Rabu, Desember 23, 2009

Muharram: Benarkah Tahun Baru Islam?

Tulisan ini semata-mata dimaksudkan sebagai kajian dan renungan ilmiah saja. Semua isinya mewakili pandangan saya pribadi. Siapa pun boleh setuju atau menolaknya. Yang pasti, tulisan ini dibuat tetap dalam kerangka dan semangat persaudaraan Islam. Semoga bermanfaat.

Seiring masuknya bulan Muharram, sebagian besar Muslimin merayakannya sebagai awal Tahun Baru Islam yang penuh sukacita dan semarak dengan berbagai kegiatan. Apalagi didukung oleh riwayat bernuansa kebahagiaan, seperti selamatnya Nuh dari banjir bandang, selamatnya kaum Musa dari Fir’aun, dan sebagainya, pada 10 Muharram (hari Asyura). Bahkan ditambah lagi dengan riwayat Puasa Asyura. Maka, semakin lengkaplah kegembiraan bulan ini.

Namun sebaliknya, ada sebagian kecil Muslimin yang justru bersedih di bulan Muharram. Seolah tak menghiraukan kegembiraan dan rasa syukur sebagian besar Muslimin tadi. Mereka justru menangis, meratap, dan memukul dada sebagai ekspresi kesedihan dan kepedihan yang dalam, sekaitan dengan bulan ini. Alangkah perbedaan yang sangat kontras. Mengapa demikian?

Saya mencoba membuka-buka sejarah seputar penetapan Tahun Baru Islam. Dari situ saya dapati bahwa penetapan Tahun Baru Islam dilakukan di masa Umar bin Khattab. Sebelumnya Muslimin menggunakan Tahun Gajah—tahun ketika Abrahah menyerbu Mekah untuk meruntuhkan Ka’bah—sebagai acuan penanggalan. Ada yang mengusulkan kepada Umar untuk menjadikan peristiwa bi’tsah Nabi saw sebagai awal penanggalan, atau pada riwayat lain Umarlah yang bertekat untuk memulai penanggalan dengan mengacu pada kelahiran atau bi’tsah Nabi saw. Namun, Ali bin Abi Thalib tidak menyetujui pandangan tersebut dan mengusulkan untuk menjadikan peristiwa hijrah Nabi saw sebagai awal penanggalan. Usul ini diterima dan ditetapkan oleh Umar pada tanggal 8 Rabi’ul Awal 17 H.[1] Oleh karena itu, nama tahunnya adalah Hijrah atau Hijriyah.

Namun demikian, terdapat pula riwayat lain, yang menyatakan bahwa penetapan penanggalan Islam telah dimulai sejak masa Nabi saw, atas perintah beliau sendiri, pasca pelaksanaan hijrah di bulan Rabi’ul Awal. Mereka (Muslimin saat itu) mengatakan bahwa peristiwa dimulainya penanggalan tersebut terjadi di bulan ini, setelah hijrah, dan berlanjut “hingga diperoleh satu tahun penuh.” [2] Sehingga, dari riwayat ini terlihat bahwa sistem penanggalan dimulai pada bulan Rabi’ul Awal dan diakhiri pada bulan Shafar. Syaikh Ja’far Subhani menegaskan bahwa riwayat inilah yang benar, berdasarkan bukti surat-surat yang dikirim oleh Nabi saw dan bukti-bukti lainnya.[3]

Pada peristiwa hijrah itu sendiri, Nabi saw tiba di Quba (sekitar 10 Km dari Madinah)—tepatnya di rumah Kultsum bin al-Hadam—hari Senin, 12 Rabi’ul Awal. Perjalanan tersebut ditempuh Nabi saw sekitar sembilan hari, setelah sebelumnya bersembunyi di Gua Tsaur (sekitar 5 Km di selatan Mekah) selama tiga hari. Ini berarti awal hijrah Nabi saw adalah 1 Rabi’ul Awal. Sementara, Ali bin Abi Thalib baru melakukan hijrah setelah tiga hari keberangkatan Nabi saw dari Gua Tsaur, dan ia sampai di Quba hari Kamis, 15 Rabi’ul Awal. Esok harinya, barulah Nabi saw berangkat ke Madinah.[4] Sementara itu, riwayat lain juga menyebutkan secara tegas bahwa Nabi saw mengawali hijrah pada 1 Rabi’ul Awal.[5]

Sehingga, dengan melihat tarikh tersebut, mengapa tiba-tiba Tahun Baru Islam jatuh pada 1 Muharram, padahal bulan ini sama sekali tidak terkait dengan peristiwa hijrah Nabi saw? Kalaupun, seandainya yang dilihat adalah tahun hijrahnya Nabi saw dengan tidak memperhitungkan bulannya, maka mengapa mesti dipilih bulan Muharram, sementara masih ada bulan lainnya? Mengapa tidak memilih saja bulan yang justru terkait dengan peristiwa hijrah Nabi saw? Apalagi, kenyataannya penggunaan Muharram sebagai awal tahun merupakan tradisi bangsa Arab pra-Islam.

Sementara itu, sekaitan dengan riwayat seputar peristiwa keberuntungan para nabi di hari Asyura, selain tercantum pada jalur Ahlusunah, juga tercantum pada jalur Syiah. Namun, Al-Majlisi dan ulama Syiah lainnya telah jauh-jauh hari menyatakan bahwa riwayat tersebut dha’if (lemah) dan bohong. Apalagi diperkuat pula oleh penjelasan Maitsam al-Tammar (salah seorang murid dan sahabat dekat Ali bin Abi Thalib) tentang kebohongan riwayat tersebut. Maitsam berkata, “Mereka berdalih dengan hadis yang mereka buat bahwa Asyura merupakan hari di mana Allah mengampuni Adam, padahal peristiwa ini terjadi pada Dzulhijjah. Mereka berdalih bahwa pada hari itu Allah menerima taubat Dawud, padahal peristiwa ini juga terjadi pada Dzulhijjah. Mereka berdalih bahwa pada hari itu Allah mengeluarkan Yunus dari perut ikan Paus, padahal peristiwa ini terjadi pada Dzulqa’dah. Mereka berdalih bahwa pada hari itu bahtera Nuh berlabuh di Gunung Judi, padahal peristiwa ini terjadi pada 18 Dzulhijjah. Mereka berdalih bahwa pada hari itu Allah membelah laut untuk keselamatan Bani Israel, padahal peristiwa ini terjadi pada Rabi’ul Awal.”[6]

Mengenai riwayat Puasa Asyura, beberapa ulama Islam juga meyakini kelemahannya. Riwayat yang kerap digunakan sebagai dalil adalah: Setelah Nabi saw berhijrah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Kemudian beliau bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian berpuasa?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari baik, ketika Allah menyelamatkan Bani Israel dari musuh mereka (Fir’aun). Karenanya, Musa berpuasa pada hari ini.” Rasulullah saw menjawab, “Aku lebih berhak atas Musa daripada kalian.” Beliau lalu berpuasa pada hari itu dan memerintahkan Muslimin untuk juga berpuasa.[7]

Terdapat beberapa kejanggalan pada riwayat ini:[8]
1. Orang-orang Yahudi hanya mengenal satu jenis puasa, yaitu Puasa Pertobatan, yang dilakukan pada hari Yom Kippur. Mereka memperingatinya sebagai hari kesedihan, karena dipindahkannya Tabut Musa dari Gunung Sinai. Peristiwa ini terjadi pada hari kesepuluh di bulan Tisyri (bulan ketujuh pada kalender Yahudi).
2. Berdasarkan riwayat di atas, dialog itu terjadi pada Muharram setelah hijrah. Dari penelusuran diperoleh bahwa Muharram saat itu kurang lebih bertepatan dengan 5 Juli 623 M. Sementara, Tisyri selalu bertepatan dengan September-Oktober.
3. Peristiwa selamatnya Bani Israel dari Fir’aun terjadi di bulan Abib (bulan pertama pada kalender Yahudi). Berarti kurang lebih bertepatan dengan Maret-April.

Dengan demikian, bulan Muharram saat itu tidak terkait sama sekali dengan peristiwa puasa Yom Kippur dan selamatnya Bani Israel dari Fir’aun. Dari analisis ini saja terlihat bahwa riwayat tersebut dha’if (lemah).

Selain itu, riwayat-riwayat lain—baik dari jalur Ahlusunah maupun Syiah—juga menegaskan bahwa Nabi saw meninggalkan Puasa Asyura setelah hijrah, di antaranya:
1. Abdullah meriwayatkan bahwa suatu hari Asy’ats datang ke rumahnya, sementara ia sedang makan. Asy’ats segera berkata, “Ini hari Asyura.” Aku menjawab, “Memang puasa dilakukan pada hari itu, sebelum kewajiban Puasa Ramadhan turun. Tetapi, ketika kewajiban Puasa Ramadhan telah turun, maka Puasa Asyura ditinggalkan. Jadi, ikutlah makan bersamaku.”[9]
2. Ibnu Umar berkata, “Nabi saw berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan Muslimin untuk juga berpuasa pada hari itu. Ketika kewajiban Puasa Ramadhan turun, maka beliau meninggalkan Puasa Asyura.”[10]
3. Saat Muhammad al-Baqir ditanya tentang Puasa Asyura, ia menjawab, “Puasa tersebut dilakukan sebelum turunnya kewajiban Puasa Ramadhan. Ketika kewajiban Puasa Ramadhan telah turun, maka Puasa Asyura ditinggalkan.”[11]
4. Di saat yang lain, ketika Muhammad al-Baqir ditanya tentang Puasa Asyura, ia menjawab, “Puasa ini telah ditinggalkan dengan turunnya kewajiban Puasa Ramadhan. Dan segala yang ditinggalkan itu bid’ah.” Demikian halnya dengan Ja’far ash-Shadiq, saat ditanya tentang Puasa Asyura, ia menjawab persis seperti jawaban ayahnya itu. Bahkan ia menambahkan, “Adapun puasa pada hari itu tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an, tidak pula oleh Sunah Nabi saw, kecuali sunah keluarga dan pengikut Ziyad dalam rangka (merayakan) terbunuhnya al-Husein.”[12]

Sebaliknya, dari kitab-kitab tarikh yang sedemikian banyaknya—baik dari jalur Ahlusunah maupun Syiah—justru diperoleh fakta bahwa pada bulan Muharram telah terjadi peristiwa kezaliman terbesar di jagad raya ini atas keluarga Nabi saw. Yaitu terbantainya al-Husein di Karbala, beserta keluarga dan para sahabatnya, oleh Yazid bin Mu’awiyah dan pasukannya. Diriwayatkan bahwa al-Husein beserta rombongannya berangkat dari Mekah menuju Kufah, dan tiba di Nainawa (Karbala) pada 2 Muharram 61 H (atau semestinya 60 H). Sejak saat itu hingga 10 Muharram, ia diperlakukan dengan kejam, yang iblis sekalipun tak akan mampu melakukannya.[13] Sehingga, tragedi besar inilah yang menjadikan sebagian kecil Muslimin berduka, menangis, dan meratapinya, sebagaimana tersebut di awal tulisan ini.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa pengaitan Muharram dengan Tahun Baru Islam—berikut keberuntungan para nabi dan Puasa Asyura—menurut saya merupakan hasil rekayasa. Pengaitan tersebut mungkin dibuat pasca peristiwa Karbala, untuk memalingkan umat manusia dari tragedi alam terbesar itu dan menjauhkan mereka dari hujjah Allah di muka bumi. Sekalipun dengan cara mempertahankan tradisi penanggalan bangsa Arab pra-Islam. Karenanya, tak heran bila Ibn Sirin (w. 110 H) menyatakan, “Orang-orang, setelah melalui diskusi, secara bulat menyetujui penetapan awal tahun pada bulan Muharram,” yang sejatinya merupakan penegasan bahwa penanggalan Muharram hanyalah kesepakatan orang-orang tertentu di masanya.[14]

Dengan demikian, sudah semestinya Muharram (khususnya tanggal 1 hingga 10) dipenuhi dengan mengingat kesyahidan al-Husein dan berduka atas tragedi besar yang menimpanya. Ja’far ash-Shadiq berkata, “Allah menjadikan bagi kami Syiah, yang mereka bergembira atas kegembiraan kami dan bersedih atas kesedihan kami.”[15]

Murtadha Muthahhari, saat menjelaskan filosofi menangis atas tragedi al-Husein, berkata bahwa, “Menangisi seorang syahid tidak akan menjadikan seseorang lemah, karena menangis itu bersifat al-Ruh al-Ijtima’iyah (kebersamaan ruh), yang mendekatkan sang penangis dengan syahid yang ia tangisi. Sementara, tertawa bersifat al-Ruh al-Fardiyah (kesendirian ruh), yang hanya akan menyenangkan diri pribadi orang yang tertawa tersebut. Karena itu, setiap orang yang merasakan kerinduan pada orang lain akan memilih menangis dan bukan tertawa, yang dengan hal itu ia merasa dekat dengan orang yang dirindukannya.”[16]

Ya, menangisi al-Husein dengan ikhlas tidak akan menyebabkan seseorang menjadi lemah. Justru hal itu akan menjadikannya dekat dengannya. Sehingga, segala pelajaran dari misinya pada tragedi tersebut dapat diambil, khususnya dalam menolak segala bentuk kezaliman dan selalu berupaya menegakkan ajaran, hukum, dan kalimat Allah di muka bumi.

Tangisan sepanjang masa itu pulalah yang telah berhasil menggulirkan Revolusi Islam Ayatullah Khomeini. Sekaitan dengan ini, ia berkata, “Mengenalkan Islam kepada manusia, sembari menciptakan hubungan dekat dengan Asyura. Sebagaimana kita tetap memelihara keberlangsungan Asyura (salam atas pendirinya) dan tidak membiarkannya hilang, sehingga manusia masih berkumpul selama Muharram dan memukul dada mereka, maka kita sekarang harus mengambil tindakan untuk menciptakan gelombang protes menentang pemerintah. Biarkan masyarakat berkumpul, sementara para penceramah dan rauzakhwan[17] benar-benar membenahi persoalan pemerintahan di benak mereka.”[18]

Oleh Karena itu, dalam bulan Muharram ini, saya ingin mengucapkan bela sungkawa dan dukacita mendalam kepada Rasulullah saw dan keluarga beliau, serta kepada Muslimin dan Mukminin di mana pun mereka berada: A’zhamallahu Ujurana bi Mushibatil Husein ‘Alaihissalam bi Karbala. Mari kita ambil teladan dari al-Husein untuk menolak dan memerangi segala bentuk kezaliman, khususnya kezaliman Amerika, Zionis, dan antek-antek mereka. Akhirnya, saya ingin mengutip sebuah syair Muhammad Iqbal berikut komentarnya:

Gharib-o-sada-o-rangi’n hay dastan-e-Haram
Nihayat iski Husayn ibtida hay Ismail

Komentar:
Iqbal mengatakan bahwa peristiwa pembangunan Ka’bah itu sangat simpel dan menarik. Ismail menderita kepedihan yang sangat, dalam peristiwa itu. Ibrahim membersihkan Ka'bah dari berhala-berhala, dan meningkatlah kemuliaannya. Sungguh, batu pertama diletakkan oleh Ismail. Ia memberikan nyawanya sebagai korban, namun pengorbanan itu tidak lengkap, karena diganti seekor domba. Berdasarkan Al-Qur'an, pengorbanan agung (al-Dzibh al-‘Azhim) muncul di kemudian hari dan dilengkapkan oleh salah seorang keturunannya, yaitu al-Husein. Sehingga, puncak ruh kecintaan kepada Allah termanifestasi, ketika al-Husein mengorbankan nyawanya dan memelihara kehormatan Ka’bah.[19]

Berikut ini saya kutipkan pula pandangan beberapa orientalis Barat non-Muslim :
1. Edward Gibbon berkata, “Pemandangan tragis kematian Husein akan membangkitkan simpati para pembaca yang paling dingin (sekalipun).”[20]
2. Ignaz Goldziher berkata, “Sejak hari kelam Karbala, sejarah keluarga ini telah mengalami penderitaan dan penganiayaan terus-menerus. Hal ini diberitakan dalam syair maupun prosa, dalam literatur-literatur tentang para syuhada—khususnya Syiah, dan menjadikan berkumpulnya orang-orang Syiah pada sepertiga pertama Muharram, yang mana pada hari kesepuluh (Asyura) diadakan peringatan tragedi Karbala. Pemandangan tragedi itu juga ditampilkan dalam peringatan tersebut secara dramatik. “Hari Raya kami adalah majelis duka,” bunyi sebuah syair dari seorang pangeran Syiah yang mengingatkan akan banyaknya malapetaka yang menimpa keluarga Nabi. Tangisan dan ratapan atas kejahatan dan penganiayaan yang menimpa keluarga Ali, dan kedukaan atas para syuhada, menyebabkan peristiwa itu selalu dikenang. Bahkan dalam masyarakat Arab dikenal pepatah: Lebih mengharukan dari tangisan orang-orang Syiah.”[21]
3. Reynold Alleyne Nicholson berkata, “Husein jatuh, tertembus sebuah anak panah, dan para pengikut pemberaninya terbunuh di sampingnya, hingga yang terakhir. Kaum Muslim, dengan sedikit pengecualian, sepakat memusuhi Dinasti Umayyah serta menyatakan Husein sebagai syahid dan Yazid sebagai pembunuhnya.”[22]
4. Edward G. Brown berkata, “Peringatan atas peristiwa Padang Karbala yang ternoda darah—di mana cucu Rasulullah akhirnya jatuh dan dikelilingi jasad keluarganya yang terbunuh—sejak itu dibangkitkan setiap saat, bahkan secara terang-terangan, dengan dukacita mendalam serta kegairahan ruh, yang di hadapan semua itu rasa sakit, bahaya, dan kematian menjadi hal sepele.”[23]

Daftar Pustaka:
-------------------

[1] Tarikh Ya’qubi, jil. 2, hal. 135; Tarikh Thabari, riwayat dari Said ibn Musayyib.
[2] Tarikh Thabari, jil. 3, hal. 1250; ibid., jil. 5, hal. 2480.
[3] Syaikh Ja’far Subhani, Al-Sirah al-Muhammadiyah, hal. 103.
[4] Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Ishabah, jil. 3, hal. 55, no. 3150; Tarikh Thabari, jil. 1, hal. 106; Ibn Atsir, Tarikh al-Kamil, jil. 2, hal. 106; Syaikh Ja’far Subhani, Ar-Risalah, hal. 280-285, Penerbit Lentera; Syaikh Ja’far Subhani, Al-Sirah al-Muhammadiyah, hal. 99-104; Sayed Ali Asgher Razwy, Restatement of History of Islam, bab 18.
[5] Sayid Akhtar Rizvi, Martyrdom of Imam Husayn and The Muslim and Jewish Calendars, Jurnal Al-Serat, vol. 6, no. 3 dan 4, yang mengutip dari kitab Safinah al-Bihar, jil. 2, hal. 696.
[6] Syaikh Shaduq, Al-Amali, majlis ke-27, riwayat no.1; Syaikh Najamudin al-Thabasi, Shaum Asyura Baina Sunnah Nabawiyah wa al-Bid’ah Umawiyah, hal. 48-49.
[7] Shahih Bukhari, Kitab Shaum, jil. 2, hal. 251.
[8] Sayid Akhtar Rizvi, The Fast of Ashura, Journal Al-Serat, vol. 8, no. 3 dan 4.
[9] Shahih Bukhari, Kitab Tafsir, jil. 5, hal. 154-155.
[10] Shahih Bukhari, Kitab Shaum, jil. 2, hal. 226.
[11] Syaikh Shaduq, Man Laa Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 2, hal. 51; Al-Hurr al-‘Amili, Wasa’il asy-Syi’ah, jil. 10, hal. 459.
[12] Al-Kulaini, Al-Kafi, jil. 4, hal. 146; Syaikh Thusi, Al-Istibshar, jil. 2, hal. 134.
[13] Thabari, Tarikh al-‘Umam wa al-Mulk, jil. 6, Bab Peristiwa Pada 61 H; Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hal. 231-234; Ibn Atsir, Tarikh al-Kamil, jil. 4, hal. 46.
[14] Sayid Akhtar Rizvi, Martyrdom of Imam Husayn and The Muslim and Jewish Calendars, Jurnal Al-Serat, vol. 6, no. 3 dan 4.
[15] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 10, hal. 114, riwayat no. 1; ibid., jil. 44, hal. 287, riwayat no. 26.
[16] Murtadha Muthahhari, Syahid, khususnya pada bab Falsafah al-Buka’.
[17] Rauzakhwan adalah orang yang membawakan kisah-kisah seputar kesyahidan al-Husein, bahkan ia juga kerap menggubah syair tentang tragedi Karbala.
[18] Ayatullah Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, hal. 141-142, Penerbit Pustaka Zahra.
[19] DR. Ibrahim Ayati, A Probe Into The History of Ashura, Bab 50.
[20] The Decline and Fall of The Roman Empire, vol. 5, hal. 391-392.
[21] Introduction to Islamic Theology and Law, hal. 179.
[22] A Literary History of The Arabs, hal. 197.
[23] A Literary History of Persia, hal. 227.

Senin, Desember 21, 2009

Cinta Ahlul bait Upah Risalah Rasulullah Saw

قُلْ لا أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبى‏ وَ مَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فيها حُسْناً إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
Katakanlah (Wahai Rasulullah):"bahwa aku tidak meminta upah apapun dari kalian (atas risalah yang dibawa), kecuali kecintaan terhadap kerabatku dan barang siapa berbuat baik Kami akan menambahkan di dalamnya kebaikan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.

Poros Pembahasan

Ulama Ahli sunah terperangkap dalam praduga dan tafsir bi ra'y dalam menjelaskan ayat ini. Oleh karena itu, banyak pendapat yang begitu unik yang mereka kemukakan yang insya Allah pada pembahasan mendatang akan kami bahas. Sedangkan para ulama Syi'ah dengan bersandar kepada ajaran dan tuntunan Ahlul bait a.s. telah mengemukakan penafsiran yang jelas dan baik sekali.

Sekilas Tentang Ayat-ayat Sebelumnya

Untuk lebih mempermudah dalam memahami ayat Mawaddah ini, perlu dijelaskan secara global tentang ayat sebelumnya dan awal dari ayat ini yang tidak kami sebut di atas.
الَّذينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ
Dan mereka yang beriman dan beramal saleh, setelah menjelaskan nasib yang ditimpa oleh kaum durjana dan masa depan suram yang akan mereka jumpai, Allah Swt menggambarkan masa depan penuh gemilang kaum muslim yang telah mengkolaborasikan keimanan dengan amal saleh dan tidak mencukupkan diri dengan dua syahadat, akan tetapi lebih dari itu, mereka melakukan amal saleh dengan segala upaya. Dalam ayat mulia ini, selain pemaparan masa depan seorang mukmin yang beramal saleh juga menyebutkan tiga pahala yang akan mereka terima, di mana pahala kedua lebih baik dari pahala pertama dan pahala ketiga lebih istimewa dari pada pahala kedua.
  1. روضات الجنات Pahala pertama mereka adalah di hari kiamat mereka akan menempati surga. Di manakah روضات الجنات itu? Jawab, jika kita menelaah seluruh Al-Quran maka kalimat ini tidak akan dijumpai kecuali dalam ayat 22 surah Syura ini saja. Orang Arab menyebut taman yang hijau dan rindang, segar dan menyimpan banyak air dengan Raudhah. Terkadang kata ini juga digunkana untuk tempat genangan air. Hanya saja maksud kita dari kata ini dalam kajian kali ini adalah arti yang pertama yaitu taman yang rindang sejuk dan asri.
Soal; mengingat seluruh surga itu hijau dan rindang, lalu apa perlunya menyebut dengan jumlah tadi? Jawab, ini disebabkan selain surga mereka juga akan memiliki taman dan kebun lain yang khusus dihadiahkan bagi para hamba Allah Swt.
Hasilnya, pahala pertama yang akan dinikmati oleh seorang mukmin yang beramal saleh adalah tinggal di taman-taman surga.
  1. لهم مایشاؤن Orang mukmin yang melakukan amal saleh selain akan menghuni taman-taman surga itu, juga akan diberi imbalan lain berupa terkabulkannya segala hal yang mereka kehendaki. Sungguh ini merupakan nikmat materi yang teramat besar di mana apa yang diinginkan terwujud dan terealisasi.
  2. عند ربهمNikmat-nikmat surgawi gabungan antara nikmat materi dan non materi. Dari sisi materi, sebagaimana telah disebutkan, seorang mukmin yang beramal saleh berada pada posisi yang terbaik, dan dari sisi spiritual mereka juga demikian; karena mereka berada di sisi Allah Swt, itu adalah posisi para syahid yang disebut dalam surah Ali Imran ayat 169. Akan tetapi kita tidak mengetahui maksud dari di sisi tuhan mereka itu, serta berkah-berkahnya. Dia Mahatahu.
ذلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبيرُ  Itu merupakan keutamaan yang besar. Mengingat nikmat-nikmat tertinggi baik materi maupun non materi telah disiapkan untuk hamba-hamba mukmin yang beramal saleh, Allah menamakan semua itu dengan keutamaan yang besar. Dan saat Allah Swt yang Maha segala-galanya mengatakan keutamaan yang besar, maka kita sebagai manusia yang terbatas, sebesar apapun yang kita bayangkan akan terasa kecil dan nihil.
Hasilnya, tolok ukur penghambaan terhadap Allah dua hal: Iman dan amal saleh. Oleh karena itu, hal-hal lain seperti ilmu, kekayaan, harta dan kekuatan, posisi di tengah-tengah masyarakat semua akan bernilai dan berjarga saat berada di jalan keimanan dan amal saleh.

Penjelasan Dan Tafsir

Kecintaan Kepada Ahlul bait, Upah Risalah

Tanpa diragukan lagi, Rasulullah Saw dalam menyampaikan risalah dan mengemban tugasnya telah menerima berbagai kesulitan dan penderitaan; akan tetapi beliau sama sekali tidak meminta balasan kepada siapapun akan usaha mulia yang telah beliau lakukan. Di saat para sahabat datang dan menawarkan diri dengan berkata: Jika anda butuh materi; uang atau yang lain maka berapapun yang Anda minta akan kami berikan, maka turunlah ayat di atas[1] dan menjelaskan bahwa Rasulullah tidak akan meminta upah dari siapapun, selain cinta terhadap kerabat terdekatnya.
Dengan demikian, Rasulullah meminta upah jerih payah beliau mengemban tugas selama 23 tahun untuk Islam dan muslimin dengan kecintaan terhadap Qurba.

Siapakah Qurba itu?

Seluruh pembahasan ayat mulia ini bermuara pada maksud dari kata Qurba. Memang sebuah pertanyaan penting siapa gerangan Qurba yang menjadi upah jerih payah Rasulullah Saw dalam menyebar luasakan ajaran sucinya.
Sebagian ulama dan mufasir begitu mudah melewatkan kajian ayat mulia ini dan tidak menyibukkan dirinya dalam memahami kandungannya. Hal ini bisa jadi dikarenakan kandungan ayat ini tidak sesuai dengan praduga mereka dan memaksa mereka berbuat demikian. Padahal ayat ini memiliki kandungan yang begitu dalam. Untuk memahami keagungan ayat dan kandungannya ini cukuplah kita menyadur ungkapan para nabi di dalam Al-Quran tentang upah risalah ini.
Jika kita menelaah surah Asy-Syu'ara  kita akan mendapati bahwa masalah upah risalah para nabi sebelum Rasulullah; Nabi Nuh, Hud, Saleh, Luth dan Syu'aib juga telah disinggung. Akan tetapi semuanya tidak meminta upah apa-apa bahkan mereka juga tidak meminta kerabat mereka dicintai atau dihormati. Mereka hanya berkata:
وَ ما أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلى‏ رَبِّ الْعالَمينَ
"Dan aku tidak meminta dari kalian upah apapun, upahku hanya tuhan semesta alam".[2]
Bagaimana mungkin para nabi tidak meminta upah sedang Rasulullah Saw melakukannya?
Apakah posisi Rasulullah Saw lebih tinggi dari para nabi yang lain? Tanpa diragukan lagi, baginda Nabi Muhammad Saw sebagai penghulu para nabi lebih utama dari semua nabi dan rasul yang lain. Di dalam al-Quran disebutkan bahwa pada hari kiamat setiap nabi hanya saksi bagi ummatnya sendiri, sedang Rasulullah Saw saksi bagi semua saksi.[3]  فَكَيْفَ إِذا جِئْنا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهيدٍ وَ جِئْنا بِكَ عَلى‏ هؤُلاءِ شَهيداً
Kajian ini semakin sulit jadinya, di mana bagaimana mungkin Rasulullah Saw sebagai nabi yang paling utama meminta upah dari usaha yang dilakukannya sedang para nabi yang lain yang di bawahnya tidak memintanya?!
Soal: Apa tujuan Rasulullah Saw meminta upah semacam itu? Apakah itu untuk kepentingan dirinya sendiri; atau permintaan ini mengandung tujuan suci lain yang tersimpan yang kembali kepada kaum muslimin?
Jawab: untuk lebih memperjelas jawaban soal ini mari kita telaah dua ayat lain selain ayat Mawaddah ini.
  1. Dalam ayat 47 surah Saba' disebutkan:
قُلْ ما سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللَّهِ وَ هُوَ عَلى‏ كُلِّ شَيْ‏ءٍ شَهيدٌ
" (Wahai Rasulullah) katakanlah: apa yang aku minta dari upah maka itu untuk kalian, upahku hanya atas Allah Swt dan Dia Saksi atas segala sesuatu."
Ayat mulia ini, pada batas tertentu telah menyingkap sedikit tabir gelap yang menyelimuti ayat Mawaddah, dan menjelaskan bahwa Rasulullah Saw sama seperti para nabi yang lain tidak pernah mengharap imbalan dan upah, bahakan kecintaan terhadap Qurba pada hakikatnya kembali kepada masyarakat.
  1. Di dalam ayat 57 surah Furqan yang sebenarnya penjelas ayat 47 surah Saba' disebutkan faidah kecintaan terhadap Qurba:
قُلْ ما أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلاَّ مَنْ شاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلى‏ رَبِّهِ سَبيلاً
" katakanlah: Aku tidak meminta upah sama sekali kecuali orang yang ingin memilih jalan menuju tuhannya.
Ayat pertama menjelaskan bahwa upah risalah bukan untuk kepentingan Rasulullah Saw akan tetapi kembali kepada umat manusia. Pada ayat ini dijelaskan bahwa adanya upah risalah pada dasarnya demi keberlangsungan risalah dan keuntungannya kembali kepada risalah dan agama itu sendiri.
Dengan demikian, upah risalah sama sekali bukan untuk kepentingan Rasul, akan tetapi beliau sama seperti nabi-nabi yang lain tidak meminta upah, hanya saja upah risalah adalah kecintaan terhadap Qurba  yang secara tidak langsung menjadi sebab kelanggengan risalah. Nah, setelah memahami bahwa mawaddah terhadap Qurba memiliki kepentingan yang luar biasa maka logiskah jika kita melewatkan kajian tentangnya?

Qurba Menurut Kaca Mata Syi'ah

Ulama Syiah dengan renungan yang seksama mengenai ayat mulia ini bersepakat bahwa maksud dari Qurba  adalah Ahlul bait a.s. Dan tanpa diragukan lagi, wilayah merupakan rahasia keberlangsungan risalah dan sepadan dengannya. Oleh karena itu, upah ini (kecintaan terhadap Qurba) sesuai dengan risalah sendiri; di samping itu wilayah pada hakikatnya pembimbing manusia menuju Allah Swt.
Jika ayat Mawaddah ditafsirkan sesuai kajian mufasir Syi'ah maka kandungan ayat ini akan terlihat jelas begitu juga ayat-ayat yang berkaitan dengannya juga akan dipahami serta memberikan keserasian dan relasi logis di antara ayat-ayat itu. Yang menarik dalam doa Nudbah, yang merupakan sekumpulan khazanah keilmuan ilahiyah menyebut tiga ayat di atas dan menyimpulkan sebuah hasil yang baik bahwa para imam adalah jalan-jalan yang berakhir pada rahmat dan ridho ilahi.

Pendapat Ulama Ahli sunah Tentang Qurba

Ulam Ahli sunah memaparkan berbagai pendapat tentang hal ini, di mana semua pendapat tersebut tidak sesuai dengan ayat itu sendiri. Berikut ini beberapa contoh darinya:
  1. Salah satu pendapat itu adalah Qurba adalah kecintaan terhadap Ahlul bait Rasulullah Saw; akan tetapi kecintaan itu tanpa wilayah dan imamah, yang ada hanya hubungan dhahir dengan mereka.  Hanya yang perlu ditanyakan, apakah kecintaan sederhana semacam ini dapat disejajarkan dengan risalah ilahiyah? Atau cinta biasa tanpa wilayah dapat dijadikan sebagai upah risalah?
Selain itu, bagaimana mungkin Rasulullah meminta upah seperti itu padahal para nabi yang lebih rendah derajatnya dari beliau tidak melakukannya dan memintanya dari Allah Swt semata? Oleh karena itu tafsir dan pendapat di atas tidak dapat dibenarkan.
  1. Sebagian menafsirkan Qurba dengan pekerjaan-pekerjaan baik yang mendekatkan manusia kepada Allah Swt. Oleh karena itu Mawaddah Qurba berarti cinta terhadap segala kebaikan; cinta shalat, puasa, haji, jihad, silaturahmi, menghormati orang-orang besar dan perbuatan baik yang lain adalah upah risalah!
  2. Sebagian berpendapat فی dalam ayat Mawaddah bermakna lam, dengan demikian arti ayat demikian: upah risalahku adalah cintailah diriku; karena aku termasuk famili kalian. Kemudian dibuatlah silsilah yang begitu panjang dan membeber hubungan Rasulullah Saw dengan semua kabilah Arab.
Akan tetapi isykalan pendapat ini juga jelas:
Pertama, penggunaan kata fi dengan arti lam sangat jarang dipakai dan bukti hal pemakain itu dalam ayat ini tidak ada. Kedua, cinta Rasulullah tidak sepadan dengan risalah sendiri dan tidak mungkin dijadikan sebagai upah penyebaran risalah. Tafsir semacam ini pada hakikatnya merusak keagungan ayat mawaddah ini.
  1. Tafsir lain yang lebih lemah dari sebelumnya adalah cintailah kerabat kalian sendiri karena cinta kerabat kalian adalah upah risalah Rasulullah Saw.
Ketidak benaran tafsir ini begitu gamblang sekali dan tidak butuh pada penguraian, karena bagaimana mungkin cinta keluarga sendiri menjadi upah risalah ilahi? Apakah dengan kecintaan semacam ini isalah lahi akan tetap langgeng. Iya begitulah jika kita terperangkap pada praduga yang menyimpang pendapat ini pasti akan muncul.
Apakah pendapat dan tafsir ini dan tafsir-tafsir sebelumnya sesuai dengan ayat itu atau jika seseorang sedikit saja mengetahui tata bahasa Arab dia akan mengetahui ketidak serasian tafsiran itu. Oleh karena itu tidak aneh jika para ulama pencetus tafsiran ini mengakui bahwa tafsir itu adalah metafora dan tidak hakiki.

Pengakuan Yang Tak Dapat Dihindari

Sebuah hal yang sangat menarik dan menggelikan adalah banyak para mufasir Ahli sunah yang menukil sebuah riwayat panjang dan detail dari Rasulullah Saw berkaitan dengan kecintaan terhadap Ahlul bait a.s.
Berikut ini riwayat tersebut yang dinukil dari Fakhr Razi: penulis kitab Kasyaf menukil dari Nabi Saw, di mana dia menukil 12 kalimat penuh makna dari baginda nabi Saw:
  1. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam keadaan syahid.
  2. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam keadaan terampuni dosa-dosanya.
  3. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam bertaubat.
  4. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam keadaan mukmin dan beriman sempurna.
  5. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam malaikat maut kemudian malaikat Munkar dan Nakir mengabarkan berita gembira dengan surga.
  6. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia seperti seorang pengantin perempuan dibopong ke rumah suaminya.
  7. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dibuka baginya di dalam kubur dua pintu menuju surga.
  8. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka Allah akan menjadikan kuburannya tempat ziarah para malaikat rahmat.
  9. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam keadaan berpegang kepada sunnah dan jama'ah.
  10. Barang siapa meninggal atas kebencian terhadap keluarga Muhammad Saw maka dia akan datang di hari kiamat dengan cidat ditulisi: orang yang putus asa akan rahmat Allah.
  11. Barang siapa meninggal atas kebencian terhadap kelauarga Muahmmad Saw maka dia mati dalam keadaan kafir.
  12. Barang siapa meninggal atas kebencian terhadap kelauarga Muahmmad Saw maka dia tidak akan pernah mencium aroma surga.
Sesuai riwayat ini, arti kalimat di atas adalah, barang siapa membenci keluarga Rasulullah Saw bukan hanya dia tidak akan masuk surga, tapi lebih dari itu dia selama 500 tahun akan terjauhkan dari surga oleh karenanya dia tidak akan mencium aroma surga tersebut. Al-hasil orang semacam ini akan jauh dari surga.
Bagaimana mungkin orang akan percaya ulama sebesar Fakhr razi menukil riwayat yang teramat penting itu dan dengan tanpa perenungan dan kajian yang cukup menafsirkan ayat mawaddah dengan kecintaan biasa terhadap mereka. Lebih aneh dari itu, setelah menukil riwayat di atas, dia mulai menjelaskan maksud dari keluarga Rasulullah Saw, seraya berkata:" Keluarga Muhammad Saw adalah orang-orang yang urusannya kembali kepada beliau, siapa yang hubungannya dengan beliau maikn kuat dan erat maka dia disebut dengan Al (keluarga). Dan tanpa ragu lagi, Fatimah, Ali, Hasan dan Husain memiliki hubungan yang terkuat dengan Nabi di banding orang yang lain. Hal ini termasuk hal yang disepakati dan dinukil dari hadis yang mutawatir.[4] 
Penukilan riwayat di atas dari ulama fanatik Ahli sunah adala hal yang unik sekali. Ungkapan semacam ini membuat kita yang menelaahi kitab tersebut ragu, apakah penulisnya seorang Sunni atau Syi'i?
Soal, dengan merujuk kepada teks ayat dan ayat-ayat yang berkaitan dengan ayat mawaddah serta dengan mengkaji riwayat yang detail di atas, apakah dapat dipercaya bahwa kecintaan yang menjadi poros pembahasan ayat dan riwayat itu adalah kecintaan biasa dan minus wilayah?
Apakah secara yakin tidak dapat diklaim bahwa kecintaan di atas adalah wilayah dan imamah secabagi keberlangsungan risalah Rasulullah Saw?
Jika tidak, tafsir apakah yang sesuai riwayat serta ayat-ayat yang disebut di atas?

Tafsir Mawaddah Dalam Ungkapan Imam Shadiq a.s.

Dalam riwayat yang dinukil dari Imam Shadiq a.s. disebutkan:" orang yang bermaksiat (pada dasarnya) tidak mencintai Allah.[5]
Oleh karena itu, barangsiapa yang menentang jalan Ali a.s. maka berarti dia tidak mencintai Allah, karena tujuan kecintaan hendaknya berada pada ketaatan. Oleh karenanya, cinta tanpa ketaatan bukanlah sebuah cinta.
Berikut ini sebuah kisah yang menarik: Hajib seorang penyair terkenal pernah menggubah sebuah bait-bait syiir berkenaan dengan imam Ali yang kandungannya demikian: Agar cinta terhadap Ali tertanam di dada maka cukuplah itu sebagai keselamatan kendati manusia tenggelam dalam lautan dosa. Ini adalah kecintaan semu dan gombal yang merupakan lampu hijau bagi para pendosa.
Dalam satu malam, Hajib melihat imam Ali a.s. dalam mimpinya di mana beliau bersabda: apa syair yang sedang kau lantunkan itu?! Hajib bertanya lalu apa yang harus aku lantunkan? Jika di hari mahsyar kita bersama Ali maka malulah terhadapnya dan sedikitlah berbuat dosa.
Oleh karena itu kecintaan berarti ketaatan terhadap Allah dan meninggalkan dosa.

Tafsir Ayat Mawaddah sesuai dengan Riwayat

Dalam menjelaskan dan menafsirkan ayat mulia ini banyak riwayat-riwayat yang beragam dari kalangan syiah maupun ahli sunnah. Berikut ini beberapa contoh darinya:
1.      Ahmad salah seorang pemuka ahli sunnah dalam kitabnya Fadhailus- Shahabah menukil riwayat dibawah ini dari Said bin Jubair dari Amir: “Saat  ayat mawaddah turun mereka bertanya: wahai Rasulullah siapakah kerabatmu itu? Siapa gerangan yang kecintaannya wajib bagi kita? Beliau menjawab mereka adalah Ali, Fathimah dan kedua putranya. Rasul mengatakan ini sebanyak tiga kali.[6]
Dari riwayat yang indah ini dapat disimpulkan beberapa poin penting:
a.     Riwayat di atas menjelaskan bahwa maksud dari pada kerabat nabi a.s. bukanlah beliau, bukan kaum muslimin dan bukan perbuatan baik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu kerabat itu tidak mencakup seluruh famili Rasulullah; akan tetapi hanya mencakup orang-orang khusuis yang namanya disebutkan di atas.
b.     Kesimpulan yang diambil dari poin pertama itu telah difahami oleh para sahabat saat itu, sehingga mereka tidak meraba-raba dan menerka seperti yang dilakukan ulama ahli sunnah setelah mereka dan para sahabat ini memahami bahwa kecintaan yang dimaksud khusus untuk para famili beliau, sehingga mereka meminta kejelasan dari pada rasul kerabat manakah yang dimaksud oleh ayat itu.
c.     Para sahabat nabi telah memahami kewajiban untuk mencintai Qurba dari ayat mawaddah sebagaimana difahami olrh seluruh ulama syiah dan ahlu sunnah terlepas dari maksud dari qurba itu. Akan tetapi kami  perlu mengulang soal ini kenapa kecintaan terhadap qurba itu diwajibkan?apakah masalah ini seperti sebagian hukum-hukum yang termasuk masalah taabbudi dimana filsafatnya tidak jelas bagi kita, atau falsafahnya jelas? Dan itu adalah kecintaan merupakan mukaddimah ketaatan dan mengikuti para pemuka agama.
Jika kita menginginkan penafsiran yang benar tentang ayat mawaddah dan beberapa ayat yang berkaitan dengannya berikut riwayat panjang yang dinukil oleh Fahr Razi juga riwayat di atas beserta riwayat-riwayat yang akan datang, maka kita harus mengakui bahwa kecintaan itu merupakan filsafah dari wilayah dan pemerintahan. Wilayah yang sejajar kedudukannya dengan risalah. Sebagaimana risalah pokok dari pada Islam maka wilayah akan keberlangsungannya.
Terlebih lagi jika kita mencermati bahwa kendati rasul memiliki sanak keluarga yang begitu banyak sepertyi Abbas bin Abdul Muthalib dan anak cucunya putra-putra Abu Thalib yang lain, putra-putra Abdul Muthalib yang lain dan cucu-cucunya, beliau hanya menunjuk fathimah, Ali, Hasan dan Husain saja, ini merupakan bukti yang sangat kuat bahwa yang dimaksud dalam masalah ini adalah wilayah dan imamamah. Dan jika yang dimaksud kecintaan biasa maka lazim bagi kita mencintai seluruh famili Rasulullah Saw.
2.      Marhum Thabrisi dalam Majmaul Bayan menukil sebuah riwayat dari Hakim Haskani, penulis Syawahidut-Tanzil dari Abu Umamah Bahili. Riwayat yang dinukil dari Rasulullah itu demikian: sesungguhnya Allah Swt menciptakan para nabi dari pokok yang berbeda-beda dan menciptakan aku dan Ali dari pokok yang satu, maka aku adalah aslinya, Ali cabangnya, Fathimah talqihnya, Hasan dan Husain buahnya, para pengikut kita daunnya, maka barang siapa berpegangan dengan rantingnya akan selamat sedang yang menyimpang akan tersesat. Jika seorang hamba menyembah Allah antara Shafa dan Marwah selama seribu tahun dan kemudian seribu tahun dan seribu tahun lagi sehingga dia laksana bejana kuno, kemudian dia tidak mencintai kami, maka (ibadah semacam ini ini tidak akan bermanfaat sama sekali, bahkan) Allah Swt akan mencampakkanya ke neraka. Kemudian beliau membaca ayat Mawaddah ini.[7]
Dari riwayat mulia ini juga dapat dipahami beberapa poin:
a.     Riwayat ini secara gamblang menafsirkan kata “mawaddah qurba dengan kecintaanterhadap Ahlul bait a.s. dan dari ungkapannya yang mencengangkan tadi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ini bukan sekedar kecintaan biasa. Akan tetapi sebuah kecintaan yang dibarengi oleh wilayah dan imamah.
b.     Riwayat ini pada hakikatnya gambaran dari ayat شجره طیبه [8]
c.     Daun sebuah pohon bertugas menjaga buah, jika sebuah pohon tidak memiliki daun maka buahnya akan rusak akibat sinar langsung matahari.
Tugas para Syi’ah sesuai riwayat ini adalah daun dari pohon mulia itu yang bertugas menjaga buahnya , yang tak lain adalah imamah dan wilayah.
d.     Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa ibadah di antara Shafa dan Marwah begitu utama tidak seperti tempat lain yang ada di Masjidil Haram, akan tetapi ibadah di tempat sesuci itupun tidak akan bernilai jika tidak dilandasi oleh imamah dan wilayah.
e.     Lagi-lagi kami ulangi, jika kecintaan yang sedang dibahas oleh hadis ini dan yang lainnya hanya kecintaan biasa, maka hadis ini akan mubham, akan tetapi jika kita artikan kecintaan itu dengan wilayah dan imamah maka hadis ini akan tampak jelas.
3.      Suyuthi dalam tafsirnya menukil sebuah riwayat masyhur ang dinukil dari Imam Sajjad a.s.: Saat para tawanan Karbala tiba di kota Syam, akibat propaganda yang begitu gencar yang dilancarkan oleh Mu’awiyah dan penguasa setelahnya, seorang penduduk kota itu berkata kepada Imam Zainal abidin a.s.: Syukur kepada Allah yang telah membogkar kebohongan dan tingkah busukmu! Ungkapan ini begitu keji dan pedas sekali, akan tetapi saat mengetahui bahwa ini adalah imbas dari ulah para penguasa bany Umayyah, beliau menjawab tudingan orang tersebut dengan tanpa kemarahan:
·        tidakkah anda membaca al-Quran?
·        Dia menjawab: iya.
·        Tahukan Anda siapakah aku sebenarnya?
·        Siapakah Anda?
·        Apakah Anda pernah membaca ayat mulia ini, قُلْ لا أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبى‏?
·        Iya, ayat ini berkaitan dengan kewajiban untuk mencintai keluarga Rasulullah Saw, lalu apa hubungannya ayat ini dengan Anda?
·        Qurba yang dimaksud oleh ayat itu adalah kami.
Saat orang tua itu mendengar hal ini, dia langsung terpukul dan tertegun dan akhirnya diapun bertaubat serta menyesali apa yang telah dia tuduhkan.[9]
Dari semua konteks dan bukti di atas dapat dipahami bahwa kecintaan dan mawaddah yang  ada pada ayat Mawaddah bukanlah kecintaan biasa melainkan kecintaan yang dibarengi dengan wilayah dan imamah.

Beberapa Poin Penting

1.      Sesuai beberapa ayat al-Quran kecintaan hendaknya menjadi sebab ketaatan dan penghambaan. Allah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 31:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوني‏ يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَ يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَ اللَّهُ غَفُورٌ رَحيمٌ
Katakanlah:" Jika kamu) benar- benar (mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa- dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Oleh karena itu, barng siapa mencintai seseorang maka dia harus mengikutinya, dan saat kita mengaku mencintai Ahlul bait a.s. maka kita harus mengikutinya jika tidak maka kecintaan kita perlu diragukan.
2.      Sebagaimana telah disebutkan, tanpa merujuk kepada seluruh riwayat dan ayat yang lain, ayat Mawaddah menjelaskan masalah imamah Amirul mukminin a.s. dan para imam yang lain. Dan dengan menelaah riwayat yang menjelaskan sebab turunnya, indikasi tersebut akan semakin jelas. Dan jika ayat ini disejajarkan dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah wilayah yang lain, seperti ayat Ikmal, ayat tablig, ayat Shadiqin dan seterusnya maka indikasinya akan semakin gmblang dan jelas.
3.      Ada dua isykalan yang dilontarkan oleh Alusi, mufasir terkenal Ahli sunah dalam kitabnya Ruhul ma’ani, di mana jawaban keduanya telah jelas dengan penjelasan di atas, berikut ini dua sanggahan itu:
a.     Bagaimana mungkin Rasulullah Saw meminta dari umat Islam untuk mencintai kerabatnya   sebagai upah atas jerih payah beliau menyampaikan risalah, padahal para nabi tidak ada satupaun dari mereka yang melakukannya?
Jawaban soal ini sudah jelas yaitu upah itu kembalinya kepada umat Islam sendiri bukan kepada beliau.
b.     Kalaupun kita menerima bahwa maksud dari ayat ini kecnitaan terhadap Ahlul bait a.s., akan tetapi apa hubungan antara kecintaan dan masalah imamah sebagaimana diklaim oleh kalangan Syi’ah?
Jawaban soal ini juga telah jelas bahwa upah segala sesuatu harus sesuai dengan kerja yang dilakukan, kecintaan yang sumber dan hasilnya adalah wilayah merupakan kecintaan yang sesuai dengan risalah. Sedang keintaan biasa minus wilyaha tentu tidak akan sekelas dengan risalah. Dan ketika kita meyakini bahwa Allah Swt Maha Bijak dan Dia patsi memberi upah dan balasan yang sesuai. Rasulullah juga manusia yang bijakyang pasti meminta upah yang sesuai pula. Dengan demikian maksud dari kecintaan yang sedang dibahas adalah wilayah dan imamah.

Pesan-pesan Ayat

Apa hakikat kecintaan yang disebut dalam ayat Mawaddah sebagai upah risalah ilahi itu? Apa arti dari kecintaan terhadap Amirul mukminin Ali a.s. dan para imam?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu disebutkan bahwa cinta itu ada dua macam: cinta asli dan cinta palsu.
Untuk lebih jelasnya, perlu diperhatikan sebab cinta itu apa? Kenapa kita mencintai Ali a.s.? karena hartanya? Karena kesempurnaannya? Karena ilmunya? Karena keberniannya? Karena kemurahan hatinya? Karena pengorbanannya? Karena jihad dan pembelaannya terhadap Islam dan Rasulullah Saw? Atau karena masalah lain? Jika kita mencintai beliau karena nilai-nilai terpuji yang diyakininya itu, maka apakah serpihan nilai-nilai tersebut ada pada diri kita? Jika sama sekali tidak ada, maka cinta kita itu semu dan palsu sedang jika hal-hal itu ada maka cinta kita itu sejati.
Salah satu nilai yang sangat ditekankan oleh amirul mukminin Ali a.s. adalah lebih mengedepankan hukum dan undang-undang dari pada hubungan dan relasi. Salah satu contohnya adalah kisah yang cukup terkenal berikut ini:
Setelah menanggung berbagai kemadzluman, akhirnya setelah beberapa tahun, Ali a.s. menduduki posisi yang telah dicanagnkan oleh Allah dan rasul-Nya yaitu menjadi pemimpin umat Islam. Aqil, saudara beliau yang miskin meninggalkan Madinah menuju pusat pemerintahan Islam, Kufah, dengan tujuan dapat menerima bagian baitul mal yang lebih banyak lagi. Mengingat panasnya kota kufah, imam menggelar makan siang di atas atap rumah, dan dengan hidangan ala kadarnya tidak seperti penguasa-penguasa lain. Oleh karena itu, Aqil tidak mau menyantap hidangan makan malam itu dan berkata:” makanan ini tidak cocok dengan seleraku, kurangilah bebanku supaya aku dapat kembali ke Madinah.” Imam Ali a.s. menjawab:” wahai saudaraku pasar kota Kufah dekat dari sini, di sana terdapat toko-toko yang dipenuhi dengan barang-barang yang mahal, ayo ke sana dan curilah apa yang engkau sukai!
Aqil menyanggah:” Saudaraku, memamngnya kita pencuri yang harus melakukan hal seperti itu?” Beliau menjawab:” tidakkah meminta sesuatu yang lebih dari baitul mal merupakan pencurian?
Kemudian Ali a.s. mengusulkan hal lain dan bersabda:” Aku mendengar sebuah rombongan akan datang ke kota Kufah, mari kita bedua menyongsong mereka dan merampok barang-barang yang engkau inginkan!”
Aqil kembali menyanggah:” Saudaraku, memangnya kita ini para penyamun sehingga harus melakukan hal tersebut?”
Ali a.s. menjawab:”memberi bagian lebih dari Baitul mal merupakan salah satu bentuk perampokan, lalu mengapa engkau memintaku untuk melakukannya?[10]
Kemudian Ali mendekatkan sebuah besi panas ke tangan saudaranya. Aqil saat mengetahui sang panglima tidak akan mengabulkan permintaanya yang menyimpang dari keadilan akhirnya bangkit dan pergi.
Sepanjang sejarah manusia adakah orang seorang saudara yang memiliki segalanya, kekayaan negara berada di bawah kakinya, tapi bertindak demikian kepada saudaranya atas nama keadilan.

Gradasi Cinta

Cinta seperti hal lain bergradasi dan bertingkat-tingkat. Cinta terhadap Amirul mukminin Ali a.s. juga demikian. Sebagian cintanya palsu, cinta yang diucapkannya hanya pemanis lidah semata dan tidak pernah mengakar dalam hati. Sebagian cinta tidak palsu dan bersumber dari hati akan tetapi cinta itu tidak mendalam. Dan kelompok ketiga mereka yang mencintai beliau dari lubuk hati yang paling dalam, sehingga seluruh wujudnya menjadi copian dari sang kekasih. Pergaulan, ucapan, akhlak dan semua tindak tanduknya kelompok ini adalah tindak tanduk Ali a.s. Ini merupakan tingkatan tertinggi dari rasa cinta, sebuah tingkatan di mana penyandangnya tidak akan rela cintanya tersebut ditukar dengan hal apapun bahkan lebih dari itu mereka rela mengorbankan jiwanya di jalan ini. Berikut ini sebuah contoh dari cinta yang sejatai:

Maitsam At-Tammar, Pecinta Sejati

Ali a.s. berkata kepada salah satu sahabat beliau yang sangat setia mencintai beliau:” Engkau di masa yang akan datang, akan digantung karena membelaku, jalanku dan kecintaanmu kepadaku. Saat itu apa yang engkau bayangkan?
Sang pecinta tidak takut dan gentar. Dia tidak menjauh dari Ali akan tetapi dia merasa bahagia seraya berkata:” wahai tuanku di manakah aku akan digantung?!
Ali a.s. menyebut sebuah pohon kurma yang ada di kota Kufah, di situlah engkau akan digantung.
Sang pecinta tidak merasa ciut hatinya dan juga tidak mau keluar dari kota tersebut, malah rasa cinta semakin berkobar di dadanya.
Setiap hari dia datang ke pohon tersebut, merawatnya, menyiraminya, shalat di sampingnya dan berdialog dengannya:” hai pohon kurma! Engkau diciptakan untukku dan aku diciptakan untukmu! Pada satu hari, karena cinta kepada Ali, aku digantung di sini.”

[1] Tafsir Nemuneh, jilid 20, halaman 402.
[2]Surah Syu'ara', ayat 109, 127, 145, 164 dan 180. poin ini juga disampaikan nabi-nabi yang lain dalam beberapa ayat Quran.
[3]Surah Nisa', ayat 41.
[4] Tafsir Fakhr razi, jilid 27, halaman 165 dan 166.  Asli riwayat ini dapat dirujuk di Tafsir Qurthubi, jilid 8, halaman 5843 dan tafsir Tsa'labi, dalam tafsir ayat ini.
[5] Raudlatul Mutaqin, jilid 13, halaman 156.
[6] Hqaqul-Haq, jilid 3, hal 2. Riwayat ini juga disebutkan dalam kitab Durul-Mantsur, jilid 6, hal 7.
[7]Majma’ul bayan, jilid 9, halaman 28.
[8] Surah Ibrahim, ayat 24.
[9] Ad-Durul mantsur, jilid 6, halaman 7.
[10] Biharul anwar, jilid 9, (cetakan Tabriz) halaman 613.(sesuai penukilan kitab Dastan rastan, jilid 1, kisah ke-38).

Ulil Amri

Ayat Ulil Amr

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا أَطيعُوا اللَّهَ وَ أَطيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنازَعْتُمْ في‏ شَيْ‏ءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَ الرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ ذلِكَ خَيْرٌ وَ أَحْسَنُ تَأْويلاً
Hai orang- orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Poros pembahasan
Ayat di atas yang juga dikenal dengan ayat Itha’ah adalah salah satu ayat yang secara tegas menjelaskan kepemimpinan Amirul mukminin Ali a.s. Kata kunci dalam ayat ini adalah Ulil Amr di mana pendapat yang beragam telah mengemuka dan nantinya akan kita bahas.
Penjelasan dan Tafsir
Siapakah Ulil Amr itu?
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا أَطيعُوا اللَّهَ وَ أَطيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ  Allah SWT dalam bagian ini memberitahukan kepada seluruh umat manusia di mana saja dan kapan saja hingga hari kiamat tentang kewajiban menaati tiga orang; Pertama, taat kepada Allah kemudian taat kepada Rasul-Nya  dan terakhir taat kepada Ulil Amr.
فَإِنْ تَنازَعْتُمْ في‏ شَيْ‏ءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَ الرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ Pada bagian kedua dari ayat ini telah dijelaskan rujukan kaum muslimin saat berselisih dan bersengketa, seakan-akan ayat ini sedang mencetuskan sebuah sistem peradilan independen; Allah berfirman, Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka mintalah kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menghukumi dan jangan kalian bawa masalah itu kepada pihak asing (musuh Islam).
Dengan memperhatikan adanya keimanan terhadap Allah dan hari kiamat, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa mereka yang tidak berlandaskan sumber-sumber Islam dalam menghakimi sesuatu maka pada hakikatnya mereka bukanlah orang-orang yang mukmin terhadap Allah dan hari kebangkitan tersebut.
Poin lain yang patut dipahami adalah pada awal ayat dan pada jajaran orang-orang yang wajib ditaati kita temukan nama Ulil amr; akan tetapi pada bagian kedua ayat itu di mana orang-orang yang harus dirujuk dalam pertikaian tidak disebutkan lagi nama Ulil Amr lagi. Poin ini merupakan salah satu soal penting dalam rangka memahami ayat ini yang insya Allah akan dibahas pada kesempatan mendatang.
ذلِكَ خَيْرٌ وَ أَحْسَنُ تَأْويلاً  Kalimat ini pada dasarnya merupakan sebab dari dua bagian ayat sebelumnya. Kenapa orang-orang beriman harus menaati Allah, Rasul dan Ulil Amr?
Kenapa dalam perselisihan tidak boleh memilih wasit dan hakim selain Allah dan Rasul-Nya? Karena tindakan semacam ini lebih baik bagi mereka dan sebaik-baik akibat.
Batasan ketaatan kepada Ulil amr
Ini merupakan hal penting dari ayat ini. Jika misdaq dari Ulil Amr ini jelas maka hal ini juga akan jelas pula. Karena para mufasir dalam hal siapakah Ulil Amr ini berbeda pendapat dan tak kurang 7 pendapat muncul ke permukaan.
Soal: sebelum membahas pendapat para mufasir tentang arti dari ulil amr, terlebih dahulu lazim bagi kita menjawab sebuah soal yang jawabannya itu akan banyak membantu lebih jernih dalam menyelami makna ulil amr. Apakah ketaatan terhadap Ulil Amr memiliki syarat-syarat atau seperti ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya; tanpa syarat dan batas apapun? Dengan ungkapan lain apakah ketaatan terhadap Ulil Amr terbatas pada satu masa, tempat dan lain-lain, atau ketaatan kepada wajib di segala situasi dan kondisi di mana dan kapanpun juga?
Jawab: Dhahir ayat mengatakan ketaatan kepada mereka mutlak dan tidak dibatasi oleh syarat-syarat apapun. Artinya dalam ayat ini, ketaatan terhadap mereka tidak disyaratkan mereka tidak melakukan kesalahan. Dalam ungkapan ketiga sebagaimana ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya secara mutlak wajib, maka kepada merekapun juga demikian. Oleh karena itu Ulil Amr harus terjaga dari kesalahan karena kewajiban taat kepada seseorang tanpa syarat tidak akan mungkin mengarah kepada seseorang yang berbuat kesalahan pastilah orang itu maksum dan terjaga darinya.
Bahkan para Marja’  taklid yang wajib ditaati oleh para muqallidnya jika melakukan kesalahan dalam sebuah perkara, maka dia sudah tidak dapat diikuti lagi. Sebagai sebuah contoh jika seorang marja’ saat malam ketiga puluh bulan Ramadhan tidak melihat hilal bulan Syawal dan memberitahukan bahwa puasa harus tetap dilakukan, sedang sebagain mukallidnya telah melihat hilal tersebut dengan mata kepala sendiri, maka dalam hal ini mereka tidak bisa bertaklid kepada marja’nya tadi, karena berkeyakinan marja’nya salah mengambil sebuah keputusan dalam masalah itu.
Oleh karena itu, ketaatan mutlak dan tanpa kenapa dan mengapa hanya dapat dilakukan kepada seseorang yang maksum dan tidak boleh dilakukan kepada selain mereka. Dan mengingat Allah SWT menyebut ketaatan kepada Ulil Amr itu mutlak maka kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa mereka adalah pribadi-pribadi yang maksum.
Pendapat-pendapat Tentang Ulil Amr
Berkenaan dengan tafsir Ulil Amr terdapat pendapat yang beragam, berikut ini penjelasan pendapat-pendapat tersebut;
1.   Ulil Amr adalah para pemimpin masyarakat sosial. Barang siapa dengan segala cara menjadi pemimpin masyarakat sosial dan pemimpin urusan-urusan kaum muslimin maka dia adalah Ulil Amr, dan tanpa kaid dan syarat  wajib ditaati. Walaupun kepemimpinan itu diraih melalui kekuatan, tanpa restu dari masyarakat dan orang yang fasik. Oleh karena itu, bangsa Mongolia yang begitu ganas jika mereka dapat menundukkan masyarakat Islam maka mereka wajib ditaati.
Ada beberapa ulam Ahli sunah yang mendukung pendapat ini.
Akan tetapi apakah pendapat semacam ini dapat diterima oleh akal sehat?
Tidakkah Allah SWT mengutus para Nabi-Nya untuk menebar keadilan? Lalu bagaimana mungkin seorang yang zalim menjadi pengganti Rasul dan memberangus keadilan?
Sesuai hukum Islam yang manakah tafsir Ulil Amr semacam ini muncul? Apakah pencetus pendapat ini berpikiran kalau seorang pemimpin yang memegang tampuk kepemimpinan dengan kudeta, lalu menginjak seluruh nilai-nilai  Islam, kemungkaran disebarkan dan makruf disingkirkan harus dianggap sebagai pengganti Rasul dan ketaatan kepadanya wajib dilakukan tanpa syarat?
Sayang sekali segelintir ulama mengiyakan pertayaan di atas dan pemimpin fasik seperti Mu’awiyah dan anaknya disebut sebagai Ulil amr.
2.   Sebagian dari para mufasir berkeyakinan bahwa pendapat pertama tidak dapat dibenarkan dan mereka meyakini Ulil Amr maksum; terbebas dari kesalahan dan dosa. Mengingat manusia terkadang melakukan kesalahan dan tidak maksum oleh karena itu maksud dari Ulil Amr adalah seluruh masyarakat Islam, dan tanpa diragukan lagi Umat Islam maksum dan tidak mungkin seluruh umat Islam bersalah. Kendati setiap individunya bersalah. Oleh karena itu sebagaimana ketaatan kepada Allah Swt dan rasul-Nya sebuah kewajiban maka mengikuti umat adalah kewajiban juga!
Akan tetapi kita dapat melihat jelas kesalahan teori ini; karena bagaimana mungkin pendapat seluruh umat Islam bisa didapatkan? Apakah untuk mendapatkan pendapat seluruh umat, tidak perlu menanyakan kepada semua individu yang ada? Jika dikatakan setiap individu tidak perlu mengeluarkan pendapat akan tetapi wakil-wakil mereka yang bermufakat. Kita akan tetap bertanya apakah mungkin pendapat para wakil-wakil muslimin itu dikumpulkan?
Biasanya, pengambilan pendapat dari para wakil-wakil umat Islam sekalipun merupakan hal sulit terwujud; kemudian jika pendapat keseluruhan itu tidak perlu yang penting tolok ukurnya adalah mayoritas, maka saat mayoritas wakil-wakil umat menyetujui sebuah perkara maka pelaksanaannya adalah hal yang lazim karena mereka nama lain dari Ulil amr. Apakah hakikat Ulil amr ini adalah mayoritas wakil-wakil umat Islam?
3.   Sebagian malah lebih jauh lagi melangkah, karena pengaruh dunia barat dan budaya semu mereka, kelompok ini meyakini demokrasi yang sedang dipraktekkan oleh Barat termasuk salah satu misdaq dari Ulil amr.
Apakah penafsiran dan pendapat semacam ini bukan termasuk tafsir bi ra’y? Apakah ini bukan praduga yang mengatasnamakan Al-Quran?! Apakah pemahaman semacam ini bukan termasuk menginjak-injak keagungan Al-Quran?
Terlepas dari itu semua, apa keistimewaan demokrasi barat itu? Mereka sendiri menerima bahwa metode ini bukan yang ideal, mereka menjalankannya karena keterpaksaan;karena jika ini tidak dilaksanakan mereka akan tertimpa kesulitan yang lebih fatal lagi, akhirnya untuk mencari hal yang lebih ringan efeknya (Aqallu Dhararain) mereka memilih demokrasi. Karena bagaimana mungkin seorang yang berakal normal mau membenarkan bahwa jika dari 100 persen wakil rakyat hanya 50 persennya yang mengikuti sebuah pemilihan, lalu mereka memilih seseorang calon pemimpin dengan 26 persen suara dan yang calon lainnya 24 persen suara, maka calon yang memiliki 26 persen suara terpilih menjadi pemimpin! Maka ini sebuah keadilan!?
Demokrasi, tumbuh dan berkembang di Amerika, dan untungnya akibat pemilu terakhir yang terjadi di negeri Paman Syam ini dan  terbongkarnya kecurangan / kebobrokan Pemilu terakhir di sana membuat semua kalangan membuka mata dan sadar akan esensi sebenarnya dari sebuah demokrasi. Mereka yang hidup dengan sistem komputerisasi namun masih bersengketa tentang kelebihan suara sekitar 10 hingga 15 suara. Sehingga manakah yang lebih baik menghitung dengan tangan atau dengan komputer!!!
Hal semacam ini merupakan bukti konkret ketidakpercayaan para pemuja demokrasi dengan sistem yang sedang dijalankan! Dunia sudah waktunya menertawakan sistem ini! Para muhaqiq hendaknya lebih gigih lagi meneliti peristiwa ini supaya esensi para pengklaim demokrasi ini jelas di depan semua orang khususnya bagi mereka menjadikannya Ka’bah obsesi mereka. 
Al-hasil, menafsirkan Ulil amr dengan demokrasi barat yang ada sekarang adalah penafsiran yang bertentangan dengan dhahir ayat yang mulia ini, bahkan itu sebuah kezaliman besar terhadap al-Quran.
4.   Pendapat mayoritas ulama Syi’ah adalah Ulil amr harus maksum; terjaga dari semua dosa, tidak mungkin dia lebih dari satu orang dalam setiap masa. Pada masa pertama Islam, dia adalah sosok suci Rasulullah Saw, lalu Amirul mukminin a.s. dan dilanjutkan oleh para imam setelahnya yang berjumlah 11 orang.
Penjelasan lebih lanjut: a. Sebagaimana telah dijelaskan Ulil amr sesuai ayat mulia ini (ketaatan terhadap Allah, Rasul-Nya dan Ulil amr mutlak dan tanpa batasan) harus maksum, sehingga kita dapat mengikutinya secara mutlak. Artinya Ulil amr haruslah seorang yang sudah memiliki asuransi bebas dari dosa dan kesalahan. Dengan ungkapan lain kemaksuman adalah kekuatan spiritual dan ketakwaan yang tinggi di mana karenanya sosok maksum tidak berbuat dosa dan kesalahan tidak akan muncul dari mereka, walaupun mereka kemampuan dan pilihan untuk melakukannya. Namun karena ketakwaan maha tinggi yang mereka sandang mereka tidak melakukannya.
Dengan ungkapan ketiga, takwa memiliki tingkatan yang beragam. Pada satu tingkat takwa menghindar dari dosa-dosa besar, di mana saat itu dilakukan langsung bertaubat; pada tingkatan berikutnya, selain menjauhi dosa besar dia juga menjauhi dosa-dosa kecil dan saat dilakukan dia cepat-cepat bertaubat.  Tingkatan ketiga yang lebih tinggi dari dua tingkat di atas adalah selain dosa besar dan kecil dia juga meninggalkan hal-hal yang makruh. Tingkatan takwa begitu seterusnya tambah tinggi hingga sampai pada tingkatan tertingginya di mana manusia terjaga dari dosa dan kesalahan. Oleh karena itu, kemaksuman bukanlah seperti yang dibayangkan oleh sebagian orang yang menganggapnya semacam jabr  (determinasi), melainkan sebuah tingkatan tertinggi dari sebuah ketakwaan.
b. Ulil amr yang maksum tidak mungkin seluruh umat Islam, para ulama, wakil-wakil umat atau mayoritas dari mereka. Dia harus seorang person dan sosok tertentu.
c. Mengingat kemaksuman sebuah kekuatan spiritual dan tingkatan tertinggi ketakwaan yang tidak bisa diketahui tolok ukurnya oleh manusia biasa, maka yang berhak mengenalkan seorang maksum adalah Allah SWT, Rasulullah atau sosok-sosok maksum lain yang sudah terbukti kemaksumannya.
Konklusinya: pertama, Ulil amr harus maksum; Kedua, harus seorang yang ditentukan; ketiga, penentuan maksum dan Ulil amr harus dari sisi Allah SWT.
Penafsiran Ayat Dalam Kaca Mata Riwayat
Terdapat riwayat yang begitu banyak yang telah mengenalkan kepada kita sosok maksum yang dimaksud oleh ayat Athi’ullah ..., yang paling penting darinya adalah riwayat Tsaqalain.
Sesuai riwayat ini, Rasulullah Saw pada detik-detik akhir kehidupan beliau bersabda:” Sesungguhnya aku telah meninggalkan di antara kalian dua hal yang penuh berharga, di mana jika kalian berpegang teguh kepada keduanya setelah Kepergianku, niscaya kalian tidak akan tersesat... (kedua hal itu) kitabullah Ahlul baitku.”[1]
Arti hadis ini demikian, Al-Quran terjaga dari kesalahan dan kekeliruan, sehingga jika orang berjalan di atas panduannya dia akan terjaga dari kesalahan, dengan demikian Ahlul bait nabi juga harus maksum, sehingga berpegang teguh dengannya juga membuat manusia terjauhkan dari kesalahan. Karena tidak mungkin Ahlul bait tidak maksum sedang orang yang mengikutinya terjaga dari kesalahan.
Oleh karena itu, sesuai riwayat ini, Ahlul bait suci dari dosa dan sebagaimana kita sebutkan dalam penjelasan ayat Athi’ullah, Ulil amr harus orang yang sudah terpilih dari sisi Allah SWT, maka dia haruslah Ahlul bait nabi satu demi satu.
Urgensitas Hadis Tsaqalain
Hadis Tsaqalain termasuk hadis yang sangat penting dalam permasalahan wilayah dan imamah. Hadis ini dari segi dilalah begitu kuat dan jelas dan dari segi sanad, riwayat ini termasuk riwayat mutawatir yang disebut dalam sumber-sumber Ahli sunah dan Syi’ah. Dan dari kumpulan sumber-sumber tersebut dapat dipahami bahwa Rasulullah Saw menegaskan hal tersebut tidak sekali saja. Riwayat di atas dapat dijumpai di dalam kitab-kitab rujukan utama Syi’ah; At-Tahdzib, Al-Istibshar, Al-Kafi, Man La Yahduruhul Faqih. Sedang dalam Ahli sunah dapat dirujuk dalam kitab-kitab standar mereka yaitu Sahih Sittah. Perlu ditekankan juga hadis ini bukan berada di enam kitab hadis itu saja, akan tetapi ada kitab-kitab lain yang menyebut hadis tersebut, seperti Hakim pemilik kitab Mustadrakush Shahihain di mana dia mengumpulkan hadis-hadis sahih yang tidak dikumpulkan oleh Bukhari dan Muslim dalam sahih mereka.
Hakim mengatakan:” Semua riwayat yang dimuat dalam Mustadrak ini sesuai dengan tolok ukur Bukhari dan Muslim.”[2]
Riwayat Tsaqalain disebut dalam kitab Sahih Muslim,[3] Sunan Tirmizi dan Mustadrak Hakim,[4] berikut ini riwayat tersebut menurut hikayat Sahih Muslim. Yazid bin Hayyan berkata: bersama Hashin bin Sabrah dan Umar bin Muslim aku pergimenemui seorang sahabat nabi yang ternama, Zaid bin Aram. Hashin berkata kepada Zaid, Wahi Zaid bin Arqam  kamu telah mendapatkan kebanggaan yang besar, kamu bersama nabi, mendengar hadis-hadisnya, berperang di sisinya, shalat di belakangnya, sungguh ini adalah kebanggaan yang maha besar! Sekarang tolong sampaikan kepada kami hadis yang pernah engkau dengar langsung dari beliau.
Zaid bin Arqam berkata: usia sudah lanjut, sehingga hadis-hadis yang aku hafal sebelumnya telah banyak yang hilang dari ingatan. Kemudian dia menukil hadis berikut ini kepada kita: Pada suatu hari di Gadir Khum  Rasulullah Saw berpidato di hadapan kita, setelah memanjatkan puja puji ke hadirat Allah dan nasihat-nasihat beliau bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia, sebentar lagi utusan Allah (malaikat pencabut nyawa) akan datang dan aku akan memenuhi panggilannya. (oleh karena itu) aku akan tinggalkan di antara kalian dua hal yang berharga; yang pertama kitabullah, di dalamnya hidayah dan cahaya, maka berpeganganlah kepada kitab itu. Kemudian beliau menganjurkan kita untuk cinta dan memegang kitab suci itu. Kemudian beliau melanjutkan sabdanya, dan keluargaku[5].         
Selain tiga kitab di atas, riwayat itu juga dapat dilihat dalam kitab Khashaish Nasai.[6]  Yang menarik adalah Ibnu Hajar, salah seorang fanatik di mana dia menulis sebuah kitab anti Syi’ah yang berjudul, Ash-Shawaiqul Muhriqah. Banyak poin yang dia tuduhkan terhadap Syi’ah, namun dia tetap menukil riwayat tersebut.[7]
Yang lebih menarik lagi, Ibnu Taimiyah, pendiri sekte sesat Wahabiyah dalam kitabnya Minhajus Sunah, juga tak ketinggalan menukil hadis Tsaqalian.[8]
Konklusinya, hadis Tsaqalian merupakan hadis mutawatir yang bukan hanya dinukil oleh kitab-kitab Syi’ah, akan tetapi disebut juga dalam kitab-kitab Ahli sunah.[9]
Ini menunjukkan bahwa riwayat di atas memiliki urgensitas khusus. Oleh karenanya Imam Khomeini r.a. memulai wasiat bersejarah beliau dengan hadis mulia ini.
Dengan hadis Tsaqalain akan terbukti bahwa Ulil amr adalah para imam di mana setiap masa setiap dari mereka wajib ditaati tanpa syarat dan kaid.
Selain hadis Tsaqalain terdapat riwayat-riwayat khusus lain yang menjelaskan kondisi ayat mulia ini.
Berikut ini dua contoh darinya:
  1. Syekh Sulaiman Hanafi Al-Qunduzi dalam kitab Yanabi’ul mawaddah, halaman 116 menulis: seseorang bertanya kepada Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.: hal apakah yang terkecil yang dapat mengeluarkan manusia dari jalan yang lurus dan dia akan termasuk orang-orang yang sesat? Imam menjawab: Hal itu adalah melupakan Hujjah allah dan tidak menaatinya. Barang siapa yang melanggar perintah Hujjah ilahi maka dia adalah orang yang tersesat.
Orang tadi bertanya kembali tolong jelaskan lebih lanjut siapa yang anda maksud dengan Hujjah ilahi itu? Imam menjawab: Hujjah ilahi adalah orang-orang yang di dalam ayat 59 surah Annisa’ disebut sebagai Ulul Amr. Orang itu untuk ketiga kalinya bertanya siapa itu Ulul Amr tolong lebih Gamblang lagi? Imam dalam menjawab pertanyaan ini bersabda: Dia adalah sosok yang sering kali Rasulullah Saw mengucapkannya: Sesungguhnya aku tinggalkan dua hal di antara kalian di mana kalian tidak akan tersesat selamanya jika berpegang teguh kepada keduanya kitab allah dan Ahlul Baitku. Dalam riwayat ini begitu jelas hubungan antara hadits Tsaqalain dengan Ulul Amr.
  1. Abu Bakar, Mukmin Sirozi menukil dari Ibnu Abbas: Rasulullah Saw saat hendak menuju perang Tabuk mengambil keputusan supaya Ali a.s. menetap di kota Madinah.[10]  Ali a.s. (kendati mengetahui falsafah kebijakan Rasul tapi untuk membendung  upaya-upaya kaum munafik) bertanya kepada Rasulullah Saw: Anda telah meninggalkanku di kota Madinah di samping kaum wanita dan anak-anak dan menghalangi diriku untuk turut serta mendapat perjuangan yang besar untuk berperang. Rasulullah Saw bersabda: apakah engkau tidak rela posisimu di depanku seperti posisi Harun terhadap Musa saat Musa berkata: Carilah menggantiku di tengah-tengah kaum dan perbaikilah maka allah SWT bersabda: Dan Ulul Amr dari kalian.
Hasilnya adalah ayat mulia ini tanpa melihat riwayat-riwayat telah menunjukkan bahwa Ulul Amr adalah orang-orang yang sudah ditentukan dan terjaga dari dosa-dosa yang telah dilantik oleh allah SWT sedang dengan merujuk kepada riwayat-riwayat dapat dipahami bahwa sosok yang dimaksud itu adalah para imam dia belas yang telah diyakini oleh kaum Syiah, mereka adalah Ali dan kesebelas cucuknya.
Pertanyaan-pertanyaan dan Jawaban-Jawaban penting
Terdapat berbagai pertanyaan seputar ayat mulia ini, di mana yang terpenting darinya adalah tiga pertanyaan berikut:
Pertanyaan pertama, Jika Ali a.s. misdaq dari Ulil amr seperti yang diyakini oleh Syi’ah, lalu kenapa ketaatan terhadapnya di zaman Nabi Saw tidak wajib, padahal ayat ini mengatakan bahwa ketaatan kepadanya sama seperti ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya? Dengan kata lain di zaman Nabi, Ali bukanlah pemimpin (pemberi titah) yang harus diikuti oleh seluruh muslimin; oleh karena itu, penafsiran di atas tidak sesuai dengan ketaatan yang tersirat dalam ayat.
Jawab,  pertanyaan ini dapat dijawab dengan dua bentuk:
  1. Kita harus memahami arti Rasul dan Ulil amr. Jika perbedaan kedua kata ini jelas maka secara otomatis jawaban pertanyaan ini akan jelas pula. Rasul adalah orang yang diutus oleh Allah SWT untuk menjelaskan hukum-hukum dan menyebar luaskan agama di tengah-tengah manusia; dengan kata yang lebih simpel lagi Rasul bertugas menjelaskan hukum dan penyebarluasannya.
Sedangkan Ulil amr tidak memiliki tugas peletakan hukum, akan tetapi dia bertugas menjaga kelestarian hukum itu dan penerapannya. Jika kita mau umpamakan dengan sistem pemerintahan sekarang, Rasul adalah badan Legislatif sedang ulil amr adalah badan Eksekutif.
Dengan penjelasan tadi, kita mengetahui bahwa badan Legislatif di zaman Rasul adalah beliau sendiri, sebagaimana badan pelaksananya juga beliau; oleh karena itu pada zaman hidupnya beliau Saw beliau merangkap dua gelar tersebut; Rasul juga Ulil amr, sebagaimana Nabi Ibrahim a.s. di mana selain rasul dan nabi beliau juga sampai kepada posisi Imamah dan pelaksanaan hukum sekaligus. Dengan demikian posisi risalah adalah posisi legislatif sedang imamah adalah posisi eksekutif dan pada zaman rasul kedua-duanya dipegang oleh beliau. Sedangkan pada masa setelah beliau, adalah sosok maksum yang telah dilantik oleh Allah dan dipublikasikan oleh rasul dan itu adalah ulil amr, sosok itu tidak mungkin siapa-siapa selain sosok Ali a.s. dan setelahnya para Imam lain yang datang silih berganti, karena selain Ali a.s. dan para anak cucunya tidak ada orang lain yang mengklaim dirinya telah mendapat mandat untuk itu.    
Hasilnya, klaiman bahwa ketaatan terhadap ulil amr harus aktual tidak merusak penetapan Ali a.s. dan para imam yang lain sebagai ulil amr, sebagaimana hal ini juga dipahami dari berbagai riwayat.
  1. Jawaban kedua yang dapat diajukan adalah Ali a.s. pada masa Nabi Saw juga pernah menjadi ulil amr walaupun singkat masanya yaitu saat Rasul Saw memimpin peperangan Tabuk dan Ali a.s. menetap di Madinah sebagai seorang khalifah rasul Saw. Untuk lebih memahami poin ini berikut ini penjelasan singkat tentang perang Tabuk.
Perang Tabuk
Perang Tabuk merupakan perang terakhir yang dialami oleh Rasulullah Saw sepanjang risalah dan detik-detik kehidupan beliau. Peperangan ini terjadi di kawasan paling utara Hijaz, perbatasan antara Hijaz dengan Romawi timur.
Saat Islam berkembang dan asas-asas pemerintahan semakin kokoh di kota Madinah serta gemanya mulai terdengar di seluruh penjuru dunia. Para tetangga negeri Islam ini, termasuk Romawi timur yang tak lain (Palestina dan Suriah) merasa terancam dan untuk membendung pengaruh Islam ke negeri mereka, maka diambillah keputusan untuk menyerang kaum muslimin.[11] Untuk merealisasikannya bangsa Romawi mengirim sekitar 40 ribu bala tentara bersenjata lengkap menuju Hijaz.
Kabar ini tercium oleh kaum muslimin dan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw menganjurkan kaum muslimin untuk menyambut para musuh dan tidak menunggunya mereka menyerang ke dalam kota Madinah.  Ini adalah taktik perang yang sangat baik; karena kondisi defensif sangat berbahaya, maka penyerangan dilawan dengan serangan. Pertahanan terbaik adalah menyerang.
Kebetulan masa peperangan ini adalah masa yang tidak baik; karena dari satu sisi cuaca panas Hijaz dan cadangan makanan kaum muslimin sudah habis dan sumber makanan belum dapat dimanfaatkan, sedang dari sisi ketiga jarak antara Madinah dan Tabuk  begitu jauh yang harus ditempuh dengan kaki oleh kaum muslimin, mengingat tumpangan yang terbatas. Mereka harus antrei untuk menaiki tunggangan yang ada. Al-hasil, titah untuk bergerak keluar dan terpaksa cuci gudang-gudang makanan dilakukan, hasilnya sedikit kurma yang sudah kering atau bahkan sudah rusak dapat dikumpulkan. Pasukan berjumlah 30 ribu orang dengan dikomandoi oleh Rasulullah Saw sendiri bergerak menuju Tabuk. Rasa lapar dan dahaga telah menyiksa bala tentara muslimin. Kaki-kaki para pasukan sudah banyak yang bengkak karena perjalanan yang sangat panjang, namun dengan berbagai problem itu perjalanan terus dilanjutkan. Pasukan Islam menemui berbagai kesulitan baik di waktu pergi atau pulangnya sehingga pasukan ini disebut dengan pasukan kesulitan (Jaisyul ‘asrah).
Di saat pasukan Romawi mendengar pasukan muslimin yang berjumlah 30 ribu orang sedang bergerak dari Madinah, menempuh perjalanan yang begitu panjang dan dengan perbekalan yang sangat minim namun dengan rasa cinta dan iman menyambut para musuhnya,  akhirnya mereka mengambil keputusan untuk mundur dan kembali. Kaum muslimin saat tiba di Tabuk mendengar bersyukur kepada Allah atas mundurnya bala tentara musuh.
Rasulullah Saw dalam kesempatan ini bermusyawarah dengan kaum muslimin, dan memilih apakah memilih kembali ke kota Madinah atau mengejar musuh dan berperang di Syamat. Hasil musyawarah adalah pendapat pertama yaitu kembali ke Madinah; mengingat Islam masih seusia jagung dan belum memiliki banyak pengalaman dalam menguasai bangsa lain sehingga mengambil tindakan semacam ini adalah hal yang sangat berbahaya.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, dari berbagai sudut  khususnya panjangnya waktu absen Rasulullah dan kaum muslimin dan jauhnya mereka dari Madinah, perang Tabuk berbeda dari peperangan yang lain. Dan kemungkinan munculnya kudeta kaum munafik dan konspirasi dari pihak luar sangat terbuka lebar. Oleh karena itu, pada waktu absennya Nabi harus ada seseorang yang sangat kuat yang menggantikan beliau di pusat pemerintahan dan menghalau berbagai konspirasi yang dapat terjadi. Orang itu bukan siapa-siapa lagi selain Ali a.s.
Dengan demikian Imam Ali a.s. pada zaman Rasulpun –kendati sebentar- pernah menjadi Ulil amr dan ketaatan kepadanya adalah hal yang wajib dilakukan.
Pertanyaan kedua,  Ulil amr  berbentuk jamak lalu bagaimana mungkin Ali a.s. yang seorang diri menjadi misdaq dari kata ini?
Jawab: Memang benar Ulil amr jamak, dan  maksudnya bukan Ali a.s. saja, akan tetapi mencakup para imam 12 Syi’ah. Sebagaimana hadis Tsaqalain disebut Ahlu baiti, jamak akan tetapi bukan khusus untuk beliau tapi mencakup seluruh para imam yang lain.
Bukti ungkapan ini adalah  sebuah riwayat  yang terdapat dalam kitab Yanabi’ul mawaadah tadi. Dalam riwayat tadi Ulil amr telah ditafsirkan dengan hadis Tsaqalain dan telah kita katakan maksud dari ‘Itrati Ahli baiti dalam hadis Tsaqalain adalah para Imam maksum a.s.
Hasilnya, maksud dari Ulil amr adalah para imam 12 Syi’ah di mana di masanya masing dia adalah Ulil amr yang ketaatan kepada mereka mutlak tanpa kaid dan syarat apapun bagi semua.
Pertanyaan ketiga: Kenapa Ulil amr tidak diulang di akhir ayat sehingga menjadi rujukan pula dalam mengatasi segala pertikaian di antara muslimin?
Jawab: Pertama, sanggahan ini tidak hanya mengarah kepada Syi’ah akan tetapi kepada Ahli sunah juga, karena mereka juga menghadapi pertanyaan ini, entah siapa misdaq dari Ulil amr yang mereka lontarkan.
Kedua, kenapa tidak diulang kata Ulil amr dalam bagian terakhir ayat itu disebabkan perbedaan antara Rasul dan kata ini yang telah dijelaskan di atas. Rasul penjelas hukum, sedang Ulil amr pelaksananya. Dan jelas jika seseorang memiliki keraguan tentang hukum-hukum maka dia harus pergi ke peletak hukum bukan kepada pelaksananya.
Atas dasar ini, pengulangan kata ini bukan sebuah kekurangan dalam ayat mulia ini, akan tetapi sebuah bentuk kefasihan dan balagah lain dari Al-Quran karim.
Poin yang perlu diperhatikan adalah seluruh Imam adalah pelaksana undang-undang Islam sedang apa yang mereka jelaskan tentang hukum-hukum tersebut mereka ambil dan pelajari dari kakek mereka Rasulullah Saw.
Dalam Jami’ Hadis Syi’ah, jilid 1, halaman 183, terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa seluruh penjelasan hukum yang dilakukan oleh para Imam diterima dari Rasulullah Saw.
Hasilnya, Ulil amr bukan berarti peletak hukum akan tetapi berarti pelaksananya, sehingga dalam bagian terakhir ayat yang berkaitan dengan penyelesaian polemik tidak diulang.
Pesan-pesan Ayat
  1. Pesan  terpenting ayat mulia ini adalah kaum muslimin hendaknya pasrah secara utuh di hadapan hukum-hukum Islam dan mengamalkan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya tanpa pertanyaan apapun, tidak memilih-milih sehingga apa yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya tidak dilakukan sedang yang sesuai dilakukan dengan segera; orang semacam ini jelas bukan seorang muslim sejati.
Al-Quran dalam hal ini memiliki ungkapan yang sangat indah, yang terdapat dalam ayat ke-65 surah Nisa’:” Sumpah demi tuhanmu, mereka bukan golongan mukmin sampai mereka memintamu sebagai hakim atas apa yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam dirinya atas keputusan yang engkau ambil dan mereka pasrah apa adanya.”
Ayat ini merupakan tolok ukur yang baik dan detail untuk mengetahui sejauh mana kepasrahan seseorang; sesuai ayat ini, seorang muslim hakiki setelah hukum dikeluarkan oleh Rasul kendati merugikannya, bukannya sakit hati akan tetapi dengan jiwa pasrah menerima dan mengamalkannya. Artinya dalam ucapan dan tindakan serta dalam lubuk hati dia pasrah terhadap ketentuan Allah SWT. Jika tidak demikian dan dia merasa keberatan menerima sebuah hukum maka dia bukanlah seorang muslim sejati.
Imam Ali a.s. dalam sebuah hadis yang begitu indah bersabda:” Aku akan menafsirkan Islam sebuah tafsir yang belum dilakukan oleh sebelumku: Islam adalah penyerahan mutlak, penyerahan adalah keyakinan (karena selagi manusia belum meyakini sesuatu di tidak akan pasrah seutuhnya) dan yakin terlahir dari pembenaran, dan tasdik merupakan sebuah ikrar, dan ikrar adalah rasa tanggung jawab dan rasa tanggung jawab itu adalah amal perbuatan, (karena rasa tanggung jawab tanpa amal tak memiliki nilai sama sekali).”[12]
Sesuai riwayat yang sangat indah ini, Islam dimulai dari lubuk hati manusia, tumbuh di sana dan melalui beberapa tahapan dia berubah menjadi sebuah amal perbuatan; artinya Islam tanpa keyakinan di dalam hati, dan hanya mementingkan amal saja itu tidak memiliki nilai, sebagaimana keyakinan saja tanpa dibarengi oleh amal perbuatan juga tidak cukup. Oleh karena itu Islam sekumpulan keyakinan dan amal perbuatan yang kedua-duanya merupakan hal yang lazim.   
  1. Kata amr memiliki konotasi positif. Dalam kata ini tersimpan kekuatan. Ini berarti Ulil amr harus memiliki kekuatan tidak bisa bersumber dari permintaan manusia. Kata ini juga dapat ditemukan dalam  amar ma’ruf, di mana harus bersumber dari posisi yang cukup kuat; akan tetapi perlu diperhatikan terjadinya sebuah perbuatan dari posisi yang kuat tidak bertentangan dengan lemah lembut. Kisah Imam Hasan Al-Mujtaba a.s. yang begitu terkenal merupakan bukti yang baik dalam hal ini: seorang dari Syam tiba di kota Madinah. Propaganda Mu’awiyah dan penodaan kehormatan Ali a.s. dan keluarganya telah tersebar luas di Syam segala penjuru kota itu telah mengetahuinya, yang mengakibatkan semua penduduknya antipati dan membenci beliau. Orang Syam tersebut saat melihat seorang sosok yang menyeberangi jalan ditemani beberapa orang bertanya: siapakah orang itu? Dijawab dia Hasan putra Ali bin Abi Thalib. Seketika itu juga dia mengeluarkan ucapan, umpatan dan ejekan kepada beliau. Imam Hasan a.s. berdiri dan diam. Setelah celotehan orang tersebut selesai, Imam (kendati mampu menyuruh para sahabatnya untuk menyiksa atau bahkan mengeksekusinya, namun beliau tidak melakukannya kendati beliau sedang berada di atas puncak kekuatan) bersabda:” dari raut mukamu tampaknya engkau bukan penduduk sini dan engkau tidak memiliki tempat menginap di sini, silahkan ke rumah dan jadilah tamu kami. Pintu rumah kami selalu terbuka lebar bagi orang-orang asing, aku akan menjamumu, jika engkau punya hutang aku akan membayarnya dan jika engkau melarikan diri dan ada yang mengejarmu, aku akan melindungimu, dan jika engkau meminta maaf kita akan mengabulkannya.
Orang Syam yang sudah dibakar oleh amarah dan kebencian itu setelah melihat perlakuan imam yang begitu menyejukkan tertegun dan membasuh mukanya dengan air dingin. Dia berbalik 180 derajat, (mungkin dalam hatinya dia berkata: Ya Allah apakah yang aku saksikan ini mimpi atau sebuah kenyataan?, orang yag sudah dihujani cercaan dan makian sanggup berbuat hal seperti itu?)
Orang Syam itu berkata: wahai putra Rasulullah Saw, sesaat aku melihatmu (karena propaganda di Syam) sebagai orang yang paling jelek di muka bumi. Akan tetapi sekarang anda adalah orang yang paling baik di atas muka bumi.[13]

[1] Mizanul hikmah, bab 161, hadis ke-917.
[2] Ibnu Abil Hadid berkata:” Aku bertanya kepada ustadku, Abdul Wahab, Apakah seluruh hadis-hadis yang sahih sudah dicatat dalam sahih sittah atau ada riwayat-riwayat sahih yang belum dicatat dalam keenam kitab tersebut? Dia menjawab, terdapat riwayat yang begitu banyak yang tidak tercatat dalam kitab-kitab itu. Aku bertanya kembali:  Hadis yang berbunyi La saifa illa dzul fiqar la fata illa Ali, (yang turun berkenaan dengan Imam Ali a.s.) sahih atau tidak? Dia menjawab, Hadis itu sahih dan masih banyak lagi riwayat-riwayat sahih lain yang tidak dimuat di dalam sahih sittah.
[3] Sunan Tirmizi, jilid 5, halaman 662, hadis 3786. (Sesuai penukilan kitab Feyam Quran, jilid 9, halaman 64).
[4] Mustadrak Sahihain, jilid pertama, halaman 93 dan jilid 3, halaman 109.
[5] Shahih muslim, jilid 4, halaman 1873.
[6] Khashaish Nasai, halaman 20. (Sesuai penukilan Feyam Quran, jilid 9, halaman 66).
[7] Ash-Shawaiqul Muhriqah, halaman 226, cetakan Abdul Lathif,Mesir. (Sesuai penukilan Feyam Quran, jilid 9, halaman 67).
[8] Minhajus Sunah, jilid 4, halaman 104. (Sesuai penukilan Feyam Quran, jilid 9, halaman 69).
[9] Untuk lebih lanjut dapat dilihat dalam kitab Feyam Quran, jilid 9, halaman 62 dan selanjutnya, juga kitab Ihqaqul hak, jilid 4, halaman 438 dan selanjutnya. 
[10] Sebab ditinggalkannya Sayyidina Ali di Madinah dikarenakan medan peperangan Tabuk jauh terletak dari kota Madinah dan terdapat kemungkinan saat nabi tidak ada para munafik yang berada di dalam kota Madinah melakukan konspirasi dan bekerja sama dengan munafik di luar kota untuk mengacau suasana. Oleh karena itu rasul Saw melantik seorang yang terkuat di antara para sahabat yang dapat menduduki posisi beliau.
[11] Negeri Hijaz sebelum Islam tidak pernah dilirik oleh bangsa-bangsa besar; karena baik dari sudut rakyatnya tidak pernah dianggap sebuah ancaman atau dari segi budaya atau sumber-sumber ekonomi penting tidak terwujud di sana. Saat itu masyarakat Hijaz dikenal dengan bangsa setengah liar yang selalu sibuk berperang dan sengketa, sehingga tidak akan muncul ancaman bagi tetangga mereka. Oleh karena itu, andai Hijaz dihibahkan kepada bangsa-bangsa besar saat itu, mereka pasti akan menolak. Dengan sebab inilah para imperialis tidak pernah bermimpi untuk menjajah tanah ini. Akan tetapi setelah munculnya Islam dan persatuan di antara mereka juga munculnya budaya baru, para tetangganya merasa terancam eksistensinya. 
[12] Nahjul balagah, Kalimat qishar (ungkapan singkat), nomor 125.
[13] Muntahal Amal, jilid 1, halaman 417.

Kamis, Desember 17, 2009

TRAGEDI KARBALA


Dalam tragedi Karbala atau Asyura banyak pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik dan sekaligus diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebenarnya kejadian di padang Karbala, merupakan refleksi kehidupan manusia, karena salah satu peran yang ditampilkan disana adalah pengorbanan sejumlah manusia untuk sebuah tujuan yang sangat tinggi dan suci, yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan. Manusia sebagai makhluk yang ciri khasnya adalah bersosial, tidak lepas dari pengorbanan.

Peristiwa pertama adalah masalah pengorbanan. Berkorban itu penting sekali, artinya manusia ini dalam kehidupan mesti berkorban. Seorang Ayah artinya berkorban untuk atau demi sesuatu yang dia cintai, yang dia sucikan, itu adalah kenyataan dari kehidupan manusia ini. Seorang Ayah dia pasti mencintai istrinya. Seorang Ayah juga mencintai anaknya, jelas dia berkorban demi istrinya, demi anaknya. Dia keluar memeras keringat, banting tulang, demi istri dan anak, ini pengorbanan. Kita lihat para TKW atau TKI pergi ke luar negeri, meninggalkan kerabat dan kampung halaman, hanya untuk suatu pengorbanan. Pengorbanan ini mungkin demi istri, demi anak atau malah sebagian demi suami. Orang meninggalkan keluarganya bertahun-tahun, mungkin berhari-hari demi keluarganya. Atau sebaliknya orang yang karena cinta dunia mengorbankan keluarganya. Karena mencintai karir atau jabatan, akhirnya istri dan anaknya ditelantarkan. Dia kurang mendekati istrinya, dia menelantarkan istrinya, kasih sayang kepada anaknya juga dikurangi demi karir atau jabatan. Bahkan dia korbankan istri dan anaknya demi karir, demi prestise, atau kedudukan sosial. Dia harus berpahit-pahit demi yang dia cintai.

Pengorbanan adakah suatu hal yang alami. Kehidupan ini juga bukan lain adalah pengorbanan. Jadi pengorbanan adalah hal yang thabi’i atau hal yang manusiawi, yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Kita pilih apa yang kita cintai atau apa yang kita utamakan, sedangkan semua yang lain kita korbankan. Nah, Islam menjelaskan apa yang mesti kita korbankan, untuk apa kita berkorban. Para Nabi datang, para Imam diangkat, dalam rangka menjelaskan, "Wahai manusia pengorbanan yang kalian persembahkan seharusnya untuk Allah SWT.." Istri kita korbankan, anak kita korbankan, harta kita korbankan, malah nyawa pun kita korbankan demi Islam, demi kebenaran, demi Allah SWT.. Inilah yang hendak dijelaskan oleh Rasulullah saw.. Inilah yang ingin disampaikan oleh Imam Husein as. yang kita peringati hari wafatnya setiap 10 Muharram. Beliau mengorbankan semuanya demi kebenaran.

Al-Quran yang mulia menjelaskan ada seorang manusia yang luar biasa, yang mengorbankan apa pun demi Allah, demi hak, demi kebenaran, yaitu Nabi kita Ibrahim as. Bapak para Nabi, penghulu kaum monotheis, kaum muwahhidin. Allah SWT. menyebut Ibrahim as. dengan sebutan yang indah sekali dan melestarikan namanya dalam Al-Quran. Juga semua perbuatan Ibrahim itu dilestarikan melalui ibadah haji. Atas semua pengorbanan beliau, Allah memberikan satu bonus yang paling tinggi yaitu Imamah, kepemimpinan. Allah berfirman, "Ingatlah ketika Allah menguji Ibrahim dengan beberapa kalimat." Para ahli tafsir menjelaskan kata ‘kalimat’ di sini adalah berarti, ujian. Allah telah menguji Ibrahim dengan berbagai ujian, dan Ibrahim mampu menyelesaikannya dengan sempurna. Allah menguji Ibrahim dengan bermacam-macam ujian, dan banyak sekali, berpuncak pada perintah untuk mengorbankan putranya Ismail.

Ibrahim as. ingin mempunyai seorang anak. Beliau mengadu kepada Allah, "Ya Allah tulangku sudah rapuh dan rambutku sudah mulai beruban, berilah aku keturunan." Lalu Allah memberi beliau seorang putra bernama Ismail yang melalui Siti Hajar. Sangat girang sekali Ibrahim mendapatkan karunia anak. Di tengah kegembiraannya mempunyai anak, dia diperintahkan oleh Allah untuk hijrah ke Palestin dan meninggalkan istri dan anaknya di sebuah lembah yang tidak ada tumbuh-tumbuhan, yang kering kerontang, di dekat Kabah yaitu Mekah. Ibrahim diperintah oleh Allah untuk meninggalkan Siti Hajar beserta bayi yang masih kecil di sebuah tempat yang tidak ada tumbuh-tumbuhan, tidak ada air. Kalau kita mungkin tidak akan mau. Istri ditinggalkan tanpa ada makanan, tanpa ada air. Tapi ini adalah perintah Allah. Ibrahim as. taat karena perintah tersebut dari Allah. Kecintaan Ibrahim as. kepada Allah melebihi kecintaan kepada istri dan anak. Ini pengorbanan yang sangat besar. Saya kira diantara kita tidak ada yang sanggup sama sekali seperti Nabi Ibrahim, kecuali jika kita sudah sampai pada derajat Nabi Ibrahim.

Setelah dari Palestin kembali ke Mekah, kerinduan kepada anaknya luar biasa. Ibrahim as. bertetemu Ismail yang sedang lucu-lucunya. Ketika meluapkan rasa rindu dan kangennya kepada Ismail, Ibrahim as. bermimpi, di daslam mimpi tersebut Ibrahim as. menerima wahyu untuk menyembelih Ismail. Ini ujian lain yang lebih berat. "Wahai putraku," kata Ibrahim, "aku bermimpi menyembelihmu, bagaimana pendapatmu". Tapi mimpi Ibrahim adalah wahyu, yang berbeda dengan mimpi kita. Ismail pun bersedia disembelih.

Allah ingin menguji sejauh mana kecintaan Ibrahim, apakah dia lebih cinta kepada Allah atau kepada Ismail. Ternyata bagi Ibrahim Allah adalah segalanya. Ismail dikorbankan demi Allah SWT.. Ini adalah pengorbanan yang maha dahsyat, berat dan tidak mudah. Ibrahim mengerjakan dengan mudah karena mencintai Allah melebihi segalanya. Inilah pengorbanan yang hakiki, pengorbanan yang benar. Oleh karena itu Allah mengabadikan Ibrahim as. dalam Al-Quran dan semua perbuatan Ibrahim diabadikan oleh seluruh agama samawi. Semua agama samawi mengklaim sebagai pengikut Ibrahim. Kaum Yahudi berkata, kamilah pengikut Ibrahim. Kaum Nasrani mengaku kamilah pengikut Ibrahim dan kita orang Islam pun mengklaim sebagai pengikut Ibrahim, karena bangga menjadi pengikut Nabi Ibrahim.

Sekarang peringatan manasikul hajj ini simbol tentang perjuangan dan pengorbanan Ibrahim. Demikian pula kita selama ini, dalam memperingati Asyura yang merupakan lambang dari sebuah pengorbanan yang dipersembahkan oleh cucu Rasulullah saaw kepada Allah SWT.. Dia mengorrbankan anaknya yang paling kecil sekalipun, yang masih bayi menyusui dikorbankan dan terakhir nyawanya sendiri dikorbankan demi kebenaran, demi keadilan, demi Allah SWT., itulah peristiwa Asyura. Pengorbanan memang perlu perjuangan, tidak mudah, orang mungkin berkorban sesuai dengan kemampuan masing-masing. Orang yang mungkin berpenghasilan seratus ribu sebulan, kalau dia mengorbankan lima puluh ribu rupiah mungkin sangat berat. Kalau yang berpenghasilan jutaan rupiah lalu berkorban lima puluh ribu, bukanlah suatu pengorbanan namanya.

Allah berfirman, "Kalian tidak akan pernah mendapatkan birr (kebaikan) sampai menginfaqkan, mengorbankan apa yang kalian cintai." Ini berat, kalau orang cinta kepada anak, kepada istri lalu harta dikeluarkan belum berkorban namanya, bukan birr karena dia lebih mencintai anaknya. Kalau orang mencintai harta dia korbankan istrinya, bukan birr namanya karena dia mencintai harta ketimbang istrinya. Mungkin sekarang ada orang yang demi mengejar karir dia rela mengorbankan istri dan anaknya. Berjam-jam di luar, istri dan anaknya ditinggalkan di rumah demi karir. Saya yakin berkorban demi kecintaan kepada dunia sampai rela meninggalkan istri dan anak itu bukan birr namanya. Sementara al-Husain, beliau mengorbankan, menginfaqkan apa yang dia cintai demi al-birr, demi kebaikan, demi Allah SWT., ini berat sekali. Tentu saja di sini, saya tidak bermaksud menghimbau Anda, hanya ingin menceritakan bahwa inilah peristiwa Asyura, dan jangan mengartikan bahwa saya telah berkorban, tidak demikian. Saya keberatan jika sebagai penceramah dianggap telah melaksanakan apa yang telah disampaikan. Mari kita sama-sama belajar dari madrasah Asyura. Kita belajar dari universitas Karbala sekarang ini, belajar dari beliau, Imam Husayn bin ‘Ali as.. Saya belajar, juga anda semua. Tidak hanya anda saja yang belajar, lalu saya tidak, kita sama-sama belajar dan berusaha. Pengorbanan itu tidak mudah, tapi kita mesti mencoba semampu kita.

Lihatlah Al-Husain as., dia mengorbankan semuanya. Dia mengorbankan kerabatnya. Dia korbankan anaknya dan dia korbankan nyawanya. Mana yang paling berat, semuanya berat yang bergantung pada yang kita cintai. Mungkin ada orang yang lebih mencintai anaknya ketimbang dirinya sendiri. Ada tidak ?, tentu banyak. Sering kita dengar, "dari pada anak saya sakit lebih baik saya yang sakit," ada yang berpikiran begitu. Berarti dia lebih mencintai anaknya ketimbang dia sendiri, artinya dia siap sakit, siap mati, yang penting anaknya sehat dan hidup. "Biarlah saya yang mati, atau sengsara dari pada istri saya yang sengsara," berarti dia lebih mencintai istri ketimbang dirinya sendiri. Jadi mengorbankan diri sendiri lebih mudah ketimbang mengorbankan anak, istri dan biasanya inilah yang sering terjadi. Ada orang yang cinta kepada binatang, dia pelihara binatang tersebut. Dia sendiri tidak mengurus dirinya, bahkan rasa lapar dilupakannya, karena asyik dengan binatang piaraannya. Artinya dia mengorbankan dirinya demi binatang piaraannya. Ini adalah realita kehidupan kita sekarang ini.

Kita lihat bagaimana Al-Husain as, semua tindakannya, telah beralih kepada kecintaannya kepada Allah yang merupakan tindakan pengorbanaann. Dia mengorbankan anaknya, agar tidak sampai anaknya lebih dia cintai ketimbang Allah Ta’ala. Dia korbankan para sahabat setianya. Dia korbankan negerinya Madinah. Dia korbankan hartanya, jelas. Dan terakhir dia korbankan nyawanya. Semua perkara yang kira-kira dapat menyedot perhatian dia, dia korbankan demi Allah Ta’ala. Itulah Karbala, itulah Asyura. Tanpa ingin membanding-bandingkan dan agar tidak disalah pahami. Kalau Nabi Ibrahim as. mengorbankan putranya lalu diganti dengan domba, tapi di Karbala Al-Husain as. mengorbankan anaknya apakah diganti dengan seekor domba. Mana yang lebih berat. Jawabannya terserah masing-masing.

Jadi pengorbanan Al-Husain jauh lebih berat dari pada pengorbanan kakeknya Nabi Ibrahim as. Ini jelas, Nabi Ibrahim diganti seekor domba, tapi Al-Husain as. mengorbankan anak yang masih kecil Abdullah Arrodhi. Dia angkat tangannya berilah air, datang anak panah menusuk sampai tembus ke lehernya, sehingga menjadi korban tanpa diganti dengan seekor domba. Ini pengorbanan. Oleh karenanya para Nabi as. jauh hari telah merayakan, telah memperingati Asyura. Nabi Nuh, Nabi Adam sekalipun, Nabi Ibrahim jauh-jauh hari telah merayakan peristiwa Asyura. Mereka tahu akan terjadi sebuah pengorbanan yang sangat besar, yang tidak pernah dikerjakan oleh siapapun di dunia ini, hatta Nabi Ibrahim as. Itu Asyura, mereka ingin mendaftarkan diri menjadi pasukan Al-Husain as. Dan juga jawaban yang lain, mengapa, apakah memperingati Asyura bid’ah? seribu tidak. Rasulullah saaw telah memperingati Asyura.

Ketika Sayyidah Fatimah melahirkan Al-Husain dalam perut bayi itu ada ludah Rasulullah saaw, ludah yang suci. Beliau memangkunya sambil menangis tersedu-sedu. Datang pembantunya, "Ya Rasulullah mengapa anda menangis, apa yang menyebabkan anda menangis ? " Nabi menjawab, "Wahai Fulanah tadi Jibril datang kepadaku, dia mengatakan bahwa putraku ini yang baru lahir sekarang ini nanti akan dibunuh oleh orang-orang yang mengaku sebagai pengikutku." Beliau menangis, beliau sebutkan bahwa itu akan dibunuh di padang Karbala. Itu Rasulullah sudah meratapi, memperingati, apa yang akan dialami oleh cucunya atau bayi yang baru lahir tersebut. Lalu Nabi bertanya kepada Ali as, "Wahai Ali apakah anda telah menamainya ?" Ali menjawab, "Aku tidak akan mendahuluimu dalam memberinya nama. " Nabi menjawab, "Namailah Husain."

Dan juga riwayat yang lain, Ummu Salamah ra. juga oleh Nabi diberi botol yang berisi tanah dari Karbala. "Wahai Ummu Salamah ini adalah tanah Karbala yang dibawa oleh Jibril untukku, kau simpanlah. Ketika tanah ini menjadi darah atau warnanya merah, maka pada waktu itulah cucuku Husain dibunuh."

Jadi memperingati Asyura, menangis, meratapi wafatnya Imam Husein as. adalah sunnah Rasulullah saaw yang dikerjakan ketika beliau masih hidup. Jadi adanya kritikan dari pihak-pihak yang keberatan tadi, yang dikatakan oleh ketua Yayasan Al-Mukaramah, jelas kritikan yang tidak berdasar atau karena tidak mengetahui apa yang melatar belakangi peringatan Asyura. Jadi banyak hikmahnya kita ambil dari lambang Asyura, dari peringatan Asyura, yaitu pengorbanan. Pengorbanan untuk kebenaran, untuk Allah SWT., itu yang pertama.

Yang kedua, berkorban itu jelas terpuji dan dianjurkan oleh Islam. Tetapi Islam ingin menjelaskan ketika kita berkorban hendaknya berkorban dengan ikhtiar, dengan merdeka, dengan bebas tanpa ada paksaan, itu yang indah sekali. Kita berkorban untuk Allah Ta’ala, kita mengabdi kepada Allah tetapi pengabdian yang kita persembahkan, pengorbanan yang kita haturkan untuk Allah hendaknya dilandasi dengan kebebasan, dengan senang hati tanpa ada unsur paksaan.

Satu cerita menarik dari peristiwa Asyura ini, di malam Asyura, di malam ke sepuluh Muharram. Malam sudah tiba, kegelapan telah menyelimuti padang Karbala. Imam Husain as. memanggil para sahabat setianya. Beliau mengatakan, wahai para sahabat setiaku, aku tidak menyaksikan sahabat yang lebih setia dari kalian. Aku belum pernah lihat kerabat yang lebih baik dari kalian. Kita bayangkan sebagaimana kaum muslimin tahu, ini pasukan kecil yang akan menghadapi pasukan Yazid alaihi laknat. Konsekwensi berangkat ke Karbala adalah mati, banyak orang yang mundur dari itu. Sahabat besar pun semacam Abdullah bin Umar punya kebijakan, "Wahai Husain sebaiknya anda tinggal di Mekah saja, tidak membaiat Yazid, juga tidak menolak, abstain, kan aman."

Ini prinsip dari Abdullah bin Umar. Aman sajalah kita bisa da’wah tanpa harus menolak baiat yang jelas mati akibatnya dan juga tanpa membaiat, karena baiat pada Yazid penguasa peminum khamar, kita diam-diam saja, kan aman. Ada orang yang cari keamanan, tapi Imam Husein menolak. Memang aman dan dia mungkin bisa ibadah dengan leluasa, dengan tenang tanpa akan diganggu oleh penguasa. Tapi Al-Husain as. punya tanggung jawab agama yang besar, punya amanat dari Allah SWT.. Andaikan beliau diam saja maka siapa yang akan berontak melawan kedzaliman. Kalau beliau diam saja seperti sejumlah sahabat yang lainnya, maka siapa yang akan membawa bendera keadilan, siapa yang akan membela kebenaran.

Orang bisa beralasan lihatlah Al-Husain pun diam, apalagi kita. Mereka akan mencaci, "Lihatlah cucu Rasulullah, jelas-jelas Yazid penguasa yang jahat, merusak agama, menyimpang dari sunnah Rasulullah, Al-Husain saja diam, untuk apa kita berontak." Akan demikian sejarah akan mengatakan, tapi beliau untuk menghilangkan pendapat demikian mesti berontak, dengan resiko apapun harus beliau terima untuk membela kebenaran, sehingga tidak ada alasan manusia untuk mundur, tidak berontak, tidak bergerak sama sekali. Itulah pelajaran yang lain dari peristiwa Asyura.

Nah kembali pada kisah tadi, pada malam kesepuluh Muharram beliau mengumpulkan para sahabat setianya dan para kerabatnya. "Wahai para sahabatku sekarang malam gelap kalian pulanglah ke Madinah, bawa masing-masing pasangannya. Mereka para musuh hanya ingin membunuhku, mereka tidak ingin membunuh kalian, pulanglah kalian saya ikhlaskan tidak usah berjuang, saya tidak akan menuntut, mereka hanya menginginkan aku." Ini ikhtiar, tapi bagaimana reaksi dari para sahabat beliau. "Wahai cucu Rasulullah, kalau kami membiarkan anda berjuang sendirian, dimana akan kami letakkan mukaku di hadapan Rasulullah saaw. Aku malu dengan kakekmu Rasulullah kalau kami membiarkan anda berjuang sendirian." Ada yang menjawab, "Wahai cucu Rasulullah andaikan aku dibunuh sekarang ini dan jasadku dicincang-cincang sampai sekian bagian lalu Allah hidupkan lagi aku, aku berjuang lebih lagi sampai tujuh kali." Artinya keikut sertaan para sahabat Al-Husain as. semata-mata karena ikhtiar, bebas, tanpa paksaan. Padahal beliau membebaskan, mengikhlaskan, kalian pulang dari Karbala. Mereka tidak mau, inilah sahabat yang hakiki.

Berjuang membela Al-Husain tidak karena ancaman, bukan karena tidak enak kepada cucu Rasulullah, tidak karena apa-apa, tapi karena semata-mata bebas dan cinta kepada Al-Husain as. Lain dengan peristiwa Thorik bin Ziyad, salah seorang panglima Bani Umayyah atau Abdullah bin Marwan. Ketika dia mendarat di benua Eropa atau Konstantinopel, dia membawa pasukan Arab atau pasukan Islam ke Eropa menyebrangi lautan mediterania. Setelah menyebrang kapal-kapal dibakarnya. Habis kapal dibakar, sementara pasukan Romawi di hadapan mereka. Thorik bin Ziyad berkata kepada pasukannya, "Wahai pasukan Islam, wahai pasukan Arab, terserah kalian pulang ke Arab sana tapi tidak ada kapal lagi. Ingin menyebrang lautan kalian mati dimakan ikan hiu atau perang melawan pasukan Romawi." Ini pilihan pahit semuanya, jadi mereka berjuang terpaksa. Tapi lain dengan Al-Husain as. memberi peluang kepada para sahabat untuk pulang dan saya ikhlaskan, beda tidak, sangat beda sekali. Inilah hikmah atau pelajaran dari madrasah karbala. Dan banyak lagi hikmah-hikmah yang dapat kita ambil dari peristiwa Asyura Karbala.

Nah kita dalam memperingati Asyura setiap tahun ini, sejauh mana mengadakan evaluasi, koreksi terhadap diri kita. Sejauh mana kita meneladani Al-Imam Husain as. Bukan saya memudahkan, tentu itu adalah perjuangan, pengorbanan , tidak kita langsung berkata "Ah saya ikut Imam Husain sekarang juga." Kita mesti bertahap-tahap, perlu pengenalan, perlu pembersihan hati, perlu melepaskan ikatan-ikatan materi dan dunia. Kalau sudah lepas dari ini semua mungkin orang bisa seperti para sahabat Imam Husain as. Kalau kita masih dibebani cinta dunia, istri, anak dan materi, jangan harap kita bisa seperti sahabat Imam Husein as.

Inilah peringatan Asyura. Inilah perlunya kita memperingati peristiwa tragis Karbala yang dialami oleh Imam Husein as. dan para sahabatnya. Oleh karena itu mari kita sampaikan duka cita kita yang mendalam kepada Rasulullah saaw. sebagai kakek Al-Husain as. Kepada Imam Ali bin Abi Thalib as. sebagai ayahandanya. Kepada Sayyidah Fatimah Az Zahra as. sebagai ibundanya dan kepada Imam Hasan as. sebagai kakandanya dan kepada Imam kita yang terakhir Shahibuz Zaman Al-Mahdi Ajjalallahu Farajahu Assyarif dan kepada seluruh kaum muslimin dimanapun berada, atas syahadah, wafatnya Imam yang kita cintai, Imam Husain as. Akhirul kalam, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

(Ceramah Ustadz Husein Alkaff pada peringatan hari Asyura di pesantren Al-Mukaramah Bandung, ditranskrip oleh : Donny Somadijaya, SH)