan dan tokoh-tokoh besar yang namanya abadi dan tindak-tanduknya layak diteladani. Lembaran hidup mereka mementaskan kepahlawanan, kedermawanan, keramahan, dan kebesaran. Di saat-saat genting sekalipun, kebesaran jiwa mereka tetap menjadi panutan. Kisah tragedi pembantaian keluarga Nabi di Karbala meski menjadi luka yang dalam bagi umat Islam sepanjang sejarah, namun penuh dengan hikmah. Tragedi Karbala adalah pertarungan antara kebenaran dan kebatilan, antara kemanusiaan dan kebinatangan, antara kemuliaan dan kehinaan, antara kebebasan dan keterbelengguan.
* * *
Hurr bin Yazid Al-Riyahi
Di padang tandus Nainawa, figur-figur besar semisal Hurr bin Yazid Al-Riyahi, Habib bin Madhahir, Ali bin Al-Husein, Wahb bin Abdullah dan lainnya mengajarkan kepada umat manusia di sepanjang zaman tentang makna sejati dari kebesaran, keberanian, kepahlawanan, kehormatan, dan kesetiaan. Pada kesempatan kali ini, kami akan membawa Anda ke masa itu, saat lakon-lakon Karbala mementaskan drama kesucian. Kami akan mengajak Anda untuk mencermati fragmen-fragmen yang mereka mainkan.
Hurr bin Yazid Al-Riyahi, komandan pasukan Ubaidillah bin Ziyad. Dengan sekitar seribu orang yang dipimpinnya, Hurr mendapat perintah untuk menghadang gerak Imam Husein dan rombongannya yang sedang menuju Kufah dan menggiring mereka menghadap Ibnu Ziyad. Untuk beberapa hari pertama setelah pasukannya berhadapan dengan rombongan Imam Husein a.s, mungkin Hurr dipandang sebagai orang yang paling berdosa terhadap keluarga Nabi itu. Sebab dengan menjalankan perintah demi perintah yang diterimanya dari Ibnu Ziyah, Hurr telah membuat posisi Imam Husein dan keluarganya terjepit sampai mereka kehabisan air minum.
Namun sikap hormatnya kepada keluarga Rasul dan kebesaran jiwanya telah membuat dia terbangun dari tidur yang hampir membuatnya celaka. Hurr sadar bahwa dia berada di tengah pasukan yang berniat membantai Al-Husein dan keluarganya. Jika tetap bersama pasukan ini berarti dia akan mencatatkan namanya dalam daftar orang-orang terlaknat sepanjang masa. Hurr melihat dirinya berada di persimpangan jalan. Dia harus memilih, mati tercincang-cincang dengan imbalan surga atau selamat dan kembali ke keluarga dengan membawa cela dan janji akan siksa neraka. Hurr memilih surga meski harus melewati pembantaian sadis pasukan Ibnu Ziyad.
Dengan langkah mantap Hurr memacu kudanya ke arah perkemahan Imam Husein a.s. Semua mata memandang mungkinkah Hurr komandan yang pemberani itu akan menjadi orang pertama yang menyerang Imam Husein? Namun semua tercengang kala menyaksikan Hurr bersimbuh di hadapan putra Fatimah dan meminta maaf atas kesalahannya. Sebagai penebus kesalahannya, Hurr bangkit dan dengan gagah berani mencabik-cabik barisan musuh. Hurr gugur sebagai syahid dengan menghadiahkan darahnya untuk Islam. Imam Husein memuji kepahlawanan Hurr dan mengatakan, “Engkau benar-benar orang yang bebas, seperti nama yang diberikan ibumu kepadamu. Engkau bebas di dunia dan akhirat.”

Muslim bin Ausajah
Muslim bin Ausajah termasuk kelompok orang-orang tua yang berada di dalam rombongan Imam Husein. Muslim adalah sahabat Nabi yang keberanian dan kepahlawanannya di berbagai medan perang dipuji banyak orang. Ketika Imam Husein mengumumkan rencananya untuk bangkit melawan pemerintahan Yazid, Muslim bin Ausajah mendapat tugas mengumpulkan dana, membeli senjata, dan mengambil baiat warga Kufah. Di padang Karbala, ketuaan Muslim sama sekali tidak menghalangi kelincahan geraknya. Satu-persatu orang-orang yang berada di hadapannya terjungkal. Akhirnya pasukan Ibnu Ziyad mengambil insiatif untuk menghujaninya dengan batu. Muslim tersungkur bersimbah darah. Sebelum melepas nyawa, dia memandang sahabatnya, Habib bin Madhahir dan berpesan untuk tidak meninggalkan Imam Husein.

Habib bin Madhahir
Di Karbala, Habib bin Madhahir mungkin yang paling tua diantara para sahabat Imam Husein. Meski tua, Habib adalah pecinta sejati Ahlul Bait. Kehadirannya di tengah rombongan keluarga Nabi memberikan semangat tersendiri. Di malam tanggal sepuluh Muharram, atau malam pembantaian, wajah Habib terlihat berseri-seri. Tak jarang dia melempar senyum kepada anggota rombongan yang lain. Ada yang mempertanyakan mengapa dia tersenyum di malam yang mencekam ini? Habib menjawab, “Ini adalah saat yang paling indah dan menyenangkan. Sebab tak lama lagi, kita akan berjumpa yang Tuhan.”
Di bawah terik mentari Karbala, Habib berlaga di tengah medan. Usia lanjut tidak menghalangi kelincahannya memainkan pedang. Habib sempat melantunkan bait-bait syair yang menunjukkan keberanian dan kesetiannya kepada Nabi dan kebenaran risalah Nabi. Jumlah pasukan dan kelengkapan militer yang ada di pihak musuh tidak membuatnya gentar. Sebab baginya, kemenangan bukan hanya kemenangan lahiriyah. Kematian di jalan Allah adalah kemenangan besar yang didambakan para pecinta seperti Habib. Ayunan pedang tepat mengenai kepala putra Madhahir dan membuatnya terjungkal. Darah segar membahasi janggutnya yang putih. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Habib sempat melempar senyum ke arah Al-Husein yang memberinya kata selamat menjumpai surga. Habib gugur setelah melagakan kepahlawanan dan kesetiaan.

Nafi’ bin Hilal
Nafi’ bin Hilal, adalah pahlawan Karbala yang dikenal sebagai perawi hadis, qari, dan sahabat dekat Imam Ali a.s. Kesetiaannya kepada Ahlul Bait telah ia tunjukkan dalam perang Jamal, Siffin, dan Nahrawan dalam membela Imam Ali a.s., ayah Imam Husain. Di Karbala, bersama Abul Fadhl Abbas dan lima puluh orang sahabat Imam Husein, Nafi’ memporak-porandakan barisan musuh untuk sampai ke sungai Furat. Setelah melalui pertempuran sengit, pasukan Imam Husein berhasil mengambil air dan mengirimnya ke perkemahan. Sahabat setia Al-Husien ini dikenal sebagai pemanah mahir. Setelah berhasil membunuh 12 orang dan melukai beberapa orang lainnya, Nafi’ bin Hilal gugur sebagai syahid.

Burair bin Khudhair
Di tengah pasukan Imam Husein yang hanya berjumlah beberapa puluh orang, terdapat beberapa orang yang dikenal sebagai orang ahli ibadah dan zuhud, diantaranya adalah Burair bin Khudhair. Warga Kufah amat menghormati Burair dan menyebutnya sebagai guru besar Al-Qur’an. Ketinggian iman Burair tampak di malam Asyura. Burair yang biasanya jarang bergurau, malam itu menggoda Abdurrahman Al-Anshari, salah seorang sahabat Imam Husein. Kepadanya Abdurrahman berkata, “Wahai Burair, malam ini tidak sewajarnya engkau bergurau.” Burair menjawab, “Sahabatku, tahukah engkau bahwa sejak muda aku tidak gemar bercanda. Tapi malam ini aku sangat bahagia. Sebab jarak antara kita dan surga hanya beberapa saat. Kita hanya perlu sejenak menari-narikan pedang untuk menyambut pedang-pedang musuh mencabik-cabik tubuh kita, lalu terbang ke surga.” Burair gugur syahid dan namanya abadi. Dia telah mengajarkan kesetiaan kepada agama dan kecintaan kepada Allah, Rasul dan Ahlul Bait.


Kemenangan dalam berjuang tidak selalu berbentuk kemenangan lahiriyah. Adakalanya gugur dalam perjuangan juga merupakan sebuah kemenangan besar. Tak salah bila ada pepatah yang mengatakan: darah mengalahkan pedang. Kisah Karbala adalah salah satu contohnya. Meski sejak awal, seluruh anggota rombongan Imam Husein telah mengetahui bahwa mereka adalah kafilah yang bergerak menuju kematian, tetapi cita-cita luhur dan keyakinan akan kemenangan dengan syahadah membuat mereka mantap melangkah. Kami masih bersama Anda dengan pembicaraan seputar tokoh-tokoh kebangkitan Asyura dan drama yang mereka pentaskan di Karbala.
* * *
Ali Akbar bin Husain as
Ketika rombongan Imam Husein memasuki padang Karbala, terlihat barisan pasukan Ibnu Ziyad yang berbaris bagai batang-batang korma di tengah sahara. Menyadari bahwa ribuan orang bersenjata lengkap yang berada di sana berniat membantai Al-Husein dan keluarganya, Ali Akbar putra Imam Husein bertanya kepada ayahnya, “Ayah, bukankah kita berada di pihak yang benar?” Imam menjawab, “Iya.” Mendengar jawaban itu Ali Akbar berseru, “Kalau begitu tidak alasan bagi kita untuk merasa ragu dan gentar.”
Saat Ali Akbar maju ke medan tempur untuk menunjukkan kesetiaannya kepada sang ayah dan imam yang ia ikuti, Al-Husein dengan berlinang air mata memandang nanar ke arah putranya dan berkata, “Ya Allah, saksikankah pemuda yang paling mirip wajah, tutur kata dan perangainya dengan Rasul-Mu, kini maju ke medan tempur. Selama ini, kami mengobati kerinduan kepada Nabi dengan memandangnya. Ya Allah, jauhkan mereka dari barakah bumi ini dan cabik-cabiklah barisan mereka.”
Ali Akbar maju dan dengan gesit dia menari-narikan pedangnya. Beberapa orang yang menghadangnya terjerembab ke tanah terkena sabetan pedang putra Al-Husein. Tak lama kemudian, kisah kepahlawanan dan kesetiaan Ali Akbar menjadi lengkap setelah sebilah pedang mendarat di tubuhnya. Ali Akbar jatuh tersungkur dan musuh-musuh berhamburan menyambutnya dengan mendaratkan pukulan pedang bertubi-tubi ke tubuh pemuda tampan itu. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Ali Akbar berseru kepada ayahnya dengan mengatakan, “Ayah, Rasulullah telah memberiku air. Beliau menunggu kedatanganmu.” Cucu Rasul itu gugur syahid dengan meninggalkan pelajaran berharga tentang kesetiaan dan pengorbanan dalam membela kebenaran.

Qasim bin Hasan as
Mungkin kisah Qasim putra Imam Hasan as di Karbala adalah kisah yang paling menarik tentang kesetiaan dan pengorbanan. Kemenakan Imam Husein yang saat itu masih sangat belia, yaitu berusia kurang dari lima belas tahun, telah menyuguhkan pelajaran yang amat berharga. Di hari Asyura, saat pembantaian di Padang Karbala berlangsung, Qasim menatap pilu medan laga. Imam Husein mendatanginya dan bertanya, “Qasim, bagaimana engkau memandang kematian?” Qasim menjawab, “Kematian bagiku lebih manis dari madu.” Ya, remaja belia yang terdidik di rumah kenabian dan wilayah itu telah hanyut dalam cinta rabbani dan tak sabar menunggu saat-saat yang paling indah bertemu dengan sang Pencipta. Qasim maju ke medan laga dan gugur sebagai syahid.

Jaun bin Abi Malik
Jaun bin Abi Malik, adalah bekas budak Abu Dzar Al-Ghifari yang kemudian mengabdi di rumah Imam Ali, Imam Hasan, dan terakhir di rumah Imam Husein as. Di siang hari Asyura, Jaun dari dekat menyaksikan dan merasakan penderitaan yang dialami oleh keluarga Nabi dan para pengikut setia mereka di Padang Karbala. Meski tidak terlibat dalam konflik, Jaun tidak mau tinggal diam. Dia bangkit dan meminta ijin kepada Imam Husein untuk mempersembahkan darahnya dalam membela keluarga Nabi. Imam Husein yang terkenal bijak mengatakan, “Wahai Jaun, jangan celakakan dirimu. Engkau telah kumerdekakan.”
Jaun menangis, dan sambil mencium kaki tuannya, dia berkata, “Tuanku, selama ini aku hidup sejahtera di rumahmu. Aku tidak bisa tinggal diam menyaksikan engkau dan keluargamu menghadapi kesulitan ini. Demi Allah aku tidak akan meninggalkanmu sampai darahku bercampur dengan darahmu yang suci.” Budak berkulit hitam itu menunjukkan kesetiaan seorang hamba kepada tuannya. Jaun mengajarkan makna sejati dari balas budi. Setelah mendapat ijin, bekas budak Abu Dzar itu maju ke medan laga dan mempertontonkan semangat pengorbanan untuk keluarga Rasul. Untuknya Imam Husein berdoa, “Ya Allah putihkan wajahnya, masukkanlah ia ke dalam golongan orang-orang yang baik dan jangan pisahkan dia dari keluarga Muhammad.”

Wahb bin Abdullah
Wahb bin Abdullah adalah salah seorang pengikut setia Imam Husein. Sebelum bertemu Imam Husein, Wahb adalah pengikut agama Nasrani. Di tangan Imam Husein, dia dan ibunya masuk Islam. Saat berada di padang Karbala bersama Imam Husein, Wahb baru 17 hari menikah. Sebagai bukti kesetiaan kepada penghulu pemuda surga dan pemimpin umat itu, Wahb maju ke medan tempur. 24 penunggang kuda dan 24 prajurit pejalan kaki berhasil ditumbangkannya. Namun Wahb berhasil ditangkap dan dibawa menghadap Umar bin Saad komandan pasukan Ibnu Ziyad.
Wahb gugur syahid setelah Ibnu Saad mengeluarkan perintah pemenggalan kepalanya. Kepala tanpa badan itu dikirim ke perkemahan Imam Husein. Ibu Wahb dengan bangga mencium kepala anaknya yang gugur dalam membela kebenaran. Kepala itu dilemparkannya ke arah musuh sambil berkata, “Aku tidak akan mengambil kembali apa yang telah kupersembahkan untuk Islam.” Tak cukup dengan persembahan itu, wanita tua itu mengambil sebatang kayu dan berlari ke arah musuh. Ibu Wahb ingin menyusul anaknya yang telah mendahuluinya terbang ke surga. Namun Imam Husein mencegahnya dan mendoakan kebaikan untuknya.
Kisah pengorbanan sahabat Nabi dalam perang Uhud yang menjadikan tubuhnya sebagai perisai hidup untuk melindungi Rasulullah, terulang kembali di padang Karbala. Di hari Asyura, pasukan Ibnu Ziyad tidak memberikan kesempatan kepada Imam Husein dan para sahabatnya untuk melaksanakan kewajiban shalat. Saat Imam Husein berdiri untuk mengerjakan shalat berjemaah dengan para sahabatnya, Said bin Abdillah Al-Hanafi berdiri melindungi putra Fatimah itu dari terjangan tombak dan anak panah yang meluncur ke arah Imam Husein. Tubuh Said dipenuhi oleh tombak dan anak panah.
Said roboh. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya ia berkata, “Ya Allah, sampaikan salamku kepada Nabi-Mu Muhammad. Katakan kepada beliau bahwa luka-luka di sekujur tubuhku ini kudapatkan ketika melindungi dan membela cucu kesayangannya yang tengah memperjuangkan agama dan kebebasan.” Mata sayu Said untuk beberapa saat memandang wajah pemimpinnya. Dia berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah aku sudah melaksanakan janji setiaku?” Imam Husein menjawab, “Ya, engkau telah mendahuluiku masuk ke surga.”

Abis bin Abu Syubaib Al-Syakiri
Kisah Abis bin Abu Syubaib Al-Syakiri di Karbala adalah kisah cinta yang luhur. Selain dikenal pemberani dan piawai dalam bertarung di medan tempur, Abis juga terkenal sebagai ahli ibadah dan rajin melaksanakan shalat tahajjud. Di malam Asyura, Abis mendatangi kemah Imam Husein. Kepada beliau, Abis mengatakan, “Demi Allah, tidak ada seorangpun di dunia ini yang kucintai dan aku hormati lebih dari dirimu, wahai putra Rasulullah. Jika ketulusan cinta ini dapat aku tunjukkan dengan mengorbankan sesuatu yang lebih berharga dari jiwa dan ragaku, pasti akan kulakukan.” Abis gugur syahid setelah pasukan musuh yang kewalahan dalam menghadapinya, menghujaninya dengan batu-batuan



Apa Pendapat Ulama Ahlussunah tentang Pelopor Jama’ah Takfiriyah (Ibnu Taimiyah)

Jika kita menelaah asal-usul kemunculan Wahabisme niscaya kita akan dapati ada tiga periode; kemunculan, kemandekan dan kejayaan. Kemunculan keyakinan ini berawal dari Ibnu Taimiyah al-Harrani yang bercita-cita menghidupkan kembali metode (manhaj) Salaf Saleh yang selama ini dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal. Namun Ibnu Taimiyah terlampau over (ekstrim) dalam mengadopsi pemikiran Imam Ahmad sehingga ia harus berbenturan dengan para ulama Ahlusunah wal Jamaah, bahkan dari pengikut mazhab Hambali sekalipun. Sehingga imbas dari perbuatannya tersebut akhirnya ia harus keluar-masuk penjara akibat vonis para hakim (Qodhi) dari berbagai mazhab, dan mati dalam keadaan terhina dan dihinakan di dalam penjara. (Lihat pengakuan Ibnu Katsir –salah seorang murid Ibnu Taimiyah- dalam kitab “al-Bidayah wa an-Nihayah” jilid 14 halaman 4 dan 52)

Masa selanjutnya adalah masa kemandekan dimana masa ini lebih banyak diperankan oleh murid-murid Ibnu Taimiyah, pemegang estafet keyakinan dan ajaran Ibnu Taimiyah yang telah menyimpang dari Ahlusunah wal Jamaah. Salah satu murid Ibnu Taimiyah yang paling menonjol saat itu adalah Ibnu Qoyyim al-Jauzi. Namun tentu ia tidak dapat bergerak bebas sepeninggal gurunya, selain ia juga tidak sesembrono gurunya yang mengobral pemikiran-pemikiran sesatnya dihadapan khalayak. Atas dasar itu, pada kala itu pemikiran Ibnu Taimiyah bisa dikatakan mengalami kemunduran yang amat drastis.

Selang beberapa abad setelah kematian Ibnu Taimiyah, muncul seorang bernama Muhammad bin Abdul Wahab An-Najdi. Dialah yang berhasil menghidupkan kembali ajaran Ibnu Taimiyah yang sempat mandek. Dengan dukungan Ibnu Saud (keluarga dinasi Saud) -yang disokong oleh kolonial Inggris dalam melumpuhkan kabilah-kabilah Arab kala itu- Muhammad bin Abdul Wahhab berhasil menjadikan ajaran hasil pengembangan/adopsi dari ajaran Ibnu Taimiyah sebagai mazhab resmi wilayah yang dikuasai oleh kerajaan Arab Saudi. Semenjak itu, ajaran sesat dan menyesatkan itu lebih identik dengan sebutan Wahaby, nisbah kepada ayahnya, Abdul Wahhab.

Di sini akan kita sebutkan beberapa pemikiran Ibnu Taimiyah yang tidak sesuai dengan ajaran para Salaf Saleh dan mayoritas mutlak Ahlusunah wal Jamaah. Namun ia telah mengklaim bahwa semua pendapatnya itu atas akidah yang dimiliki oleh Salaf Saleh:

1- Pengharaman Shalat dan doa di sisi kubur para wali Allah. (Lihat: kitab karya Ibnu Taimiyah yang berjudul “Majmu’ah ar-Rasa’il wa al-Masa’il” jilid 1 halaman 60)

2- Pengharaman ziarah kubur. (Lihat: kitab Ibn Taimiyah yang berjudul “at-Tawassul wa al-Wasilah” halaman 156)

3- Pengharaman istighasah selain Allah. (Lihat: kitab Ibnu Taimiyah yang berjudul “al-Hadiyatu as-Saniyah” halaman 40) Ditempat lain Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa barangsiapa yang mengatakan hal itu harus bertaubat dan jika tidak maka ia layak untuk dibunuh. (Lihat: kitab karya Ibnu Taimiyah yang berjudul “Ziarat al-Qubur” halaman 17-18)

4- Pengharaman merayakan hari-hari besar keagamaan. (Lihat: kitab karya Ibnu Taimiyah yang berjudul “Iqtidha’ as-Sirath al-Mustaqim” halaman 293-294)

5- Pengharaman bersumpah dengan menyebut nama selain Allah. (Lihat: kitab Ibnu Taimiyah yang berjudul “Majmua’h ar-Rasa’il wa al-Masa’il” jilid 1 halaman 17)

6- Keyakinan Ibnu Taimiyah bahwa Allah berbentuk (Tajsim) selayaknya manusia (Anthropomorphis). (Lihat: karya Ibnu Taimiyah yang berjudul “al-Fatawa” jilid 5 halaman 192)

Ulama Ahlusunah pertama yang megkritisi tajam pendapat Ibnu Taimiyah dalam masalah pelarangan ziarah kubur nabi dan para wali Allah adalah Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakar al-Akhna’i (wafat tahun 763 H) yang bermazhab Maliki (Malikiyah) dalam sebuah risalah beliau yang berjudul “Al-Maqol Al-Mardhiyah fi Ar-Raddi ‘ala Ibni Taimiyah” yang argumentasinya disandarkan kepada hadis-hadis sahih dan dalil-dalil fikih. Namun dikarenakan keangkuhan dan kecongkakan Ibnu Taimiyah yang merasa dirinya paling benar –persis seperti yang dialami oleh kaum Wahaby sekarang ini- akhirnya ia menjawab karya syeikh al-Akhna’i tadi dengan menulis sebuah risalah yang diberi judul “ar-Rad ‘ala Al-Akhna’i”.

Jika Al-Akhna’i dari ulama Ahlusunah yang bermazhab Maliki, maka terdapat ulama lain yang dari mazhab Syafi’iyah (pengikut Imam Syafi’i) yang juga turut menentang pemikiran sesat Ibnu Taimiyah. Salah satunya adalah Taqiyuddin As-Subki As-Syafi’i (wafat tahun 756 H) yang beliau menduduki kedudukan ketua Qadhi (Qodhi Al-Qudhat) di wilayah Syam (sekarang Syiria). Beliau mengarang sebuah kitab yang diberi judul “Syifa’ul Asqom fi Ziyarat Khairil Anam”. Kitab itu ditulis dengan argumentasi yang kuat untuk mengkritisi pendapat Ibnu Taimiyah yang mengharamkan ziarah kubur Rasulullah saw. Sebegitu kuat dan menariknya kitab tadi sehingga menarik perhatian Maula Ali al-Qory seorang ulama pakar fikih yang bermazhab Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) yang akhirnya beliau mensyarahi kitab aA-Subki yang bermazhab Syafi’i. Kitab al-Qory tadi diberi judul “Syarh Syifa’i Al-Asqom”. Dalam kitab Thabaqot as-Syafi’iyah jilid 10 halaman 186 disebutkan bahwa as-Subki berkaitan dengan Ibnu Taimiyah mengatakan:

“Sesungguhnya pemikirannya (Ibnu Taimiyah) tidak sesuai dengan keyakinan mayoritas kaum muslimin dan ia telah menginovasi (membikin-bikin) dalam hal asas-asas keyakinan dan menentang tonggak-tonggak Islam…maka ia telah keluar dari pengikutan agama (al-Ittiba’) menuju mengada-ada agama (al-Ibtida’) dan melakukan keanehan dari mayoritas kaum muslimin”.

Contoh lain dari ulama Ahlusunah yang mengkritisi pendapat Ibnu Taimiyah adalah Nuruddin Ali bin Abdullah As-Samhudi Al-Mishri yang bermazhab Syafi’i (wafat tahun 911 H). beliau yang terkenal dengan sebutan Syeikhul Islam di Madinah telah mengarang kitab yang diberi judul “Wafa’ul Wafa’ bi Akhbar Darul Musthafa”. Dalam kitab yang pertama kali dicetak oleh negara Mesir pada tahun 1374 dengan cetakan empat jilid disebutkan secara detail pembahasan hadis-hadis yang berkaitan dengan pahala ziarah kubur Nabi, peringatan maulud Nabi, tawassul, istighatsah dan meminta syafa’at pasca kematian Rasul.

Ulama Ahlusunah terkemuka lain yang juga sangat getol mengkritisi pendapat Ibnu Taimiyah adalah Ahmad bin Muhammad bin Hajar Al-Haitsami (wafat tahun 973 H) yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Hajar al-Haitsami, seorang Syeikh Al-Islam kota Makkah dan mufti besar Hijaz (dataran Arab) yang telah mengarang kitab yang diberi judul “al-Jauhar al-Munaddham fi Ziarah Al-Kubur Al-Mukarram”. Dalam kitab tersebut Ibnu Hajar menjelaskan legalitas ziarah kubur Rasul dengan menggunakan dalil-dalil yang kuat termasuk dalil ijma’ (konsensus) ulama Ahlusunah wal Jamaah. Dalam kitab tersebut selain Ibnu Hajar menyebutkan dalil-dalilnya yang kuat. Beliaupun menukil beberapa pendapat ulama Ahlsunah lain tentang Ibnu Taimiyah. Salah satu yang beliau bawakan adalah pendapat ‘Izz bin Jamaah yang mengatakan:

“Dia (Ibnu Taimiyah) adalah lelaki yang sesat dan pembohong. Semoga Allah mengazabnya karena kesesatan dan kebohongannya dengan merasakan hidangan kehinaan di dunia sebelum merasakannya di akherat”.

Dalam karya lain Ibnu Hajar yang diberi judul “Al-Fatawa Al-Haditsiyah” (lihat: halaman 86) menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah menuduh para ulama Ahlusunah seperti Abu Hasan As-Subki dan puteranya Tajuddin, Syeikh Imam ‘Izz bin Jamaah dan para ulama Ahlusunah lain yang sezaman dengannya baik dari mazhab Syafi’iyah, Malikiyah maupun Hanafiyah sebagai pembohong dan pribadi-pribadi buruk. Oleh sebab itu, Ibnu Hajar dalam kitab tersebut mengatakan:

“Dia (Ibnu Taimiyah) adalah hamba yang dihinakan, disesatkan, dibutakan dan ditulikan oleh Allah…”. (Lihat: Al-Fatawa Al-Haditsiyah, halaman 86)

Satu lagi contoh dari tokoh ulama Ahlusunah yang mengkritisi tajam pendapat Ibnu Taimiyah. Beliau adalah Ibnu Hajar al-Asqolani (wafat tahun 852 H) pengarang kitab “Ad-Durar Al-Kaminah”. Dalam kitab tersebut beliau banyak menjelaskan tentang siapakah gerangan Ibnu Taimiyah beserta beberapa pemikirannya yang menyimpang. Beliau menjelaskan bahwa, dikarenakan Ibnu Taimiyah memiliki pemikiran yang bertentangan dengan keyakinan mayoritas kaum muslimin maka atas dasar itulah maka ia sering dinyatakan sesat dan menyesatkan oleh para ulama Ahlusunah dari mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah. Ibnu Taimiyah sering mengaku-ngaku sebagai pengikut salah satu ajaran Ahlusunah. Bahkan terkadang ia mengaku sebagai pengikut Syafi’i, terkadang ia mengaku sebagai pengikut Asy’ariyah, dan seterusnya. Padahal hal itu hanya sekedar pengakuan yang tidak memiliki dasar sama sekali. Dalam kitab tersebut, Ibnu Hajar menukil pendapat Al-Hishni Ad-Damsyiqi yang berkata untuk Ibnu Taimiyah dengan ungkapan:

“Dia adalah seorang Zindiq. Sesungguhnya keyakinannya adalah memuat ajaran penghalalan darah dan harta (kelompok lain .red)”. (Lihat: jilid 1 halaman 154)

Dan masih banyak lagi para ulama Ahlusunah dari berbagai mazhab yang menyatakan akan kesesatan ajaran Ibnu Taimiyah. Atas dasar itulah akhirnya Ibnu Taimiyah mendapat balasan setimpal di dunia sebelum mendapat siksa Allah di akherat kelak. Ia mati di dalam penjara akibat ajaran-ajaran sesatnya. Namun, setelah beberapa lama ajaran itu secara sembunyi-sembunyi disebarkan oleh pengikutnya yang salah satunya adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Setelah kedatangan Muhammad bin Abdul Wahab An-Najdi, ajaran Ibnu Taimiyah dimunculkan kembali dengan dukungan keluarga Saud yang mendapat sokongan kolonial Inggris.