Minggu, November 15, 2009

Apa Pendapat Ulama Ahlussunah tentang Pelopor Jama’ah Takfiriyah (Ibnu Taimiyah)

Jika kita menelaah asal-usul kemunculan Wahabisme niscaya kita akan dapati ada tiga periode; kemunculan, kemandekan dan kejayaan. Kemunculan keyakinan ini berawal dari Ibnu Taimiyah al-Harrani yang bercita-cita menghidupkan kembali metode (manhaj) Salaf Saleh yang selama ini dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal. Namun Ibnu Taimiyah terlampau over (ekstrim) dalam mengadopsi pemikiran Imam Ahmad sehingga ia harus berbenturan dengan para ulama Ahlusunah wal Jamaah, bahkan dari pengikut mazhab Hambali sekalipun. Sehingga imbas dari perbuatannya tersebut akhirnya ia harus keluar-masuk penjara akibat vonis para hakim (Qodhi) dari berbagai mazhab, dan mati dalam keadaan terhina dan dihinakan di dalam penjara. (Lihat pengakuan Ibnu Katsir –salah seorang murid Ibnu Taimiyah- dalam kitab “al-Bidayah wa an-Nihayah” jilid 14 halaman 4 dan 52)

Masa selanjutnya adalah masa kemandekan dimana masa ini lebih banyak diperankan oleh murid-murid Ibnu Taimiyah, pemegang estafet keyakinan dan ajaran Ibnu Taimiyah yang telah menyimpang dari Ahlusunah wal Jamaah. Salah satu murid Ibnu Taimiyah yang paling menonjol saat itu adalah Ibnu Qoyyim al-Jauzi. Namun tentu ia tidak dapat bergerak bebas sepeninggal gurunya, selain ia juga tidak sesembrono gurunya yang mengobral pemikiran-pemikiran sesatnya dihadapan khalayak. Atas dasar itu, pada kala itu pemikiran Ibnu Taimiyah bisa dikatakan mengalami kemunduran yang amat drastis.

Selang beberapa abad setelah kematian Ibnu Taimiyah, muncul seorang bernama Muhammad bin Abdul Wahab An-Najdi. Dialah yang berhasil menghidupkan kembali ajaran Ibnu Taimiyah yang sempat mandek. Dengan dukungan Ibnu Saud (keluarga dinasi Saud) -yang disokong oleh kolonial Inggris dalam melumpuhkan kabilah-kabilah Arab kala itu- Muhammad bin Abdul Wahhab berhasil menjadikan ajaran hasil pengembangan/adopsi dari ajaran Ibnu Taimiyah sebagai mazhab resmi wilayah yang dikuasai oleh kerajaan Arab Saudi. Semenjak itu, ajaran sesat dan menyesatkan itu lebih identik dengan sebutan Wahaby, nisbah kepada ayahnya, Abdul Wahhab.

Di sini akan kita sebutkan beberapa pemikiran Ibnu Taimiyah yang tidak sesuai dengan ajaran para Salaf Saleh dan mayoritas mutlak Ahlusunah wal Jamaah. Namun ia telah mengklaim bahwa semua pendapatnya itu atas akidah yang dimiliki oleh Salaf Saleh:

1- Pengharaman Shalat dan doa di sisi kubur para wali Allah. (Lihat: kitab karya Ibnu Taimiyah yang berjudul “Majmu’ah ar-Rasa’il wa al-Masa’il” jilid 1 halaman 60)

2- Pengharaman ziarah kubur. (Lihat: kitab Ibn Taimiyah yang berjudul “at-Tawassul wa al-Wasilah” halaman 156)

3- Pengharaman istighasah selain Allah. (Lihat: kitab Ibnu Taimiyah yang berjudul “al-Hadiyatu as-Saniyah” halaman 40) Ditempat lain Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa barangsiapa yang mengatakan hal itu harus bertaubat dan jika tidak maka ia layak untuk dibunuh. (Lihat: kitab karya Ibnu Taimiyah yang berjudul “Ziarat al-Qubur” halaman 17-18)

4- Pengharaman merayakan hari-hari besar keagamaan. (Lihat: kitab karya Ibnu Taimiyah yang berjudul “Iqtidha’ as-Sirath al-Mustaqim” halaman 293-294)

5- Pengharaman bersumpah dengan menyebut nama selain Allah. (Lihat: kitab Ibnu Taimiyah yang berjudul “Majmua’h ar-Rasa’il wa al-Masa’il” jilid 1 halaman 17)

6- Keyakinan Ibnu Taimiyah bahwa Allah berbentuk (Tajsim) selayaknya manusia (Anthropomorphis). (Lihat: karya Ibnu Taimiyah yang berjudul “al-Fatawa” jilid 5 halaman 192)

Ulama Ahlusunah pertama yang megkritisi tajam pendapat Ibnu Taimiyah dalam masalah pelarangan ziarah kubur nabi dan para wali Allah adalah Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakar al-Akhna’i (wafat tahun 763 H) yang bermazhab Maliki (Malikiyah) dalam sebuah risalah beliau yang berjudul “Al-Maqol Al-Mardhiyah fi Ar-Raddi ‘ala Ibni Taimiyah” yang argumentasinya disandarkan kepada hadis-hadis sahih dan dalil-dalil fikih. Namun dikarenakan keangkuhan dan kecongkakan Ibnu Taimiyah yang merasa dirinya paling benar –persis seperti yang dialami oleh kaum Wahaby sekarang ini- akhirnya ia menjawab karya syeikh al-Akhna’i tadi dengan menulis sebuah risalah yang diberi judul “ar-Rad ‘ala Al-Akhna’i”.

Jika Al-Akhna’i dari ulama Ahlusunah yang bermazhab Maliki, maka terdapat ulama lain yang dari mazhab Syafi’iyah (pengikut Imam Syafi’i) yang juga turut menentang pemikiran sesat Ibnu Taimiyah. Salah satunya adalah Taqiyuddin As-Subki As-Syafi’i (wafat tahun 756 H) yang beliau menduduki kedudukan ketua Qadhi (Qodhi Al-Qudhat) di wilayah Syam (sekarang Syiria). Beliau mengarang sebuah kitab yang diberi judul “Syifa’ul Asqom fi Ziyarat Khairil Anam”. Kitab itu ditulis dengan argumentasi yang kuat untuk mengkritisi pendapat Ibnu Taimiyah yang mengharamkan ziarah kubur Rasulullah saw. Sebegitu kuat dan menariknya kitab tadi sehingga menarik perhatian Maula Ali al-Qory seorang ulama pakar fikih yang bermazhab Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) yang akhirnya beliau mensyarahi kitab aA-Subki yang bermazhab Syafi’i. Kitab al-Qory tadi diberi judul “Syarh Syifa’i Al-Asqom”. Dalam kitab Thabaqot as-Syafi’iyah jilid 10 halaman 186 disebutkan bahwa as-Subki berkaitan dengan Ibnu Taimiyah mengatakan:

“Sesungguhnya pemikirannya (Ibnu Taimiyah) tidak sesuai dengan keyakinan mayoritas kaum muslimin dan ia telah menginovasi (membikin-bikin) dalam hal asas-asas keyakinan dan menentang tonggak-tonggak Islam…maka ia telah keluar dari pengikutan agama (al-Ittiba’) menuju mengada-ada agama (al-Ibtida’) dan melakukan keanehan dari mayoritas kaum muslimin”.

Contoh lain dari ulama Ahlusunah yang mengkritisi pendapat Ibnu Taimiyah adalah Nuruddin Ali bin Abdullah As-Samhudi Al-Mishri yang bermazhab Syafi’i (wafat tahun 911 H). beliau yang terkenal dengan sebutan Syeikhul Islam di Madinah telah mengarang kitab yang diberi judul “Wafa’ul Wafa’ bi Akhbar Darul Musthafa”. Dalam kitab yang pertama kali dicetak oleh negara Mesir pada tahun 1374 dengan cetakan empat jilid disebutkan secara detail pembahasan hadis-hadis yang berkaitan dengan pahala ziarah kubur Nabi, peringatan maulud Nabi, tawassul, istighatsah dan meminta syafa’at pasca kematian Rasul.

Ulama Ahlusunah terkemuka lain yang juga sangat getol mengkritisi pendapat Ibnu Taimiyah adalah Ahmad bin Muhammad bin Hajar Al-Haitsami (wafat tahun 973 H) yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Hajar al-Haitsami, seorang Syeikh Al-Islam kota Makkah dan mufti besar Hijaz (dataran Arab) yang telah mengarang kitab yang diberi judul “al-Jauhar al-Munaddham fi Ziarah Al-Kubur Al-Mukarram”. Dalam kitab tersebut Ibnu Hajar menjelaskan legalitas ziarah kubur Rasul dengan menggunakan dalil-dalil yang kuat termasuk dalil ijma’ (konsensus) ulama Ahlusunah wal Jamaah. Dalam kitab tersebut selain Ibnu Hajar menyebutkan dalil-dalilnya yang kuat. Beliaupun menukil beberapa pendapat ulama Ahlsunah lain tentang Ibnu Taimiyah. Salah satu yang beliau bawakan adalah pendapat ‘Izz bin Jamaah yang mengatakan:

“Dia (Ibnu Taimiyah) adalah lelaki yang sesat dan pembohong. Semoga Allah mengazabnya karena kesesatan dan kebohongannya dengan merasakan hidangan kehinaan di dunia sebelum merasakannya di akherat”.

Dalam karya lain Ibnu Hajar yang diberi judul “Al-Fatawa Al-Haditsiyah” (lihat: halaman 86) menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah menuduh para ulama Ahlusunah seperti Abu Hasan As-Subki dan puteranya Tajuddin, Syeikh Imam ‘Izz bin Jamaah dan para ulama Ahlusunah lain yang sezaman dengannya baik dari mazhab Syafi’iyah, Malikiyah maupun Hanafiyah sebagai pembohong dan pribadi-pribadi buruk. Oleh sebab itu, Ibnu Hajar dalam kitab tersebut mengatakan:

“Dia (Ibnu Taimiyah) adalah hamba yang dihinakan, disesatkan, dibutakan dan ditulikan oleh Allah…”. (Lihat: Al-Fatawa Al-Haditsiyah, halaman 86)

Satu lagi contoh dari tokoh ulama Ahlusunah yang mengkritisi tajam pendapat Ibnu Taimiyah. Beliau adalah Ibnu Hajar al-Asqolani (wafat tahun 852 H) pengarang kitab “Ad-Durar Al-Kaminah”. Dalam kitab tersebut beliau banyak menjelaskan tentang siapakah gerangan Ibnu Taimiyah beserta beberapa pemikirannya yang menyimpang. Beliau menjelaskan bahwa, dikarenakan Ibnu Taimiyah memiliki pemikiran yang bertentangan dengan keyakinan mayoritas kaum muslimin maka atas dasar itulah maka ia sering dinyatakan sesat dan menyesatkan oleh para ulama Ahlusunah dari mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah. Ibnu Taimiyah sering mengaku-ngaku sebagai pengikut salah satu ajaran Ahlusunah. Bahkan terkadang ia mengaku sebagai pengikut Syafi’i, terkadang ia mengaku sebagai pengikut Asy’ariyah, dan seterusnya. Padahal hal itu hanya sekedar pengakuan yang tidak memiliki dasar sama sekali. Dalam kitab tersebut, Ibnu Hajar menukil pendapat Al-Hishni Ad-Damsyiqi yang berkata untuk Ibnu Taimiyah dengan ungkapan:

“Dia adalah seorang Zindiq. Sesungguhnya keyakinannya adalah memuat ajaran penghalalan darah dan harta (kelompok lain .red)”. (Lihat: jilid 1 halaman 154)

Dan masih banyak lagi para ulama Ahlusunah dari berbagai mazhab yang menyatakan akan kesesatan ajaran Ibnu Taimiyah. Atas dasar itulah akhirnya Ibnu Taimiyah mendapat balasan setimpal di dunia sebelum mendapat siksa Allah di akherat kelak. Ia mati di dalam penjara akibat ajaran-ajaran sesatnya. Namun, setelah beberapa lama ajaran itu secara sembunyi-sembunyi disebarkan oleh pengikutnya yang salah satunya adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Setelah kedatangan Muhammad bin Abdul Wahab An-Najdi, ajaran Ibnu Taimiyah dimunculkan kembali dengan dukungan keluarga Saud yang mendapat sokongan kolonial Inggris.

Tidak ada komentar: