Jumat, Januari 22, 2010

MENGAPA MAZHAB AHLULBAIT?


Berdasarkan hadits-hadits mutawatir yang kesahihhannya diakui oleh sebuah Muslim, Rasulullah SAW telah mengabarkan kepada pengikut-pengikut beliau pada berbagai kesempatan bahwa beliau akan meninggalkan dua barang berharga dan bahwa beliau akan meninggalkan dua barang  berharga dan bahwa jika kaum Muslim berpegang erat pada keduanya, mereka tidak akan tersesat setelah beliau tiada. Kedua barang berharga tersebut adalah Kitabullah dan Ahlulbait Nabi as.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dan juga dalam sumber-sumber lainnya, bahwa sepulang dari haji Wada, Rasulullah SAW berdiri di samping sebuah telaga yang dikenal sebaiak Khum (Ghadir Khum) yang terletak antara Mekkah dan Madinah. Kemudian beliau memuji Allah dan  berzikir kepada-Nya, dan lalu bersabda,
“Wahai manusia, camkanlah! Rasanya sudah dekat waktunya aku hendak dipanggil (oleh Allah SWT), dan aku akan memenuhi panggilan itu. Camkanlah! Aku meninggalkan bagi kalian dua barang berharga. Yang pertama adalah Kitabullah, yang didalamnya terdapat cahaya dan petunjuk. Yang lainya adalah Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku! Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku! Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku (tiga kali)!1

Sebagaimana terlihat dalam hadis sahih Muslim di atas, Ahlulbait tidak hanya ditempatkan berdampingan dengan Quran, tetapi juga disebutkan tiga kali oleh Nabi Muhammad SAW.
Meskipun ada fakta bahwa penyusun Shahih Muslim dan ahli-ahli hadis Sunni lainnya telah mencatat hadis di atas dalam kitab-kitab Shahih mereka, disayangkan bahwa mayoritas Sunni tidak menyadari keberadaan Ahlulbait tersebut, bahkan ada yang menolaknya sama sekali. Kontra argumen mereka adalah sebuah hadis yang lebih mereka pegangi yang dicatat oleh Hakim dalam al-Mustadrak-nya berdasarkan riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah berkata, “Aku tinggalkan di antara kalian dua barang yang jika kalian mengikutinya, kalian tidak akan tersesat setelahku; Kitabullah dan Sunnahku!”
Tiada keraguan bahwa semua Muslim dituntut untuk mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW. Namun, pertanyaannya adalah Sunnah mana yang asli dan Sunnah mana yang dibuat-buat belakangan, dan Sunnah palsu mana yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Menjejaki sumber-sumber laporan Abu Hurairah yang menyatakan hadis versi ‘Quran dan Sunnah’, kami menemukan bahwa hadis itu tidak dicatat dalam enam koleksi hadis sahih Sunni (Shihah as-Sittah). Tidak hanya itu, bahkan Bukhari, Nasa’i, Dzahabi dan masih banyak lainnya, menyatakan bahwa hadis ini adalah lemah karena sananya lemah. Meski dicatat bahwa meskipun kitab milik Hakim adalah sebuah koleksi hadis Sunni yang penting, tetapi kitab ini dipandang Iebih rendah dibandingkan dengan enam koleksi utama hadis-hadis Sunni. Sementara itu, Shahih Muslim (yang menyebutkan ‘Quran dan Ahlulbait’) menempati urutan kedua dalam enam koleksi hadis Sunni tersebut.
Tirmidzi melaporkan bahwa hadis versi ‘Quran dan Ahlulbait’ terujuk pada lebih dari 30 Sahabat. Ibnu Hajar Haitsami telah melaporkan bahwa dia mengetahui bahwa lebih dari 20 Sahabat juga mempersaksikannya.
Sementara versi ‘Quran dan Sunnah’ hanya dilaporkan oleh Hakim melalui hanya satu sumber. Jadi, mesti disimpulkan bahwa versi ‘Quran dan Ahlulbait’ adalah jauh lebih bisa dipegang. Lebih-lebih, Hakim sendiri juga menyebutkan versi’Quran dan Ahlulbait’ dalam kitabnva (al-­Mustadrak) melalui beberapa rantai otoritas (isnad), dan  menegaskan bahwa versi ‘Quran dan  Ahlulbait’ adalah hadis yang sahih sesuai berdasarkan kriteria yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim, hanya saja Bukhari tidak meriwayatkannya.
Lebih jauh, kata ‘Sunnah’ sendiri tidak memberikan landasan pengetahuan. Semua Muslim, tanpa memandang kepercayaan mereka, mengklaim bahwa mereka mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW. Perbedaan di antara kaum Muslim muncul dari perbedaan jalur periwayatan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Sedangkan hadis-hadis tersebut bertindak sebagai penjelas atas makna-makna Quran, yang keasliannya disepakati oleh semua Muslim. Maka, perbedaan jalur periwayatan hadis yang pada gilirannya mengantarkan pada perbedaan interpretasi atas Quran dan  Sunnah Nabi - telah menciptakan berbagai versi Sunnah. Semua Muslim, jadinya terpecah ke dalam berbagai mazhab, golongan, dan  sempalan, yang diyakini berjumlah sampai 73 golongan. Semuanya mengikuti Sunnah versi mereka sendiri yang mereka klaim sebagai Sunnah yang benar. Kalau demikian, kelompok mana yang mengikuti Sunnah Nabi? Golongan manakah dari 73 golongan yang cemerlang, dan akan tetap bertahan? Selain hadis yang disebutkan dalam Shahih Muslim di atas, hadis sahih berikut ini memberikan satu-satunya jawaban detail terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Rasulullah SAW telah bersabda:
Aku tinggalkan di antara kalian dua ‘perlambang’ yang berat dan  berharga, yang jika kalian berpegang erat pada keduanya kalian tidak akan tersesat setelahku. Mereka adalah Kitabullah dan keturunanku, Ahlulbait-ku. Yang Pemurah telah mengabariku bahwa keduanya tidak akan berpisah satu sama lain hingga mereka , datang menjumpaiku di telaga (surga).2

Tentu saja, setiap Muslim harus mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW. Demikian pula kami, pengikut Ahlulbait, tunduk kepada Sunnah asli yang betul-betul dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW dan  meyakininya sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Akan tetapi, hadis yang telah disebutkan di atas memberikan bukti bahwa setiap apa yang disebut sebagai Sunnah, yang bertentangan dengan Ahlulbait, adalah bukan Sunnah yang asli, melainkan Sunnah yang diadakan belakangan oleh beberapa individu bayaran yang menyokong para tiran. Dan inilah basis pemikiran mazhab Syi’ah (mazhab Ahlulbait). Ahlulbait Nabi, yakni orang-orang yang tumbuh dalam keluarga Nabi, adalah orang yang lebih mengetahui tentang Sunnah Nabi dan  pernik-perniknya dibandingkan dengan orang-orang selain mereka, sebagaimana dikatakan oleh pepatah: “Orang Mekkah lebih mengetahui gang-gang mereka daripada siapapun selain mereka.”
Secara argumentatif, bila kita menerima kesahihan kedua versi hadis tersebut (Quran-Ahlulbait dan Quran-Sunnah), maka seseorang mesti tunduk kepada interpretasi bahwa kata ‘Sunnah-ku’ yang diberikan oleh Hakim berarti Sunnah yang diturunkan melalui Ahlulbait dan bukan dan sumber selain mereka, sebagaimana yang tampak dari versi Ahlulbait yang diberikan oleh Hakim sendiri dalam al-Mustadrak-nya dan  oleh Muslim dalam Shahih-nya. Kini, marilah melihat hadis yang berikut ini:
Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda, ‘Ali bersama Quran, dan Quran bersama Ali. Mereka tidak akan berpisah satu sama lain hingga kembali kepadaku kelak di telaga (di surga).”3

Hadis di atas memberikan bukti bahwa Ali bin Abi Thalib dan Quran adalah tidak terpisahkan. Jika kita menerima keotentikan versi’Quran dan Sunnah’, maka orang dapat menyimpulkan bahwa yang membawa Sunnah Nabi adalah Imam Ali, sebab dialah orang yang diletakkan berdampingan dengan Quran.
Menarik untuk melihat bahwa Hakim sendiri memiliki banyak hadis tentang keharusan mengikuti Ahlulbait, dan  salah satunya adalah hadis berikut ini. Hadis ini juga diriwayatkan oleh banyak ulama Sunni lainnya, dan  dikenal sebagai ‘Hadis Bahtera’, yang dalamnya Nabi Muhammad SAW menyatakan, “Camkanlah! Ahlulbait-ku adalah seperti Bahtera Nuh. Barang siapa naik ke dalamnya selamat, dan barangsiapa berpaling darinya binasa.”4
Hadis di atas memberikan bukti fakta bahwa orang-orang yang mengambil mazhab Ahlulbait dan mengikuti mereka, akan diselamatkan dari hukuman neraka, sementara orang-orang yang berpaling dari mereka akan bernasib seperti orang yang mencoba menyelamatkan diri dengan memanjat gunung (tebing), dengan satu-satunya perbedaan adalah bahwa dia (anaknya Nuh yang memanjat tebing tersebut) tenggelam dalam air, sedangkan orang-orang ini tenggelam dalam api neraka. Hadis yang berikut ini juga menegaskan hal tersebut bahwa Nabi Muhammad SAW telah berkata tentang Ahlulbait; “Jangan mendahului mereka, kalian bisa binasa! Jangan berpaling dari mereka, kalian bisa binasa, dan  jangan mencoba mengajari mereka, sebab mereka lebih tahu dari kalian!”5
Dalam salah satu hadis yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Ahlulbait­ku adalah seperti Gerbang Pengampunan bagi Bani Israil. Siapa saja yang memasukinya akan terampuni.”6
Hadis di atas berhubungan dengan Surah al-Baqarah ayat 58 dan Surah al-A’raf ayat 161, yang menjelaskan Gerbang Pengampunan bagi Bani Israil, sahabat-sahabat Musa yang tidak memasuki Gerbang Pengampunan dalam ayat tersebut, tersesat di padang pasir selama empat puluh tahun. Sedangkan orang-orang yang tidak memasuki Bahtera Nuh, tenggelam. Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa:
Analogi ‘Bahtera Nuh’ mengisyaratkan bahwa barang siapa yang mencintai dan memuliakan Ahlulbait, dan mengambil petunjuk dari mereka akan selamat dari gelapnya kekafiran, dan barang siapa yang menentang mereka akan tenggelam di samudra keingkaran, dan akan binasa dalam ‘sahara’ kedurhakaan dan pemberontakan.7

Sudahkah kita bertanya kepada diri kita sendiri, mengapa Nabi ‘Muhammad SAW begitu menekankan Ahlulbait? Apakah hanya disebabkan karena mereka adalah keluarga beliau, atau karena mereka membawa ajaran-ajaran (Surunah) beliau yang benar dan  mereka adalah individu-­individu yang paling berpengetahuan di antara masyarakat setelah beliau tiada?
Berbagai versi dari ‘Hadis Dua Barang Berat (ats-Tsaqalain)’, yang membuktikan secara konklusif tentang perintah untuk mengikuti Quran dan Ahlulbait, adalah hadis-hadis yang tidak biasa. Hadis-hadis ini sering diulang-ulang dan dihubungkan dengan otoritas lebih dari 30 sahabat Nabi Suci melalui berbagai sumber. Nabi Suci senantiasa mengulang dan  mengulang kata-kata ini (dan tidak hanya dalam satu keadaan, tetapi bahkan pada berbagai kesempatan) di depan publik, untuk menunjukkan kewajiban mengikuti dan menaati Ahlulbait. Beliau mengatakannya kepada khalayak pada saat Haji Perpisahan, pada hari Arafah, pada hari Ghadir Khum, pada saat kembali dari Tha’if, juga di Madinah di.atas mimbar, dan di atas peraduan beliau saat kamar beliau penuh sesak oleh sahabat-sahabat beliau, beliau bersabda,
Wahai saudara-saudara! Sebentar lagi aku akan berangkat dari sini, dan  meskipun aku telah memberitahu kalian. Aku ulangi sekali lagi bahwa aku meninggalkan di antara kalian dua barang, yaitu Kitabullah dan keturunanku, yakni Ahlulbait-ku. (Kemudian beliau mengangkat tangan Ali dan berkata) Camkanlah! Ali ini adalah bersama Quran dan Quran adalah bersamanya. Keduanya tidak akan pernah berpisah satu sama lain hingga datang kepadaku di Telaga Kautsar.8

Ibnu Hajar Haitsami menulis, “Hadis-hadis tentang berpegang teguh itu telah dicatat melalui sejumlah besar sumber dan  lebih dari 20 sahabat telah dihubungkan dengannya.”
Selanjutnya dia menulis,
“Di sini (mungkin) muncul keraguan, dan keraguan itu adalah bahwa hadis-hadis itu telah datang melalui berbagai sumber, sebagian mengatakan bahwa kata-kata itu diucapkan pada saat haji Wada. Yang lainnya mengatakan kata-kata itu diucapkan di Madinah ketika beliau berbaring di peraduan beliau dan kamar beliau penuh sesak dengan para sahabat beliau. Namun yang lainnya lagi mengatakan bahwa beliau di Ghadir Khum. Atau hadis yang lain pada saat Tha’if. Tetapi tidak terdapat inkonsistensi di sini, sebab dengan memandang penting dan agungnya Quran dan Ahlulbait yang suci, dan dengan penekanan pokok masalah di depan orang-­orang, Nabi Suci bisa jadi telah mengulang-ulang kata-kata ini pada semua kesempatan tersebut sehingga orang yang belum mendengar sebelumnya dapat mendengarnya kini.9

Menyimpulkan hadis di atas, Quran dan Ahlulbait adalah dua barang berharga yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada kaum Muslim, dan Nabi menyatakan bahwa jika kaum Muslim mengikuti keduanya mereka tidak akan tersesat setelah beliau, dan mereka akan dihantarkan ke surga, dan bahwa siapa yang mengabaikan Ahlulbait tidak akan bertahan. Hadis di atas telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menjawab ‘Sunnah’ mana yang asli dan kelompok mana yang membawa ‘Sunnah’ yang benar dari Nabi Muhammad SAW. Tujuannya adalah untuk tidak membiarkan kaum Muslim tersesat jalan setelah kepergian Nabi Muhammad SAW. Di samping itu, jika kita menggunakan kata ‘Sunnah’ saja, hal itu tidak memberikan jawaban spesifik atas persoalan ini, sebab setiap kelompok Muslim mengikuti Sunnah versi mereka sendiri maupun interpretasi mereka atas Quran dan Sunnah tersebut. Jadi, perintah Nabi ini jelas untuk mendorong kaum Muslim untuk mengikuti interpretasi Quran dan Sunnah Nabi yang diturunkan melalui saluran Ahlulbait yang keterbebasan mereka dari dosa, kesucian mereka dan kesalehan mereka ditegaskan oleh Quran suci (kalimat terakhir dari surah ke 33, al-Ahzab ayat 33).
Maksud tulisan ini adalah semata-mata untuk memperlihatkan bahwa pandangan Syi’ah tentang kedudukan penting Ahlulbait dan Kepemimpinan (Imamah) mereka tidaklah kabur. Dalam hal ini, kami ingin menyumbangkan pemahaman yang lebih baik di antara kaum ‘Muslim sehingga dapat membantu mengurangi permusuhan beberapa orang terhadap pengikut Ahlulbait Nabi Muhammad SAW.
Fakta bahwa kami (Syi’ah) telah mengambil akidah yang berbeda dari akidah Asy’ariyah sejauh mengenai ushuluddin, dan berbeda dari empat mazhab fikih Sunni sejauh mengenai syariah, ibadah ritual dan ketaatan, tidaklah didasarkan atas sektarianisme atau persangkaan belaka. Tetapi, penalaran teologis lah yang telah mengantarkan kami untuk mengambil akidah para Imam anggota Ahlulbait Nabi Suci, Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, kami seluruhnya secara sendiri-sendiri telah mengikatkan diri kami sendiri kepada mereka dalam hal ketaatan maupun keyakinan, dalam pengambilan pengetahuan kami dari Quran dan Sunnah Nabi, dan  dalam seluruh nilai-nilai material, moral dan  spiritual yang didasarkan atas hujah-hujah logis dan teologis. Kami melakukan semua itu dalam rangka menaati Nabi Suci SAW dan  menundukkan diri di hadapan Sunnah beliau.
Jika saja kami tidak diyakinkan oleh bukti-bukti untuk menolak seluruh Imam selain Ahlulbait, dan untuk mencari jalan mendekati Allah SWT hanya melalui mereka, kami mungkin. telah cenderung kepada akidah mayoritas Muslim demi persatuan dan persaudaraan. Namun, penalaran yang tak terbantahkan menyuruh kepada seorang yang beriman untuk mengikuti kebenaran, tanpa memandang pertimbangan apapun selainnya.
Muslim mayoritas tidak akan dapat memberikan argumen apapun untuk menunjukkan mana di antara empat mazhab fikih mereka yang paling benar. Adalah tidak mungkin untuk mengikuti semuanya, dan  karena itu, sebelum orang dapat mengatakan wajibnya mengikuti mereka, orang itu mesti membuktikan mazhab yang mana (dari keempat mazhab) yang harus diikuti. Kami telah mencermati argumen-argumen Mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali, dengan pandangan mata seorang pencari kebenaran, dan kami telah jauh menelitinya, namun kami tidak menemukan jawaban atas permasalahan ini, kecuali bahwa mereka (empat Imam tersebut) diyakini sebagai fukaha yang besar dan jujur dan  orang-orang yang adil. Tetapi, anda pasti sepenuhnya sadar bahwa kemampuan dalam syariah, kejujuran, keadilan dan kebesaran bukanlah monopoli empat orang tersebut. Lalu, mengapakah ada kewajiban untuk mengikuti mereka?
Kami tidak yakin bahwa ada orang yang meyakini bahwa empat orang Imam ini dalam hal apapun lebih baik dari Imam-Imam kami, keturunan yang suci dan murni dari Nabi Muhammad SAW, bahtera keselamatan, Gerbang Pengampunan, yang melalui mereka lah kita dapat menjaga dari perselisihan dalam masalah-masalah keagamaan, sebab mereka adalah simbol petunjuk, dan pemimpin-pemimpin menuju jalan yang lurus.
Namun sayang, setelah wafatnya Nabi Suci SAW, politik mulai memainkan perannya dalam urusan-urusan agama, dan anda tahu apa yang akhirnya terjadi di jantung Islam. Selama masa-masa penuh cobaan ini, Syi’ah terus memegang teguh Quran dan para Imam Ahlulbait yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW sebagai dua barang yang paling berat (atraksi). Telah terdapat beberapa sekte ekstrem (ghulat) yang muncul di setiap saat dalam perjalanan sejarah Islam. Namun, tubuh utama Syi’ah tidak pernah menyimpang dari jalur tersebut sejak masa Ali bin Abi Thalib dan Fathimah hingga hari ini.
Syi’ah sudah ada ketika Asyari (Abu Hasan Asyari) dan empat Imam Sunni belum lahir dan belum terdengar suaranya. Hingga tiga generasi pertama sejak masa Nabi Suci SAW, Asyari dan  empat Imam Sunni belumlah dikenal. Asyari lahir pada 270-320 H, Ibnu Hanbal lahir pada 164-241 H, Syafi’i lahir pada 150-204 H, Malik lahir pada 95-169 H, sedangkan Abu Hanifah lahir pada 80-150 H.
Syi’ah, di sisi lain, mengikuti jalur Ahlulbait, yang termasuk dalamnya Ali bin Abi Thalib, Fathimah binti Muhammad Rasulullah SAW, Hasan bin Ali bin Abi T’halib dan Husain bin Ali bin Abi Thalib yang semuanya hidup sezaman dengan Nabi Muhammad SAW dan  tumbuh besar dalam keluarga beliau.
Sejauh mengenai pengetahuan Imam-Imam Ahlulbait, cukuplah dikatakan bahwa Ja’far Shadiq adalah guru dua Imam Sunni, yaitu Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Abu Hanifah mengatakan, “Kalaulah tanpa dua tahun itu, Nu’man pasti sudah celaka,” merujuk pada dua tahun dia menimba ilmu dari Ja’far Shadiq. Malik juga mengakui dengan terus terang bahwa dia tidak pernah menemukan seorangpun yang lebih terpelajar (berilmu) dalam fikih Islam dari pada Ja’far Shadiq.
Khalifah Abbasiyah, Manshur, memerintahkan Abu Hanifah untuk mempersiapkan sejumlah pertanyaan yang sulit untuk Ja’far tentang hukum Islam dan menanyakannya kepada Ja’far di hadapan Manshur. Abu Hanifahpun mempersiapkan 40 pertanyaan yang sulit dan menanyakannya . kepada Ja’far di depan Manshur. Imam tidak hanya menjawab seluruh pertanyaan tersebut, tetapi bahkan mengemukakan pandangan ulama­-ulama Irak dan Hijaz (pada saat itu). Dalam kesempatan tersebut, Abu Hanifah berkomentar, “Sungguh, orang yang paling berilmu di antara manusia adalah orang yang paling tahu tentang perbedaan pendapat di antara mereka.”10
Malik, Imam Sunni yang lain, berkata;
“Aku biasa datang kepada Ja’far bin Muhammad dan bersamanya untuk jangka waktu yang lama. Setiap aku mengunjungi dia, aku menemukannya sedang salat (berdoa), puasa, atau sedang membaca Quran. Setiap dia melaporkan sebuah pernyataan dari Rasulullah, dia sedang dalam keadaan berwudhu. Dia adalah seorang ahli ibadah yang terkemuka yang tidak mempedulikan dunia materi. Dia termasuk salah seorang yang takut kepada Allah.11

Syaikh Muhammad Abu Zahrah, salah seorang Ulama Sunni kontemporer, berkata;
“Ulama-ulama dari berbagai mazhab Islam tidak pernah sepakat secara bulat dalam satu masalah seperti kesepakatan mereka mengenai pengetahuan Imam Ja’far dan keutamaan beliau: Imam Sunni yang hidup pada zaman beliau adalah murid-murid beliau. Malik adalah salah seorang murid beliau dan salah seorang dari orang-orang yang hidup sezaman dengannya, misalnya Sufyan Tsauri dan lain-lain. Abu Hanifah adalah juga salah seorang murid beliau, meskipun usia keduanya hampir sama, dan dia (Abu Hanifah) menganggap Imam Ja’far sebagai orang yang paling berilmu di dunia Islam (saat itu).12

Ikatan persatuan dan persaudaraan dapat dikuatkan, dan perselisihan dapat dihentikan, jika seluruh Muslim sepakat bahwa mengikuti Ahlulbait adalah sebuah keharusan. Dalam kenyataannya, banyak ulama besar Sunni telah mengakui mazhab Syi’ah sebagai salah satu mazhab Islam yang ­paling kaya karena adanya penalaran mendalam dalam diri mereka bahwa ilmu-ilmu di mazhab Syi’ah diturunkan dari Ahlulbait Nabi Muhammad SAW, yang kesucian dan keunggulan pengetahuan mereka ditegaskan oleh Quran. Ulama-ulama Sunni semacam itu bahkan telah mengeluarkan fatwa bahwa orang-orang Sunni dapat mengikuti fikih ‘Syi’ah Dua Belas Imam’. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Syaikh Mahmud Syaltut, rektor Universitas Azhar.
Lebih-lebih, perselisihan yang ada di antara berbagai mazhab Sunni sendiri sama sekali tidak lebih sedikit dari pada persesuaian antara Syi’ah dan Sunni. Sejumlah besar tulisan dari ulama-ulama kedua mazhab akan membuktikan hal ini.
Karena menurut hadis ats-Tsaqalain Ahlulbait membawa beban yang sama di mata Allah SWT dengan Quran suci, maka yang pertama (Ahlulbait) akan memiliki kualitas yang sama dengan yang kedua (Quran). Sebagaimana benarnya Quran dari permulaan hingga akhir tanpa bayang-­bayang keraguan sedikitpun, dan sebagaimana wajibnya bagi setiap Muslim untuk mematuhi perintah-perintahnya, demikian pula dengan Ahlulbait yang membawa petunjuk yang sempurna dan lurus, yang perintahnya mesti diikuti oleh semua orang.
Oleh karena itu, tidak ada kemungkinan untuk melarikan diri dari menerima kepemimpinan mereka dan mengikuti kepercayaan dan akidah mereka. Kaum Muslim terikat oleh hadis Nabi Suci tersebut untuk mengikuti mereka, dan bukan selain mereka. Sebagaimana tidak mungkin bagi setiap Muslim berpaling dari Quran suci atau mengambil sekumpulan hukum-hukum yang menyimpang darinya, demikian pula ketika Ahlulbait telah dipaparkan dengan tegas tanpa keraguan sebagai setara berat dan pentingnya dengan Quran, maka sikap yang sama harus diambil berkenaan dengan perintah-perintah mereka, dan  tidak diperbolehkan menyimpang dari mereka untuk mematuhi orang-orang yang lain.
Setelah menyebutkan hadis at-Tsaqalain, Ibnu Hajar berkeyakinan bahwa; “Kata-kata ini menunjukkan bahwa Ahlulbait yang memiliki keistimewaan itu adalah orang-orang yang paling unggul di antara manusia.”13
Rasulullah telah bersabda;
“Siapa yang ingin hidup dan mati seperti aku, dan masuk surga (setelah mati) yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku, yakni surga yang tak pernah habis, haruslah mengakui Ali sebagai penyokongnya setelahku, dan  setelah dia (Ali) harus mengakui anak-anak Ali, sebab mereka adalah orang-orang yang tidak akan pernah membiarkanmu keluar dari pintu petunjuk, tidak pula mereka akan memasukkanmu ke pintu kesesatan!”4

Pada bagian lain, signifikansi kepemimpinan Ahlulbait telah ditegaskan oleh analogi menawan dari Rasulullah SAW berikut ini:
“Kedudukan Ahlulbait di antara kalian adalah seperti kepala bagi tubuh, atau mata bagi wajah, sebab wajah hanya dibimbing oleh mata.”15
Rasulullah SAW juga telah bersabda, “Ahlulbait-ku adalah tempat yang aman untuk melarikan diri dari kekacauan agama.” (Mustadrak Hakim).
Hadis ini, karena itu, tidak meninggalkan sedikitpun ruangan untuk keraguan apapun. Tidak ada jalan lain kecuali mengikuti Ahlulbait dan meninggalkan semua pertentangan dengan mereka.
Rasulullah bersabda, “Mengakui ali Muhammad (keluarga Muhammad) berarti keselamatan dari Neraka, dan kecintaan kepada mereka merupakan kunci untuk melewati jembatan Sirath (al-Mustaqim), dan ketaatan kepada mereka adalah perlindungan dari kemurkaan Ilahi.”16
Abdullah bin Hantab menyatakan, “Rasulullah SAW menghadap ke kita di Juhfah seraya mengatakan, `Bukankah aku memiliki hak yang lebih besar atas dirimu dibandingkan dengan dirimu sendiri?’ Mereka semua menjawab, ‘Tentu saja.’ Lalu beliau bersabda, ‘Aku akan meminta pertanggung jawabanmu atas dua perkara, yaitu Kitabullah dan keturunanku.’17
Oleh karena itu, alasan bahwa kami mengambil akidah Ahlulbait sebagai pengecualian atas yang lainnya adalah karena Allah Sendiri yang telah memberikan preferensi kepada mereka saja. Cukuplah untuk mengutip syair Syafi’i (salah satu Imam Sunni) tentang Ahlulbait yang berbunyi sebagai berikut:
Ahlulbait Nabi,
Kecintaan kepadamu adalah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepada manusia,
Allah telah mewahyukannya dalam al-Quran, Cukuplah di antara keagungan kedudukanmu bahwa Barang siapa yang tidak bersalam kepadamu, salatnya tidak sah. Jika kecintaan kepada Ahlulbait Nabi adalah Rafidhi (menolak), Maka biarlah seluruh manusia dan jin mempersaksikan bahwa aku adalah seorang Rafidhi.18

Dalam salat kita, dan kami yakin juga dalam salat anda, kita tentu mengucapkan ; “Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Ya, Allah, sampaikanlah shalawat-Mu pada Muhammad dan keluarganya!” (Asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasuluh. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad).

Ahlulbait dalam Quran dan Hadis
Menurut hadis-hadis yang paling sahih dalam koleksi kitab hadis sunni dan Syi’ah, Ahlulbait (orang-orang anggota keluarga) Nabi adalah sa1ah satu simbol Islam yang paling berharga setelah kepergian Nabi Muhammad SAW. Terdapat banyak hadis dalam koleksi kitab hadis di kedua mazhab yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan kita untuk berpegang erat kedua perkara yang berat (ats­-Tsalaqalain), yakni Quran dan Ahlulbait, agar tidak tersesat setelah tiadanya beliau. Rasulullah SAW juga telah mengabarkan kepada kita bahwa kedua perkara berharga itu tidak akan berpisah dan selalu akan bersama hingga Hari Perhitungan. Hal ini mengharuskan kita bahwa dalam memahami penafsiran Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, kita mesti merujuk kepada orang-orang yang telah dilekatkan kepadanya, yakni Ahlulbait.
Mengetahui siapakah sesungguhnya Ahlulbait, karena itu, menjadi sesuatu yang sangat vital ketika orang meyakini hadis Nabi di atas maupun hadis-hadis lainnva yang dengan tegas menyatakan bahwa mengikatkan diri kepada Ahlulbait adalah satu-satunya jalan keselamatan. Hal ini dengan jelas memberikan implikasi bahwa seseorang yang mengikuti Ahlulbait yang ‘bukan sebenarnya’ akan tersesat.
Dalam menimbang secara kritis dan pentingnya masalah ini, tidak mengherankan jika terdapat perbedaan pandangan antara Syi’ah dan  Sunni. Dalam kenyataannya, Sunni tidak memiliki suara yang satu dalam mencirikan Ahlulbait Nabi. Kebanyakan Sunni berpendapat bahwa Ahlulbait Nabi Muhammad SAW adalah Fathimah Zahra binti Muhammad SAW; Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan istri-istri Nabi Muhammad SAW.
Kelompok Sunni yang lain lebih jauh bahkan memasukkan semua keturunan Nabi Muhammad SAW ke dalam daftar tersebut!
Kelompok Sunni lainnya malah begitu murah hati dan menyertakan semua keturunan Abbas (Abbasiah) maupun keturunan Agil dan Ja’far (keduanya saudara Ali bin Abi Thalib) ke dalam daftar di atas. Namun, mesti dicatat bahwa terdapat ulama-ulama Sunni terkemuka yang tidak memasukkan istri-istri Nabi Muhammad SAW ke dalam Ahlulbait Nabi Muhammad SAW. Hal ini bersesuaian dengan pandangan Syi’ah.
Bagi Syi’ah, Ahlulbait Nabi Muhammad SAW hanya terdiri atas individu-individu berikut ini: Fathimah Zahra, Ali, Hasan, Husain, dan sembilan orang Imam keturunan Husain. Dan jika dimasukkan Nabi Muhammad SAW ke dalamnya, mereka akan menjadi empat belas orang. Tentu saja, pada masa hidup Nabi Muhammad SAW hanya lima orang dari mereka yang hidup, dan sisanya belumlah lahir. Lebih jauh Syi’ah menegaskan bahwa ke-14 orang ini dilindungi Allah dari segala noda, dan karenanya layak untuk diikuti di samping Quran (simbol yang berat lainnya), dan hanyalah mereka yang memiliki pengetahuan sang sempurna tentang penjelasan (tafsir) ayat-ayat Quran.
Dalam diskusi ini, kami akan menjelaskan mengapa Syi ah mengeluarkan istri-istri Nabi Muhammad SAW dari Ahlulbait, dan juga kami akan mendiskusikan secara ringkas mengapa Ahlulbait terlindungi (maksum). Kami akan mendasarkan pembuktian kami atas: Quran, hadis-hadis dari koleksi kitab-kitab hadis sahih Sunni, dan kejadian-kejadian sejarah.

Bukti dari Quran
Kitab suci Quran menyebutkan Ahlulbait dan keutamaan khusus mereka dalam ayat berikut ini yang dikenal sebagai ‘Ayat Penyucian’ Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala kekotoran (rijs) dari kamu, wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya. (QS. al-Ahzab: 33)
Perhatikanlah bahwa kata ‘rijs’ dalam ayat di atas mendapatkan awalan al- yang membuat makna kata tersebut menjadi umum/universal. Jadi ‘ar-Rijs’ bermakna setiap jenis ketidak murnian/kekotoran. Juga, dalam kalimat terakhir ayat di atas, Allah menegaskan ‘dan mensucikanmu sesuci-sucinya’. Kata ‘sesuci-sucinya’ merupakan makna penegasan dari masdar ‘tathhiran’. Inilah satu-satunya ayat dalam Quran di mana Allah SWT menggunakan penekanan ‘sesuci-sucinya’.
Menurut ayat di atas, Allah SWT mengungkapkan kehendaknya untuk menjaga agar Ahlulbait tetap suci dan tanpa noda/dosa, dan apa yang dikehendaki Allah SWT pasti terjadi, sebagaimana yang ditegaskan oleh Quran, Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, hanya mengatakan ‘Kun (jadilah),’ maka jadilah ia. (QS. an-Nahl : 40)
Memang benar, manusia bisa saja tidak punya dosa, sebab dia tidak dipaksa untuk melakukan dosa. Adalah pilihan manusia untuk menerima perintah Allah SWT dan mendapatkan pertolongan-Nya dalam menghindar atau untuk mengabaikan perintah Allah dan melakukan dosa. Allah adalah Penasehat, Pemberi kabar gembira dan Pemberi peringatan. yang tanpa dosa, tidak diragukan lagi, adalah tetap manusia. orang meyakini bahwa untuk menjadi manusia, orang mesti  memiliki kesalahan. Pendapat semacam ini tidak memiliki dasar sama sekali. Yang benar adalah bahwa manusia dapat berbuat dosa, tetapi dia tidak diharuskan untuk melakukannya.
Adalah merupakan Kelembutan Allah SWT bahwa Dia menarik hamba-hamba-Nya menuju Dia, tanpa memaksa mereka sama sekali. Inilah pilihan kita untuk mengejar tarikan tersebut dan menahan diri dari berbuat kesalahan, atau berpaling dan melakukan kesalahan. Bagaimanapun, Allah SWT telah menjamin untuk menunjukkan jalan lurus’ dan memberikan kehidupan yang suci kepada mereka yang mencarinya.
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang suci (thayyibah) .(QS. an-Nahl : 97)
Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menunjukkan baginya jalan keluar. (QS. at-Thalaq : 2)

Bermanfaat kiranya untuk disebutkan bahwa ayat al-Ahzab 33, yang berkaitan dengan pensucian Ahlulbait, telah diletakkan di tengah-tengah ayat yang berkenaan dengan istri-istri Nabi Muhammad SAW, dan  inilah yang menjadi alasan utama beberapa orang Sunni yang memasukkan istri-istri Nabi Muhammad SAW ke dalam Ahlulbait. Namun, kalimat yang berhubungan dengan Ahlulbait (QS. al-Ahzab : 33) berbeda dengan kalimat-kalimat sebelumnya dan  sesudahnya dengan perbedaan yang amat jelas. Kalimat-kalimat sebelum dan sesudahnya menggunakan hanya kata ganti perempuan, yang secara jelas ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya, kalimat di atas menggunakan hanya kata ganti laki-laki, yang dengan jelas menunjukkan bahwa Quran mengalihkan objek individu-individu yang dirujukinya.
Orang yang akrab dengan Quran pada tingkat tertentu, mengetahui bahwa pergantian Rujukan yang tajam semacam itu bukanlah hal yang aneh, dan ini telah terjadi pada berbagai tempat dalam Quran, Wahai Yusuf Berpalinglah dari ini dan mohon ampunlah (hai istriku) atas dosamu itu, karena kamu (istriku) termasuk orang-orang yang berbuat salah! (QS.Yusuf : 29).
Dalam ayat di atas, ‘Hai istriku’ tidak disebutkan dan Rujukan kepada Yusuf tampak tetap berlanjut. Namun, pergantian Rujukan dari laki-laki kepada perempuan dengan jelas menunjukkan bahwa kalimat yang kedua ditujukan kepada istri Aziz, dan bukan kepada Nabi Yusuf as. Perhatikan bahwa kedua kalimat itu berada dalam satu ayat! Catat juga bahwa pergantian Rujukan dari istri Aziz kepada Yusuf, dan kemudian sekali lagi berganti kepada istri Aziz jalam ayat-ayat sebelum ayat 29 adalah juga dalam satu kalimat.
Dalam bahasa Arab, ketika sekelompok perempuan adalah yang dituju, maka  digunakan kata ganti perempuan. Namun, jika ada satu laki-laki di antara mereka, maka digunakan kata ganti laki-laki. Jadi, kalimat Quran di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Allah menunjukannya kepada sekelompok orang yang berbeda dari istri-istri Nabi Muhammad SAW, sebab menggunakan kata ganti laki-laki, dan bahwa kelompok tersebut mengandung perempuan.
Jika hanya menyandarkan pada al-Ahzab 33, kita tidak dapat disimpulkan  bahwa istri-istri Nabi Muhammad SAW tidak termasuk  dalam Ahlulbait. Hal ini dapat dibuktikan lebih lanjut dengan hadis­–hadis sahih Sunni dari koleksi Shihah as-Sittah yang menyebutkan tentang siapakan Ahlulbait, dan juga melalui pembandingan antara spesifikasi Ahlulbait  yang diberikan oleh Quran dengan kelakuan dari beberapa isteri  Nabi Muhammad SAW yang disebutkan dalam Shihah as-Sittah, untuk membuktikan hal yang sebaliknya (bahwa istri-istri Nabi Muhammad SAW tidak termasuk ke dalam Ahlulbait).
Apa yang dapat dipahami dari hanya Surah al-Ahzab ayat 33 adalah bahwa  Allah SWT mengalihkan Rujukan pembicaraannya (yang adalah istri­- isteri Nabi  Muhammad SAW secara eksklusif pada permulaan ayat) kepada beberapa orang yang termasuk dalamnya perempuan, dan bisa jadi atau tidak bisa jadi termasuk istri-istri Nabi Muhammad SAW.



Hadis Sahih
Adalah menarik untuk melihat bahwa baik Shahih Muslim dan Shahih Tirmidzi  maupun yang lainnya, menegaskan pandangan Syi’ah yang telah di atas. Dalam Shahih Muslim, terdapat sebuah bab yang diberi nama ‘Bab Tentang Keutamaan Sahabat’. Dalam bab ini, terdapat satu bagian yang dinamakan ‘Bagian Tentang Keutamaan Ahlulbait Nabi. Dalamnya hanya terdapat satu hadis, dan  hadis tersebut tidak ada hubungannya dengan istri-istri Nabi Muhammad SAW. Hadis ini dikenal sebagai hadis tentang mantel (Hadis al-Kisa), dan berbunyi sebagai berikut:
Aisyah menceritakan, “Suatu hari Nabi Muhammad SAW keluar sore­-sore dengan mengenakan mantel hitam (kain panjang), kemudian Hasan bin Ali datang dan Nabi menampungnya dalam mantel, lalu Hasan datang dan masuk ke dalam mantel, lalu Fathimah datang dan  Nabi memasukkannya ke dalam mantel, lalu Ali  datang dan Nabi memasukkannya juga ke dalam mantel. Kemudian  Nabi berucap, ‘Sesungguhnnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala kekotoran (najis) dari kamu, wahai Ahlulbait dan  mensucikanmu sesuci – sucinya  (kalimat terakhir dari QS. al-Ahzab : 33).19]

Orang dapat melihat bahwa penyusun Shahih Muslim menegaskan bahwa : Pertama, Ali, Fathimah, Hasan dan  Husain adalah termasuk Ahlulbait. Ke dua, kalimat pensucian dalam Quran (kalimat terakhir QS. al-Ahzab : 33) diturunkan bagi keutamaan orang-orang yang disebutkan di atas, dan  bukan untuk istri-istri Nabi Muhammad SAW.
Muslim (penyusun kitab tersebut) tidak menuliskan satu pun hadis lain dalam bagian ini (bagian tentang keutamaan Ahlulbait). Jika saja penyusun Shahih Muslim meyakini bahwa istri-istri Nabi Muhammad SAW adalah dalam Ahlulbait, dia tentu sudah mengutipkan hadis-hadis tentang mereka dalam bagian ini.
Adalah menarik melihat bahwa Aisyah, salah seorang istri Nabi Muhammad SAW, adalah perawi dari hadis di atas, dan dia sendiri menegaskan bahwa Ahlulbait adalah orang-orang yang telah disebutkan di atas.
Salah satu versi lain dari ‘hadis mantel’ tertulis dalam Shahih Tirmidzi, yang diriwayatkan oleh Umar bin Abi Salamah, putra dari Ummu Salamah (istri Nabi yang lain), yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak...(QS. al-Ahzab : 33) diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam rumah Ummu Salamah. Sehubungan dengan hal itu, Nabi mengumpulkan Fathimah, Hasan, Husain, dan menutupi mereka dengan sebuah mantel (kisa), dan beliau juga menutupi Ali yang berada di belakang beliau. Kemudian Nabi berseru, “Ya, Allah! Inilah Ahlulbait-ku! Jauhkan mereka dari setiap kekotoran, dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya!’ Ummu Salamah (istri Nabi) menanyakan, “Apakah aku termasuk ke dalam kelompok mereka wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Kamu tetap di tempatmu dan kamu menuju akhir yang baik.20
Terlihat bahwa Tirmidzi juga menegaskan bahwa Ali, Fathimah, Hasan, dan  Husain adalah Ahlulbait, dan  kalimat pensucian dalam Quran (kalimat terakhir dari al-Ahzab ayat 33) diturunkan untuk keutamaan  orang-orang tersebut, dan bukan untuk istri-istri Nabi Muhammad SAW. Tampak juga dari hadis sahih di atas bahwa Nabi sendiri yang mengeluarkan isteri  beliau dari Ahlulbait. Jika Ummu Salamah adalah termasuk dalam kelompok Ahlulbait, mengapa beliau SAW tidak menjawabnya secara positif? Mengapa beliau tidak memasukkannya ke dalam mantel? Mengapa Nabi Muhammad SAW menyuruh dia untuk tetap di tempatnya? Jika saja Nabi Muhammad SAW memasukkan Ummu Salamah ke dalam kelompok Alhubait, beliau tentu sudah memasukkannya ke dalam mantel dan akan segera berdo’a untuk kesuciannya.
Perlu juga disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengatak­an, “Inilah sebagian di antara Ahlulbaitku!’ Alih-alih, beliau berkata, inilah Ahlulbaitku!” Sebab tidak ada anggota lain Ahlulbait yang hidup, pada masa Nabi Muhammad SAW. Perhatikan juga bahwa Ummu Salamah, isteri Nabi yang saleh, adalah perawi dari hadis ini kepada anaknya dan memberikan pernyataan tentang siapakah Ahlulbait itu!
Dalam hadis Hakim, bunyi pertanyaan dan jawabnya dalam kalimat terakhir dari hadis ini adalah:
Umma Salamah berkata, “Ya Nabi Allah! Tidakkah aku termasuk salah seorang anggota keluargamu?” Nabi Suci menjawab, “Kamu memiliki masa depan yang baik (tetap berada dalam kebaikan), tetapi hanya inilah anggota keluargaku. Ya Rabbi, anggota keluargaku lebih berhak!”21
Dan bunyi kalimat yang dilaporkan oleh Suyuthi dan Ibnu Atsir adalah sebagai berikut. Ummu Salamah berkata kepada Nabi Suci SAW, Apakah aku termasuk juga salah seorang dari mereka?” Nabi Muhammad SAW menjawab, “Tidak, kamu mempunyai kedudukan khususmu sendiri dan masa depanmu adalah baik.
Thabari juga mengutip Ummu Salamah yang mengatakan bahwa dia berkata, “Ya, Nabi Allah” Tidakkah aku termasuk juga salah seorang Ahlulbaitmu? Aku bersumpah demi Yang Maha Besar bahwa Nabi Suci tidak menjaminku dengan keistimewaan apapun kecuali bersabda Kamu memiliki  masa depan baik.
Inilah variasi sahih lainnya tentang  Hadis Mantel yang dinisbahkan kepada Shafiyah, yang juga salah seorang istri Nabi Muhammad SAW. Ja’far bin Abi Thalib meriwayatkan:
Pada waktu Rasulullah merasa bahwa rahmat dari Allah akan turun, beliau menyuruh Shafiyah, “Panggilkan untukku! Panggilkan untukku!” Shafiyah berkata, “Panggilkan siapa wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Panggilkan Ahlulbaitku yaitu Ali Fathimah, Hasan dan Husain!” Maka kami kirimkan (orang) untuk (mencari) mereka dan merekapun datang kepada beliau. Kemudian Nabi Muhammad SAW membentangkan mantel beliau ke atas mereka dan mengangkat tangan beliau (ke langit) dan berkata, “Ya, Allah! Inilah keluargaku (‘aalii), maka berkahilah Muhammad dan keluarga (‘aali) Muhammad” Dan Allah, pemilik Kekuatan Keagungan, mewahyukan, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala kekotoran (najis) dari kamu, wahai Alhubait dan  mensucikanmu sesuci-sucinya.24
Meskipun mayoritas hadis – hadist tentang masalah ini menunjukkan bahwa kalimat terakhir dari al-Ahzab ayat 33 diturunkan di rumah Ummu Salamah sebagaimana telah dikutip di muka, hadis di atas memberikan implikasi bahwa ayat tersebut bisa jadi telah diturunkan juga di rumah Shafiyah. Berdasarkan pandangan ulama-ulama Sunni, termasuk Ibnu Hajar, adalah sangat mungkin bahwa ayat ini diturunkan lebih dari sekali.
Dalam setiap kesempatan itu, Nabi mengulang-ulang tindakan beliau tersebut di depan istri beliau yang berbeda-beda agar mereka semuanya menyadari siapakah Ahlulbait itu.
Ucapan ketiga istri Nabi Muhammad SAW (Aisyah, Ummu Salameh Shafiyah) tidak meninggalkan kepada kita sebuah ruangan pun semuanya menyakini bahwa Ahlulbait pada masa hidup Nabi. Tidak lebih dari lima orang; Nabi Muhammad SAW, Fathimah, Ali, Hasan dan Husain.
Fakta bahwa kata ganti bagian terakhir al – Ahzab ayat 33 beralih dari  perempuan menjadi laki-laki telah menghantarkan mayoritas ahli Sunni untuk meyakini bahwa bagian terakhir tersebut diturunkar berkenaan  dengan Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, sebagaimana yang di tampakkan oleh Ibnu Hajar Haitsami:
Berdasarkan pada pendapat mayoritas ahli tafsir (Sunni), firman Allah ‘Sesungguhnya Allah berkehendak... (kalimat terakhir dari ayat 33:33) diturunkan untuk Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain, sebab penggunaan kata ganti laki-laki pada kata ‘ankum’ dan seterusnya. 25
Meskipun Syi’ah telah memberikan kehormatan yang amat besar kepada istri-istri yang sangat saleh dari istri-istri beliau SAW, misalnya Khadijah, Ummu Salamah, Ummu Aiman dan sebagainya, namun kami bahkan tidak memasukkan orang-orang yang sangat dihormati tersebut kedalam Ahlulbait sebab Nabi Muhammad SAW dengan jelas mengeluarkan dari Ahlulbait sesuai dengan hadis-hadis sahih dari Sunni maupun Syi’ah. Ahlulbait memiliki keutamaan khusus yang tidak dimiliki seorang pun yang saleh di dunia ini setelah Nabi Muhammad SAW. Keutamaan tersebut menurut Quran adalah kemaksuman, keterbebasan dari noda dan kesucian yang sempurna.

Ahlulbait dalam Hadis
Dalam bagian sebelumnya, tiga hadis sahih tentang mantel (hadis al-Kisa) dilaporkan dalam Shaih Muslim, Shahih Tirmidza dan Mustadrak Hakim. Dalam tiga hadis ini, tiga orang istri Nabi (Aisyah, Ummu Salamah dan Shafiyah) menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW mencirikan bahwa Ahlulbait beliau adalah terbatas pada putri beliau Fathimah, Ali, dan  kedua anak mereka Hasan dan  Husain. Juga menurut kutipan tersebut di atas, kalimat pensucian yang ada di alam Quran Surat al-Ahzab ayat 33 diturunkan berkenaan dengan keutamaan mereka dan bukan untuk istri­-istri Nabi Muhammad SAW. Kini, mari kita lihat apa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah SAW setelah turunnya ayat tersebut.

Kebiasaan Nabi Setelah Turunnya Ayat Pensucian
Anas bin Malik meriwayatkan, “Sejak turun ayat ‘Sesungguhnya Allah berkehendak... (kalimat terakhir al-Ahzab ayat 33)’ dan selama enam bulan sesudah itu, Rasulullah SAW biasa berdiri di pintu rumah Fathimah dan berkata, ‘Waktunya untuk salat, wahai Ahlulbait! Sungguh Allah berkehendak untuk menghilangkan segala yang dibenci dari kalian dan menjadikan kalian suci dan tak ternoda.”26
Abu Hurairah meriwayatkan, “Rasulullah selama sembilan bulan di Madinah terus menerus mendatangi pintu Ali pada setiap salat subuh, meletakkan kedua tangan beliau di kedua sisi pintu dan berseru, “Ash-shalah! Ash-shalah’ Sungguh Allah akan menghindarkan segala kekotoran dari kalian, wahai Ahlulbait Muhammad, dan akan menjadikan kalian suci dan tak ternoda.”27
Ibnu Abbas meriwayatkan, “Kami menyaksikan Rasulullah selama sembilan bulan mendatangi pintu rumah Ali bin Abi Thalib, pada setiap waktu salat dan berkata, ‘Assalamu‘alaikum wa Rahmatullahi Ahlulbait! Sungguh hanyalah Allah berkehendak menghilangkan segala kejahatan dari kalian, Ahlulbait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya.’ Beliau melakukan hal ini tujuh kali setiap hari.”28
Dalam kitab Majma az-Zawa’id dan Tafsir-nya Suyuthi, telah dikutip dari Abu Said Khudri dengan variasi kalimat sebagai berikut :
Selama tujuh puluh hari Nabi Suci SAW mendekati rumah Fathimah Zahra setiap pagi dari biasa berkata, “Kedamaian atas kalian wahai Ahlulbait! Waktu shalat telah tiba.” Dan setelah itu beliau biasa membaca, “Wahai Ahlulbait Nabi...” dan kemudian berkata, “Aku berperang dengan siapa yang memerangi kalian dan aku berdamai dengan siapa yang berdamai dengan kalian!”29
Orang-orang yang bersaksi bahwa ayat pensucian (al-Ahzab : 33) berkenaan dengan keutamaan Keluarga Suci (Ahlulbait) yaitu:

Hasan bin Ali bin Abi Thalib
Hakim dalam hubungannya dengan prestasi-prestasi Hasan dan Haitsami telah meriwayatkan bahwa Hasan telah berdiri di depan orang­-orang setelah syahidnya ayahnya, Ali bin Abi Thalib, dan berkata selama pidatonya;
“Wahai orang-orang! Siapa yang mengetahui aku mengenaliku, dan siapa yang tidak mengenaliku harus mengetahui bahwa akulah Hasan bin Abi Thalib. Aku putra Nabi Suci dan Washi-nya. Akulah putra dari orang yang mengajak orang-orang menuju Allah dan  memperingatkan mereka akan siksaan api neraka-Nya. Akulah putra dari ‘Suluh Yang Menerangi’ (sirajan munira). Aku adalah anggota dari keluarga yang Jibril biasa turun ke dalamnya dan naik lagi menuju langit. Aku anggota keluarga yang Allah telah mencegah segala kekotoran dari mereka dan menjadikan mereka suci.30
Telah diriwayatkan dalam Majma’ az-Zawa’id dan Tafsir Ibnu Katsir, bahwa;
Setelah kesyahidan ayahnya dan saat menduduki kekhalifahan, suatu hari ketika Hasan sedang menjalankan shalat, seseorang menyerangnya dan menikamkan sebilah pedang di pahanya. Dia tetap berada di tempat tidur selama beberapa bulan. Setelah sembuh, dia memberikan khutbah dan mengatakan, “Wahai orang Irak! Demi Allah, Kami adalah Amir kalian, tamu kalian dan termasuk salah seorang anggota keluarga yang Allah Yang Maha Besar telah berfirman, ...Wahai Ahlulbait Nabi...! Hasan membahas masalah ini panjang lebar sehingga orang-orang yang ada di mesjid mulai menangis.31


Ummul Mukminin,Ummu Salamah
Dalam kitab Musykil al-Atsar, Tahawi telah mengutip Umrah Hamdaniah mengatakan;
“Aku pergi ke Ummu Salamah dan menyapanya. Dia bertanya, ‘Siapakah kamu?’ Aku menjawab, ‘Saya Umrah Hamdaniah.’ Umrah kemudian melanjutkan ceritanya. Lalu aku berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin! Katakanlah sesuatu tentang orang yang telah terbunuh di antara kita hari ini. Sekelompok orang menyukainya dan sekelompok yang lain bermusuhan dengannya!” (yang dia maksud adalah Ali bin Abi Thalib). Ummu Salamah berkata, ‘Apakah kamu termasuk yang menyukainya atau yang memusuhinya?’ Aku menjawab, Aku tidak menyukainya dan tidak pula memusuhinya.’ (Di sini cerita kacau, dan  setelah itu) Ummu Salamah mulai bercerita tentang turunnya ayat tathhir dan  pada sisi ini mengatakan, ‘Allah menurunkan ayat ...Wahai Ahlulbait Nabi.. tidak ada seorangpun dalam kamar saat itu kecuali Jibril, Nabi suci, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Aku berkata, ‘Wahai Nabi Allah! Apakah aku juga termasuk Ahlulbait?’ Beliau menjawab, ‘Allah akan memberimu pahala dan  membalas jasamu.’ Aku berharap bahwa beliau akan mengatakan “Ya” dan itu akan merupakan jawaban yang sangat lebih berharga dibandingkan dengan apa pun di dunia ini.”32

Ahmad dalam Musnad-nya, Thabari dalam Tafsir-nya dan Tahawi dalam Musykil al-Atsar telah mengutip Syahru bin Hausyab sebagai mengatakan:
Ketika berita kesyahidan Husain sampai di Madinah, saya mendengar Ummu Salamah berkata, “Mereka telah membunuh Husain. Aku sendiri telah menyaksikan bahwa Nabi Suci membentangkan mantel Khabari beliau kepada mereka dan mengatakan, ‘Ya Allah! Inilah anggota keluargaku! Singkirkanlah dari mereka segala kekotoran dan jadikanlah mereka bersih dan suci!’’33

Ibnu Abbas
Ahmad, Nasa’i, Muhibuddin, dan Haitsami telah melaporkan (kata-­kata diambil dari Musnad Ahmad) bahwa Amru bin Maimun berkata;
“Aku bersama Ibnu Abbas ketika 9 orang datang kepadanya dan mengatakan, ‘Ibnu Abbas, keluarlah bersama kami, atau biarkanlah kami sendiri!’ Dia menjawab, ‘Aku akan keluar bersama kalian’ Pada hari-hari itu mata Ibnu Abbas baik-baik saja dan dia dapat melihat. Mereka terlibat dalam percakapan, dan saya tidak memperhatikan apa yang mereka bicarakan. Setelah beberapa saat Ibnu Abbas kembali kepada kita. Dia kemudian mengibaskan pakaiannya seraya berkata, ‘Celakalah mereka! Mereka berbicara tentang seorang yang menikmati sepuluh keunggulan’ (Kemudian Ibnu Abbas merinci keutamaan Ali hingga dia berkata), ‘Nabi Suci mengembangkan mantel beliau di atas Ali, Hasan dan Husain dan bersabda, “Wahai Ahlulbait Nabi! Allah berkehendak untuk menjaga kalian dari segala jenis kekotoran dan cela, dan akan mensucikan kalian sesuci-sucinya.”“34

Sa’ad bin Abi Waqqash
Dalam al-Khasyaisy, Nasa’i telah mengutip Amir bin Sa’d bin Abi vaqqash yang bercerita bahwa Muawiyah telah berkata kepada Sa’d bin Abi Waqqash;
“Mengapa kamu menolak untuk mencaci Abu Turab?” Sa’d menjawab, “Aku tidak akan mencaci Ali karena tiga sifatnya yang aku dengar dari Nabi Suci. Jika satu saja dari ketiganya ada padaku, itu jauh lebih berharga bagiku ketimbang barang apa pun di dunia ini. Aku mendengar dari Nabi Suci ketika beliau meninggalkan Ali untuk melakukan peperangan, bersama-sama perempuan dan anak-anak sebagai wakil beliau di Madinah. Ali bertanya, ‘Akankah anda meninggalkanku bersama-sama dengan perempuan dan anak-anak di Madinah?’ Nabi Suci menjawab, ‘Tidak sukakah kamu bahwa kedudukanmu di sisiku seperti halnya kedudukan Harun di sisi Musa?’
Pada hari penentuan Khaibar, juga, aku mendengar Nabi Suci berkata, ‘Besok, aku akan serahkan panji-panji (tentara) kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan  Rasul-Nya pun mencintainya’. Semua orang di antara kita sangat ingin dianugerahi dan dipilih oleh pernyataan itu, dan berharap panji-panji itu akan ada di tangan kita. Sementara itu Nabi Suci berkata, ‘Bawalah Ali ke hadapanku!’ Maka Ali datang dan matanya sedang sakit. Nabi Suci kemudian menorehkan ludah beliau ke mata Ali dan memberikan panji-panji ke tangannya.
Pada kesempatan lain, ketika ayat tathhir diturunkan, Nabi Suci memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain ke dekat beliau dan berkata, ‘Ya Allah! Inilah Ahlulbaitku.”35
Thabari, Ibnu Katsir, Hakim dan Tahawi juga telah mengutip Sa’d bin Abi Waqqash bahwa pada saat turunnya ayat ini, Nabi Suci memanggil Ali bersama-sama dengan kedua putranya dan Fathimah dan mengerudungi mereka di bawah mantel beliau dan berkata, “Ya Allah! Inilah anggota keluargaku.”36

Abu Said Khudri
Diriwayatkan bahwa Abu Said Khudri berkata,
“Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, Ayat ini telah diturunkan tentang lima orang yaitu aku sendiri, Ali, Hasan, Husain dan Fathimah”.37

Watsilah bin Asqa’
Mengenai ayat 33 Surah al-Ahzab, Thabari meriwayatkan bahwa Abu Ammar mengatakan;
“Aku sedang duduk-duduk dengan Watsilah bin Asqa ketika sebuah diskusi tentang Ali terjadi, dan orang-orang memaki­makinya. Ketika kejadian tersebut hampir berakhir, dia mengatakan kepadaku, ‘Tetaplah duduk hingga aku dapat bercakap-cakap denganmu tentang orang yang telah mereka maki-maki tersebut. Aku sedang bersama Nabi Suci ketika Ali, Fathimah, Hasan dan Husain mendekati beliau dan Nabi Suci membentangkan mantel beliau ke atas mereka dan berkata, “Ya Allah! Inilah Ahlulbaitku. Hindarkanlah dari mereka setiap kekotoran dan jadikanlah mereka bersih dan suci”38
Ibnu Atsir juga telah mengutip Syaddad bin Abdillah berkata;
“Saya telah mendengar dari Watsilah bin Asqa bahwa ketika kepala Husain dibawa, salah satu orang Suriah memaki Husain dan ayahnya, maka Watsilah berdiri dan berkata, Aku bersumpah demi Allah bahwa sejak aku mendengar Nabi Suci berkata tentang mereka, “Wahai Ahlulbait Nabi! Allah bermaksud hendak mensucikanmu dari kekotoran dan cela, dan hendak mensucikanmu sesuci-sucinya,” aku selalu mencintai Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.”‘39

Ali bin Husain,Zainal Abidin
Thabari, Ibnu Katsir dan Suyuthi dalam tafsir mereka menyatakan; Ali bin Husain telah berkata kepada seorang Suriah, Pernahkah kamu membaca ayat ini dalam Surah al-Ahzab, Wahai Ahlulbait Allah hendak menghilangkan segala kekotoran dari kamu dan  akan mensucikan kamu dengan sesuci-sucinya?’ Orang Suriah tersebut berkata, ‘Apakah ayat ini berkenaan dengan kalian?’ Imam menjawab, ‘Ya, ayat itu berkenaan dengan kami”. 40
Kharazmi telah mengutip kalimat berikut ini dalam kitabnya Maqtal:
 Ketika Zainal Abidin dan tawanan-tawanan lain yang berasal dari Keluarga Nabi Suci SAW dibawa ke Damaskus setelah syahidnya Husain cucu Nabi Suci, dan ditempatkan di sebuah penjara yang terletak di sebelah Mesjid Besar Damaskus, seorang lelaki tua mendekati mereka dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah membunuh kalian dan membinasakan kalian dan memusnahkan laki-laki kalian SAW memberikan kekuasaan kepada amirul mukminin (Yazid) atas diri kalian.”
Ali bin Husain berkata, “Hai orang tua! Pernahkah kamu membaca Quran yang suci?” Orang itu menjawab, “Ya!” Kemudian Imam berkata, “Pernahkah kamu membaca ayat Katakanlah Hai Muhammad! Aku tidak meminta upah apa pun kepada kalian atas misiku kecuali kecintaan kepada keluargaku (al-qurbaa)?” Orang tua itu berkata, “Ya, saya pernah membacanya!”
Imam berkata, “Pernahkah kamu membaca ayat Maka berikanlah apa yang pantas bagi keluarga terdekat, fakir miskin dan para pejalan dan ayat Ketahuilah bahwa apa saja (pendapatan) yang kamu peroleh maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, keluarga terdekat dan fakir miskin, jika kamu beriman kepada Allah dan apa yang Kami wahyukan kepada hamba Kami dalam al-Quran?” Orang tua itu menjawab, “Ya, saya pernah membacanya!”
Imam berkata, “Aku bersumpah demi Allah bahwa kata `keluarga terdekat’ merujuk kepada kami, dan ayat-ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan kami. (Imam menambahkan), “Dan pernahkah juga kamu membaca ayat ini dalam Quran dimana Allah berfirman, Wahai Ahlulbait... (33:33)?” Orang tua itu berkata, “Ya, saya telah membacanya!” Imam berkata, “Apa yang dimaksud dengan Ahlulbait Nabi? Kamilah yang telah dihubungkan oleh Allah secara khusus dengan ayat tathhir!”
Orang tua itu berlanya, “Saya bertanya kepadamu, demi Allah, apakah kamu keluarga yang sama?” Imam menjawab, “Aku bersumpah demi kakekku Nabi Allah bahwa kamilah orang yang sama!” Orang tua itu tertegun dan menunjukkan penyesalan atas apa yang telah dia katakan. Kemudian dia mengangkat kepalanya menuju langit dan berkata, “Ya Allah, aku mohon ampun atas apa yang telah aku katakan, dan meninggalkan permusuhan dengan keluarga ini dan membenci musuh-musuh keturunan Muhammad!”41

Peristiwa Mubahalah
Peristiwa berikut ini dihubungkan dengan kejadian Mubahalah, yang berarti kutukan, atau memohon kutukan/laknat Allah ditimpakan kepada pendusta, yang terjadi pada tahun ke 9-10 Hijriah. Dalam tahun itu sebuah delegasi yang terdiri atas 14 pendeta Kristen datang dari Najran untuk menemui Nabi Muhammad SAW.
Ketika mereka bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, mereka menanyakan pendapat beliau tentang Yesus. Rasulullah SAW berkata, “Kalian bisa beristirahat hari ini dan kalian akan mendapatkan jawabannya setelah itu.” Pada keesokan harinya, 3 ayat Quran (Ali lmran : 59-61) tentang Yesus di wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika orang-orang Kristen itu tidak menerima kata-kata Allah, Nabi Muhammad SAW lalu membacakan kalimat terakhir dari ayat-ayat tersebut;
“Maka siapa yang membantahmu tentang masalah ini sesudah datang kepadamu ilmu, maka katakanlah, “Marilah kita memanggil anak­-anak kami dan anak-anak kalian, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kalian, diri-diri kami dan diri-diri kalian! Kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita mohon agar laknat Allah ditimpakan kepada para pendusta!”
(QS. Ali Imran: 61).
Dalam kejadian ini, Nabi Muhammad SAW menantang orang-orang Kristen. Pada hari berikutnya pendeta-pendeta Kristen tersebut keluar dari salah satu sisi tanah lapang. Juga pada sisi yang lain, Nabi Muhammad SAW keluar dari rumah beliau dengan menggendong Husain di lengan beliau dan Hasan berjalan bersama beliau dengan tangannya dipegang oleh beliau. Di belakang beliau adalah Fathimah Zahra, dan di belakang lagi adalah Ali. Ketika orang-orang Kristen itu melihat lima jiwa yang suci tersebut, dan betapa kukuhnya pendirian Nabi Muhammad SAW untuk membawa orang-orang terdekat beliau dalam menanggung resiko mubahalah itu, mereka merasa takjub SAW mengundurkan diri dari mubahalah yang telah disepakati tersebut dan tunduk kepada sebuah perjanjian dengan Nabi Muhammad SAW.
Suyuthi, seorang ulama besar Sunni, menulis;
“Dalam ayat di atas (3:61), menurut apa yang dikatakan oleh Jabir bin Abdillah Anshari, kata ‘anak-anak’ merujuk kepada Hasan dan Husain, kata ‘perempuan-perempuan’ merujuk kepada Fathimah, dan kata ‘diri-diri kami’ merujuk kepada Nabi dan Ali, Ali dianggap sebagai ‘diri’ Nabi.42
Konsekuensinya, sebagaimana adalah melanggar hukum untuk berusaha :mengungguli Nabi Muhammad SAW, demikian pula adalah melanggar hukum untuk menggantikan Ali (yang menurut kata-kata Allah adalah’diri’ Nabi). Siapapun yang menganggap telah menggantikan Ali berarti telah menggantikan Nabi. Ini merupakan satu lagi ayat Quran yang membuktikan kebenaran hak Imam Ali sebagai penerus langsung Nabi Muhammad SAW.
Muslim dan Tirmidzi memberikan konfirmasi atas peristiwa tersebut di atas, dan mencatat hadis berikut ini dalam kitab Shahih mereka. Diriwayatkan oleh Sa’d bin Abi Waqqash,
“....dan ketika Ali Imran ayat 61 diturunkan, Nabi Muhammad SAW memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Kemudian Nabi berkata, ‘Ya Allah! Inilah anggota keluargaku (Ahlii).”43
Titik simpul di sini adalah bahwa Rasulullah SAW tidak membawa serta seorang pun dari istri-istri beliau ke lapangan tempat mubahalah berlangsung, dan menurut hadis di atas, beliau menggunakan kata Ahl (famili) hanya bagi orang-orang tersebut di atas (yakni Ali, Fathimah, Hasan danHusain).
Perhatikan bahwa dalam Ali Imran ayat 61 ini Allah SWT menggunakan bentuk jamak ‘perempuan-perempuan’ dengan perkataan ‘Marilah kita memanggil perempuan-perempuan kami’, tetapi Nabi Muhammad SAW hanya membawa seorang perempuan, yakni Fathimah. Seandainya ada lebih dari satu orang dalam Ahlulbait, maka Nabi Muhammad SAW tentu sudah diminta oleh ayat ini untuk membawa serta mereka. Tetapi, karena tidak ada perempuan lain dalam Ahlulbait, maka beliau hanya membawa Fathimah.
Lagi pula, Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa itu menyebutkan secara eksplisit siapa Ahlulbait, dan membacakan namanya satu persatu. Muslim, Tirmidzi, Hakim dan ulama-ulama Sunni lainnya telah mencatat hal itu dan menegaskan kesahihannya. Tidak ada disebut satu pun istri beliau dalam laporan-laporan tersebut.
Beberapa ulama Sunni telah meriwayatkan bahwa pada hari perundingan untuk menunjuk pemegang kekuasaan setelah wafatnya Umar, Ali berdebat dengan anggota-anggota syura dan mengingatkan mereka akan haknya atas kekhalifahan, dan salah satu argumentasinya adalah Peristiwa Mubahalah.
Pada hari perundingan, Ali berdebat dengan anggota-anggota komite dengan mengatakan,
“Aku meminta kesaksian kalian atas nama Allah, adakah seorang pun di antara kalian yang lebih dekat hubungannya dengan Rasulullah dibandingkan aku? Adakah laki-laki lain yang Nabi menganggapnya ‘jiwa beliau (sendiri), dan bahwa beliau meng­anggap anak-anaknya adalah ‘anak-anak beliau (sendiri), dan perempuannya adalah ‘perempuan beliau’?” Mereka menjawat` “Tidak, demi Allah!”44

Diriwayatkan juga bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sungguh, Allah yang memiliki Keagungan dan Kekuasaan telah meletakkan keturunan tiap Nabi dari tulang sulbi mereka, dan Dia Yang Maha tinggi telah meletakkan keturunanku di tulang sulbi Ali bin Abi Thalib.”45

Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Aku dan Ali berasal dari pohon yang sama, sedangkan orang-orang yang lain berasal dari pohon yang berbeda.”46
Dalam kitab tafsir Sunni yang lain, diriwayatkan dari Abdullah bin t mar bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Jika saja ada jiwa-jiwa lain di seluruh bumi yang lebih baik dari Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, Allah tentu sudah memerintahkanku untuk membawa serta mereka bersama-samaku pada Mubahalah. Tetapi, karena mereka adalah yang paling utama di antara seluruh manusia dalam hal keutamaan (martabat) dan kehormatan, Allah telah membatasi pilihan-Nya kepada mereka saja yang ikut serta dalam Mubahalah.47

Peristiwa Mubahalah antara Nabi Muhammad SAW dan orang-orang kristen ini memberikan signifikansi dalam berbagai aspek, di antaranya:
1). Bukti ini menjadi sebuah pelajaran bagi seluruh orang Kristen yang ada di Semenanjung Arabia yang tidak berani lagi bermusuhan dengan Nabi Muhammad SAW,
2). Undangan untuk mubahalah (maknanya secara harfiah adalah saling mengutuk) diatur langsung oleh Allah SWT dan dalam rangka memenuhi perintah-Nya lah Nabi Muhammad SAW bersama sama Ahlulbait beliau datang ke lapangan tempat mubahalah. Ini menunjukkan bahwa urusan-urusan yang berkaitan dengan keNabian dan Islam ditetapkan langsung oleh Kehendak Allah,
3). Tanpa mengizinkan adanya pengaruh luar apapun dari orang kebanyakan (ummah). Masalah kepenggantian (ke-washi-an) Ali setelah Nabi Muhammad SAW harus dipandang serupa,
4)  Tidak diragukan lagi bahwa Ali, Fathimah, Hasan dan Husain pasti mengikuti ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW,
5)    Meskipun masih kanak-kanak, Hasan dan Husain tetap bertindak sebagai ‘dua rekan’ Nabi Muhammad SAW yang aktif dalam mubahalah. Ini menunjukkan bahwa usia bukanlah kriteria bagi kebesaran jiwa - ­jiwa maksum tersebut;
6)    Bahwa tindakan pengutamaan oleh Nabi tersebut jelas meninggikan status mereka (Ahlulbait) di atas orang-orang selain mereka,
7)    Hadis-hadis dari Nabi Muhammad SAW  yang berhubungan dengan peristiwa ini jangan jelas menunjukkan siapakah Ahlulbait itu,
8)    Ali telah disebutkan sebagai ‘diri’ Nabi Muhammad SAW sesuai dengan wahyu Allah, dan Ali secara de facto memang lebih unggul dibandingkan dengan yang lain sehubungan dengan kekhalifahan.

Apakah Hanya Sekedar Hubungan Darah?
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
 “Setiap hubungan kerabatan akan berakhir pada hari pembalasan, kecuali hubungan kekerabatan denganku. Dan garis keturunan dari setiap orang adalah dari ayahnya, kecuali keturunan Fathimah, sebab akulah ayah mereka dan titik garis keturunan mereka!”48

Hadis di atas membuktikan bahwa nilai hubungan darah dalam Islam adalah kecil dan akan segera lebur ketika hari pembalasan terjadi. Namun, apa yang membuat hubungan dengan Nabi dan Ahlulbait beliau berbeda dengan yang lainnya adalah kualifikasi dan kesucian mhani yang mereka miliki, di samping gen mereka yang murni dari Nabi Muhammad SAW (yang juga diperlukan).
Berguna untuk disebutkan bahwa Fathimah adalah satu-satunya anak Rasulullah SAW yang bertahan hidup dan memberikan keturunan bagi beliau. Anak-anak beliau yang lain meninggal pada usia dini tanpa dapat meninggalkan sebuah permasalahan pun di belakang mereka. Orang-orang kafir Hijaz biasa merendahkan Nabi Muhammad SAW dengan kata­kata bahwa beliau tidak memiliki seorangpun anak laki-laki yang dapat melanjutkan keturunan beliau, karena kejadian itu. Allah menutunkan Surat Al – kautsar,
Sesungguhnya Kami telah memberimu Keberlimpahan/al-kautsar (yakni keturunan suci yang terus berlanjut). Maka shalatlah kepada Tuhanmu dan berkorbanlah! Sesungguhnya orang yang menghinamulah yang terputus (tanpa keturunan)
(QS. al-Kautsar : 1-3).

Apakah Ahlulbait Hasil Hubungan Perkawinan?
Terhadap pertanyaan’ Apakah istri-istri Nabi Muhammad SAW masuk ke dalam golongan Ahlulbait?” Muslim dalam Shahih-nya mencatat;
 “Ibnu Hayyan meriwayatkan, ‘Kami pergi ke Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya, “Kamu telah menemukan kebaikan (sebab kamu memiliki kemuliaan) karena dapat hidup di kalangan sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW dan melaksanakan shalat bersama-sama dengan beliau,” (dan bunyi hadis selanjutnya sama dengan 3 hadis sebelumnya), tetapi Nabi Muhammad SAW berkata, “Camkanlah! Aku meninggalkan bersama kalian dua barang/perkara yang berat, salah satunya adalah Kitabullah...”, (dan dalam hadis ini kami temukan kata-kata) ‘Kami berkata, “Siapakah Ahlulbait beliau tersebut (yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad SAW)? Apakah mereka adalah istri-istri beliau?” Atas pertanyaan tersebut Zaid berkata, “Tidak, demi Allah! Seorang perempuan hidup bersama dengan seorang pria (sebagai istrinya) untuk sementara waktu. Dia (pria) kemudian (dapat) menceraikannya dan dia (perempuan itu) kembali kepada orang tua dan kaumnya. Ahlulbait Nabi Muhammad SAW adalah garis darah dan keturunan beliau (orang-orang yang berasal dari keturunan beliau) yang dilarang menerima sedekah”.49

Dalam bab yang sama, Muslim juga melaporkan bahwa Zaid bin Arqam berkata;
“Aku telah menua dan telah melupakanbeberapa hal yang telah aku ingat dalam hubungannya dengan Rasulullah SAW. Jadi, terimalah apa saja yang aku riwayatkan padamu, dan terhadap apa yang tidak aku riwayatkan! Janganlah memaksaku untuk melakukannya!”Zaid kemudian berkata, “ suatu hari Rasulullah brediri dan berkuthbah di sebuah telaga yang terkenal sebagai Kham yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, mensucikan. Zaid kemudian berkata, “Suatu hari Rasulullah berdiri dan )erkhutbah di sebuah telaga yang dikenal sebagai Khum yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, mensucikan­nya, dan berkhutbah dan mendesak kita seraya mengatakan, Kini sampai ke tujuan kita, wahai manusia! Aku adalah seorang manusia. Aku hampir menerima kedatangan utusan Tuhanku dan aku harus menjawab panggilan itu. Tetapi aku meninggalkan bersama kalian Jua barang yang berat. Salah satunya adalah Kitabullah..., yang ke dua adalah anggota rumah tanggaku (Ahlulbait). Demi Allah, aku mengingatkan kalian (akan tugas kalian) terhadap Ahlulbaitku!, (beliau mengucapkannya tiga kali)”
Dia (Husain bin Sabra) bertanya kepada Zaid, “Siapakah anggota Ahlulbait beliau? Bukankah istri-istri beliau termasuk Ahlulbait?” Zaid menjawab, “Istri-istri beliau termasuk Ahlulbait, tetapi ‘ahlul’ di sini adalah orang-orang yang dilarang menerima zakat.”
Dia (Husain bin Sabra) bertanya kembali, “Siapakah mereka?” Dia kemudian menjawab, Ali dan keturunannya, Aqil dan keturunannya, dan keturunan Ja’far dan keturunan Abbas.”50
Terlihat bahwa paragraf ketiga dari hadis di atas bukan kata-kata Muhammad SAW. Itu hanyalah pendapat Zaid bin Arqam. Berlawanan dan hadis sebelumnya, di sini Zaid menyatakan, bahwa istri-istri Nabi adalah termasuk di antara Ahlulbait beliau tetapi Ahlulbait di sini adalah orang-orang yang... ) ... Ali dan keturunannya, ... dan keturunan Abbas.
Pertanyaannya adalah: Haruskah kita mengikuti perkataan Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan dengan rinci siapakah Ahlulbait beliau, atau kita mesti menerima pendapat salah seorang sahabat yang dalam kasus ini, bertentangan dengan pendapat Nabi Muhammad SAW ?
Di samping itu, sejarah telah mengatakan kepada kita bahwa terdapat  banyak  tiran di antara Abbasiah (keturunan Abbas). Dapatkah kita menaati mereka  dan mencintai mereka ?  Padahal Allah SWT berfirman  dalam Quran dan janganlah kami taati  orang yang berdosa dan orang  yang kafir  di antara mereka (QS. al – Insan : 24).  Apakah  para tiran  dari kalangan Abbasiah adalah termasuk Alhubait  yang diletakkan oleh Rasulullah berdampingan dengan Quran sebagai salah satu dari dua barang berharga yang beliau tinggalkan untuk umat beliau agar mereka menaatinya setelah beliau?
Hal ini menunjukkan bahwa Ahlulbait adalah orang-orang yang khusus dan tidak termasuk dalamnya seluruh kerabat-kerabat Nabi Muhammad SAW. Secara kebahasaan, kata ‘ahlulbait’ sama sekali tidak mengandung makna kerabat. Kata ini secara kebahasaan berarti orang yang muncul dari darah beliau sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis Zaid bin Arqam yang pertama. Jadi, bahkan istri-istri Nabi tidak termasuk ke dalam Ahlulbait.
Pembaca yang meyakini kesahihan seluruh hadis yang ada dalam Shahih Muslim  dapat menemukan adanya kontradiksi dalam hadis-hadis tentang hubungan antara istri-istri Nabi dengan Ahlulbait. Dalam sebuah Hadis, Zaid berkata bahwa istri-istri Nabi termasuk ke dalam Ahlulbait. sedangkan pada tiga hadis yang terpisah, orang ini (Zaid) bersumpah demi  Allah bahwa istri-istri Nabi tidak termasuk ke dalam Ahlulbait. Apa yang dapat disimpulkan?
Haruskah kita mengesampingkan penjelasan Nabi Muhammad SAW dan berpegang teguh pada pendapat seorang sahabat?
Jika ya, maka kita harus menerima perkataan seorang sahabat yang menceritakan dua pendapat yang saling bertentangan, sementara dia berkata di hadis yang kedua bahwa dia telah menua dan dia tidak bisa ingat banyak-banyak?
Haruskah  kita menerima riwayat yang saling bertentangan tersebut sebagai shahih  kedua-duanya?
Jika ya,  maka haruskah kita menerima seseorang yang bersumpah demi Allah, atau seseorang yang tidak bersumpah demi Allah?
Ketika Nabi dengan jelas mengeluarkan istri-istri beliau dari Ahlulbait dan ketikar istri–istri beliau  seperti Aisyah, Ummu Salamah dan Shayifah juga menegaskan kenyataan ini (lihat  bagian pertama) dan ketika Zaid  bin Arqam  bersumpah demi Allah bahwa  istri–istri  Nabi tidak termasuk  ke dalam  Alhubait, maka tidak ada pilihan kecuali menerima  kenyataan bahwa istri-istri Rasulullah SAW  adalah tidak termasuk ke dalam  Alhubait.
Kini fokuskanlah  pandangan  ke kalimat terakhir dari hadis  Zaid  yang pertama!
Seorang perempuan hidup bersama dengan seorang pria (sebagai istrinya) untuk sementara waktu; dia (pria) kemudian (dapat) menceraikannya dan dia (perempuan itu) kembali kepada orang tua dan kaumnya. Ahlulbait Nabi Muhammad SAW adalah garis darah dan keturunan beliau (orang-orang yang berasal dari keturunan beliau) yang dilarang menerima sedekah.
Ini adalah penalaran yang tepat. Hubungan perkawinan antara seorang pria dan perempuan tidak pernah dianggap sebagai permanen. hubungan itu hanyalah hubungan yang kondisional dan dapat putus sesaat-saat, sebab seorang istri dapat diceraikan. Kenyataan menunjukkan bahwa dua istri Nabi yaitu Aisyah binti Abu Bakar dan Hafsah binti Umar Khattab pernah diancam untuk diceraikan dari Nabi oleh Quran, disebabkan oleh sebuah berita rahasia yang mereka ceritakan kepada orang  tua mereka.
Sudah umum diketahui bahwa ayat-ayat berikut ini adalah diturunkan enam tentang Aisyah dan Hafsah;
Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan sebuah peristiwa secara rahasia  kepada salah seorang  istrinya (yakni Hafsah) dan dia  (Hafsah) kemudian  membeberkan  pembicaraan  itu (kepada A’isyah) dan Allah memberitahukan  hal itu kepadanya (Muhammad),lalu dia (Muhammad) memberitahukan  sebagian dan merahasiakan  sebagian. Tatkala  dia (Muhammad) memberitahukan yang sebagian itu  (pembicarann antara Hafsalt dan A’isyah), maka dia (Hafsah) bertanya,”Siapakah yang telah memberitahukan hal itu  kepadamu?” Nabi menjawab, “Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal telah memberitahukannya kepadaku.” (QS. at-Tahrim : 3)

Jika kalian berdua (yakni Hafsah dan A’isyah) bertobat kepada Allah, maka hati kalian memang  telah condong  (untuk mematuhi  perintah Rasul), dan jika kalian berdua bantu membantu dalam menentang Nabi, maka sesungguhnya  Allah adalah perlindungannya dan begitu pula  Jibril dan orang – orang yang saleh di antara  kaum mukmin dan selain itu malaikat juga adalah penolongnya.. (QS. al-Tahrim : 4) Jika dia menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kalian, yang patuh, beriman, taat, yang bertaubat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. (QS. at-Tahrim : 5)

Penjelasan Shahih Bukhari atas Surah at-Tahrim Ayat 5
Pada jilid 6 kitab Shahh Bukhari edisi Arab-Inggris, di bab yang berjudul Boleh jadi, jika dia menceeraikan kalian, Tuhannya akan ...” (at-Tahrim : 5), dapat ditemukan hadis-hadis sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, “Istri-istri Nabi karena kecemburuan mereka, saling membantu untuk melawan Nabi, sehingga aku berkata kepada mereka, ‘Boleh jadi, jika dia menceraikan kalian, Allah akan memberinya istri-istri pengganti yang lebih baik dari kalian!’ Maka demikianlah ayat ini (QS. 66:5) diturunkan.” (Shahih Bukhari, hadis 6.438, jilid 6 hadis ke 438) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Saya bermaksud bertanya kepada Umar, maka saya katakan, ‘Siapakah dua orang perempuan yang mencoba saling membantu dalam menentang Rasululllah?’ Saya hampir tidak melanjutkan perkataan saya ketika dia berkata, ‘Mereka adalah Aisyah dan Hafsah.”‘ (Shahih Bukhari, hadis 6.436)
Jika Allah sampai mengancam kedua istri Nabi itu dengan perceraian, disebabkan mereka saling membantu dalam menentang Nabi, lalu bagaimana bisa kita menyatakan bahwa mereka adalah suci dan bebas dosa (maksum)? Lagipula, hadis berikut ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW meninggalkan Aisyah dan Hafsah selama sebulan penuh sebagai hukuman atas terbongkarnya berita rahasia tersebut; Diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
“Saya ingin sekali bertanya kepada Umar bin Khattab tentang dua perempuan di antara istri-istri Nabi yang tentang mereka Allah berfirman, Jika kalian berdua bertobat kepada Allah, maka hati kalian memang telah condong ...(66:4), hingga Umar melaksanakan Haji, dan saya juga melaksanakan Haji bersamanya...Lalu saya berkata kepadanya, ‘Wahai amirul mukminin! Siapakah dua orang perempuan di antara istri-istri Nabi yang tentang mereka.
Allah berfirman: “Jika kalian berdua bertobat kepada Allah, maka hati kalian memang telah condong ... (66:4)” Dia berkata, `Saya heran dengan pertanyaanmu itu hai Ibnu Abbas! Mereka adalah Aisyah dan Hafsah.’
Umar kemudian menceritakan sebuah hadis dan berkata, ‘...Aku berteriak kepada istriku dan dia menjawabnya dengan pedas, dan aku tidak suka kalau dia membantahku. Dia berkata kepadaku, “Mengapa engkau begitu terkejut dengan bantahanku? Demi Allah, istri-istri Nabi membantah beliau dan beberapa di antara mereka meninggalkan beliau (tidak berbicara dengan beliau) selama seharian penuh hingga malam tiba.”‘
Pembicaraan itu demikian menakutkanku, dan aku berkata kepadanya, `Siapapun yang melakukan hal itu akan binasa!’ Kemudian aku melangkah setelah merapikan pakaian, dan masuk ke (rumah) Hafsah dan berkata kepadanya, ‘Adakah di antara kalian yang membuat Nabi marah hingga malam?’ Dia menjawab, ‘Ya, ada.’ Aku lalu berkata, ‘Kalian orang yang binasa! Tidakkah kalian takut bahwa Allah akan marah karena marahnya Rasulullah dan karena itu kalian akan binasa? Maka janganlah meminta yang lebih banyak dari Nabi dan jangan membantah beliau dan jangan memutuskan pembicaraan dengan beliau! Mintalah kepadaku apapun yang kamu butuhkan dan jangan berusaha meniru tetanggamu (yaitu Aisyah) dalam kelakuannya, karena dia lebih menarik daripada kamu dan lebih dicintai oleh Nabi!’
Umar menambahkan, ‘Pada saat itu sebuah pembicaraan beredar dikalangan kita bahwa (kabilah) Ghassan sedang mempersiapkan kuda-kuda mereka untuk menyerang kita. Sahabat-sahabatku orang Anshar, pada saat tiba hari giliran mereka, pergi (ke kota) dan kembali kepada kita pada malam harinya dan mengetuk pintu rumahku dengan kasar dan menanyakan kalau-kalau aku ada di dalamnya. Aku menjadi terkejut dan keluar menemui dia. Dia berkata, “Hari ini telah terjadi peristiwa besar.” Aku bertanya, “Apakah itu? Sudah datangkah (kabilah) Ghassan?” Dia berkata, “Bukan, tetapi (peristiwa itu) lebih besar dan lebih mengejutkan; Rasulullah telah  menceraikan istri – istri beliau !”
Umar menambahkan, ‘Nabi telah menjauhi istri-istri beliau dan aku berkata, “Hafsah adalah seorang pecundang yang binasa.” Aku sudah menduga bahwa peristiwa yang sangat mungkin ini (penceraian) akan terjadi pada waktu dekat-dekat ini. Maka aku lalu membenahi pakaianku dan melaksanakan salat Subuh bersama Nabi dan Nabi kemudian masuk ke ruangan atas dan tetap di sana mengasingkan diri. Aku masuk ke (kamar) Hafsah dan melihat dia menangis. Aku bertanya, “Apa yang membuat kamu menangis? Bukankah aku telah memperingatkanmu tentang hal itu? Sudahkah Nabi menceraikan kalian semuanya?” Dia berkata, “Aku tidak tahu. Itu beliau di sana sendirian di ruangan atas.”
Aku berkata (kepada Rasulullah SAW) dengan nada mengobrol, ‘Akankah anda memperhatikan apa yang aku katakan duhai Rasulullah? Kami, orang-orang Quraisy biasa berkuasa atas perempuan-perempuan kami, namun ketika kami tiba di Madinah kami menemukan bahwa laki-laki di sini dikuasai oleh perempuan-­perempuan mereka.’ Nabi tersenyum dan lalu aku berkata kepada beliau, “Akankah anda memperhatikan apa yang aku katakan duhai Rasulullah?”
Aku kemudian masuk ke kamar Hafsah dan berkata kepadanya, “Jangan berusaha meniru temanmu itu (Aisyah), karena dia lebih menarik daripada kamu dan lebih dicintai Nabi.” ...Dan kemudian Nabi menjauhi istri-istri beliau selama 29 hari disebabkan oleh cerita rahasia yang telah dibukakan oleh Hafsah kepada Aisyah. Karena kemarahan beliau, Nabi telah berkata, “Aku tidak akan masuk ke (kamar) mereka selama satu bulan.” Beberapa orang di antara istri beliau mengakibatkan beliau berkata seperti itu, sehingga beliau meninggalkan mereka selama satu bulan.”‘ (QS. 66:4; Shahih Bukhari, hadis 7.119)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, “Selama setahun penuh aku telah berhasrat untuk bertanya kepada Umar bin Khattab tentang penjelasan sebuah  ayat (dalam Surah at-Tahrim)...Umar menyisi untuk menjawab ‘panggilan alam’ ke dekat pohon Arak. Aku menunggu  hingga dia selesai dan kemudian  aku menyusul  dia dan  bertanya, ‘Wahai amirul  mukminin! Siapakah  dua perempuan Nabi  yang saling membantu menetang beliau ?’ Dia berkata, ‘ Mereka  adalah Hafsah dan Aisyah.’
Kemudian Umar menambahkan, ‘Suatu saat, ketika aku sedang berpikir tentang suatu masalah, istriku berkata, “Aku sarankan agar engkau melakukan ini dan itu.” Aku bertanya kepadanya, “Apa yang telah kau dapatkan untuk mengerjakan hal itu? Mengapa engkau menonjok hidungmu dalam suatu masalah yang aku ingin melihatnya selesai?” Dia kemudian berkata, “Betapa anehnya engkau ini, hai Ibnu Khattab! Engkau tidak ingin berdebat dengan cara (yang digunakan) putrimu mendebat Rasulullah begitu hebat sehingga beliau menjadi marah selama sehari penuh!”‘
Umar kemudian melaporkan bahwa dia seketika mengenakan pakaian luarnya dan pergi ke tempat Hafsah dan berkata kepadanya, ‘Wahai putriku! Apakah engkau mendebat Rasulullah sehingga beliau menjadi marah selama sehari penuh?’ Hafsah berkata, ‘Demi Allah, kami berdebat dengan beliau.’ Umar berkata, ‘Aku peringatkan engkau akan hukuman Allah dan kemarahan Rasulullah Wahai putriku! Janganlah engkau tertipu oleh orang yang membanggakan kecantikannya karena cinta Rasulullah kepadanya (yakni Aisyah).’
Umar menambahkan, ‘(Suatu hari) Temanku orang Anshar dengan tak disangka-sangka mengetuk pintuku dan berkata, “Buka! Buka!’ Aku bertanya, “Apakah Raja Ghassan telah datang?” Dia berkata, “Tidak, tetapi sesuatu yang lebih buruk. Rasulullah telah mengasingkan diri beliau dari istri-istri beliau.” Aku berkata, “Biarlah hidung Aisyah dan Hafsah tertempel pada debu (yaitu binasa)!”“‘ (Shahih Bukhari, hadis 6.435).
Dalam hadis di atas, Hafsah bersumpah demi Allah bahwa dia berbantahan dengan Rasulullah SAW dan membuat beliau menjauhinya selama sehari penuh! Inikah isyarat kesucian dan kesalehan? Menurut Quran Surah al-Ahzab 33, kesucian yang sempurna dan keterbatasan penuh dari dosa adalah ciri khas Ahlulbait. Ayat-ayat Quran di atas dan hadis-­hadis dalam Shahih Bukhari tersebut memberikan bukti bahwa beberapa istri Nabi tidaklah suci dan saleh, sebab kalau tidak tentu Allah tidak akan mengancam mereka dalam Quran dengan penceraian..
Inilah alasan utama pengambilan hadis Zaid bin Arqam dalam  Shahih Muslim, dalam mana dia bersumpah demi Allah bahwa  istri–istri Nabi tidak termasuk ke dalam Ahlulbait sebab mereka dapat diancam dengan penceraian dan dapat digantikan oleh perempuan-perempuan lain yang lebih baik dari mereka (QS. at-Tahrim : 5).
Hadis yang mengherankan lainnya dalam Shahih Bukhari adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Abdullah, “Nabi berdiri dan berkhutbah, dan menunjuk ke rumah Aisyah, dan berkata, ‘Di sinilah fifiah (akan muncul), ‘(diucapkan tiga kali), ..dan dari sinilah salah satu sisi kepala setan akan muncul.”‘ (Shahih Bukhari, hadis 4.336).
Hadis ini memberikan satu isyarat lagi bahwa istri-istri Nabi tidaklah termasuk ke dalam Ahlulbait.
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW membacakan ayat, “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan segala kekotoran dari kalian wahai Ahlulbait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya,” dan kemudian Rasulullah bersabda, “Karena itu, aku dan Ahlulbaitku adalah bersih dari dosa.”51
Dalam hadis di atas, tampak bahwa Nabi sendiri yang menyimpulkan dengan kata-kata karena itu, bahwa beliau dan Ahlulbait beliau adalah bebas dari dosa (maksum).
Dalam tafsirnya tentang ayat tathhir (QS. al-Ahzab : 33), Ibnu Jarir Thabari mengutip Qatadah,
“Hanya inilah, tidak ada lainnya, bahwa Allah berkehendak untuk menghilangkan segala keburukan dan ketidakpantasan dari anggota keluarga Muhammad dan membersihkan mereka dari setiap kontaminasi dan dosa.”‘52

Apakah Ahlulbait adalah Ibu-ibu Kaum Mukminin?
    Salah satu hal yang digunakan oleh saudara-saudara Sunni dalam memasukkan Aisyah ke dalam Ahlulbait adalah bahwa dia Ummahatul Mukminin. Namun, mari kita renungkan fakta – fakta berikut ini.
Ambillah contoh seorang mukmin. Secara alamiah, ibu orang itu tentu  menjadi ibu orang mukmin. Apakah julukan itu secara otomatis berarti bahwa ibu tersebut adalah seorang mukmin yang baik? Tentu saja tidak. Menjadi ibu seorang mukmin tidak lantas menjadikan ibu tersebut sebagai seorang mukmin yang baik dan saleh. Argumen yang sama dapat pula diterapkan kepada `ibu-ibu kaum mukmin’ (ummahatul mukminin).
Seluruh kitab-kitab hadis Sunni dipenuhi dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah. Nabi Muhammad SAW memiliki banyak istri yang lain, dan mereka semua adalah ibu-ibu kaum mukminin. Banyak di antara istri-istri Nabi yang merupakan orang yang sangat saleh dan taat, misalnya Ummu Salamah dan Ummu Ayman: Namun, sayang hanya sedikit hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mereka berdua dalam Shihah as-Sittah (tidak lebih dari 5% dari yang disampaikan oleh Aisyah). Dan kita mendengar dari Aisyah hadis yang sangat berlimpah. apakah itu disebabkan karena dia adalah putri Abu Bakar? Atau disebabkan karena dia satu-satunya istri Nabi yang memusuhi Ali?
Menurut ajaran Islam seorang mukmin diharuskan menghormati ibunya. Bagaimanapun, bilamana ibu tersebut menentang perintah Rasulullah, melakukan dan memimpin pemberontakan, dan membunuh orang-orang yang tak berdosa, kita, menurut ajaran Islam diharuskan untuk berlepas diri dari ibu semacam itu, dan yang sangat penting kita tidak dapat mempercayai ibu semacam itu dalam kaitannya dengan periwayatan hadis yang amat banyak tersebut.
Memang, terdapat alasan yang bagus mengapa Allah SWT memberi mereka julukan ‘ibu-ibu Kaum Mukminin’. Allah memberikan julukan ini untuk mencegah orang lain menikahi mereka setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Bukankah kita tidak dapat menikahi ibu kita sendiri? Seandainya Allah SWT tidak memberikan julukan tersebut kepada mereka, beberapa orang yang berpengaruh tentu telah menikahi mereka dan kemudian bisa jadi telah memiliki anak dan memerintahkan orang-orang untuk mengikuti mereka sebagai Ahlulbait, atau bahkan yang lebih buruk, mereka bisa jadi mengklaim sebagai putra-putra Nabi yang sesungguhnya dan mengklaim keNabian bagi mereka, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang berbahaya. Karena itulah Allah SWT memberikan julukan “ibu-ibu kaum mukminin’ kepada mereka untuk mencegah perkawinan semacam itu.

Istri Nabi yang Paling Baik Versus yang Paling Dengki
Sudah umum diketahui di kalangan kaum Muslimin bahwa istri Nabi yang paling baik adalah Khadijah binti Khuwailid ra. Dialah perempuan pertama yang memeluk Islam dan memberikan seluruh kekayaannya untuk berjuang di jalan Allah SWT, dan Nabi Muhammad SAW tidak pernah menikah dengan perempuan lain selama hidupnya Khadijah.
Rasulullah SAW menyebutkan nama-nama perempuan yang terbaik di dunia ini secara kronologis, dan orang tentu terkejut bahwa Aisyah tidak ada dalam daftar tersebut.
Rasulullah SAW bersabda, “Perempuan yang paling unggul di seluruh alam yang dipilih Allah di antara seluruh perempuan adalah Asiah istri Firaun, Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid dan Fathimah binti Muhammad.53

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Empat perempuan yang merupakan putri-putri seluruh alam; Maryam, Asiah (istri Fir’aun), Khadijah dan Fathimah. Dan yang paling unggul di antara mereka di seluruh alam adalah Fathimah.54

Lebih jauh, setelah kepergian Khadijah ketika Nabi Muhammad SAW menikahi Aisyah dan yang lainnya, beliau secara eksplisit menyatakan keutamaan beberapa di antara mereka di atas Aisyah dan berkata bahwa mereka lebih baik dari Aisyah (lihat Shahih at-Turmudzi; al-Isti’ab oleh Ibnu Abdul Barr; dan al-Ishabah oleh Ibnu Hajar Asqalani, pada bab tentang biografi Shafiyah). Juga ayat ‘Bisa jadi jika dia menceraikan kamu, Tuhannya akan memberinya istri yang lebih baik dari kamu, yang taat dan yang beriman’ ! QS. at-Tahrim : 5), dengan jelas menunjukkan bahwa terdapat perempuan­perempuan mukminah yang lebih baik dari Aisyah.
Dalam Shahih Bukhari hadis 5.168b, juga dilaporkan dalam Shahih Muslim,, dikatakan, pada satu kesempatan ketika Nabi Muhammad SAW menyebutkan  Khadijah di depannya, Aisyah berkata,
“Suatu ketika Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, meminta izin Nabi Muhammad SAW untuk masuk. Melihat hal itu, Nabi Muhammad SAW teringat kepada cara Khadijah meminta izin, dan itu membuat beliau sedih. Beliau berseru, “Ya Allah Halah!”

Maka aku menjadi cemburu dan berkata, ‘Apa yang membuatmu teringat kepada seorang perempuan tua di antara perempuan­-perempuan tua Quraisy seorang perempuan (dengan mulut yang tak bergigi) bergusi merah dan telah meninggal sejak lama, dan yang Allah telah menggantikan tempatnya dengan memberimu seseorang yang lebih baik dari dia?” Nabi Allah SAW menjadi sangat marah mendengar perkataan itu sehingga rambut beliau berdiri.

Lebih jauh, Bukhari meriwayatkan pada hadis 5.166 bahwa Aisyah mengakui,
“Aku tidak pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi sebesar kecemburuanku kepada Khadijah. Meskipun aku tidak pernah melihatnya, namun Nabi Muhammad SAW sangat sering menyebutnya, dan setiap kali beliau menyembelih domba, beliau tentu memotong salah satu bagian dan diberikan kepada teman-teman perempuan Khadijah. Ketika kadang-kadang aku berkata kepada beliau,.’(Engkau memperlakukan Khadijah) seolah-olah tidak ada perempuan lain di bumi kecuali Khadijah!’ Maka beliau berkata, ‘Khadijah adalah begini­ begitu, dan darinyalah aku mendapatkan anak.”

Khadijah adalah perempuan yang paling awal beriman, yang kepadanya Jibril menyampaikan salam, dan yang diberi kabar gembira akan surga (Shahih Bukhari hadis 9.588). Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Jibril berkata, ‘Inilah Khadijah datang kepadamu dengan sepiring makanan atau sebuah gelas yang berisi sesuatu minuman. Sampaikanlah kepadanya salam dari Tuhannya (Allah) dan berikanlah kepadanya kabar gembira bahwa dia akan memiliki sebuah istana di surga yang dibuat dari Qasab yang tidak ada dalamnya kebisingan dan keretakan (masalah)!”

Hadis-hadis yang sama dilaporkan juga melalui riwayat Ismail dan Aisyah (lihat Shahih Bukhari: hadis 3.19; 5.164; 5.165; 5.167; 5.168; 7.156; 8.33; 9.576).
Ketika Aisyah sudah cemburu, dia tentu melampaui batas dan melakukan hal-hal yang aneh seperti memecah-mecahkan piring dan merobek-robek pakaian. Pada kesempatan lain ketika Nabi Muhammad SAW berada di rumah Aisyah, Shafiyah, salah seorang Ummul Mukminin, mengirimkan kepada Nabi Muhammad SAW sepiring makanan yang betul­betul disukai beliau. Dia (Aisyah) menghancurkan piring itu bersama­-sama dengan makanan yang ada di atasnya.
Aisyah mengakui hal ini, “Shafiyah istri Nabi (suatu ketika) mengirimkan sepiring makanan yang dia buat untuk beliau ketika beliau sedang bersamaku. Ketika aku melihat sang pelayan perempuan, aku gemetar karena gusar dan marah, dan aku ambil mangkuk itu dan melemparkannya. Nabi Muhammad SAW lalu memandangku. Aku melihat kemarahan di wajah beliau dan aku berkata kepadanya, Aku berlindung dari kutukan Rasulullah hari ini.’ Nabi Muhammad SAW berkata, ‘Ganti!’ Aku berkata, ‘Apa gantinya duhai Nabi Allah?’ Beliau berkata, ‘Makanan seperti makanan dia (Shafiyah) dan sebuah mangkuk seperti mangkuknya!”55
Bukhari pun menegaskan episode tersebut dalam Shahih Bukhari hadis 7.152 (bab Kecemburuan).
Diriwayatkan dari Anas, “Ketika Nabi sedang dalam rumah seorang istrinya, salah seorang Ummul Mukminin mengirimkan sepotong daging di atas sebuah piring. Istri Nabi yang Nabi sedang ada di rumahnya itu menyerang tangan sang pelayan, menyebabkan piring itu jatuh dan pecah. Nabi Muhammad SAW mengumpulkan potongan-potongan piring tersebut dan lalu mulai menaruh makanan yang semula ada di atas piring tersebut dalamnya, dan berkata, ‘Ibumu (istriku) sedang cemburu.’ Kemudian beliau menahan pelayan itu hingga sebuah piring (yang masih bagus) dibawa dari rumah istri yang sedang beliau singgah tersebut. Beliau memberikan piring yang tidak pecah kepada istri beliau yang piringnya telah dipecahkan dan menaruh piring yang telah pecah itu di rumah istri beliau tempat pecahnya piring tersebut.”
Dalam kesempatan lain, Aisyah berkata tentang dirinya sendiri, aku berkata kepada Nabi Muhammad SAW, ‘Cukuplah bagimu tentang hafiyah begini dan begitu.’ Nabi Muhammad SAW berkata kepadaku, kamu telah mengucapkan kata-kata yang jika dicampur dengan air laut, akan mewarnainya.”56
Sekali lagi, Aisyah menceritakan kecemburuannya kepada Mariah (salah seorang istri Nabi yang lain),
“Aku belum pernah cemburu kepada seorang perempuan sebagaimana kecemburuanku kepada Mariah. Itu disebabkan karena dia memiliki baju dalam yang cantik. Dia biasa tinggal di rumah Haritsah bin Uman. Kami menakut-nakutinya dan aku menjadi khawatir. Nabi Allah SAW mengirimnya ke tempat yang lebih tinggi dan beliau suka mengunjunginya di sana. Hal itu menyusahkan kami, dan Allah memberkahi beliau dengan seorang bayi laki-laki melaluinya dan kami (lalu) menjauhi beliau.”57

Kecemburuan Aisyah bahkan melebihi Mariah, dan terarah kepada Ibrahim, seorang bayi baru lahir yang berdosa. Aisyah berkata,
“Ketika Ibrahim lahir, Rasulullah membawanya kepadaku dan berkata, ‘Lihatlah betapa miripnya dia denganku!’ Aku berkata, ‘Aku tidak melihat sedikitpun kemiripan.’ Rasulullah SAW berkata, `Tidak engkau lihat betapa tegap dan cakapnya dia?” Aku berkata, ‘Siapapun yang diminumi susu domba akan menjadi cakap dan tegap.’58

Aisyah sangat dipenuhi oleh emosi dan motif-motif egoistis. Ketika beberapa orang dengan liciknya melancarkan tuduhan kepada Mariah, Aisyah lah yang mendukung para penuduh dan berusaha menegaskan tuduhan yang salah tersebut. Namun Allah Yang Maha Tinggi dan Mulia, membebaskan Mariah dari tuduhan tersebut dan menyelamatkannya dari kezaliman, melalui Amirul Mukminin Ali. (untuk keterangan detil tentang Mariah ra, lihat al-Mustadrak oleh Hakim jilid 4, halaman 30 atau dalam Talkhis al-Mustadrak, oleh Dzahabi).
Ketika Aisyah dikuasai oleh kecurigaan dan tuduhan-tuduhan brutal, kecemburuannya akan melewati batas-batas, sedemikian jauh hingga mengungkapkan kata-kata yang mengantarkannya pada kecurigaan terhadap Rasulullah SAW. Dia sangat sering berpura-pura tidur ketika Nabi tinggal pada malam itu di rumahnya. Namun, kenyataannya dia mengamati dari dekat suaminya, memata-matai beliau dalam kegelapan, dan mengikuti ke mana pun beliau pergi dari belakang. Aisyah bercerita, “Ketika tiba giliran bermalam Rasulullah denganku, beliau memutar pinggang beliau, mengenakan mantel beliau dan melepaskan sepatu beliau dan meletakkannya dekat kaki beliau dan mengembangkan ujung selendang beliau di atas pembaringan dan kemudian berbaring hingga beliau mengira bahwa aku telah tertidur. Beliau kemudian melepaskan mantel beliau dan memakai sepatu beliau dengan perlahan, dan membuka pintu dan keluar dan kemudian menutup pintu dengan ringan. Aku menutupi kepalaku, mengenakan jilbab, mengencangkan kain kebaya, kemudian keluar mengikuti langkah-langkah beliau hingga beliau mencapai (pemakaman) al-Baqi.

Dia berdiri di sana untuk waktu yang lama. Dia mengangkat tangan tiga kali lalu kembali pulang. Aku juga ikut pulang. Dia mempercepat langkah beliau dan aku juga mempercepat langkahku. Dia lari, akupun lari. Dia sampai ke rumah, dan aku pun sampai ke rumah. Namun, aku mendahuluinya masuk rumah dan segera berbaring di tempat tidur. Dia masuk dan bertanya, ‘Mengapa nafasmu tersengas-sengal?’ Aku menjawab, ‘Tidak ada apa-apa.’ Dia berkata, ‘Katakanlah kepadaku, atau Yang Maha Lembut dan Maha Sadar akan memberitahuku!’ Aku lalu menceritakan jalan ceritanya. Dia berkata, ‘Kamukah hitam-hitam (dari bayanganmu) yang aku lihat di depanku?’ Aku berkata, ‘Ya.’ Beliau kemudian memukul dadaku yang menyebabkanku merasa nyeri dan berkata, ‘Apakah kamu berpikir bahwa Allah dan Rasul-Nya akan bertindak tidak adil kepadamu?”‘59

Dalam kesempatan lain, dia berkata,

‘Aku kehilangan jejak Rasulullah SAW. Aku curiga dia telah pergi ke salah seorang istrinya yang lain. Aku pergi mencarinya dan menemukannya sedang bersujud dan berseru, ‘Duhai Tuhanku, maafkan aku!”60

Di kesempatan lain, Aisyah berkata,

“Suatu malam, ketika bersamaku, Rasulullah SAW keluar. Aku menjadi cemburu. Ketika beliau datang dan melihat apa yang telah kulakukan, beliau berkata, Ada apakah Aisyah? Apakah kamu sedang cemburu ? “ Aku menjawab, ‘ Dan mengapakah  orang sepertiku tidak ( boleh )  cemburu terhadap  orang sepertimu ?” Rasulullah SAW berkata, ‘ Apakah  setan telah  menguasaimu”? 61

Bahkan Aisyah juga berbohong kepada Nabi Muhammad SAW. Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW meminta Aisyah mengumpulkan informasi tertentu tentang seorang perempuan bernama Syarraf, saudara perempuan Dihya Kalbi. Informasi yang dia bawakan kepada beliau bukanlah informasi benar, tetapi informasi palsu yang didorong oleh motif egoistisnya. Ketika Nabi Muhammad SAW memberitahunya tentang informasi seber~arnya yang telah dia amati, Aisyah menjawab, “Ya Nabi Allah! Tidak ada rahasia yang tidak engkau ketahui. Siapakah yang dapat menyembunyikan sesuatupun darimu?”62
Bukhari meriwayatkan dalam Shahih hadis 6.434 dari Aisyah, “Nabi biasa meminum madu di rumah Zainab binti Jahsy dan aku suka tinggal di sana / bersama dia (Zainab). Maka Hafsah dan aku dengan diam-diam bersepakat bahwa jika beliau datang kepada salah seorang dari kita, kita akan berkata kepada beliau, ‘Nampaknya kamu telah memakan maghafir (sejenis getah yang berbau busuk), sebab aku mencium bau maghafir dalam dirimu.”‘
Dalam Shahih Bukhari hadis 7.192, diriwayatkan dari Ubaid bin Umar,
‘Aku mendengar Aisyah berkata, ‘Nabi Muhammad SAW biasa tinggal untuk waktu yang lama bersama Zainab binti Jahsy dan meminum madu di rumahnya. Maka Hafsah dan aku memutuskan bahwa jika Nabi datang kepada seorang dari kita, dia akan berkata, “Saya merasakan bau Maghafir pada dirimu. Apakah engkau habis makan Maghafir?” Maka diturunkanlah ayat, Wahai Nabi! Mengapakah engkau haramkan atas dirimu apa yang Allah telah menghalalkannya bagimu..... (QS. at-Tahrim : 1-4).”

Bahkan, setelah sebulan Nabi Muhammad SAW mengasingkan diri dari istri-istri beliau dan turun ayat, Kamu boleh menangguhkan salah seorang dari mereka yang kamu ingini dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Maka siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu (QS.al-Ahzab : 51), Aisyah masih saja   mengeluarkan kata – kata yang tidak pantas, “ Nampak bagiku  bahwa Tuhanmu bercepat – cepat  memuaskan keinginanmu !”63
Kelakuan buruknya di depan Rasulullah SAW mencapai puncaknya ketika beliau sedang salat, dia menjulurkan kakinya di tempat sujud. Ketika beliau sujud dan mencubit kedua kakinya, dia menarik kakinya. Ketika beliau berdiri untuk melanjutkan salat, dia julurkan lagi kedua kakinya.
Dalam Shahih Bukhari: 1.492 dan 1.379 diriwayatkan oleh Aisyah, ‘Aku biasa tidur di depan Rasulullah dengan kakiku berada di kiblat beliau (di depan beliau). Dan ketika beliau bersujud, beliau menekan (mencubit) kakiku dan aku lalu menariknya dan ketika dia berdiri, aku menjulurkannya lagi.

Suatu hari, di depan ayahnya (Abu Bakar), dia memulai sebuah pertengkaran dengan Nabi Muhammad SAW dan berkata kepada beliau, “Adililah!” Ayahnya menghukum kekurang ajarannya dengan memberinya tamparan keras di wajahnya sehingga berdarah-darah dan darah itu mengalir mengenai pakaiannya.
Jika Aisyah marah kepada Nabi Muhammad SAW-seringkali dilakukan - dia tidak mau menyebut nama Nabi Muhammad SAW, tetapi lebih suka memanggilnya, “Demi Tuannya Ibrahim (anak Rasululllah SAW).” (Shahih Bukhari, edisi Arab-Inggris, hadis 7.155 dan 8.101, bab Kecemburuan dan Tipu Muslihat Perempuan).
Suatu saat, ketika dia pernah berkata dengan marah kepada Nabi \ Muhammad SAW, “Kamulah orangnya yang menganggap diri seolah-olah Nabi dari Allah.”65
Dengan sifat-sifat yang semacam itu, layakkah dia dimasukkan ke dalam Ahlulbait yang telah disucikan sesuci-sucinya oleh Allah SWT. Padahal, membantah Nabi Muhammad SAW saja sudah cukup  untuk menunjukkan ketidakmurnian ketaatan dan kecacatan dalam hal kesalehan. Dia malah memarahi, menjauhi, memata-matai, mencurigai, bahkan menuduh Rasulullah SAW sebagai berpura-pura jadi Nabi.

Istri yang Paling Dicintai?
Sejumlah orang mengklaim bahwa Aisyah adalah istri Nabi yang paling dicintai dan penuh kasih, dan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak dapat dipisahkan darinya. Mereka bahkan melaporkan bahwa beberapa orang istri beliau rela memberikan giliran mereka kepada Aisyah begitu mereka tahu bahwa Nabi Muhammad SAW mencintai dia dan tidak dapat menahan untuk bertemu dengannya. Klaim semacam ini jelas bertentangan dengan hadis-­hadis sahih sebelumnya yang menyebutkan bahwa Khadijah adalah istri Nabi yang paling baik, dan hadis-hadis yang menyebutkan sifat Aisyah yang amat pencemburu. Jika saja Aisyah adalah istri yang paling dicintai, dapatkah kita memberikan penjelasan atas kecemburuan Aisyah yang berlebihan itu?
Berikut ini penjelasan yang diberikan oleh Bukhari dan ulama-ulama hadis lainnya tentang sikap Aisyah terhadap suaminya SAW.
Dalam Shahih Bukhari hadis 7.570, diriwayatkan dari Qasim bin Muhammad,
‘Aisyah (sambil mengeluh sakit kepala) berkata, ‘Aduh, kepalaku!’ Nabi berkata, ‘Aku berharap bahwa (kematianmu) terjadi pada saat aku masih hidup, karena dengan demikian aku dapat memintakan ampunan Allah bagimu dan berdoa kepada Allah untukmu.’ Aisyah berkata, ‘Cerita yang sama! Demi Allah, aku pikir bahwa engkau menginginkanku mati, dan jika ini terjadi, engkau akan menghabiskan sisa harimu dengan tidur bersama salah seorang istrimu!”‘
Apakah narasi di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW amat mencintai Aisyah sehingga beliau tidak dapat hidup tanpa dia? Aisyah sendiri, dengan sepenuh kecemburuannya, mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW berharap untuk bersama dengan istri beliau yang lain dari pada menghabiskan waktu beliau bersama dirinya. Seraya meramalkan perjalanan hidup Aisyah di kemudian hari, Nabi Muhammad SWT bahkan berharap agar dia meninggal pada masa hidup beliau, sehingga beliau dapat memintakan ampunan Allah SWT baginya.
Lagi pula, bagaimana mungkin Nabi Muhammad SAW mencintai seseorang yang berbohong, memfitnah, mengumpat dan meragukan Allah dan Rasul-Nya dengan menuduh mereka tidak adil? (lihat hadis yang ada di bagian sebelumnya, juga pada hadis-hadis di bawah ini). Bagaimana mungkin Rasulullah SAW mencintai seseorang yang memata-matai beliau, ke luar tanpa izin beliau untuk mencari tahu di mana beliau pergi? Bagaimana mungkin Rasulullah SAW mencintai seseorang yang menghina salah seorang istri beliau (Khadijah) di depan beliau, bahkan ketika sudah meninggal? Bagaimana mungkin Nabi Muhammad SAW mencintai seseorang yang membenci putra beliau Ibrahim, dan menuduh istri beliau, Mariah, berbohong?
Bagaimana mungkin Nabi Muhammad SAW mencintai seseorang yang membenci putri beliau Fathimah Zahra, dan yang membenci saudara dan kemenakannya, Ali bin Abi Thalib, sampai-sampai dia tidak mau menyebutkan nama Ali dan berprasangka baik pada Ali?66
Perbuatan-perbuatan semacam itu dibenci oleh Allah SWT dan Nabi­Nya, dan mereka tidak akan mencintai orang yang melakukan perbuatan tersebut, sebab kebenaran adalah bersama Allah dan Rasul-Nya adalah retleksi dari kebenaran, karena itu tidak mungkin bagi beliau untuk mencintai seseorang yang menentang kebenaran. Dalam kenyataannya, tidak saja Rasulullah SAW tidak mencintai dia, bahkan beliau juga memperingatkan umat akan fitnah yang dia akan timbulkan.
Laporan-laporan lemah yang mengklaim adanya cinta yang berlebihan dari Rasulullah SAW kepada Aisyah senyatanya adalah dibuat oleh musuh­- musuh Ali. Mereka memberikan kehormatan yang paling tinggi kepada Aisyah manakala dia melayani mereka. Dia meriwayatkan bagi mereka apa yang mereka sukai, dan dia berperang dengan musuh mereka, Ali bin Abi Thalib.
Salah satu alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang mengklaim adanya kecintaan yang berlebihan Nabi Muhammad SAW  kepada Aisyah  adalah karena Aisyah cantik dan muda, dan satu-satunya perawan yang beliau nikahi, sebab  sebelumnya  tidak pernah dinikahi oleh orang lain. Yang lainnya berkata, “Sebab dia adalah putri Abu Bakar Sidiq, sahabat Nabi Muhammad SAW yang menemani beliau di gua (tsur).” Sementara yang lainnya menyatakan, “Sebab dia menghafal separuh agama dari Rasulullah SAW dan dia adalah seorang ahli hukum yang terpelajar.”
Untuk klaim yang pertama, jika saja Nabi Muhammad SAW menikahi dia karena dia cantik dan satu-satunya perawan yang beliau nikahi, lalu apa yang menghalangi beliau dari menikahi perawan-perawan cantik yang kecantikan dan daya tariknya jauh melebihi dia, dan yang memainkan model bagi suku­-suku Arab saat ini? Di sisi lain, sejarahwan Sunni sendiri menyebutkan adanya kecemburuan Aisyah kepada Zainab binti Jahsy, Shafiyah binti Huyay dan Mariah Qibt, karena mereka lebih cantik daripada dia.
Nabi Muhammad SAW menikahi Malikah binti Ka’ab yang dikenal karena kecantikannya yang menonjol. Aisyah pergi mengunjungi dia dan berkata, “Tidaklah kamu malu menikahi pembunuh ayahmu sendiri?” Dia (Malikah) lalu mencari perlindungan dari Rasulullah, dan atas kejadian itu lalu beliau menceraikannya. Orang-orangnya lalu datang kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, dia masih muda dan kurang memiliki pengetahuan. Dia telah ditipu, karena itu ambillah dia kembali!” Rasulullah SAW menolak permintaan mereka, padahal pembunuh ayah Malikah adalah Khalid bin Khandama.67
Narasi ini dengan jelas bahwa Rasulullah SAW tidaklah menikahi seseorang karena kecantikannya, sebab kalau tidak beliau sudah tentu tidak akan menceraikan Malikah binti Ka’ab yang masih muda dan dikenal dengan kecantikannya yang terkemuka.
Narasi ini, juga narasi-narasi lain di bawah, menunjukkan kepada kita metode yang digunakan oleh Aisyah dalam menipu perempuan­-perempuan mukminat yang tidak berdosa, dan mencegah mereka dari menikahi Rasulullah SAW. Di sini Aisyah menghasut lewat perasaan Malikah terhadap kematian ayahnya, dan mengatakan bahwa pembunuh ayahnya adalah Rasulullah SAW, dengan kata-kata, “Tidaklah kamu malu menikahi pembunuh ayahmu sendiri?” Apa yang dapat dilakukan oleh gadis lugu tersebut kecuali meminta perlindungan dari Rasulullah SAW? Padahal, Rasulullah SAW bukan pembunuhnya.
Dilaporkan juga bahwa ketika Asma binti Nu’man dibimbing untuk berdampingan dengan mempelai laki-lakinya (yakni Nabi Muhammad SAW), Aisyah memberi tahu dia bahwa Nabi sangat amat senang dengan perempuan yang ketika mendekati beliau berkata, “Semoga Allah menyelamatkanku dari engkau!”68
Di sisi lain muncul pertanyaan, mengapa Nabi Muhammad SAW menceraikan keduanya, yang semata-mata hanyalah korban dari rencana dan tipuan Aisyah? Sebelum pembahasan lebih lanjut, kita harus menyadari bahwa Nabi Muhammad SAW adalah maksum, dan karena itu beliau tidak akan memaksa seseorang, ataupun melakukan sesuatu yang tidak benar. Oleh karena itu, dalam menceraikan kedua perempuan itu pastilah terdapat hikmah yang diketahui oleh Allah SWT dan Nabi-Nya. Sama halnya, meskipun kelakuan Aisyah sedemikian rupa, pasti terdapat Zikmah sehingga beliau tidak menceraikannya.
Sejauh tentang perempuan yang kedua, yaitu Asma binti Nu’man, sifat naifnya menjadi tampak ketika tipu daya Aisyah mencengkramnya, dan kalimat pertama yang dia sampaikan kepada Rasulullah SAW ketika beliau merentangkan tangan beliau kepadanya adalah “Aku berlindung kepada Allah dari Anda!” Meskipun dia cantik luar biasa, Nabi Muhammad SAW tidak membiarkannya tetap berada pada kecupetan pemikirannya.
Bersama-sama dengan para perawi lainnya, Ibnu Sa’d dalam kitab –at-Tabaqat-nya jilid VIII halaman 145 atas otoritas Ibnu Abbas berkata, Nabi Muhammad SAW menikahi Asma binti Nu’man, dan dia termasuk diantara perempuan yang paling cantik dan sempurna pada masanya.” Barangkali Nabi Muhammad SAW ingin mengajari kita tentang pentingnya pertimbangan intelektual daripada kecantikan fisik, sebab berepa  banyak perempuan cantik telah dihantarkan oleh kebodohannya menuju kehancuran ?
Sejauh tentang perempuan yang pertama, yaitu Malikah binti Ka’ab, yang ditipu oleh Aisyah dengan mengatakan kepadanya bahwa suaminya (Nabi Muhammad SAW) adalah pembunuh ayahnya, Nabi Muhammad SAW tidak ingin gadis bodoh ini - yang masih muda dan kurang pengetahuan, sebagaimana yang dibenarkan oleh kaumnya - hidup dalam ketakutan dan teror yang dapat menyebabkan masalah-masalah besar lainnya, khususnya karena Aisyah tidak akan pernah membiarkannya hidup damai bersama Nabi Muhammad SAW. Tidak diragukan lagi, terdapat alasan lain yang diketahui oleh Nabi Muhammad SAW yang tidak kita ketahui.

Catatan Kaki
Referensi Sunni: Shahihb Muslim. dan keutamaan sahabat, bagian keutamaan Ali, publikasi arab saudi 1980, versi arab, jilid 4 hal 1873, hadis ke 36, (untuk versi inggris lihat Bab CMXCVI, jilid ke 4, hal 1286. hadis ke 5.920) dan sumber – sumber lain, misalnya shahih at-Turmudzi dan Musnas Ahmad
Referensi Sunni: Shahih at-Turmuzhi. Versi arab. Jilid 5. hal 222-663.328. dilaporkan lebih dari 30 sahabat dengan berbagai rantai periwayatan (sanad) al- Mustadrak oleh hakim. Dalam bab memahami (keutamaa) sahabat jilid3. hal 109.100.148.533. Hakin juga menyatakan  bahwa hadis – hadis shahih menutur criteria dua Syekh ( Bukhari dan Muslim); Sunan Daramis jilid 2 hal 432; Musnad Ahmad bin Hanbal, lijid 3 hal. 14.17.26.59; jidil 4 hal. 336.370-372; jilid 5, hal. 182.189.350.366.419; fadha’il ash-Shahabah, Ahmad bin Hambal, jilid  2. hal 585 hadis ke 990;al-khasha’ish. Nasa ‘I hal 21.30; as-Sawiq al-Muhriqah. Ibnu Hajar haitsami, Bab II, bagian 1 hal 230; al-kabir, Thabari, jilid 3 hal 62-63 137; Kanz al-Ummal, Muttaqi hindi, bab al-I’tisham bi Hablilah, jiulid 1 hal 44; Tafsir Ibnu Katsir ( versi lengkap) jilid 4 hal 113, pada komentar pada ayat – ayat 42:23 (empat edisi); at-tabaqat al-Kubra, Ibnu Sa’d jilid 2 hal 194, publikasi dar Isadder Libanon; al-Jami’ash shaghir, suyuthi jilid 1 hal 194 juga pada jilid 2; Majda az’Zawa’i. Haitsami . jilid 9 hal 163; al-fatih al-kabitr, Binhani, jilid 1 hal451; Ushul Ghabah fi Ma’rifat ash-Shahbat, Ibnu Atsir, jilid 2 hal 12; Jami al-Ushul. Ibu Atsit, jilid 1 hal187. Hisory of ibn Asakir, jilid 5. halaman 436; at-ytajul jamilil Ushul, jilid 3 hal 308; al-Durr al-Mantsur Hafizha suyuthi, jilid 2 hal 60; Yamabi al- Mawadah, Qunduzi hanafi hal. 38.183; Abaqat al-Anwar, jilid 1 hal 16 dan masih banyak yang lain.
Referensi Sunni; al-Mustadrak, Hakim jilid 3 gal 124, berdsarkan otoritas Ummu salamah; ash-Ahawa’iqa-Muhriqat, Ibnu hajar bab 9 bagian ke 2 hal 191-194’ al-Awsath, Tabaranin juga dalam as-Saghir; Tabarik al - khulafa; jalaludi Suyuthi hal 173
Referensi Sunnial- Mutadrak, hakin jilid 2 hal 343 jilid 3 hal 150-151 dari otoritas abu Dzar. Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih; fadha il ash-Shahab Ahmad Bin Hambal, jilid 2 hal; 786; Tafsir  kabit, Fakhrurrazi pada komentar ayat diatas ayat 42;23, bagian ke 27 hal167 Bazzar dari otoritas Ibnu Habbas dan Ibnu Zybair dengan kata – kata ‘tenggelam’  bukan ‘binasa’Ash-Shawa ‘iq al-Muhriqah. Ibnu hajar hait sami, bab 11 bagian 1 hal 234  komentar atas ayat 8;33 juga pada bagian ke 2 hal 282. Dia mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan dari banyak otoritar ‘tarikha al-Khulafa dan Jami us Saghi Suyuthi; al-Kabit. Tabarani, jilid 3 hal 37, 38,; as-saghir , Tabani, jilid 2 gal 22. Hilyat al-Awliya. Abu Nu’aim, jilid 4 hla 306; al-Kina wal Asma, Dulabi, jilid 1 hal 76; Yanabi al-Mawaddah. Qunduzi Hanafi, hal 30.370; Is’af ar- traghibin, saban
Referensi Sunni; al-Durr al-mantsur, Suyuthi, jilid 2 hal 60; ash Shawa’iq al-Muhriqah Ibnu hajar haitsama bab II bagian 1 hal 230. dikutif dar tabarani, juga di bagian 2, hal 342; Ushul Ghabah, Ibnu Atsir, jilid 3 hal 137; Yanabi al’Mawaddah, Qunduzi hanafi hal 41 335 jkanz al-Ummal, Muttaqi Hindi, jilid 1 hal 168, Majda ‘az Zawa’is. Haitsami jilid 9 hla 163. Aqabat al-Amwar, jilid 1 hla 184’; A’alam al-Wara, hal 28-33; as-Sirah al-halabiyyah, Nuriddin Halabi, jilid 3 hal 273.
Referensi Sunni; Majma’az-Zawid, haitsmi, jilid 9 hal 168; al-Awsat, tabarani hadis ke 18; Arba’in. abhani, hal 220,234, hadis yang mirip di catat oleh Daruquthni maupun Ibnu Hajar dalah kitabnya ash-Ahawa’iq al-Muhriqah, bab 9 bagian 2 hal dimana Nabi Muhammad saw mengatakan, "Ali adalah Gerbang Pengampunan, siapa saja yang memasukinya adalah seorang yang beriman dan siapa saja yang kcluar darinya adalah orang yang tidak beriman."
7.    Referensi Sunni: ash-Shawa’iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, ha1.91.
8.    Referensi Sunni: nsh-Shawa’iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, bab 9, bagian 2.
9.    Referensi Sunni: ash-Shama’iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bagian l, hal. 230.
10.    Referensi Sunni: Syaikh Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya al­Imam Shadiq, hal. 27.
11.    Referensi Sunni: Syaikh Muhammad Abu,Zahrah dalam kitabnya al­Imam Shadiq, hal. 66.
12.    Referensi Sunni: Syaikh Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya al­-Imam Shadiq, hal. 66.
13.    Referensi Sunni: as-Shawn’iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, hal. 136.
14.    Referensi Sunni: Kanz al-Llrnmal, Muttaqi Hindi, jilid 6, hal. 155, hadis ke 2.578, juga ringkasan Knnz al-Limmnl yang ada di catatan pinggir Musnad Anruad ibn Hanbnl jilid 5, hal. 32.
15.    Referensi Sunni: Is’af ar-Raghibift, Saban; as-Synraf al-Mua’abbad, oleh Syaikh Yusuf Abahani, hal. 31, melalui lebih dari sah.t jalvr.
16.    Referensi Sunni: Kitab asy-Syafa, Qadhi Iyadh, dipublikasikan pada tahun 1328 H, jilid 2, hal. 40; Yatvabi al-Mawaddah, Qunduzi Hanafi, bagian 65, hal. 370.
17.    Referensi Sunni: Ihya’al-Mayyit, Hafizh Jalaluddin Suyuthi; Arba’in al­‘Arbain, Allamah Abahani.
18.    Referensi Sunni: Tafsir al-anbir, Fakhruddin Razi, jilid 27, hal. 166, pada komentar atas ayat Quran 42:23; ash-Shawa’iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, hal. 88, berkenaan dengan ayat Quran 33:33.
19. Referensi Sunni: Shahih Muslim, bab Keutamaan Sahabat, bagian keutamaan Ahlulbait Nabi Muhammad saw, edisi 1980, terbitan Arab Saudi, versi Arab, jilid 4, ha1.1883, hadis ke 61.
20.    Referensi Sunni: Shahih at-Turmudzi, jilid 5, ha1.351, 663
21.    Referensi Sunni: al-Mustadrak Hakim, jilid 2, hal. 416
22.    Referensi Sunni: Usal al-Ghahah, Ibnu Atsir, jilid 2, hal. 289; Taf.sir al­Durr al-Mantsur, Suyuthi, jilid 5, hal. 198.
23.    Referensi Sunni: Tafsir Thabari, jilid 22, hal. 7 pada komentar tentang ayat 33:33. Di samping Shahih Muslim dan Tirmidzi, yang dari keduanya kami mengutip ‘Nadis Mantel’ (kisa) melalui otoritas Aisvah dan Ummu Salamah secara berturut-turut, di bawah ini adalah referensi Sunni tentang hadis mantel, yang rnelaporkan tentang kedua versi hadis tersebut; Musnad Ahmad Ibn Harrbal, jilid 6, hal. 323, 292, 298; jilid 1, hal. 330-331; jilid 3, hal. 252; jilid 4, hal. 107 dari Abu Sa-id Khudri; Fadha’il ash-Sha}rabah, olch Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 578, hadis ke 978; al-Mmtadrak oleh Hakim, jilid 2, hal. 416 (dua hadis) dari Ibnu Abu Salamah, jilid 3, hal. 146-148 (lima hadis), hal. 158, 172; al-Khasaisy, Nasa’i, hal. 4,8; as-Sunan oleh Baihaqi, diriwayatkan dari Aisvah and Ummu Salamah; Tafsir al-Kabir-, Bukhari (penyusun Shahih Bukhari), jilid 1, bagian 2, hal. 69; tazhir al­Kabir, oleh Fakhrurrazi, jilid 2, hal. 700 (Istanbul), dari Aisyah; Tafsir al­Durr al-Mautsur, Suvuthi, jilid 5, hal. 198,605 dari Aisyah and Ummu Salamah; Tafsir Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 5-8 (dari Aisyah dan Abu Sa’id Khudri), hal. 6,8 (dari Ibnu Abu Salamah) (10 hadis); Tafsir, Qurthubi, pada komentar atas avat 33:33 dari Ummu Salamah; Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 485 (versi lengkap) dari Aisyah dan  Umar bin Abi Salamah; Lisd al-Ghabah, oleh Ibnu Atsir, jilid 2, hal. 12; jilid 4, ha1.79 diriwayatkan dari Ibnu Abu Salamah; Shazun`iq al-Muyriqah, Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bagian 1, hal. 221 dari Ummu Salamah; Tarikh, Khatib Baghdadi, jilid 10, diriwavatkan dari Ibnu Abu Salamah; Tafsir al-Kasysyaf, Zamakhsyari, jilid 1, hal. 193 diriwavatkan dari Aisyah; Musykil al-Atsnr, Tahawi, bab l, hal. 332-336 (tujuh hadis); Dhakha’ir al-Liqbah, Muhibb Thabari, hal. 21-26, dari Abu Sa’id Kzudri; Majma’ az-Zawa’id, Haitsami, jilid 9, hal. 166 (dari berbagai jalur).
24. Referensi Sunni: al-Mustadrak Hakim, bab Memahami (keutamaan) Sahabat, jilid 3, hal. 148. Pengarang kemudian menulis, "Hadis ini adalah shahih berdasarkan kriteria dua Syekh (Bukhari Muslim)."; TaIkhis al-Mu-tadrak, Dzahabi, jilid 3, hal. 148; Used -Ghabah, Ibnu Atsir, jilid 3, hal. 33.
25.    Referensi Sunni: as-Sawaiij al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, bab 11, bagian l, hal. 220.
26.    Referensi Sunni: Shaih-Turmudzi, jilid 72, ha1.85; Musnad Ahrnad Ibn Hanbal, jilid 3, hal. 258; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, ha1.158 yang menulis bahwa hadis ini shahih sesuai dengan kriteria Bukhari dan Muslim (tapi keduanya tidak melaporkan); Tafsir al-Durr al-Manfsur, Suyuthi, jilid 5, hal. 197, 199; Tafsir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 5,6 (mengatakan ‘selama tujuh bulan’); Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 483; Musnad, Tialasi, jilid 8, hal. 274; Usd al-Ghabah, Ibnu Atsir, jilid 5, hal. 146.
27.    Referensi Sunni: Tafsir al-Durr al-Mantsur, Suyuthi, jilid 5, hal. 198,­199; Tafsir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 6; Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 483; Dhakha’ir al-Llqbah oleh Muhibuddin Thabari, hal. 24 dari otoritas Anas bin Malik; Isti’ab oleh Ibnu Abdul Qarr, jilid 5, hal. 637; Usd al-Ghabah oleh Ibnu Atsir, jilid 5, hal. 146; mazma az’Zawa’id oleh Haitsami, jilid 9, hal. 121, 168; musykil al-Atsar oleh Tahawi, hal. 338. 28. Referensi Sunni: al-Durr al-Mantsur, oleh Hafizh Suyuthi, jilid 5, hal. 198.
29.    Referensi Sunni: Tafsir al-Durr al-Mantsur, oleh Hafizh Suyuthi, jilid 5, hal. 199; Majma’ az-Zama’id oleh Haitsami, jilid 9, hal. 121, 168.
30. Referensi Sunni: al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, hal. 172; Majma’ az­Zawdid, Haitsami, jilid 9, hal. 172.
31.    Referensi Sunni: Majrna’ az-Zawa’id, Haitsami, jilid 9, hal. 172; Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 486; Riwayat ini juga telah dilaporkan oleh Tabarani dan yang lainnya.
32.    Referensi Sunni: Musykil al-Atsar-, Tahawi, jilid 1, ha1. 336.
33.    Referensi Sunni: Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 298; Tafsir al­Kabir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 6; Musykil al-Atsar, oleh Tahawi, jilid l, hal. 335.
34. Referensi Sunni: Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 331 (edisi pertama); Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 5 hadis ke 3062 (edisi kedua); al-Khasyaisy, Nasa’i, hal. 11; ar-Riyadh an-Nadhirah, Mulubuddin Thabari, jilid 2, hal. 269; majma az-Zawa’id, Haitsami, jilid 9, hal. 119.
35. Referensi Sunni: al-Khasyaisy, Nasa’i, hal. 4; Cerita yang hampir sama dapat dibaca pada shahih Muslim, versi ini laris, bab CMXCVI (keutamaan Ali), hal. 1284, hadis ke 5.916.
36. Referensi Sunni: Tafsir al-Kabir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hat. 7; Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 485; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, hal. 147; Musykil al-Atsar oleh Tahawi, jilid 1, hal. 336; jilid 2, hal. 33; Tarikh Thabari, versi Arab, jilid 5, hal. 31.
37.    Referensi Sunni: Tafsir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 5, tentang ayat 33:33; Dhakha’ir al-Uqbah, Muhibuddin Thabari, hal. 24; ash-Shawa’iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, bab 11, bagian l, hal. 221;11-lajma’ az-Zawa’id, Haitsami.
38.    Referensi Sunni: Tafsir al-Kabir oleh Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 6; al-Mustadrak, Hakim, jilid 2, hal. 416; jilid 3, hal. 417; Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 107; Majma’az-Zarca’id, Haitsami, jilid 9, ha1.167; Musykil al-Atsar, Tahawi, jilid l, ha1.346; Sunan, Baihaqi, jilid 2, ha1.152.
 39.    Referensi Sunni:Usd (71-Ghabnh, Ibnu Atsir, jilid 2, hal. 20.
40.    Referensi Sunni: Tafsir al-Kabir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 7; Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 486; Tafsir al-Durr al-Mantsur, Hafizh Suyuthi, jilid 5, hal. 199.
41.    Referensi Sunni: Maqtal Husain, Khatib Kharazmi.
42.    Referensi Sunni: al-Durr al-Mantsur, Hafizh Jalaluddin Suyuthi, jilid 2, hal. 38.
43. Referensi Sunni: Shahih Muslinr, bab Keutamaan Sahabat, bagian keutamaan Ali, edisi 1980, terbitan Arab Saudi, versi Arabi, jilid 4, hal. 1871, akhir dari hadis ke 32; Shahih at-Turmudzi, jilid 5, hal. 654; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, hal. 150, yang mengatakan bahwa hadis ini shahih menurut kriteria kedua Syekh (Bukhari dan Muslim); Dhakha’ir al-Ulqbah, Muhibuddin Thabari, hal. 25.
44. Referensi Sunni: Daruquthni, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar Haitsami dalam ash-Shawa ‘iq al-Muhriqnh, bab 11, bagian ke l, hal. 239.
45.    Referensi Sunni: Tabarani; Abul Khair Hakimi, riwayat dari Abbas; ash-Shawa’iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab. 11, bagian l, hal. 239; Kunuz Matalib.
46.    Referensi Sunni: ash-Shawa ‘iql al-Muhriqah, Ibnu Hajar Haitsami, bab 9, bagian 2, hal. 190; Tarikh al-Khulafiaa, oleh Jalaluddin Suyuthi, hal. 171; Awsath oleh Tabarani, dari Jabir bin Abdillah Anshari.
47.    Referensi Sunni: Tafsir, Baidhawi, pada komentar atas ayat 3:61.
48.     Referensi Sunni: Ibnu Jawzi, Baihaqi, dan Daruquthni, Dzahabi berdasarkan riwayat Umar bin Khathab, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan  Ibnu Umar; ash-Shawa ‘iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bagian 1, hal. 239; Hadis vang mirip telah diriwayatkan oleh Abu Ya’la, Tabarani berdasarkan riwayat Fathimah dan Ibnu Umar.
49.     Referensi Sunni: Shnhih Mrrslim, bab Keutamaan Sahabat, bagian keutamaan Ali, edisi 1980 terbitan Arab Saudi, versi Arab, jilid 4, hal. 1874, hadis ke 37 (untuk yang versi Inggris, lihat bab CMXCVI, hadis ke 5.923).
50.     Referensi Sunni: Shahih Muslim, bab keutamaan Sahabat, bagian keutamaan All, edisi 1980 terbitan Arab Saudi, versi Arab, jilid 4, hal. 1873, hadis ke 36. (untuk vang versi Inggris, lihat bab CMXCVI, hal. 1286, hadis ke 5920).
51.    Referensi Sunni: Shahih at-Turmudzi, sebagaimana dikutip dalam; al-­Durr al-Mantsur, Jalaluddin Suyuthi, jilid 5, hal. 605-606, 198 pada komentar tentang ayat Quran 33:33; Dala il an-Nabawiyyah, Bayhaqi; Kitab-kitab lainnya seperti Tabarani, Ibnu Mardawaih, Abu Nu’aim, dan sebagainya.
52.    Referensi Sunni: Tafsir thabani, jilid 22, hal. 5 pada komentar tentang ayat 33:33.
53. Referensi Sunni: Shahih at-Tur-taudzi, jilid 5, hal. 702; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, ha1.157, yang mengatakan bahwa hadis ini shahih sesuai dengan kriteria Bukhari-Muslim; Musyad Ahmad ibn Hanbal, jilid 3, ha1. .135; Fadha’il ‘ash-Slrahabah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 755, hadis ke 1.325; Hilyat al- Awliya, Abu Nu’aim, jilid 2, hal. 344; Majma’ az-Zawa’id oleh Haitsami, jilid 9, ha1. 223; al-Isti’ab, Ibnu Abdul Barr, jilid 4, hal. 377; al-Awsat, Tabarani, juga Ibnu Habban, dsb.
54.    Referensi Sunni: Ibnu Asakir, seperti yang dikutip dalam al-Durr a1­mantsur.
55.    Referensi Sunni: Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 227; Shahih an-Nasa’i, jilid 2, hal. 145.
56.    Referensi Sunni: Shahih at-Turmudzi, dan Zan,akhsyari telah mengu’tip darinya pada hal. 73.
57.    Referensi Sunni: at-Tabnqnt, Ibnu Sa’d, jilid 8, hal. 212; al-Ansab al­Asyraf, oleh Baladzuri jilid 1, hal. 339.
58.    Referensi Sunni: at-Tabaqnat, Ibnu Sa’d, jilid 1, hal. 37; juga dalam al­Ansab al-Asyraf, Baladzuri.
59.    Referensi Sunni: Shahih Muslim, versi Inggris, bab CCCLII (di bawah judul: Apa yang harus dikatakan ketika mengunjungi kuburan), jilid 2, hal. 461-462, hadis ke 2.127); Shahih Muslim, versi Arab, edisi 1980, terbitan Arab Saudi, jilid 2, hal. 669-670, hadis ke 1.03; Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 147.
60.    Referensi Sunni: Mcrsnnd, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, ha1. 147.
61.    Referensi Sunni: Musund, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 115.
62.    Referensi Sunni: Kanz al-Ummal, Muttaqi Hindi, jilid 6, hal. 294; at-­Tabaqat, lbnu Sa’d, jilid 8, hal. 115.
63.    Referensi Sunni: Shahih Muslim versi Inggris, bab DHXXII, jilid 2, hal. 748-749, hadis ke 3.453-3.454; shahih Muslim versi Arab, edisi 1980, terbitan Arab Saudi, jilid 2, hal. 1085-1086, hadis ke 49-50.
64.    Referensi Sunni: Kanz al-Ummull, Muttaqi Hindi, jilid 7, hal. 116, hadis
,    ke 1.020; Ihya ‘Ulim ad-Difr, Ghazali, bab 3 tentang Nikah, jilid 2, hal. 35; Mukasyifat al-Qulnab, Ghazali, bab 94, hal. 238.
65.    Referensi Sunni: Ihya UIlum ad-Din, Ghazali, bab 3, jilid 2, hal. 29, Kitab tentang Etika Perkawinan; Mukasyafatt al-Qulub, Ghazali, bab 94.
66.    Lihat Shahih Bukhari, edisi Arab Inggris, hadis ke 3.761 dan 5.727 dan 5.736.
67.     Referensi Sunni: at-Tabaqat, Ibnu Sa’d, jilid 8, hal. 148; Ibnu Katsir, jilid 5, hal. 299.
68.    Referensi Sunni: al-Mustadrak Hakim, jilid 4, hal 37, tentang Asma; al-Ishabah, Ibnu Hajar Asqalani, jilid 4, hal. 233; at-Tabaqat, Ya’qubi, jilid 2, ha1.69.