Rabu, Desember 23, 2009

Muharram: Benarkah Tahun Baru Islam?

Tulisan ini semata-mata dimaksudkan sebagai kajian dan renungan ilmiah saja. Semua isinya mewakili pandangan saya pribadi. Siapa pun boleh setuju atau menolaknya. Yang pasti, tulisan ini dibuat tetap dalam kerangka dan semangat persaudaraan Islam. Semoga bermanfaat.

Seiring masuknya bulan Muharram, sebagian besar Muslimin merayakannya sebagai awal Tahun Baru Islam yang penuh sukacita dan semarak dengan berbagai kegiatan. Apalagi didukung oleh riwayat bernuansa kebahagiaan, seperti selamatnya Nuh dari banjir bandang, selamatnya kaum Musa dari Fir’aun, dan sebagainya, pada 10 Muharram (hari Asyura). Bahkan ditambah lagi dengan riwayat Puasa Asyura. Maka, semakin lengkaplah kegembiraan bulan ini.

Namun sebaliknya, ada sebagian kecil Muslimin yang justru bersedih di bulan Muharram. Seolah tak menghiraukan kegembiraan dan rasa syukur sebagian besar Muslimin tadi. Mereka justru menangis, meratap, dan memukul dada sebagai ekspresi kesedihan dan kepedihan yang dalam, sekaitan dengan bulan ini. Alangkah perbedaan yang sangat kontras. Mengapa demikian?

Saya mencoba membuka-buka sejarah seputar penetapan Tahun Baru Islam. Dari situ saya dapati bahwa penetapan Tahun Baru Islam dilakukan di masa Umar bin Khattab. Sebelumnya Muslimin menggunakan Tahun Gajah—tahun ketika Abrahah menyerbu Mekah untuk meruntuhkan Ka’bah—sebagai acuan penanggalan. Ada yang mengusulkan kepada Umar untuk menjadikan peristiwa bi’tsah Nabi saw sebagai awal penanggalan, atau pada riwayat lain Umarlah yang bertekat untuk memulai penanggalan dengan mengacu pada kelahiran atau bi’tsah Nabi saw. Namun, Ali bin Abi Thalib tidak menyetujui pandangan tersebut dan mengusulkan untuk menjadikan peristiwa hijrah Nabi saw sebagai awal penanggalan. Usul ini diterima dan ditetapkan oleh Umar pada tanggal 8 Rabi’ul Awal 17 H.[1] Oleh karena itu, nama tahunnya adalah Hijrah atau Hijriyah.

Namun demikian, terdapat pula riwayat lain, yang menyatakan bahwa penetapan penanggalan Islam telah dimulai sejak masa Nabi saw, atas perintah beliau sendiri, pasca pelaksanaan hijrah di bulan Rabi’ul Awal. Mereka (Muslimin saat itu) mengatakan bahwa peristiwa dimulainya penanggalan tersebut terjadi di bulan ini, setelah hijrah, dan berlanjut “hingga diperoleh satu tahun penuh.” [2] Sehingga, dari riwayat ini terlihat bahwa sistem penanggalan dimulai pada bulan Rabi’ul Awal dan diakhiri pada bulan Shafar. Syaikh Ja’far Subhani menegaskan bahwa riwayat inilah yang benar, berdasarkan bukti surat-surat yang dikirim oleh Nabi saw dan bukti-bukti lainnya.[3]

Pada peristiwa hijrah itu sendiri, Nabi saw tiba di Quba (sekitar 10 Km dari Madinah)—tepatnya di rumah Kultsum bin al-Hadam—hari Senin, 12 Rabi’ul Awal. Perjalanan tersebut ditempuh Nabi saw sekitar sembilan hari, setelah sebelumnya bersembunyi di Gua Tsaur (sekitar 5 Km di selatan Mekah) selama tiga hari. Ini berarti awal hijrah Nabi saw adalah 1 Rabi’ul Awal. Sementara, Ali bin Abi Thalib baru melakukan hijrah setelah tiga hari keberangkatan Nabi saw dari Gua Tsaur, dan ia sampai di Quba hari Kamis, 15 Rabi’ul Awal. Esok harinya, barulah Nabi saw berangkat ke Madinah.[4] Sementara itu, riwayat lain juga menyebutkan secara tegas bahwa Nabi saw mengawali hijrah pada 1 Rabi’ul Awal.[5]

Sehingga, dengan melihat tarikh tersebut, mengapa tiba-tiba Tahun Baru Islam jatuh pada 1 Muharram, padahal bulan ini sama sekali tidak terkait dengan peristiwa hijrah Nabi saw? Kalaupun, seandainya yang dilihat adalah tahun hijrahnya Nabi saw dengan tidak memperhitungkan bulannya, maka mengapa mesti dipilih bulan Muharram, sementara masih ada bulan lainnya? Mengapa tidak memilih saja bulan yang justru terkait dengan peristiwa hijrah Nabi saw? Apalagi, kenyataannya penggunaan Muharram sebagai awal tahun merupakan tradisi bangsa Arab pra-Islam.

Sementara itu, sekaitan dengan riwayat seputar peristiwa keberuntungan para nabi di hari Asyura, selain tercantum pada jalur Ahlusunah, juga tercantum pada jalur Syiah. Namun, Al-Majlisi dan ulama Syiah lainnya telah jauh-jauh hari menyatakan bahwa riwayat tersebut dha’if (lemah) dan bohong. Apalagi diperkuat pula oleh penjelasan Maitsam al-Tammar (salah seorang murid dan sahabat dekat Ali bin Abi Thalib) tentang kebohongan riwayat tersebut. Maitsam berkata, “Mereka berdalih dengan hadis yang mereka buat bahwa Asyura merupakan hari di mana Allah mengampuni Adam, padahal peristiwa ini terjadi pada Dzulhijjah. Mereka berdalih bahwa pada hari itu Allah menerima taubat Dawud, padahal peristiwa ini juga terjadi pada Dzulhijjah. Mereka berdalih bahwa pada hari itu Allah mengeluarkan Yunus dari perut ikan Paus, padahal peristiwa ini terjadi pada Dzulqa’dah. Mereka berdalih bahwa pada hari itu bahtera Nuh berlabuh di Gunung Judi, padahal peristiwa ini terjadi pada 18 Dzulhijjah. Mereka berdalih bahwa pada hari itu Allah membelah laut untuk keselamatan Bani Israel, padahal peristiwa ini terjadi pada Rabi’ul Awal.”[6]

Mengenai riwayat Puasa Asyura, beberapa ulama Islam juga meyakini kelemahannya. Riwayat yang kerap digunakan sebagai dalil adalah: Setelah Nabi saw berhijrah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Kemudian beliau bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian berpuasa?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari baik, ketika Allah menyelamatkan Bani Israel dari musuh mereka (Fir’aun). Karenanya, Musa berpuasa pada hari ini.” Rasulullah saw menjawab, “Aku lebih berhak atas Musa daripada kalian.” Beliau lalu berpuasa pada hari itu dan memerintahkan Muslimin untuk juga berpuasa.[7]

Terdapat beberapa kejanggalan pada riwayat ini:[8]
1. Orang-orang Yahudi hanya mengenal satu jenis puasa, yaitu Puasa Pertobatan, yang dilakukan pada hari Yom Kippur. Mereka memperingatinya sebagai hari kesedihan, karena dipindahkannya Tabut Musa dari Gunung Sinai. Peristiwa ini terjadi pada hari kesepuluh di bulan Tisyri (bulan ketujuh pada kalender Yahudi).
2. Berdasarkan riwayat di atas, dialog itu terjadi pada Muharram setelah hijrah. Dari penelusuran diperoleh bahwa Muharram saat itu kurang lebih bertepatan dengan 5 Juli 623 M. Sementara, Tisyri selalu bertepatan dengan September-Oktober.
3. Peristiwa selamatnya Bani Israel dari Fir’aun terjadi di bulan Abib (bulan pertama pada kalender Yahudi). Berarti kurang lebih bertepatan dengan Maret-April.

Dengan demikian, bulan Muharram saat itu tidak terkait sama sekali dengan peristiwa puasa Yom Kippur dan selamatnya Bani Israel dari Fir’aun. Dari analisis ini saja terlihat bahwa riwayat tersebut dha’if (lemah).

Selain itu, riwayat-riwayat lain—baik dari jalur Ahlusunah maupun Syiah—juga menegaskan bahwa Nabi saw meninggalkan Puasa Asyura setelah hijrah, di antaranya:
1. Abdullah meriwayatkan bahwa suatu hari Asy’ats datang ke rumahnya, sementara ia sedang makan. Asy’ats segera berkata, “Ini hari Asyura.” Aku menjawab, “Memang puasa dilakukan pada hari itu, sebelum kewajiban Puasa Ramadhan turun. Tetapi, ketika kewajiban Puasa Ramadhan telah turun, maka Puasa Asyura ditinggalkan. Jadi, ikutlah makan bersamaku.”[9]
2. Ibnu Umar berkata, “Nabi saw berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan Muslimin untuk juga berpuasa pada hari itu. Ketika kewajiban Puasa Ramadhan turun, maka beliau meninggalkan Puasa Asyura.”[10]
3. Saat Muhammad al-Baqir ditanya tentang Puasa Asyura, ia menjawab, “Puasa tersebut dilakukan sebelum turunnya kewajiban Puasa Ramadhan. Ketika kewajiban Puasa Ramadhan telah turun, maka Puasa Asyura ditinggalkan.”[11]
4. Di saat yang lain, ketika Muhammad al-Baqir ditanya tentang Puasa Asyura, ia menjawab, “Puasa ini telah ditinggalkan dengan turunnya kewajiban Puasa Ramadhan. Dan segala yang ditinggalkan itu bid’ah.” Demikian halnya dengan Ja’far ash-Shadiq, saat ditanya tentang Puasa Asyura, ia menjawab persis seperti jawaban ayahnya itu. Bahkan ia menambahkan, “Adapun puasa pada hari itu tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an, tidak pula oleh Sunah Nabi saw, kecuali sunah keluarga dan pengikut Ziyad dalam rangka (merayakan) terbunuhnya al-Husein.”[12]

Sebaliknya, dari kitab-kitab tarikh yang sedemikian banyaknya—baik dari jalur Ahlusunah maupun Syiah—justru diperoleh fakta bahwa pada bulan Muharram telah terjadi peristiwa kezaliman terbesar di jagad raya ini atas keluarga Nabi saw. Yaitu terbantainya al-Husein di Karbala, beserta keluarga dan para sahabatnya, oleh Yazid bin Mu’awiyah dan pasukannya. Diriwayatkan bahwa al-Husein beserta rombongannya berangkat dari Mekah menuju Kufah, dan tiba di Nainawa (Karbala) pada 2 Muharram 61 H (atau semestinya 60 H). Sejak saat itu hingga 10 Muharram, ia diperlakukan dengan kejam, yang iblis sekalipun tak akan mampu melakukannya.[13] Sehingga, tragedi besar inilah yang menjadikan sebagian kecil Muslimin berduka, menangis, dan meratapinya, sebagaimana tersebut di awal tulisan ini.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa pengaitan Muharram dengan Tahun Baru Islam—berikut keberuntungan para nabi dan Puasa Asyura—menurut saya merupakan hasil rekayasa. Pengaitan tersebut mungkin dibuat pasca peristiwa Karbala, untuk memalingkan umat manusia dari tragedi alam terbesar itu dan menjauhkan mereka dari hujjah Allah di muka bumi. Sekalipun dengan cara mempertahankan tradisi penanggalan bangsa Arab pra-Islam. Karenanya, tak heran bila Ibn Sirin (w. 110 H) menyatakan, “Orang-orang, setelah melalui diskusi, secara bulat menyetujui penetapan awal tahun pada bulan Muharram,” yang sejatinya merupakan penegasan bahwa penanggalan Muharram hanyalah kesepakatan orang-orang tertentu di masanya.[14]

Dengan demikian, sudah semestinya Muharram (khususnya tanggal 1 hingga 10) dipenuhi dengan mengingat kesyahidan al-Husein dan berduka atas tragedi besar yang menimpanya. Ja’far ash-Shadiq berkata, “Allah menjadikan bagi kami Syiah, yang mereka bergembira atas kegembiraan kami dan bersedih atas kesedihan kami.”[15]

Murtadha Muthahhari, saat menjelaskan filosofi menangis atas tragedi al-Husein, berkata bahwa, “Menangisi seorang syahid tidak akan menjadikan seseorang lemah, karena menangis itu bersifat al-Ruh al-Ijtima’iyah (kebersamaan ruh), yang mendekatkan sang penangis dengan syahid yang ia tangisi. Sementara, tertawa bersifat al-Ruh al-Fardiyah (kesendirian ruh), yang hanya akan menyenangkan diri pribadi orang yang tertawa tersebut. Karena itu, setiap orang yang merasakan kerinduan pada orang lain akan memilih menangis dan bukan tertawa, yang dengan hal itu ia merasa dekat dengan orang yang dirindukannya.”[16]

Ya, menangisi al-Husein dengan ikhlas tidak akan menyebabkan seseorang menjadi lemah. Justru hal itu akan menjadikannya dekat dengannya. Sehingga, segala pelajaran dari misinya pada tragedi tersebut dapat diambil, khususnya dalam menolak segala bentuk kezaliman dan selalu berupaya menegakkan ajaran, hukum, dan kalimat Allah di muka bumi.

Tangisan sepanjang masa itu pulalah yang telah berhasil menggulirkan Revolusi Islam Ayatullah Khomeini. Sekaitan dengan ini, ia berkata, “Mengenalkan Islam kepada manusia, sembari menciptakan hubungan dekat dengan Asyura. Sebagaimana kita tetap memelihara keberlangsungan Asyura (salam atas pendirinya) dan tidak membiarkannya hilang, sehingga manusia masih berkumpul selama Muharram dan memukul dada mereka, maka kita sekarang harus mengambil tindakan untuk menciptakan gelombang protes menentang pemerintah. Biarkan masyarakat berkumpul, sementara para penceramah dan rauzakhwan[17] benar-benar membenahi persoalan pemerintahan di benak mereka.”[18]

Oleh Karena itu, dalam bulan Muharram ini, saya ingin mengucapkan bela sungkawa dan dukacita mendalam kepada Rasulullah saw dan keluarga beliau, serta kepada Muslimin dan Mukminin di mana pun mereka berada: A’zhamallahu Ujurana bi Mushibatil Husein ‘Alaihissalam bi Karbala. Mari kita ambil teladan dari al-Husein untuk menolak dan memerangi segala bentuk kezaliman, khususnya kezaliman Amerika, Zionis, dan antek-antek mereka. Akhirnya, saya ingin mengutip sebuah syair Muhammad Iqbal berikut komentarnya:

Gharib-o-sada-o-rangi’n hay dastan-e-Haram
Nihayat iski Husayn ibtida hay Ismail

Komentar:
Iqbal mengatakan bahwa peristiwa pembangunan Ka’bah itu sangat simpel dan menarik. Ismail menderita kepedihan yang sangat, dalam peristiwa itu. Ibrahim membersihkan Ka'bah dari berhala-berhala, dan meningkatlah kemuliaannya. Sungguh, batu pertama diletakkan oleh Ismail. Ia memberikan nyawanya sebagai korban, namun pengorbanan itu tidak lengkap, karena diganti seekor domba. Berdasarkan Al-Qur'an, pengorbanan agung (al-Dzibh al-‘Azhim) muncul di kemudian hari dan dilengkapkan oleh salah seorang keturunannya, yaitu al-Husein. Sehingga, puncak ruh kecintaan kepada Allah termanifestasi, ketika al-Husein mengorbankan nyawanya dan memelihara kehormatan Ka’bah.[19]

Berikut ini saya kutipkan pula pandangan beberapa orientalis Barat non-Muslim :
1. Edward Gibbon berkata, “Pemandangan tragis kematian Husein akan membangkitkan simpati para pembaca yang paling dingin (sekalipun).”[20]
2. Ignaz Goldziher berkata, “Sejak hari kelam Karbala, sejarah keluarga ini telah mengalami penderitaan dan penganiayaan terus-menerus. Hal ini diberitakan dalam syair maupun prosa, dalam literatur-literatur tentang para syuhada—khususnya Syiah, dan menjadikan berkumpulnya orang-orang Syiah pada sepertiga pertama Muharram, yang mana pada hari kesepuluh (Asyura) diadakan peringatan tragedi Karbala. Pemandangan tragedi itu juga ditampilkan dalam peringatan tersebut secara dramatik. “Hari Raya kami adalah majelis duka,” bunyi sebuah syair dari seorang pangeran Syiah yang mengingatkan akan banyaknya malapetaka yang menimpa keluarga Nabi. Tangisan dan ratapan atas kejahatan dan penganiayaan yang menimpa keluarga Ali, dan kedukaan atas para syuhada, menyebabkan peristiwa itu selalu dikenang. Bahkan dalam masyarakat Arab dikenal pepatah: Lebih mengharukan dari tangisan orang-orang Syiah.”[21]
3. Reynold Alleyne Nicholson berkata, “Husein jatuh, tertembus sebuah anak panah, dan para pengikut pemberaninya terbunuh di sampingnya, hingga yang terakhir. Kaum Muslim, dengan sedikit pengecualian, sepakat memusuhi Dinasti Umayyah serta menyatakan Husein sebagai syahid dan Yazid sebagai pembunuhnya.”[22]
4. Edward G. Brown berkata, “Peringatan atas peristiwa Padang Karbala yang ternoda darah—di mana cucu Rasulullah akhirnya jatuh dan dikelilingi jasad keluarganya yang terbunuh—sejak itu dibangkitkan setiap saat, bahkan secara terang-terangan, dengan dukacita mendalam serta kegairahan ruh, yang di hadapan semua itu rasa sakit, bahaya, dan kematian menjadi hal sepele.”[23]

Daftar Pustaka:
-------------------

[1] Tarikh Ya’qubi, jil. 2, hal. 135; Tarikh Thabari, riwayat dari Said ibn Musayyib.
[2] Tarikh Thabari, jil. 3, hal. 1250; ibid., jil. 5, hal. 2480.
[3] Syaikh Ja’far Subhani, Al-Sirah al-Muhammadiyah, hal. 103.
[4] Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Ishabah, jil. 3, hal. 55, no. 3150; Tarikh Thabari, jil. 1, hal. 106; Ibn Atsir, Tarikh al-Kamil, jil. 2, hal. 106; Syaikh Ja’far Subhani, Ar-Risalah, hal. 280-285, Penerbit Lentera; Syaikh Ja’far Subhani, Al-Sirah al-Muhammadiyah, hal. 99-104; Sayed Ali Asgher Razwy, Restatement of History of Islam, bab 18.
[5] Sayid Akhtar Rizvi, Martyrdom of Imam Husayn and The Muslim and Jewish Calendars, Jurnal Al-Serat, vol. 6, no. 3 dan 4, yang mengutip dari kitab Safinah al-Bihar, jil. 2, hal. 696.
[6] Syaikh Shaduq, Al-Amali, majlis ke-27, riwayat no.1; Syaikh Najamudin al-Thabasi, Shaum Asyura Baina Sunnah Nabawiyah wa al-Bid’ah Umawiyah, hal. 48-49.
[7] Shahih Bukhari, Kitab Shaum, jil. 2, hal. 251.
[8] Sayid Akhtar Rizvi, The Fast of Ashura, Journal Al-Serat, vol. 8, no. 3 dan 4.
[9] Shahih Bukhari, Kitab Tafsir, jil. 5, hal. 154-155.
[10] Shahih Bukhari, Kitab Shaum, jil. 2, hal. 226.
[11] Syaikh Shaduq, Man Laa Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 2, hal. 51; Al-Hurr al-‘Amili, Wasa’il asy-Syi’ah, jil. 10, hal. 459.
[12] Al-Kulaini, Al-Kafi, jil. 4, hal. 146; Syaikh Thusi, Al-Istibshar, jil. 2, hal. 134.
[13] Thabari, Tarikh al-‘Umam wa al-Mulk, jil. 6, Bab Peristiwa Pada 61 H; Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hal. 231-234; Ibn Atsir, Tarikh al-Kamil, jil. 4, hal. 46.
[14] Sayid Akhtar Rizvi, Martyrdom of Imam Husayn and The Muslim and Jewish Calendars, Jurnal Al-Serat, vol. 6, no. 3 dan 4.
[15] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 10, hal. 114, riwayat no. 1; ibid., jil. 44, hal. 287, riwayat no. 26.
[16] Murtadha Muthahhari, Syahid, khususnya pada bab Falsafah al-Buka’.
[17] Rauzakhwan adalah orang yang membawakan kisah-kisah seputar kesyahidan al-Husein, bahkan ia juga kerap menggubah syair tentang tragedi Karbala.
[18] Ayatullah Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, hal. 141-142, Penerbit Pustaka Zahra.
[19] DR. Ibrahim Ayati, A Probe Into The History of Ashura, Bab 50.
[20] The Decline and Fall of The Roman Empire, vol. 5, hal. 391-392.
[21] Introduction to Islamic Theology and Law, hal. 179.
[22] A Literary History of The Arabs, hal. 197.
[23] A Literary History of Persia, hal. 227.